Bisnis dan Politik di Indonesia: Hubungan Negara, Masyarakat dan Pengusaha
Pada masa pemerintahan orde
baru, Indonesia dikenal dengan sebagai sebuah negara yang tingkat pertumbuhan
ekonominya tinggi (secara konsisten berhasil mecapai kisaran 4,5% tiap tahun),
bahkan sampai tahap tertentu kita akrab dengan julukan-julukan di bidang
ekonomi yang mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu Macan Asia (New Industrial Countries). Pola hubungan
atau akomodasi kekuasaan dan ekonomi yang dibangun pada saat itu masih sangat
berorientasi pada negara dan modal. Artinya negera memiliki wewenang dan
kontrol yang kuat dalam menyusun regulasi dan menciptakan peluang atau iklim
usaha, ciri diantaranya adalah dengan melakukan pembatasan aktifitas politik
masyarakat dalam rangka meredam konflik yang dapat membuat stabilitas politik
terganggu. Dalam hal ini, bukan berarti masyarakat dan pengusaha (kelompok kapitalis)
benar-benar diabaikan peran dan posisinya, namun hubungan akomodasi yang
tercipta diantara ketiganya—negara, masyarakat, dan
modal/pengusaha—mencerminkan penguasaan negara yang masih cukup kuat.
Modal, bagi beberapa kalangan ilmuan politik
dilihat sebagi sebuh instrument belaka (lihat bagaimana teori instrumentalisme
Marxian). Masyarakat, justru berada di tingkat terendah dalam hubungan
tripartite tersebut. Begitu juga di penghujung rezim orde baru (1997-1998), logika
instrumentalis melihat IMF dan lembaga-lembaga donor bisa dipandang sebagai
perpanjangan tangan kekuasaan—baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang
berasal dari luar negeri—dalam ‘mengganti’ kekuasaan modal yang pada saat itu
mulai menurun akibat krisis.[1] Maka jelaslah bahwa
setidaknya dari kelahiran hingga akhir hayatnya, rezim orde baru tetap memiliki
peran yang dominan dalam agenda ekonomi politik di Indonesia. Bahkan sering
diistilahkan dengan sebutan negara
otoritarianisme korporatis.
Pascapenandatanganan letter of intent antara negara dan IMF
dalam rangka menyelamatkan perekonomian dari krisis, fenomena kekuatan dari
hubungan tripartite yang sebelumnya dijelaskan, perlahan mulai beralih dari
negara ke modal/pengusaha. Pemilik modal internasional—lembaga donor maupun
kelompok-kelompok negara donor—menjadi tempat bergantung beberapa negara untuk
berhutang, sedangkan pemerintahan negara-negara menjadi semacam shareholder saja.
Indonesia setelah reformasi dan ketika semangat desentralisasi mulai menjadi
agenda perubahan yang utama dijalankan, sebenarnya memiliki satu pesan mendalam
akan adanya kemandirian dari pemerintahan daerah agar lebih mamapu menjalanakn
fungsi pemreintahan dan ekonominya secara otonom. Namun semangat yang baru
sekitar 10 tahun dicanangkan sudah menghadapi permasalahan yang tidak bisa
dianggap sederhana, yaitu adanya gugatan dari beberapa pihak yang
mempertanyakan kenapa negara menjalankan desentralisasi di tengah stuktur ekonomi
negara yang sedang membangun?. Bukankah itu hanya merubah logika dari nepotisme
dan korupsi yang berada di pusat beralih ke daearah-daerah?. Bukankah lebih
baik jika pendistribuasian kekusaan dan kewenangan mengelola dilakukan di tengah
masyarakat dan situasi sosial-politik yang sudah stabil?.
Pola hubungan antara tiga aktor utama
ekonomi—tripartit—dalam negara orde baru, yaitu pengusaha/modal, pemerintah,
dan masyarakat belumlah terlalu berbeda di masa reformasi ini. Relasi seperti
ini seakan ikut pula terdesentraliasasi, maksudnya, desentalisasi yang ada lebih
diartikan bersifat negatif yaitu ketika perluasan wewenang pejabat daerah dalam
hal politik (dari pusat mulai di berikan kepada daerah) di saat yang sama juga mengalami
perluasan wewenang di bidang ekonomi dan pengelolaan sumber kekayaan daerah. Namun
yang sering terjadi dan mendapatkan perhatian belakangan ini adalah kewenangan ekonomi
justru dijalankan dalam rangka mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya oleh
sebagian kelompok baik elit-elit lokal maupun para pemodal itu sendiri (mereka
yang menyokong pendanaan calon kepala daerah pada saat kampanye). Sebagai
contoh, terkadang timbul adanya arogansi dari seorang Kepala Daerah dalam
mengelola sumber daya dan kekayaan alamnya. Meski di UUD 1945 jelas mengamanatkan
kepada negara utnuk menguasai dan mengelola kekayaan tersebut, namun pada kenyataannya
banyak di daerah-daerah pascareformasi justru memperlihatkan fenomena hegemoni
Kepala Daedah dan pengusaha dalam mengelola aset-aset daerah tersebut. Kontrak-kontrak
bisnis dan investasi dengan perusahaan swasta lokal maupun asing dilakukan
sendiri oleh daerah. Inilah gambaran singkat bagaimana sesungguhnya komunikasi
dan hubungan antara pusat dan daerah masih menyisahkan beberapa persoalan.
Selain maslah koordinasi antara pusat dan daerah
dalam mengelola dan melakukan kesepakatan maupun kontrak bisnis dengan
perusahaan-perusaahan pengembang, rupanya persoalan kontrak bisnis ini juga
mendapatkan pengaruh dari warisan rezim sebelumnya yang berkuasa. Warisan itu
adalah kontrak-kontrak bisnis jangka panjang yang dilakukan pada masa orde
baru—oleh mereka yang menjabat di instansi-instansi tertentu pada saat itu—namun
masa berlaku kontraknya belum habis meski rezim telah berganti. Inilah yang
terjadi pada PT Freeport, sebuah perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar
di Indonesia namun tidak berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat apalagi
mendorong perbaikan ekonomi nasional. Kita yang hidup hari ini harus bersabar
hingga puluhan tahun lagi untuk melakukan negosiasi ulang kontrak yang lebih
‘manusiawi’ bagi Indonesia. Inilah yang membuat seorang Indonesianis seperti Jeffry
Winters mengatakan bahwa fenomena modal berpindah dan oligarki dalam ekonomi
politik di Indonesia setidaknya terwariskan juga dari rezim orde baru ke rezim
reformasi yang sekarang kita kenal. Logika modal yang tidak mengenal rezim
rupanya tidak banyak dipahami oleh negara dan masyarakat, hingga pada titik
tertentu hubungan tripartit ini lebih dikuasai oleh modal dari pada oleh negara
(negara otonomi relatif).
Maka dengan mengamati fenomena negara orde baru yang
seperti itu, kita bisa berasumsi—sebagai alternatif pendapat lain—bahwa
sesungguhnya negara tidaklah benar-benar ‘kuat’, namun negara bisa dibilang
mendominasi masyarakat dan modallah yang menggerakkan jalannya pembangunan,
negara menjalankan peran yang terbatas.[2]
Negara tidak benar-benar ‘kuat’ dalam segala aspek, khsususnya ketika
berhadapan dengan modal investasi dalam rangka menjalankan pembangunan.
Pembangunan yang rupanya didanai oleh sebagian besar hutang luar negeri talah
membuat Indonesia bergantung dan mudah didikte oleh negara atau lembaga-lembaga
donor tersebut. Di Dalam negeri pun begitu, pengusaha keturunan memiliki tempat
iatimewa dalam bisnis-bisnis negara selain bisnis yang dijalankan secara
nepotisme oleh keluarga Cendana sendiri.
Pertarungan
politik dan bisnis antara negara, pengusaha, dan masyarakat juga terjadi dalam
merumuskan suatu kebijakan, khusunya yang menyangkut perekonomian dan bisnis.
Diantara analisis hubungan tersebut bisa kita amati pada masa-masa awal
kepemimpinan seorang kepala daerah yang dana kampanyenya disokong oleh kelompok
atau pengusaha perseorangan. Namun begitu, menurut Anderson
(1983), negara adalah aktor yang sesungguhnya begitu superior. Sebab dalam
argumennya, ia menilai bahwa orde baru sebagai state adalah sebuah
entitas terpisah dari masyarakat, dimana kebijakan-kebijakan Negara Orde Baru
adalah refleksi dari kepentingan state itu sendiri.[3] Analisis lain yang
bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan ini adalah pola
hubungan patron-clientship akan terbentuk antara birokrat yang kebetulan
memegang kekuasaan dengan kelompok kepentingan (termasuk kapitalis kroni) yang
berusaha mencari rente.
Faktor
primordialisme dan nepotisme keluarga Cendana menjadi salah satu yang nampak.
Anak-anak dari Soeharto menguasai banyak sektor bisnis dalam negeri dan menjadi
sangat berkuasa. Pengusaha-pengusaha berlomba-lomba untuk mendekat ke Istana,
dan hubungan patron-client menjadi
sesuatu yang lumrah dalam rangka mendapatkan sumber daya ekonomi. Fenomena
inilah yang belakangan dinamai sebagai sebuah rezim otoritarianisme korporatis
atau negara korporatisme. Di satu sisi negara melalui jejaring dan kotrolnya
yang kuat berhasil menarik perwakilan kelompok-kelompok bisnis di masyarakat,
namun di sisi yang lain pengusaha-penguasaha yang ada memang berusaha juga
untuk mendekat kepada negara. Dengan memahami pola hubungan antara tiga aktor
ini—negara, pengusaha, dan masyarakat—dalam bisnis dan politik di Indonesia, disertai
beragam pola hubungan dan implikasi yang diciptakan, mudah-mudahan dapat
memberikan gambaran kepada kita tentang relasi bisnis dalam aktifitas politik
di negara yang sedang dalam menuju pematangan demokrasi.
[1] Menurut Robison (1990), di masa-masa awal pembangunan
ekonomi Orde Baru, kebijakan ekonomi sering dipandang sebagai representasi
teknokrat yang mengusung paradigma ekonomi yang liberal, pro-pasar dan
internasionalisme, serta didukung oleh lembaga-lembaga internasional seperti
IMF dan Bank Dunia
[2] Prancis Fukuyama
menyebutnya sebagai strong state meski orang mengkonotasikannya sebagai negara
otoritarian. Padahal yang dimaksud bukan itu. Dalam bukunya State Building,
dia bilang bahwa negara itu harus kuat tapi skopnya terbatas. Cakupan yang diurusnya
sedikit. Karena fungsi negara sendiri hanyalah sebagai regulator.
[3] Ari A. Perdana, Peranan
“Kepentingan” dalam Mekanisme Pasar dan Penentuan Kebijakan Ekonomi di
Indonesia, 2001, CSIS Working Paper
Sries