Teori Pembangunan Dunia ke-Tiga: Definisi dan Parameternya

Konsep sebuah frase “negara dunia ke-tiga” sebenarnya sudah mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan jika mengamati dari awal kalahirannya sebagai sebuah sikap negara-negara yagn tidak memihak pada salah satu blok ketika terjadi perang dingin antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat. Saat ini pemaknaan yang terjadi terhadap frase kata tersebut adalah sebuah atau pun kelompok negara-negara yang dinilai tertinggal, miskin, belum maju teknologinya, dan tergantung pada negara-negara yang sudah maju. Pemaknaan secara ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan anatar negara-negara berkembang dengan negara-negara maju terkait hubungan bilateral maupun multilateral.
Dengan demikian,  teori-teori pembangunan untuk dunia ke-tiga tentunya memiliki perbedaan (meskipun ada juga persamaannya) dengan teori-teori pembangunan bagi negara-negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berbeda. Bagi negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau bagaimana meletakan dasar-dasar ekonominya supaya bisa besaing di pasar internasional, sementara bagi negara-negara adikuasa persoalanya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan. Ada tiga kelompok teori yang akan dibahas dalam pembagunan negara-negara dunia ke-tiga, yaitu teori ini merupakan reaksi terhadap modernisasi, yang dianggap tidak mencukupi, bahkan menyesatkan.
Teori ketergantungan mula-mula tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial di Amerika Latin. Pengaruhnya kemudian meluas ke Eropa, Amerika Serikat, dan akhirnya Asia. Teori yang dipengarui oleh metode analisis Marxis ini, meskipun membantah beberapa tesis dasar Marxisme, menjadi bahan pembicaraan yang paling hangat pada dasawarsa 1960an dan 1970an. Pengaruhnya kemudian menurun dengan munculnya kelompok teori lain. Teori yang ketiga adalah kelompok teori-teori yang merupakan reaksi terhadapa teori ketergantungan. Teori-teori ini belum memiliki nama sendiri sebagai suatu kelompok, oleh karena itu sering disebut dengan teori pascaketergantungan. Di dalamnya mempelajari teori sistem dunia, teori artikulasi, dan sebagainya.
Pertama yang perlu dilakukan untuk memahami teori-teori pembangunan khususnya yang terjadi di negara-negara dunia ke-tiga adalah mengerti tentang apa itu yang dimaksud dengan pembangunan. Pembangunan sering diartikan sebagai usaha untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan warganya. Sering kali definisi tersebut merujuk kepada kemajuan yang bersifat material atau kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi. Bagi masyarakat sebenarnya pembangunan pun tidak selamanya dimaknai dengan kemajuan atau hal-hal perubahan yang bersifat baik, contohnya adalah seringkali masyarakat mengalami penggusuran dan harus tinggal ke luar kota karena alasan sedang terjadi pembangunan di tempat tinggalnya yang lama. Kita masih sangat ingat betul program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah orde baru untuk memeratakan penduduk indonesia dan mentransfer penduduk pulau Jawa ke daerah di luar pulau Jawa, namun yang terjadi adalah banyak dari rencana tersebut yang dinilai gagal sebab kesejahteraan warga peserta transmigrasi justru menurun setelah pindah ke luar Jawa.
Arief Budiman mencontohkan satu hal lagi bagaimana pembangunan tidak jarang menimbulkan masalah yang kontradiktif dalam hal kebermanfaatannya. Contoh proyek-proyek pembangunan infrastruktur desa yang dilakukan secara bergotong-royong oleh seluruh warga desa melahirkan sebuah konsep trade off yang dapat menyulitkan masyarakat yang pada umumnya bekerja sebagai petani. Waktu yang seharusnya mereka gunakan tergantikan dengan kewajiban kerja sosial, padahal bagi para petani sehari saja tidak bekerja sama saja dengan sehari tidak ada pemasukan dan hal tersebut sangat mengganggu kelangsungan hidup mereka.
Setelah memahami definisi dan hakikat dari sebuah pembangunan, maka yang harus dipahami selanjutnya adalah bagaimana mengukur proses pembangunan tersebut, indikator apa saja yang dapat digunakan untuk menilai suatu negara pembangunannya berhasil atau tidak. (1) Kekayaan rata-rata, yaitu sebuah pengukuran pembangunan dalam arti pertumbuhan ekonomi. Sebuah masyarakat dinilai berhasil melakukan pembangunan, bila pertumuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian yang diukur adalah produktifitas masyarakat atau produktivitas masyarakat tersebut setiap tahunnya. Secara singkat, pembangunan disini diartikan sebagai jumlah kekayaan keseluruhan sebuah bangsa atau negara.
(2) Pemerataan, sebenarnya kekayaan keseluruhan yang dimiliki atau diproduksi oleh sebuah bangsa, tidak berarti bahwa kekayaan itu merata dimiliki oleh semua penduduknya. Bisa jadi sebagia kecil orang di dalam negara tersebut memiliki kekayaan yang berlimpah, sedangkan sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Hal ini bisa menimbulkan ironi. Dalam hal pemerataan cara lain untuk mengukur ketimpangan pembagian pendapaan masyarakat adalah dengan perhitungan Indeks Gini. Indeks ini diukur dalam angka antara 0 dan 1. Bila Indeks Gini sama dengan 1, terjadi ketimpangan yang maksimal, bila 0, ketimpangan tidak terjadi. Jadi, semakin kecil Indeks Gini, semakin kecil ketimpangan pembagia pendapatan dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bangsa atau negara yang berhasil melakukan pembangunan adalah mereka yang disamping tinggi produktivitasnya, penduduknya juga makmur dan sejahtera secaar relatif merata.
(3) Kualitas kehidupan, cara lain untuk mengukur kesejahteraan penduduk sebuah negara adalah dengan menggunakan tolak ukur PQLI (Physical Quality of Life Index). Tolak ukur seperti ini diperkenalkan oleh Moris yang mengukur tiga indikator, yaitu rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun, rata-rata jumlah kematian bayi, dan rata-rata prosentasi buta dan melek huruf. (4) Kerusakan Lingkungan, sebuah negara yang tinggi produktifitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini misalnya, karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang  tinggi itu tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungan. Lingkungan semakin rusak. Sumber-sumber alamnya semakin terkuras, sementara kecepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat daripada kecepatan perusakan sumber alam tersebut. Dan yang terakhir adalah (5) Keadilan Sosial dan Kesinambungan.
Secara umum, setelah kita memahami rangkaian definisi dari apa itu pembangunan dan parameter untuk mengukur tingkat pembangunan tersebut pada sebuah negara, maka yang menjadi fokus perhatian saat ini adalah bagaimana kita mengukur pembangunan di tengah maraknya arus gelombang demokrasi dan tuntutan untuk melakukan liberalisasi di banyak sektor kehidupan bernegara. Satu hal juga yang menjadi tantangan bagi pemerhati teori saat ini adalah bagaimana memetakan dan menjelaskan pembangunan di fase perkembangan negara yang sedang berada di tengah transisi dari pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang cenderung dihasilkan dengan cara-cara yang demokratis. Perlu ada tambahan parameter lagi untuk mengukur pembangunan yang terjadi pada negar-negara yang seperti itu meskipun tidak kita hilangkan model-model pembangunan dan parameter yang sudah ada seperti yang disebutkan oleh Arief Budiman dalam bukunya tersebut.
Hari ini dan mungkin esok kita tidak pernah akan tahu dengan pasti sampai kapan dikotomi dan label negara dunia ke-satu, ke-dua, ke-tiga akan terus ada. Negera-negara maju dan industri baru mulai bermunculan, sebut saja China, Rusian Brazil, dan India. Negara-negera tersebut sudah mulai mentransformasikan dirinya pada negara mapan meski tren positif tersebut belum bisa dikatakan dengan tepat. Pemikiran akan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman, teori dan paraemeter pembangunan pun bisa saja tidak relevan lagi, namun satu hal yang pasti adalah bahwa selama masih ada kesenjangan sosial, ketimpangan keadilan, distribusi, dan kualistas serta penguasaan teknologi dan sumber daya alam tiap negara masih berbeda-beda, selam itu pula pembangunan sebuah bangsa akan terus dilakukan dan teori-teori ini setidaknya akan tetap digunakan meski dengan segala varian barunya.

Read Users' Comments (0)

Teori Kelas: Pluralisme, Strukturalisme, dan Insrtumentalisme (Review)


Teori Kelas: Pluralisme, Strukturalisme, dan Insrtumentalisme[1]
Kelas, sebagai sebuah keniscayan konstelasi dan hubungan dalam masyarakat—setidaknya sampai saat ini—telah benyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran ilmuan untuk menjelaskan bagaimana sebuah fenomena di dalam masyarakat itu terjadi, kenapa sekelompok orang bertindak terhadap kelompok yang lainnya dan kenapa ada hubungan saling ketergantungan anatara orang atau kelompok yang “punya” dengan orang atau kelompok yang “tidak punya”. Di dalam sosiologi, ekonomi, bahkan ilmu politik, fenomena dan keterkaitan antar kelas terus dipelajari, meskipun kurang mejadi minat pembahasan di negara-negara yang sudah mapan dan maju dimana kelas-kelas sosialnya cenderung stabil dan merata secara horizontal, seperti negara-negara Amerika Utara.
Di dalam ilmu politik, Plato dan Aristoteles telah lama juga memperhatikan kelas-kelas yang ada di masyarakat. Sebab bagaimanapun juga sejak masa itu pun hubungan kontras antar masyarakat yang satu dengan yang lainnya juga sudah nampak, contohnya adalah hubungan anatara kelompok-kelompok orang yang punya wewenang untuk mengatur dan di sisi lain ada yang diatur. Diantara penyebab keadaan tersebut adalah kenyataan bahwa setiap orang memiliki kekayaan, kewenangan, kekuasaan, akses, dan pendapatan yang berbeda di masyarakat, bahkan terkadang siapa kita dan siapa orang tua kita juga bisa dijadikan alasan kenapa kelompok atau perseorangan tertentu lebih dihormati daripada yang lainnya. Sehingga dikotomi-diotomi penyebutan terkait identitas mulai muncul, misalnya pada masyarakat yang berada di atas, mereka sering disebut sebagai elit pluralis, penguasa elit, borjuasi, kelas pengatur, maupun kelas penguasa. Sedangkan masyarakat yang berada di kelas bawah sering merujuk pada identitas seperti kaum urban, kelas pekerja, proletariat, pelayan, dan sebagainya.
Selanjutnya ketika masyarakat dan komunikasi antar manusia semakin kompleks, maka tuntutan dan kejadian-kejadian sosial pun semakin beragam, untuk itulah perlu pemahaman lebih lanjut terkait teori-teori yang digunakan sebagai pisau analsis untuk memahami hubungan antar kelas, sehingga dapat memebedakan masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Dianatara teori kelas tersebut adalah pluralisme, instrumentalisme, strukturalisme, kritikalisme, serta statisme dan perjuangan kelas. Pertama yang akan dibahas adalah pluralisme. Teori ini sering dikatakan merupakan bentuk adopsi dari ilmu ekonomi liberal dan pemikiran-pemikiran politik liberal awal. Seperti bagaimana John Locke dan Jeremy Bentham menjadikan individu sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kepemilikan properti dan hak-hak individu menjadi alasan kenapa setiap orang perlu di bebaskan dari pengaruh dan kekangan negara dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Pada sisi-sisi lainnya teori ini sangat menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat, sebab kembali pada pemahaman bahwa individu itu harus bebas, dan perjuangan pencapaian kekuasaan perlu dilakukan secara kompetisi, sama ketika masnusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Cara berfikir seperti inilah yang kemudian diadopsi kedalam kehidupan politik. Maka tidak heran jika kemudian teori ini sering disebut dengan teori elit demokrasi, sebab pada akhirnya jelas juga ada perbedaan anatara orang yang mengatur dengan yang diatur, pada tahap inilah dapat dipahami bahwa sesungguhnya kekuasan itu bersifat elitis dari orang-orang yang menang dalam kompetisi sebelumnya.  Bahkan bagi Robert A Dahl, kehidupan berdemokrasi tidak cukup digerakan dengan prosedur atau metode semata. Demokrasi, dalam pandangan Robert A Dahl mesti mengandung dua dimensi terbaik dalam hal kontestasi dan partisipasi. Tatanan politik yang terbaik bagi masyarakat bukanlah demokrasi semata melainkan polyarchy.

Teori kelas yang kedua adalah instrumentalisme. Di dalam instrumentalisme dipercaya bahwa negara itu adalah sebuah boneka bentukan atau setidaknya dalam kata lain negara telah dikontrol dan bergantung pada kelas kapitalis (pemilik modal). Kaum instrumentalis berpendapat bahwa para elit dan kelasnya yang minoritas—karena biasanya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kelas lainnya—mengatur kelas-kelas sosial di masyrakat lainnya yang masyoritas. Pareto dan Mosca melihat hal tersebut sebagai sebuah hubungan ketidaksetaraan. Pandangan ini juga diperkuat oleh Ralph Milliband yang berpendapat bahwa kelas kapitalis telah mempergunakan dan mengatur kekuatannya untuk menggunakan negara yang ada sebagai instrument mendominasi masyarakat. Seperti yang terdapat dalam buku terkenal para penganut marxisme, “Manifesto Partai Komunis” karangan Marx dan Engels, yang melihat bahwa negara tidak lain hanyalah alat dari kelas kapitalis untuk mengakumulasi modalnya.
Sedangkan itu, dalam melihat keals di masyrakat, strukturalisme secara substansi ternyata berbeda dengan struktur kekuasaan. Nicos Poulantzas (1969) secara sederhana berpendapat bahwa partisipasi langsung dari para anggota yang berada di kelas pengatur tidak tepat dalam membentuk pengaruh aksi dari sebuah negara. Faktanya, ia menambahkan bahwa negara kapitalis hanya baik dalam memberikan keuntungan pada kelas kapitalis yang ada hanya ketika para anggota dari kelas tersebut tidak berpartisiasi dalam aparatus negara. Pemikir politik strukturalis seperti Althusser dan Poulantzas lebih berfokus pada mekanisme represi negara dan ideologi, serta cara mereka menyediakan keteraturan struktur untuk kapitalisme.
            Antonio Gramsci, seorang pendiri partai komunis di Italia pada tahun 1921 dan seorang tahanan di bawah pemeritahan fasisme Mussolini, merupakan salah satu pemikir strukturalis yang berpengaruh, bahkan mengilhami pemikir lainnya seperti Althusser dan Poulantzas. Selama penahanannya dan kondisi yang sangat sulit, ia menulis buku-buku yang sangat bepengaruh bahkan diterjemahkan ke bahasa Inggris meski pemikrannya juga kental bernuansa marxis. Teori yang mungkin paling kita kenal sampai saat ini adalah tentang hegemoni dan dominasi. Dalam tulisan ini tidak akan dibahas dan dijabarkan lebih jauh tentang dua konsep tersebut dan apa yang menjadi pokok pikiran Gramsci terkait strukturalisme, namun setidaknya ada argumennya yang bisa memberikan gambaran tentang bagaimana strukturalisme tersebut. Dia melihat dan sepakat dengan posisi strukturalis bahwa aktivitas kenegaraan telah ditentukan oleh struktur masyarakat secara lebih, daripada oleh orang-orang di posisi kekuasan negara.
Meskipun dalam tulisan ini tidak dijelaskan lebih jauh tentang kritikalisme, statisme dan perjuangan kelas, dalam padangan sederhana saja kita diharapkan sudah mampu memahami hubungan dan teori-teori kelas secara singkat melalui pemaparan strukturalisme, pluralsime, dan instrumentalsime di atas. Memang belum lengkap rasanya jika tidak dikaji secara menyeleuruh apalagi tidak menyertakan berbagai variannya dalam pembahasan, tapi semangat untuk melihat ke dalam masyarakat secara langsunglah yang tidak boleh hilang. Kelas dengan berbagai macam bentuk dan pola hubungannya baik dalam masyarakat sendiri amupun jika dikaitkan dengan negara, akan selalu ada dan menjadi sesuatu yang dianalsisis setidak-tidaknya ketika negara dan masyarakat itu masih ada dan kekuasaan tetap menjadi barang yang langka untuk diperebutkan.


[1] Theories of class: From Pluralist Elite to Rulling Class and Mass. Bahan bacaan Kuliah Perbandingan Politik, 3 Mei 2011

Read Users' Comments (0)

Pendekatan Sistem Menurut David Easton

Pada umumnya yang disepakati oleh banyak ilmuan politik terkait pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik adalah pendekatan institusi atau pendekatan kelembagaan. Kemudian dalam perkembangannya, terdapat banyak kritikan terhadap pendekatan tersebut, diantaranya adalah pemaparannya yang terlalu deskriptif, tidak berbicara mengenai aktor atau individu, tidak berhasil dalam menyusun sebuah teori, dan terkesan metodolognya kurang ilmiah. Akibat kelemahan dan kritikan-kritikan tersebut yang diimbangi oleh fase ilmu pengetahuan yang menekankan aspek positifis—diambil dari konsep ilmu alam—yang terjadi pada awal abad ke-20, rupannya sedikit banyak juga telah mempengaruhi perkembangan pendekatan dalam ilmu politik ke arah konsep yang lebih baik.
            Karakteristik ilmu alam dan metodologi positifis yang menekankan sebuah ilmu pengetahuan itu harus mampu menghasilkan teori, mempunyai setidaknya satu objek khusus dalam penelitiannya, dan ada kerunutan dalam metodologi penelitiannya, telah banyak mempengaruhi ilmu politik untuk merevisi pendekatan yang lama dan mulai membangun pendekatannya yang baru (dipengaruhi nilai-nilai positifis tadi). Titik lecut yang sering kita pahami terkait awal kemunculan hal tersebut adalah pascaterjadinya perang dunia ke-2 yang melahirkan banyak fenomena baru dalam perpolitikan yang belum sepenuhnya dapat dipahami, atau dalam kata lain ternyata pendekatan institusional sudah mulai tidak relevan lagi untuk digunakan sebab fenomena sosial politik pada saat itu juga sudah sangat kompleks.
            Dari peristiwa perang dunia ke-2 itulah, kemudian muncul pendekatan atau teori baru dalam ilmu politik yang kita kenal dengan teori atau pendekatan sistem dengan tokoh terkenalnya David Easton dan Gabriel Almond. Secara singkat, teori sistem ini menurut Easton seperti sebuah organisme yang terinspirasi dari organisme yang ada dalam ilmu alam dengan menyederhanakan suatu proses-proses yang terjadi di dalamnya. Inilah salah satu keunggulan dalam teori sistem yang dikemukakan oleh Easton, yaitu memudahkan dan menyederhanakan kita untuk memahami fenomena politik dari sudut pandang sebuah organisme dan tidak lagi serumit sebelumnya.[1] Arti organisme ini sering disamakan juga dengan bagian-bagian tubuh dalam manusia yang apabila terjadi penurunan kerja atau kerusakan dalam sebuah bagian tubuh, maka akan mempengaruhi bagian tubuh dan kerja tubuh secara keseluruhan, disinilah proses saling mempengaruhi terjadi, lebih dari sekedar konsep keseimbangan seperti yang banyak diungkapkkan sebelumnya oleh ilmuan-ilmuan sosiologi.
Sistem dalam pembahasan ini didefinisikan sebagai jalinan unsur-unsur yang dari setiap unsur tersebut memiliki fungsi dan satu kesatuan tersebut melakukan fungsi utama. Asumsi ini dalam kehidupan berpolitik dikatakan bahwa negara, masyarakat, dan individu adalah sebuah sistem, dan kesatuan itu semua adalah satu batang tubuh yang saling mempengaruhi dan punya tujuan utama. Sistem politik merupakan bagian dari ilmu politik, karena memberikan perhatian kepada pembuatan keputusan tentang alokasi sumber daya kekuasaan.[2] Sedangkan teori sistem ini menurut Gabriel Almond, dimakanai bahwa dalam setiap sistem terdapat struktur, dan setiap struktur memiliki fungsi. Dari melihat definisi tersebut jelas bahwa Almond rupanya juga banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Easton, jadi sifat teori yang dikemukakan oleh Almond lebih kepada penambahan atau revisi terhadap teori sistem sebelumnya.
Menurut Almond terdapat enam elemen struktur di dalam sebuah negara, yaitu birokrasi, lembaga-lembaga trias politika (legislatif, yudikatif, dan eksekutif), pengadilan, partai-partai politik, dan kelompok kepentingan. Sedangkan tambahan Almond terhadap teori sistem yang dikemukakan oleh Easton diantaranya, (1) sistem itu harus memiliki kapabilitas, yaitu kapabilitas ekstraktif atau kemampuan negara untuk mengelola sumber daya yang ada, kapabilitas regulatif atau kemampuan negara untuk mengatur tingkah laku warga negaranya, kapabilitas distributif atau kemampuan negara untuk mengatur kebutuhan-kebutuhan warga negaranya, kapabilitas simbolik atau kemampuan negara untuk memperlihatkan kekuasaan yang ada padanya, dan kapabilitas yang terakhir adalah kapabilitas domestik dan internasional. (2) adaya budaya politik dalam sebuah sistem, dan (3) merincikan kembali fungsi input dan output.
Pembahasan selanjutnya adalah fokus terhadap analisa sistem dari Easton. David Easton adalah ilmuan politik pertama yang mengembangkan kerangka pendekatan analisa sistem pada kajian ilmu politik. Walaupun menjadikan sistem politik sebagai dasar analisanya, bidang penelitian utamanya adalah perilaku intra sistem dari berbagai sistem dan pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan konstruktifis. Menurut Easton, di luar dan di balik sistem politik terdapat sistem-sistem lain atau lingkungan—baik fisik, biologis, sosial, psikologis, dan sebagainya—yang bisa menjadi landasan pembeda antara sistem politik dengan sistem lainnya. Maka titik tekan pembedaan tersebut adalah pembuatan alokasi yang terlindungi dan mengandung otoritas. Dalam membahas sistem politik, Easton memiliki beberapa asumsi yang harus dimiliki oleh orang yang ingin mengembangkan atau belajar ilmu politik terkait teori sistem, salah satunya adalah keharusan untuk melihat sistem politik sebagai sebuah satu kesatuan lebih dari sekedar terkonsentrasi pada solusi masalah-masalah yang terbatas. Teori harus mampu menggabungkan pengetahuan yang reliable dan data yang empiris.[3]
Easton memberlakukan semua sistem politik sebagai sistem yang terbuka maupun yang adaptif dan memusatkan perhatiannya terutama pada studi tentang sifat-sifat perubahan dan transaksi-transaksi yang terjadi diantara suatu sistem politik dan lingkungannya.[4] Keanggotaan dalam sistem ini dapat bertindak bilamana terjadi pengaruh-pengaruh dari sistem atau lingkungan luarnya, dengan demikian sistem politik harus memiliki kemampuan untuk merespon gangguan-gangguan dan oleh karenya dapat menyesuaikan diri dari kondisi-kondisi tersebut. Inilah yang disebut Easton sebagai unsur mekanisme, yaitu kamapuan keanggotaan sistem untuk bekerjasama dengan lingkungan mereka dan untuk mengatur perilakunya sendiri maupun mengubah struktur internalnya. Dengan cara  ini, suatu sistem mimiliki kemampuan untuk mengatasi gangguan-gangguan secara kreatif dan konstruktif.
Lebih lanjut, sistem ini menerima tantangan serta dukungan dari masyarakat, dan diharapkan dapat mengatasi tantangan tersebut denagn cara seperti yang dilakukannya untuk mengatur dirinya sendiri dengan bantuan dukungan yang diterimanya ataupun yang dapat dimanipulasikannya. Tuntutan dan dukungan yang diterima sistem politik dari lingkungan dalam bentuk masukan-masukan (inputs) masuk ke dalam suatu proses konversi dalam sistem, dan kemudian menjadi bentuk out-puts. Hal ini diikuti dengan apa yang disebut feedback mechanism atau mekanisme umpan balik, melalui mekanisme tersebut akibat-akibat dan konsekuaensi-konsekuensi keluaran dikembalikan kepada sistem sebagai keluaran-keluaran.
Masukan terdiri dari (1) tuntutan (demands), dan (2) dukungan (supports). Tuntutan dan dukungan diterima oleh sistem dari masyarakat. Suatu tuntutan menurut Easton merupakan “cermin opini atas suatu hal tertentu yang menghendaki suatu alokasi otoritas dari pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan atau tidak melakukannya”. Bersamaan dengan konsep tuntutan terdapat juga konsep over-load (melampaui batas), yang terjadi baik karena jumlah tuntutan yang sangat banyak maupun sedikit jumlahnya tapi mengandung tuntutan yang sangat banyak. Tuntutan-tuntutan ini sebenarnya bukanlah satu-satunya masukan, sebab dukungan juga terdapat di sana. Suatu sistem politik mendapat dukungan yang besar dari lingkungan, yang bila tidak, secara alamiah sistem tersebut akan mati. Dukungan tersebut bersifat terbuka, dalam bentuk tindakan-tindakan yang secara jelas dan nyata mendukung, dan tertutup, yaitu tindakan-tindakan serta sentiment-sentimen yang mendukung.
Selanjutnya, ada konsep keluaran menurut David Easton yang berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan otoritas. Keluaran seperti menurut Easton tadi tidak saja membantu mempengaruhi peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang lebih luas—di mana sistem tadi merupakan satu bagian—tetapi juga membantu menetukan tiap perputaran masukan yang menemukan jalannya dalam sistem politik. Proses ini digambarkan sebagai suatu ikatan umpan balik (feedback loop) dan merupakan suatu respon penting untuk mendukung tekanan dalam suatu sistem politik.[5] Meski begitu, menururt Easton keluaran beukanlah merupaka titik akhir, sebab keluaran tersebut mengumpan kembali pada sistem dan oleh karenanya membentuk perilaku berikutnya.


[1] Dibahas pula pada perkuliahan Perbandingan Politik, hari selasa tanggal 5 April 2011, pukul 14.00
[2] Bahan bacaan review kuliah Perbandingan Politik, Why politics ? Whay comparative ?, chapter 1, hal. 14
[3] Bahan bacaan review kuliah Perbandingan Politik, Theory of System and State, chapter 5, hal. 146
[4] S P Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1999. Hal. 279

[5] Ibid., hal. 281

Read Users' Comments (0)

Pendekatan Politik Kelembagaaan Baru (Review)


Pendekatan Politik Kelembagaaan Baru[1]
Lembaga dan kelembagaan merupakan salah satu bagian dari Ilmu Politik. Layaknya sebuah ilmu pengetahuan, kelembagaan juga meliputi unsur-unsur seperti metodologi yang khas maupun terdapatnya teori yang mengkaji hal tersebut lebih jauh. Di dalam mempelajari Ilmu Politik ini, terdapat beberapa pendekatan, diantaranya adalah pendekatan kelembagaan atau tradisional dan pendekatan perilaku atau behavioral. Pendekatan kelembagaan memiliki ciri-ciri diantaranya adalah (1) legalisme (sangat terpusat pada hukum dan penerapan hukum yang dipisah pada tata negara).
Ciri selanjutnya dalam pendekatan kelembagaan adalah (2) strukturalisme, menilai bahwa struktur adalah merupakan sesuatu yang penting di dalam ilmu politik serta mempengaruhi perilaku yang ada di dalmmnya, (3) Holisme, pandangan yang melihat sesuatu scara menyeluruh. (4) Historicisme, mempelajari sejarahnya, (5) Analisis normatif, ada nilai di dalmnya. Namun begitu, pendekatan kelembagaan ini memiliki kelemahan, yaitu tidak mampu menghasilkan satu teori besar. Ketidakmampuan inilah yang kemudian menghasilkan pendekatan perilaku (behavioral). Dalam review ini yang akan lebih dibahas adalah terkait kelembagaan dan perbandingannya di dalam kajian Ilmu Politik.
Pascaperang dunia ke dua, di negara-negara barat khusunya Amerika Serikat telah terjadi gelombang penolakan terhadap pendekatan ilmu politik yang berpusat pada individu. Yaitu pendekatan perilaku dan pilihan rasional. Keduanya mengasumsikan bahwa perilaku individu otonomi tidak dibatasi oleh institusi formal dan non-formal, namun berusaha membuat pilihannya sendiri. Dari sejarah singkat yang memperlihatkan bahwa aksi individu itu tetap memiliki banyak kelemahan (menegasikan peran negara dan hanya fokus kepada actor-aktor politiknya saja), lahirlah sebuah pendekatan kelembagaan baru sebagai jawaban permasalahn tersebut. Akhirnya pada tahun 1980an dimulailah masa kesuksesan counter reformasi ini dengan menghasilkan beberapa perhatian yang dulu pernah dilupakan seperti institusi formal dan non-formal pada sektor publik.
Bentuk kelembagaan atau institusi baru ini, merupakan refleksi dari banyak bentuk termasuk tetap memperhatiakn hal-hal dalam pendekatan perilaku sebagai sesuatu yang dapat meemperkaya penjelasan. Meski begitu, upaya reformasi ini belumlah sempurna, masih menyisahkan atau menandakan tensi anatara pendekatan baru dan beberapa pendekatan sebelumnya. Lebih jauh, akan dibicarakan mendalam menenai pendekatan kelembagaan lama dan pendekatan kelembagaan baru. Dengan meemperhatikan ciri-ciri yang terdapat di kedua pendekatan tersebut, lalu melihat permasalahan serta perbaikannya guna menghasilkan pendekatan yang komprehensif, mengandung unsur individualitas dan pilihan rasional, namun juga tidak menegasikan peran negara dan institusi yang ada di dalamnya.
Kehidupan berpolitik sudah dilakukan oleh manusia cukup lama, sebab sikap individu dan nalurinya yang selalu ingin mempertahankan kepentingannya telah membuat kekacauan setidaknya berupa persaingan antar manusia. Untuk itulah kemudian lahir konsepsi kesepakatan bersama untuk hidup membentuk lingkungan dengan sebuah peraturan yang mengikat dan struktur tata pemerintahan sederhana yang telah diberikan kewenangan sebelumnya oleh masyarakat tersebut. Institusi pemerintahan ini menstruktur individu (beserta perilakunya) dan masyarakatnya kepada cita-cita bersama. Kepentingan individu setiap manusianya perlu dikonsensuskan menjadi kepentingan bersama, dan disinilah tergambar bagaimana pentingnya sebuah lembaga formal yang mengatur.
Filosofi politik pertama dimulai dengan mengidentifikasikan dan menganalisis keberhasilan lembaga-lembaga dalam pemerintahan, lalu kemudian membuat rekomendasi bentuk institusi lain berdasarkan yang telah diobservasi sebelumnya (lihat Aristoteles, 1996). Meskipun rekomendasi tersebut hampir seluruhnya dalam hubungan normatif, rekomendasi tersebut mengkonstitusikan untuk memulai ilmu politik melalui analisis institusi yang sistemik dan dampaknya pada masyarakat. Perjalanan pendekatan ini dalam sejarahnya bisa dikatakan cukup panjang. Misalnya seorang pemikir politik seperti Althusius (John of Salisbury), berusaha untuk mengkarakterkan peran institusi pemerintah di dalam masyaakat yang lebih luas.
Thomas Hobbes hidup di Inggris di masa kehidupan berpolitik yang sedang terpuruk akibat perang sipil yang terjadi, dan akhirnya ia berfikir bahwa diperlukan sebuah lembaga atau institusi yang kuat untuk melindungi kemanusiaan dari insting manusia yang jahat pada dasarnya. Begitu juga dengan John Locke, ia berusaha membangun sesuatu yang lebih dari konsepsi kontrak sosial institusi publik dan mulai melakukan pembagian struktur demokrasi. Saat ini, beberapa abad dari kehidupan para pemikir politik di atas, kita mulai melihat bahwa ilmu politik telah memulai pada fasenya yang berbeda sebagai disiplin akademis. Maka setelah fase panjang sebelumnya seperti di masa kehidupan Hobbes dan Locke, dapat disimpulkan bahwa ilmu politik terbangun dari komponen-komponen seperti sejarah atau mungkin filosofi moral yang merefleksikan kehidupan masyarakat saat itu. Akhirnya memasuki abad ke 20, di ilmu politik sudah meliputi aspek dan komponen formal pemerintahan, seperti hukum dan sistem pemerintahan.
Pendekatan kelembagaan lama, telah membangun sebuah kesatuan yang penting bagi para sarjana. Meskipun kritik terus mengalir dan pendekatan lama ini kian ditinggalkan, setidaknya telah memberikan kontribusi yang besar dalam kajian ilmu-ilmu sosial lainnya, tidak hanya bagi ilmu politik. Selanjutnya, untuk memahami pendekatan kelembagaan baru, kita membutuhkan penjelasan yang tidak hanya berasal dari pendekatan kelembagaan lama, tapi juga mazhab-mazhab pemikiran yang muncul diantara selang waktu dimana lahirnya dua pendekatan tersebut.
Sungguh umum untuk membicarakan revolusi perilaku yang terjadi dalam rentang tahun 1950an sampai tahun 1960an sebagai tranformasi fundamental disiplin dalam ilmu politik. Pendekatan behavioral atau perilaku yang merupakan bentuk kritik terhadap pendekatan kelembagaan memiliki cirri-ciri diantaranya adalah fokus pada teori dan metodelogi (merupakan salah satu kelemahan sistem kelembagaan), anti-normatif bias, asumsi individualisme dan inputisme. Salah satu perbedaan yang paling penting pada tampilan revolusi perilaku yaitu secara eksplisit memfokuskan pada pembangunan teori, sekaligus menekankan bahwa ilmu politik adalah merupakan dari ilmu pengetahuan yang objektif. Dengan begitu, ilmu politik juga telah membangun paradigma barunya yang tidak lagi kaku, namun dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam seting yang berbeda.
Kelembagaan lama cenderung terkonsentrasi pada institusi pemerintahan formal dan konstitusi yang menghasilkan struktur. Revolusi perilaku di dalam ilmu politik cenderung berlaianan pada penekanan dan konsentrasinya melalui input dalam masyarakat ke sistem politik (Easton, 1953). Maka dalam inputisme ini, hal-hal yang benar terjadi dalam praktik politik adalah voting, aktivitas kelompok kepentingan, dan kegiatan untuk mengartikulasikan pendapat.


[1] B. Guy Peters, Institusional Theory In Political Science: The New Institusionalism, Bahan Review Kuliah Perbandingan Politik, 15 Maret 2011

Read Users' Comments (2)

Tan, Makalah, dan Pelajaran

· Biografi Singkat dan Sepak Terjang Tan Malaka

Sedikit mengenai biografi dan perjalanan hidup Tan Malaka, rupanya berarti penting untuk mengetahui sebab pemikiran dan warna yang menghiasi sumbangan Tan Malaka –ide cita-cita Indonesia Merdeka– pada republik ini. Sudah banyak buku yang menyematkan bahwa Tan Malaka adalah “Bapak Republik yang dilupakan”, hidup sendiri, dan berbeda dari kebanyakan orang di zamannya karena ide dan pemikirannya yang telampau jauh melewati yang dipikirkan orang saat itu. Sebut saja salah satu buku yang ditulisnya, yaitu Massa Actie, (1925) ditulis tiga tahun sebelum pelaksanaan hari sumpah pemuda, artinya saat pejuang kemerdekaan di Indonesia baru berfikir tentang bagaimana bersatu dan menggalang kekuatan, Tan Malaka telah jauh meninggalkan itu untuk berbicara pada tataran konsep negara jika suatu saat Indonesia merdeka. Namun, dengan pemikirannya itu pula ia wafat ditangan tentara bangsanya sendiri yang ia cintai dan perjuangkan selama ini.
Datuk Ibrahim Tan Malaka, yang menurut Dr. Alvian1 sebagai pejuang revolusioner yang kesepian lahir di Desa Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat, pernah bersekolah dan dibuang ke Belanda, hingga kini masih menjadi perdebatan tentang kapan tanggal pasti kelahirannya. Menurut Prof. Ahmad Suhelmi –salah seorang dosen di Departemen Ilmu Politik FISIP UI –Tan Malaka adalah seorang yang hafal Quran sewaktu mudanya, dibesarkan dalam lingkungan agama yang kental, namun menjadi seorang muslim berhaluan kiri pada masa dewasanya, dan pernah pula pada suatu ketika menyampaikan ide tentang penggalangan kerjasama antara partai komunis dengan gerakan Islam yang berkembang saat itu (Pan Islamisme) di hadapan peserta pertemuan komintern ke-IV di Moskow2. Lanjut beliau juga, Tan Malaka dengan pengalaman organisasi dan keberanian berpendapatnya tersebut sempat menjadi wakil komintern (komunis internasional) untuk Asia Tenggara dan menjabat ketua PKI beberapa saat.
Selama 20 tahun hidup di pelarian dan selalu diburu oleh intelejen dari 4 negara kolonial saat itu (Inggris, Jepang, Belanda, dan Amerika) membuat semangat Tan Malaka mengenai kemerdekaan semakin meruncing, apa lagi setelah lama dalam perhelatannya di beberapa negara seperti Rusia, Belanda, Filipina, Singapura, dll (total 13 negara). Dengan pengalamannya dan penyaksiannya tentang rakyat Indonesia yang menjadi budak di negeri sendiri itu, telah membuahkan sikap radikal dan pikiran yang dituangnya menjadi beberapa buku yang kemudian menjadi bacaan wajib para pejuang Indonesia dalam meretas kemerdekaan sebab dirasa sangat sesuai dengan nafas perjuangan, seperti buku Naar de Republic Indonesia (menuju Republik Indonesia), Massa Actie, dan Madilog.


· Awal Pemikiran Tentang Cara “Kemerdekaan” dalam Madilog
Banyak karya besar Tan Malaka yang dijadikan buku pegangan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh para pemuda saat itu, namun fokus penulisan makalah ini yang mengedepankan masalah rakyat terkait logika mistik sebagai salah satu penyebab melanggengnya proses penjajahan di Indonesia dalam waktu begitu lama menjadikan Madilog (materialism, dialektika, logika) dirasa sebagai acuan yang pas dalam penulisan tersebut.
Penulisan “Madilog” yang panjang mengikuti gerak kehidupan Tan Malaka secara tidak langsung memanifestasikan apa yang dirasa, dialami dan dipikiri olehnya terhadap masyarakat dan kaum yang disebutnya “proletar” di tengah upaya besar mewujudkan cita-cita sakaral saat itu, Indonesia merdeka. Ketidaksamaan cara pandang dan keadaan mengenai gerakan, konsepsi dan harapan Indonesia merdeka telah membuat Tan Malaka terasing di tengah-tengah masyarakat bersama pemikirannya. Apalagi, pengasingan dan pelariannya dari daerah ke daerah, negara ke negara, bahkan penjara ke penjara, karena statusnya sebagai orang yang “dicari” telah turut memberikan andil besar tentang apa yang berada di balik pemikiran dan cara pandang Tan Malaka tersebut. Oleh karena itu, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) yang ditulisnya sebagai apa yang disebutnya nutrisi bagi gerakan kaum proletar dalam cara berfikirnya, terasa amat langka didengar, dirasa dan diserap konsep-konsep pola pembelajarnanya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia dimasa itu.
Di tengah keterasaingan dan penyamarannya tersebut (karena sering dicari-cari oleh pemerintah pendudukan saat itu), pada awalnya Tan Malaka melihat adanya kekuatan potensial untuk melakukan sebuah gerakan bersama merebut kekuasaan imperialisme Belanda dari besarnya wilayah geografis Indonesia yang di dukung jumlah penduduk yang banyak pula. Namun terdapat hal yang bersifat kontradiksif dan sangat disayangkan olehnya, yaitu mereka (kaum proletar mesin dan tanah) kekurangan pandangan dunia (weltanshauung). Kekurangan filsafat. Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan takhayul campur aduk3. Karena masyarakat Indonesia yang menurutnya masih sangat gelap gulita saat itu dan diselimuti berbagai macam ilmu kegaiban, maka logika itu masing barang baru, perlu diketahui, dan dipahami bersama dengan dialektika dan materialism.
Dengan kisahnya yang selalu berpindah dan sibuk menyamar karena kejaran intelejen asing telah membuat cara pandangnya tentang belajar sesuatu, menghafal buku, dan mengingatnya kembali mebuahkan apa yang disebutnya “jembatan keledai”, seperti yang dikatakannya, “hafalkan, ya, hafalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul, saya hafalkan kependekan intinya saja…”4. Hal itu dilakukannya karena keterdesakan dan ketidakmungkinan untuk membawa buku keman pun saat itu dan sebagai cara juga rakyat yang mau belajar tapi sedikit memiliki buku.

 · Keadaan Rakyat Indonesia Saat Itu
Pemerintahan Kolonial Belanda sangat takut kepada Universitas dan Perguruan Tinggi kalau-kalau apa yang terjadi di India dengan pejuang kemerdekaannya yang berhasil menentang Inggris saat itu pascasepulangnya dari belajar di luar negeri dapat terulang di Indonesia dan menggangu jalannya pemerintahan kolonial5. Maka imbasnya terlihat dari nasib pendidikan dan karakter orang Indonesia yang kebanyakan masih terkungkung oleh hal-hal mistik dan sulit untuk melakukan perlawanan revolusi.
Seperti pendapat Karl Max, masyarakat bukan terdiri atas individu-individu melaikan terdiri dari kelas-kelas. Yaitu orang-orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi6. Tan Malaka juga melihat bahwa gagalnya proses perebutan kemerdekaan selama ini adalah lebih dari sekedar permasalahan perjuangan yang masih bersifat kedaerahan, namun juga ketiadaan kesadaran gerakan bersama untuk melakukan sebuah revolusi dan ditambah lagi dengan keterpurukan masyarakat pada masalah mistik.
· Logika Mistika dan Cikal Bakal gerakan Revolusi Kemerdekaan
Seperti dalam Madilognya Tan Malaka pada Bab Logika Mistik dijelaskan bahwa pembahasan didahului dengan pertentangan antara kebendaan dan kerohanian, dan tentang mana yang lebih dahulu dari kedua hal tersebut. Singkatnya menurut Tan Malaka jumlah zat atau benda di alam adalah tetap. Ditambahkan dengan teori Dalton yang menerangkan tentang hukum perpaduan dari zal yang menyusun suatu zat atau benda tersebut. Perubahan bentuknya di alam bukanlah karena jumlanya yang berkurang, seperti air menguap bukan berarti air itu hilang, namun hanya wujudnya saja yang terkonfersi menjadi sesuatu yang lain dan tetaplah bahwa komposisinya semula berasal dari hidrogen dan oksigen dimanapun di belahan bumi. Inti dari pembicaraan tentang logika mistik ini adalah bahwa sesuatu itu memiliki sebab dan seperti keberadaan benda-benda di alam yang dapat dimaknai dengan logika serta bagaimana pentingnya sebuah kerja untuk merubah dan mendapatkan sesuatu. Tan Malaka membuat perumpamaan orang yang lapar walaupun ia berteriak seribu kali tentang sebuah kata, yaitu “kenyang” tetaplah ia pada kenyataannya masih lapar dan dapat pula mati. Hanya dengan makan sungguhan dan usaha yang nyatalah orang yang lapar bisa menjadi kenyang.
Tan Malaka berpendapat bahwa jika rakyat Indonesia mau terbebas dari penjajahan dan bisa mandiri mengatur negaranya, haruslah melalui tiga tahap perkembangan kemajuan manusia, yaitu logika mistik, filsafat, dan ilmu pengetahuan (science). Masyarakat harus dibebaskan dari kebodohannya dan kepasrahannya pada sesuatu yang dianggapnya lebih kuasa dan menekan rakyat. Sebagai contoh Tan malaka menggambarkan bagaimana orang-orang jawa kebanyakan saat itu ketika tertimpa suatu musibah seperti banjir dan gunung meletus, bukannya mencari solusi dengan akalnya tentang bagaimana menyelesaikan masalah tersebut, tapi justru malah sebaliknya memohon berkah teradap “kekuatan” yang telah membuat mereka celaka. Lebih-lebih membuatkan sesajian dan persembahan (sesajen) sebagai wujud permohonan akan hidup yang lebih baik.
Realitas masyarakat dan kehidupan yang selalu mengkutub seperti utara dan selatan maupun proletar dan borjuis yang selalu terjadi hubungan tarik-menarik, bertentangan dan juga tekan-menekan dan pada tahap itu menurut Tan Malaka sudahlah sampai pada tahap pemikiran apa yang disebut dialektika. Awalnya pada manusia yang hidup di dunia supranatural yang tak gampang dicuci, dikikis, maka dalam dunia berfikir perlu kita sekedar memajukan logika7.
Seperti saat pergerakan, menurutnya tidak cukup seorang petani yang secara jumlah banyak, para saudagar memiliki harta dan dipergunakan hartanya untuk perjuangan kemerdekaan, tetapi tidak berkelas pekerja mesin, yang menurutnya pula hanya bisa berdiri untuk sementara selanjutnya terjatuh kembali. Kelas pekerja mesin inilah yang sudah berfilsafat bahkan sebagian orangnya sudah berpendidikan walaupun berasal dari kelas petani sekalipun. Olehnya orang-orang ini lah yang lebih dibutuhkan ketimbang orang-orang banyak saja dan berduit namun tidak terlepas dari mental budak dan pengaruh feodalisme sebagai induk yang mematenkan cara pandang mereka terhadap logika mistik, logika yang didasarkan pada hal-hal gaib.
Dan setalah itu, dalam rangka menyusun revolusi pascaterbebasnya dari logika mistik, perlu pemahaman tentang filsafat dan dilanjutkan penguasaan pengetahuan. Seperti dalam tulisan Tan Malaka di Madilog, bahwa perindustrian pesawat sebagai pertanda negara industri sangat berpengaruh dalam usaha negara-negara kolonial menjajah suatu daerah dalam rangka kekuatan militernya. Namun hal demikian tidak akan pernah terwujud bilamana ilmu pengetahuan tidak dimiliki oleh masyarakat suatu negara, dan penentuan apakah ilmu itu digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya adalah tergantung pemahamannya tentang filsafat dan makna dari suatu keberadaan benda (matter) dan ide (idea). Akhirnya dibagian ini Tan Malaka sepertinya ingin berpesan bahwa kepada rakyat dan umumnya kaum proletar dunia untuk membangun semangat kritis dan menentang (semangat dialektika) dan beralih dari hal yang bersifat ruh menuju hal yang bersifat kebendaan (materialisme) dengan menggunakan logika (hukum) dan akal yang dimiliki, semua itu dapat menjadi kenyataan dengan salah satunya melalui jalur pendidikan.

· Revolusi yang Sebenarnya
“Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir dari perintah seorang manusia yang luar biasa”, itulah sepenggal perkataan Tan Malaka dalam Massa Actie yang terbit pada tahun 1925. Kemudian dimaknai olehnya pula bahwa revolusi di negara yang kelas borjuisnya tidak kuat seperti Indonesia, maka keharusannya untuk menjalankan revolusi tersebut adalah secara terus-menerus seperti tesis yang dikemukakan oleh Trotsky.
Perjuangan terus-menerus ini nampaknya konsisten dengan perkataannya dulu yang terbukti saat pascaIndonesia merdeka. Kabinet Sjahrir I yang dianggapnya dan oleh Jendral Sudirman juga saat itu sebagai bentuk kemerdekaan Indonesia yang tidak 100 %, sebab telah melakukan politik perundiangan dengan Sekutu. Hal ini menurut Tan Malaka hanya akan menjadikan bangsa Indonesia tetap terjajah secara pengaruh dan ketergantungan karena tidak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menentukan nasib pascakemerdekaan. Sikapnya yang berusaha untuk mengkritik dan beroposisi inilah yang membuatnya dipenjarakan kala itu oleh negaranya sendiri. Bersama Jendral Sudirman dan beberapa pengikutnya Tan Malaka lebih memilih melakukan gerakan gerilya untuk melawan sekutu –yang mulai lagi ingin menjajah Indonesia kembali– ketimbang melakukan perundingan. Akibat sikapnya untuk memutuskan berjuang sendiri secara bergerilya dari hutan ke hutan, gunung ke gunung, membuat Kepala Staff Angkatan Darat Meyjen Abdul haris Nasution pada tahun 1957 mengatakan bahwa Tan Malaka perlu dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia8. Hal demikian mengingat pemikiran Tan Malaka salah satunya seperti pada buku GERPOLEK (gerilya, politik, ekonomi) telah menyuburkan ide perang rakyat semesta dan sukses ketika rakyat dua kali melawan agresi militer Belanda.
Selanjutnya tulisan Hasan Nasbi yang termuat dalam Buku Tan Malaka yang disusun oleh Tempo sebagai seri buku bapak bangsa menjelaskan bagaimana filosofis republik yang sesungguhnya. Dia mengatakan bahwa Tan Malaka membuat perumpamaan dengan burung gelatik. Seekor burung yang lemah dan rawan dari ancaman, hidup ketakutan dan penuh keterbatasan, ketika berada di dahan yang rendah ia akan siap-siap untuk diterkam oleh kucing, namun ketika berada di dahan yang tinggi pun itu tidak akan nayaman sebab elang juga sudah siap untuk memangsa. Sehingga menurut Tan Malaka Indonesia haruslah bisa terbebas dari teror tersebut dan mencari kekuatan untuk dapat bertahan dari segala ancaman.
Namun ketika burung gelatik itu ada dalam rombongan besar, dengan seketika menjelma menjadi kekuatan yang sangat dahsyat bahkan mampu menjarah tanaman padi yang sudah menguning dengan waktu singkat dan mengecewakan petani yang telah berbulan-bulan menanamnya. Pada makalah ini tidak dijelaskan lebih jauh tentang bentuk negara yang seharusnya seperti pemikiran Tan Malaka, sebab butuh banyak pemahaman dan penulisan lagi sehingga dikhawatirkan menyimpang dari tujuan penulisan semula.

· Berseberangannya Pemikiran Tan Malaka dan Dampaknya
Ketika Tan Malaka ada diperantauan dan jauh dari Indonesia, kepalanya tidak pernah berhenti beerfikir tentang kemerdekaan dan tangannya pun tidak henti untuk menulis dalam rangka menyiapkan bekal yang menurut istilahnya adalah nutrisi bagi rakyat indonesai dalam menyongsong kemerdekaannya yang dilakukan dengan cara revolusi. Semula kaum muda dan pergerakan di Indonesia menggunakan tulisan-tulisan Tan Malaka sebagai pegangan berjuang dan menyusun kekuatan, namun sesungguhnya mereka tak tahu pasti siapa Tan Malaka dan pada akhirnya terjadi pergesekan yang dikarenakan perbedaan cara pandang tentang kemerdekaan dan sikap negara terhadap penjajah.
Awal pertentangan ini bermula saat Tan Malaka dan beberapa orang lainnya merasa geram dengan para pemimpin (Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir) yang tak bereaksi atas masuknya sekutu ke Indonesia9. Sebetulnya kekecewaan terhadap para pemimpin bangsa saat itu sudah nampak saat Tan Malaka mengetahui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil iming-iming yang diberikan Jepang jika Indonesia mau membantu jepang pada perang Asia Timur Raya melawan sekutu. Menurut Tan Malaka diplomasi ataupun perundingan baru mungkin dilakukan pada saat sekutu benar-benar sudah meninggalkan Indonesia, begitu juga Jendral Sudirman, beliau intinya memiliki pandangan yang sama dengan Tan Malaka. Sejak saat itulah Tan Malaka memilih untuk beroposisi dengan pemerintahan negaranya sendiri.
Sekiranya ini saja penggambaran tentang bagamana pemikiran Tan Malaka yang dahulu sebelum Indonesia merdeka sangat diandalkan dan dijadikan pedoman, namun pascakemerdekaan justru pemikirannya yang tidak mau berkompromi dengan sekutu membuat Tan Malaka dimusuhi oleh pemerintah Indonesia. Sebenarnya ada hal lain lagi dalam sumbangan kehidupannya bagi sejarah dan pemikiran politik di Indonesia namun bukan menjadi fokus pada makalah ini, yaitu pada saat perselisihannya dengan PKI dan tokoh-tokohnya seperti Muso, Alimin, Darsono, dan Semaun, sebab Tan Malaka menolak dan menganngap pemberontakan PKI tahun 1926/1927 belum terencana dengan matang dan terkesan terburu-buru.

· Kesimpulan
Pemikiran Tan Malaka dan sumbangsihnya bagi proses revolusi menuju kemerdekaan Indonesia tidak dapat dipungkiri sangat berpengaruh besar. Diawali dari pemahaman dan penelititan sosialnya yang begitu kuat terhadap masyarakat Indonesia yang hidup sengsara dibawah bayang-bayang penjajahan walaupun Tan Malaka sendiri hampir setengah usianya dihabiskan di luar negeri sebagai buangan dan buronan yang dicari-cari penjajah. Dapat disimpulkan dari uraian panjang dalam makalah ini bahwa Tan Malaka melihat pendidikan adalah sesuatu yang penting untuk kita bisa terbebasa dari kebodohan dan kungkungan penjajah. Melalui tulisan-tulisannya ia mencoba untuk mengajarkan kepada rakyat Indonesia dari jarak jauh tentang bagaimana seharusnya berfikir, bergerak bersama, dan melakukan revolusi, serta melihat persoalan yag ada sehingga mampu terbebas dari pemikiran mistik yang selama ini menghambat perkembangan manusia yang maju.
Namun satu kritik terhadap pemikiran Tan Malaka itu adalah, bahwa nampak seperti utopis buah pemikirannya tersebut jika dialamatkan kepada rakya Indonesia kebanyakan yang masih rendah pendidikannya, tinggi angka buta hurufnya dan terlalu merasa ngejelimet dengan istilah-istilah dan konsep yang ada pada Madilog sebagai contohnya. Saat itu rakyat Indonesia lebih ampuh untuk diajari dan dinasihati mengenai hal-hal yang sifatnya “membumi” seperti yang sering disampaikan Soekarno dengan PNI-nya, sehingga terlihat jelas masalah tersebut pada saat pemilu 1955. Maka dari itu, nampaknya pemikiran Tan Malaka lebih cocok untuk dicerna oleh para pelajar dan intelektual muda Indonesia ketimbang rakyat jelata kebanyakan, dan nampaknya pula hal tersebut masih relevan dengan keadaan zaman saat ini.

Daftar Pustaka
Malaka, Tan. 2000. Aksi Massa. Jakarta: CEDI dan Aliansi Press
Malaka, Tan. 2002. MADILOG: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Penerbit NARASI
Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. 2010. Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo
Catatan:
1Beliau adalah ahli Ilmu Politik dan pernah menjadi ketua Departemen Ilmu Politik, FIS, UI pada tahun 1977
2Hal tersebut disampaikannya pada saat Seminar Umum berjudul “Tan Malaka” di ruang AJB FISIP UI pada tanggal 14 Oktober 2010, pukul 10.15 WIB
3Malaka, Tan. (2002). MADILOG: Materialisme, Dialektika, dan Logika. (p.17). Yogyakarta: Penerbit NARASI
4Ibid., Hal. 24
5Malaka, Tan. (2000). Aksi Massa. (p.64). Jakarta: CEDI dan Aliansi Press
6 Surbakti, Ramlan. (2007). Memahami ilmu politik (cet. ke-6) (p.30). Jakarta: Grasindo
7 Penjelasan Tan Malaka dalam Madilog perihal perkembangan masyarakat yang maju
8Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. (2010). Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. (p.40). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
9 Ibid., Hal. 43

Read Users' Comments (0)

Punya Helm ?

Lahirnya sebuah kebijakan baru adalah salah satu isu sentral di dalam menciptakan pemerintahan yang baik, tidak terkecuali bagi perekonomian nasional dalam kaitannya dengan perdagangan bebas. Dengan melihat berbagai fenomena di masyarakat sebagi respon dari lahirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada para pengendara motor untuk menggunakan helm berstandar nasional Indonesia (SNI) sebagai suatu kewajiban, tulisan ini berusaha memahami proses dari sebuah pemerintahan yang baik (good governance) tersebut. Berbagai alasan keselamatan hingga masalah ekonomi melatarbelakangi peraturan UU yang baru berlaku pada tanggal 1 April 2010, dan akhirnya dinyatakan sebagai sebuah kewajiban yang sulit diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Kecurigaan akan sebuah “proyek bisnis” antar instansi pemerintah juga dibahas untuk menjelaskan siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan adanya pemberlakuan peraturan tersebut. Pada akhir pembahasan terlihat bahwa masih ada kerancuan di dalam pelaksanaan peraturan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk perlengkapan pengaman pengendara sepeda motor maupun peraturan sejenis. Akan tetapi, keberaadaan peraturan ini sebenarnya adalah upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik pula, dari segi proteksi perekonomian terhadap persaingan di pasar bebas hingga masalah keselamatan pengendara sepeda motor. Namun begitu, upaya evaluasi dan kritik tetaplah menjadi bagian penting dan wajar dalam mewujudkan sebuah konsensus di dalam pemerintahan yang kita harapkan.

Kebijakan Paksa “Proyek” Helm Ber-SNI, Untuk Siapa ?
Akhir-akhir ini saya dibuat bingung kembali oleh pemerintah melalui istilahnya yang menyebutkan bahwa Bangsa yang besar adalah bangsa yang teratur, makmur, dan menghargai standar. Ditambah lagi oleh sebuah kebijakannya yang mewajibkan para pengendara motor untuk menggunakan helm yang sudah distandarisasikan secara nasional (SNI). Padahal, belum lama juga masih kita ingat tentang adanya pemberlakuan peraturan yang mengharuskan kendaraan bermotor dan angkutan umum di Ibu Kota untuk melakukan uji emisi. Melalui alasan yang sama populisnya dengan peraturan helm ber-SNI, menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat, namun pada akhirnya menjadi perdebatan dan hilang seperti angin lalu saja.
Ramlan Surbakti (2007)1, mengatakan bahwa pada awal abad pertengahan liberalisme lahir bukan dari golongan pedagang maupun pelaku industri, melainkan dari mereka yang memiliki inteliktual dan rasa ingin tahu dan haus akan pengetahuan baru. Hal tersebut demikian karena kekuasaan dicurugai sebagai cenderung disalahgunakan, maka dari itu perlu ada pengawasan dan pembatasan, hingga saat ini pun konsepsi tersebut masih relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di msyarakat kita. Kecurigaan ini kita bisa lihat dari momentum pemberlakuan hubungan dagang bebas ASEAN dan China (CAFTA) yang nampaknya dilihat berbeda oleh Kementrian Perindustrian dan Perdagangan. Tidak seperti kebanyakan pihak yang merasa pesimistis, justru mereka menyebutnya sebagai peluang meningkatkan mutu produksi barang-barang dalam negeri dan mulai membudayakan kebiasaan berstandarisasi melalui Permenperin No. 40/M-IND/Per/42009.
Sikap demikian wajar dilakukan jika melihat perkembangan respon masyarakat sebagai objek sekaligus pemonitor pemberlakuan peraturan tersebut dari mulai tanggal 1 April 2010 hingga saat ini. Diawali adanya istilah “wajib” yang ambigu bagi para pengendara motor untuk menggunakan helm yang berlabel SNI tanpa terkecuali itu produksi dalam dan luar negeri. Hingga pada indikasi adanya “proyek bisnis” antara Badan Standariasi Nasional Indonesia (BSNI), Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan dan Instansi Kepolisian. Jika dicermati sejenak, sebenarnaya pihak-pihak yang disebutkan tadi hanyalah membidani lahirnya berbagai bentuk kecurigaan masyarakat akan praktik liberalisme lain dari sebuah konsepsi besar, yaitu kerjasama perdagangan bebas (CAFTA).
Seyogianya pemerintahan yang baik dapat menghasilkan kebijakan publik yang baik pula dalam arti dapat diterima masyarakat sebagai suatu konsensus yang utuh, yaitu suatu putusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu2. Sehingga pada prinsipnya, yang memiliki kekuasaanlah yang dapat menghasilkan kebijakan tersebut. Di lain hal sering pula good governance dicirikan oleh tingkat partisipasi dalam dukungan terhadap kebijakan yang lahir. Seperti yang dikemukakan oleh David Easton, bahwa kita berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat maupun politik jika aktivitas kita ada hubungannya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan3. Pertanyaannya adalah apakah peraturan yang dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian, kepolisian maupun yang lainnya dalam hal mewajibkan pengendara motor menggunakan helm ber-SNI telah diterima oleh masyarakat sebagai suatu konsensus yang utuh lalu turut berpartisipasi di dalamnya ?.
Cerita singkat lahirnya peraturan ini bermula pada tanggal 7 Desember 2004 di Jakarta diadakan suatu kesepakatan oleh Panitia Teknis Kimia Hilir tentang perumusan helm SNI yang dihadiri oleh para anggota panitia teknis kimia hilir, konsumen, produsen, lembaga penguji, dan instansi pemerintah terkait. Kemudian pada tahun 2007, BSNI telah menetapkan standar nasional Indonesia (SNI) untuk standar minimal helm, yaitu SNI 1811-2007 yang sudah dinotifikasikan regulasinya ke WTO. Standar ini menetapkan spesifikasi teknis untuk helm pelindung yang digunakan oleh pengendara dan penumpang kendaraan bermotor roda dua, meliputi klasifikasi helm standar terbuka dan helm standar tertutup4. Karena Kementrian Perindustrian menilai belum siapnya berbagai pihak yang akan mendukung peraturan tersebut, maka pelaksanaannya diundur hingga 1 April 2010.
Kemeriahan menyambut kelahiran ini rupanya berdampak luas di masyarakat. Asosiasi Industri Helm Indonesia (AIHI) maupun ketua BSNI, Bambang Setiadi, menyatakan kapasitas produksi helm SNI di dalam negeri meningkat dan secara tidak langsung pula mengurangi jumlah helm impor dari luar negeri. Saya melihat bahwa fenomena tersebut hanyalah “kebahagiaan” untuk kalangan tertentu saja. Bagaimana dengan euforianya berbagai instansi yang sebelumnya di sebutkan begitu gencar menyerukan secara paksa di tengah sosialisasi yang minim dan situasi daya beli basyarakat kita yang masih kecil tentang pemberlakuan peraturan tersebut. Begitu juga seperti dikatakan oleh Bambang Setiadi di Jakarta, bahwa wajib helm SNI ini berlaku untuk semua produk helm, baik impor maupun lokal di seluruh Indonesia, sehingga semua produk helm tersebut wajib memiliki tanda emboss SNI, dan yang tidak memiliki tanda tersebut akan dimusnahkan. Lalu bagaimana dengan helm impor yang telah memiliki standar luar negeri seperti DOT yang jelas-jelas lebih tinggi tingkat kepercayaannya namun tidak memiliki tanda SNI ?.
Kembali kita bertanya, untuk siapa sebenarnya kebijakan ini ?, sebab telah begitu banyak keganjilan yang dirasakan dari sebuah kebijakan pemerintah yang berlaku mulai 1 April lalu. Cita-cita kita bersama akan terwujudnya sebuah pemerintahan yang baik nampaknya kembali menghadapi hambatan. Konsensus yang diharapkan lahir dari keinginan bersama telah berubah menjadi kepentingan sesaat pihak tertentu. Hal pertama yang dikritisi adalah tentang sosialisasi, pada awalnya tanggal 1 Pebruari lalu, BSNI telah melaunching SMS Blasting yang isinya “Ingat 1 April 2010, Pilih Helm Ber-SNI, Pilih SELAMAT”. Sms ini telah dikirim ke 7 ribu nomer pelanggan operator ponsel di tanah air guna memberikan “awarness” kepada para pihak terkait untuk segera bersiap menyongsong pemberlakuan SNI Helm pada 1 April 20105. Tapi apaka ini efektif ?, dalam banyak diskusi yang saya lakukan dengan teman-teman yang juga menggunakan motor saat ke kampus, tidak pernah ada yang tahu bagaimana peraturan ini sebenarnya. Kebanyakan mengatakan bahwa tilang yang dilakukan polisi terhadap pengendara adalah mereka yang kebetulan saja terjaring saat razia.
Kedua adalah kegiatan tukar helm gratis antara helm non-SNI yang dimiliki oleh masyarakat dengan helm ber-SNI yang disediakan oleh pemerintah di beberapa tempat, salah satunya di Parkir Timur Senayan beberapa saat lalu. Dari kegiatan tersebut dapat kita amati bahwa peratuan yang bersifat nasional, namun pelayanan sosialisasinya hanya bersifat lokal, lalu bagaimana dengan masyarakat di luar Pulau Jawa ?. Masyarakat kita kembali dipaksa dengan cara yang halus untuk ditimbulkan jiwa konsumtifnya. Di satu sisi mereka di paksa membeli helm baru yang ber-SNI dengan harga lebih mahal. Namun begitu, di lain sisi banyak mereka yang mempertanyakan apakah helm impor yang telah mereka miliki dengan harga beli yang lebih mahal dan kualitas lebih baik dari helm SNI harus ikut dimusnahkan dan ditukar dengan helm SNI ?. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan nampaknya sukar untuk menjawab pertanyaan ini jika masih saja tidak transparan dan terbuka dalam hal tersebut, kemudian bagi saya adalah wajar jika akhirnya banyak kecurigaan timbul akan adanya sebuah ‘proyek bisnis” antar instansi yang giat menyuarakan helm SNI karena adanya kesan dipaksakannya tadi.
Theodore Lowi mengatakan bahwa ciri khas kebijakan umum adalah produk yang sifatnya mengikati dan pemerintah berhak untuk memaksakannya secara fisik. Namun jika kembali dengan apa yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti di awal, rasanya tepat jika momentum perdagangan bebas (CAFTA) baru-baru ini sebagai upaya liberalisasi oleh kaum intelektual di pemerintahan dengan mengeluarkan kebijakan helm ber-SNI. Industri dikelola secara ketat, kegiatan dimonopoli oleh kaum aristokrat, begitu juga hari ini bagaimana salah satu sektor industri dalam ekonomi merupakan bentuk dominasi yang melembaga atas individu atau pihak tertentu. Semetara itu, banyak rakyat biasa sebagai konsumen dibiarkan dalam kebingungan yang dipaksakan dan tidak dilibatkan dalam konsensus agar “praktik” dapat tetap berjalan.
Tipe kebijakan umum yang bersifat regulatif ini ternyata secara tidak sadar telah merefleksikan dirinya sebagai alat kontrol bagi masyarakat terhadap penguasa yang kerap dilegalkan dalam membuat peraturan. Pendidikan politik masyarakat kita saat ini memang belum begitu baik, tapi keterbatasan dan kelangkaan ekonomi telah membuat masyarakat kita mau berfikir dan balik bergerak mengkritisi kebijakan guna mendukung lahirnya suatu pemerintahan yang baik. Kita tidak lagi mudah terbuai dengan ucapan populis para penguasa, justru kita mulai berani mempertanyakan hal yang dianggap ganjil saat hal-hal tertentu banyak memberikan dampak kerugian.
Budaya hidup berstandar dan mengutamakan keselamatan sejatinya adalah baik, namun upaya pemantauan (monitoring) dan evaluasi pelaksanaan kebijakan adalah proses terakhir dari pembuatan kebijakan itu sendiri yang sering tidak diperhatikan. Kita selalu berharap akan datangnya perbaikan bagi kehidupan di negara ini, yaitu lahirnya pemerintahan yang baik. Kalaupun upaya standarisasi memiliki maksud ke arah itu, harusnya masyarakatlah yang menjadi tujuan dari sebuah kebijakan, bukannya dicampuri oleh kepentingan pihak terentu. Jawaban atas judul diatas sebenarnya adalah suatu yang retoris, telah tertanam kuat di hati masyarakat bahwa sebagai bangsa yang demoratis rakyatlah yang harus diutamakan. Hari ini kita bicara dalam forum-forum kecil tentang hak kita yang dipermainkan. Harapannya adalah kelak dari diskusi yang dimulai di bawah pohon ini lahir sebuah budaya controling di dalam masyarakat yang mulai rajin berpendapat pascareformasi, tidak hanya gemar berserikat namun gemar pula menyuarakannya di depan hidung pemerintah secara langsung.
Catatan Kaki :
1. Surbakti, Ramlan. (2007). Memahami ilmu politik (cet. ke-6) (p.34). Jakarta: Grasindo.
2. Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-dasar ilmu politik. (p.20). Jakarta: Gramedia
3. ibid. hlm. 21
4. “Membangun budaya standar melalui pemberlakuan wajib SNI helm.”, (23 Februari 2010), http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=1653, diakses pada tanggal 19 April 2010, pukul 21:32
5.“Menyonsong pemberlakuan wajib helm ber-SNI.”, (23 Februari 2010) http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=1649, diakses pada tanggal 19 April 2010, pukul 21:38

Read Users' Comments (0)