Internship 2012









































Read Users' Comments (0)

Presidensialisme Setengah Hati :D


Perspektif dalam membahas partai politik, sistem pemilu, maupun sistem partai politik itu sendiri sangatlah beragam. Pengalaman pemerintahan orde baru di Indonesia telah menunjukan bagaimana ideologisasi dan politisasi partai politik yang telah dilakukan sebelumnya pada masa pemilu 1955 perlahan direduksi dan mengalami perubahan besar-besaran atas nama kepentingan pembangunan ekonomi. Partai politik yang jumlahnya puluhan disederhanakan menjadi hanya dua kontestan parpol dan satu golongan karya (Golkar). Apa yang terjadi pascaruntuhnya rezim orde baru—masa reformasi demokrasi 1998—rupanya menghadirkan semangat perubahan tatanan demokrasi, salah satunya adalah dengan melaksanakan amandemen terhadap UUD 1945 sampai empat kali—diantara butirnya adalah pelaksanaan desentralisasi dan membahas pula tentang sistem politik dan sistem kepartian—serta berupaya menghadirkan kembali ‘nuansa’ politik kepartian seperti pada saat pemilu tahun 1955 disamping agenda penguatan kembali karakter dan prinsip sistem pemerintahan Presidensialisme.
Salah satu praktik pengalaman buruk dalam berdemokrasi di masa orde baru adalah ketika Presiden saat itu menjadikan parlemen sebagai hanya alat untuk memberikan stempel dan menguatkan dirinya semata dalam pemerintahan, padahal hubungan yang seharusnya terjadi tidaklah demikian. Dengan semangat presidensialisme yang termaktub dalam UUD 1945, mestinya terjadi hubungan saling kontrol yang baik dantara tiga lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), namun nyatanya justru eksekutif mengkooptasi dua lembaga lainnya, legslatif dan yudikatif. Begitu juga pada lembaga-lembaga negara selain tiga yang disebutkan terakhir tersebut. Lembaga tersebut kebanyakan hanyalah bentuk derivasi dari sosok tunggal Presiden yang sebenarnya lebih tepat disebut dengan otoritarianisme. Nuansa politis dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintah sangatlah kental meski rakyat dibatasi geraknya dalam bidang politik. Meskipun begitu, dengan sistem presidensialisme yang dianut pada saat itu, masih dimungkinkan bagi seorang Presiden mengalami pemakzulan (impeachment) seperti Soeharto di akhir masa kejayaan orde barunya. Pada saat itu DPR sebagai pemberi wewenang kekuasan kepada Presiden menyatakan secara politis bahwa Presiden Soeharto harus mengakhiri masa jabatannya lebih cepat dari waktu yang ditentukan.
Setelah reformasi, semangat memperbaiki sistem politik yang dirasa telah penuh penyimpangan pada masa rezim sebelumnya menjadi salah satu agenda yang dikedepankan dalam amandemen UUD 1945. Namun di awal tahun 2000an sempat timbul permasalahan baru, yaitu fenomena legislative heavy yang mengusung semangat ‘pangkas habis kekuasaan terpusat’ sebagai bagian dari uapaya menyederhanakan kekuasaan eksekutif. Setelah amandemen yang ke-tiga, dan dilaksanakannya pemilihan umum tahun 2004, barulah perlahan wacana dan penerapan mengembalikan karakter dan prinsip presidensialisme benar-benar nyata. Dalam rangka persoalan inilah, Scott Mainwaring serta Hanta Yuda mencoba untuk menjelaskan tentang sistem pemerintahan presidensialisme dan hubungannya dengan sistem multipartai, khususnya dalam studi demokrasi di Indonesia pada masa peemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemilu 2004 sebagai pemilu pertama yang menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung sebenarnya juga merupakan bagian dari upaya penataan ulang karakter dan prinsip dasar sistem presidensil  di Indonesia. Wacana institusionalisasi atau pelembagaan politik yang meliputi proses amandemen UUD 1945 dan  purifikasi sitem presidensialisme—termasuk di dalamnya terkait konsep single chief executive atau kepala negara sekaligus kepala pemerintahan—rupanya perlahan telah memperbaiki sistem pemerintahan agar menjadi lebih terlihat mekanisme saling kontrolnya. Purifikasi sistem ini mengamantkan Presiden tidak lagi menjadi penguasa tunggal teratas, namun berusaha menempatkan adanya ‘lembaga’ lain yang lebih tinggi dari seorang Presiden seperti konstitusi secara hukum dan rakyat secara politik. Proses purifikasi ini tidak berjalan tanpa masalah, salah satu persoalan yang bisa dianalisi adalah posisi wakil presiden. Meski dipilih secara paket pada saat pemilu bersama Presiden, namun kekuasaannya lebih kecil dari Presiden. Diantara fungsi wakil presiden yang dianggap sub-ordinat dari Presiden adalah fungsinya sebagai ‘ban serep’, mewakili Presiden dalam menjalankan tugas-tugas  kenegaraan, dan membantu tugas-tugas Presiden lainnya.  Sampai disini dapat disimpulkan bahwa ternyata masih terdapat persoalan di dalam proses purifikasi sistem presidensial di Indonesia pascareformasi, yaitu lembaga kepresidenan—insitusi politik atau organisasi jabatan kenegaraan yang dalam sistem presidensial terdiri dari dua jabatan politik yaitu Presiden dan wakil presiden—yang masih ‘menunggalkan’ kekuasaan kepada sosok Presiden semata.
Persoalan kedua setelah lembaga kepresidenan seperti dijelaskan di atas  adalah kombinasi buruk sistem presidensial dengan sistem multipartai dalam sebuah negara. Sebelum menelaah lebih jauh, perlu kita cermati terlebih dahulu ciri dari sistem presidensialisme itu sendiri. Menurut Ball dan Petters, ciri-ciri tersebut diantaranya (1) posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, (2) Presiden tidak dipilih parlemen, (3) Presiden bukan bagian dari lembaga parlemen, Presiden tidak dapat diberhentikan lembaga parlemen kecuali melalui mekanisme pemakzulan, (4) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Sedangkan menurut Scott Mainwaring, terdapat dua ciri yang paling uatama, yaitu pertama, pemilihan kepala pemerintahan (Presiden) diselnggarakan secara terpisah dengan pemilihan anggota parlemen. Karena itu, hasil pemilu legislatif tidak menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua, kepala pemerintahan dipilih untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (fixed term). Maka jika di saat yang bersamaan suatu negara juga menerapkan sistem multipartai, terdapat implikasi-impliaksi lanjutan—diantaranya menciptakan suatu hubungan struktur internal dan ekternal sistem presidensial—yang menurut Mainwaring sebagai kombinasi yang sulit dan berkecenderungan melemahkan sistem pemerintahan dan kepartaian itu sendiri.
Pascapemilu 2004 di Indonesia, proses pelembagaan politik dan purifikasi sistem presidensial lebih kentara. Diantaranya adalah tercipta sebuah mekanisme checks and balances dari hasil kekuasaan yang terpisah-pisah dan saling mandiri (separation of power) tidak seperti periode sebelumnya yang menjadikan kekuasaan kehakiman berada di bawah pengaruh Presiden. Selain itu,  mekanisme impeachment juga tidak lagi didasarkan oleh alasan politis. Sebab dalam peraturan yang terbaru, Presidena hanya bisa dijatuhkan melalui mekanisme hukum pidana.  Kategori tindak pidana menurut konstitusi setelah amandemen UUD 1945 pasal 7A diantaranya adalah pengkhianatan terhadap negara (treason), korupsi atau penyuapan (bribery and hight crimes) dan beberapa bentuk perbuatan tercela (misdemeanours). Inilah konsekuensi dari masa jabatan Presiden yang telah ditentukan. Artinya seorang Presiden tidak bisa dihentikan dalam masa jabatannya yang sedang berjalan, sehingga sangat sulit bagi mekanisme impeachment untuk dilaksanakan.
Jika kembali membicarakan persoalan sistem presidensil yang dikombinasikan dengan sistem multipartai, selain karena kombinasinya yang dianggap sulit dan tidak cocok, juga dikarenakan masing-masing—baik sistem presidensil maupun sistem multipartai—pada dasarnya memiliki kekurangan dan kelemahan. Kelemahan sistem multipartai misalnya, sistem ini sangat rapuh dalam pelembagaan partai politik seperti terlihat dengan mudahnya para kader yang berpindah dari satu partai ke partai lain. Mudahnya seseorang atau sekelompok orang untuk membuat partai baru juga disinyalir menjadi kelemahan institusionalisasi partai dalam sistem multipartai. Sedangkan di parlemen, jumlah partai yang banyak dan beragam itu sekaligus turut membuat parlemen menjadi terfragmentasi berdasarkan ideologi atau kepentingan tertentu. Implikasinya jika sistem kepartaian dan sistem pemerintahan ini digabungkan, maka diantaranya akan menyebabkan deadlock dalam pembuatan keputusan di parlemen, anomali oposisi dalam pemerintahan yang berasal dari partai atau kelompok yang kalah dalam pemilihan Presiden, dan bayang-bayang koalisi yang terkartel akibat kekuasaan Presiden yang minoritas (tidak didukung oleh partai mayoritas dalam parlemen)
Dalam kasus di Indonesia, Hanta Yuda menilai bahwa sistem multipartai dan presidensialisme adalah suatu keniscayaan akibat budaya politik, sosio-ekonomi masyarakat, dan karakter bangsa. Presidensialisme dinilai cocok dengan budaya politik di Indonesai sebab mayoritas masyarakat Indonesai menganut sistem patrilineal dan patrimonial dalam budayanya dalam rangka menciptakan suatu stabilitas politik yang matang dan terkendali di tangan seorang penguasa yang kuat. Sedangkan sistem multipartisme selain didasarkan pada faktor sejarah (sejak pemilu 1955), juga karena masyarakat Indonesia yang majemuk (heterogen) dan jumlahnya yang banyak . Ingat kembali tentang konsep budaya politik aliran menurut Clifford Geertz—abangan, priyayi, dan santri—yang sedikit banyak telah memberikan penjelasan bagi kita tentang hubungan masyarakat yang multikultur dengan sistem kepartaian yang multipartai. Memang pada dasarnya sistem kepartaian seperti ini menimbulkan banyak permasalahan . Diantaranya, multipartisme sulit menghasilkan partai politik pemenang—atau setidaknya jumlah mayoritas—mutlak dalam pemilu. Akibatnya parlemen yang diharapkan dapat memberikan dukungan kuat pada jalannya pemerintahan presiden dan eksekutif lainnya, justru menjadi lemah dan Presiden selalu dibayang-bayangi oleh impeachment yang wacanyanya biasanya datang dari partai-partai oposisi—jarak ideologi yang terlampau besar sehingga kepentingan yang muncul juga sangat ekstrim seperti impeachment.
Kelemahan perpaduan dua sistem ini—presidensialisme dan multipartisme—secara tidak langsung telah ‘memaksa’ lahirnya figuritas tokoh politik untuk menyelamatkan jumlah perolehan partai politik yang kecil akibat partai politik peserta pemilu yang banyak jumlahnya. Ingat ketika Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari partai minoritas justru dapat memenangkan pemilihan Presiden langsung dengan wakil presiden saat itu adalah Jusuf Kala yang notabene adalah ketua umum partai pemenang suara mayoritas pemilu (Golkar). Lebih jauh, fenomena Presiden minoritas seperti dijelaskan pada kasus pemilu 2004 dan pemerintahan terbelah akibat koalisi yang pragmatis, menyebabkan demokrasi menjadi labil. Pendapat ini diperkuat oleh tesis yang dibuat oleh Scott Mainwaring yang menyatakan bahwa ketika dua sistem ini dipadukan dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, umumnya kebijakan yang dibuat akan mengalami deadlock.  Akibatnya, dengan ‘kecacatan’ yang terjadi seperti itu, maka secara dilematis dan terpaksa akan lahir kompromi-kompromi dari partai politik dalam rangka memenuhi kepentingannya masing-masing di tengah surutnya mekanisme memperoleh sumber daya kekuasaan dan ekonomi. Sebagai implikasi dilema tersebut—presidensialisme kompromis—, maka secara tidak langsung perlahan demi perlahan kekuasaan dan hak prerogratif Presiden dari sisi eksekutif, legislative, yudikatif, serta  diplomasi mulai memudar dalam rangka memberkan akomodasi politik bagi partai lain maupun opsisi yang sebenarnya juga berwatak perburuan rente dengan cara ‘memeras’ pemerintah yang berkuasa. Presiden akhirnya terpaksa melakukan ‘penyelewengan’ hak prerogratif dalam mengangkat secara  langsung menteri-menteri akibat tuntutan akomodasi politik tersebut. Misalnya ketika Presiden harus memberikan sekian kursi kabinet kepada orang-orang partai pendukung koalisinya dengan pertimbangan yang juga politis, bukan profesionalisme atau alasan-alasan yang rasional-kebutuhan, tapi justru rasional-kepentingan.

Read Users' Comments (0)

Politik Kartel di Indonesia: Suatu Tinjauan Pendahuluan


Menurut Katz dan Mair,  sejarah partai politik yang mula-mula dari bentuk partai kader atau partai elit di abad ke-19 lalu berubah bentuk menjadi bentuk partai massa setelah diperkenalkannya istilah hak pilih publik, bukanlah suatu proses akhir dan sama sekali tidak menjelaskan terjadinya bentuk-bentuk partai yang lain. Sebab dalam perkembangan selanjutnya, ada pula yang disebut dengan istilah partai lintas kelompok, partai electoral-professional, hingga yang paling kontemporer adalah patai kartel—suatu bentuk kooperasi yang lebih khusus ketika partai lebih mengurusi kepentingan sendiri, dan politik menjadi profesi dalam dirinya—dengan ciri terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen mereka, dan terpinggirkanya para oposan di tubuh partai. Fenomena yang terakhir ini selain menandakan proses evolusi partai dan sistem kepartaian yang pernah ada, sekaligus juga memberikan bantahan terhadap proses terbentuknya partai politik yang didasarkan hanya pada pembelahan sosial atau cleavage. Pada hari ini—khususnya di Indonesia—persaingan antar partai akibat akomodasi pembelahan sosial secara historis (cleavage social, lihat Lipset dan Rokkan) tidak lagi begitu kentara, misalnya pascatransisi. Sebagai contoh dahulu kepentingan politik masyarakat (salah satu yang menjadi tujuan partai politik) tercermin dari adanya pemisahan antara masyarakat Jawa dan non-Jawa di pulau-pulau lainnya pada masa parlementer maupun orde baru. Namun dengan proses evolusi sistem pemilu dan kepertaian yang ada saat ini, justru mendorong arena politik pada pemilu, parlemen, maupun pemerintahan untuk lebih memungkinkan adanya koalisi partai yang mulai memudarkan tautan-tautan elektoral seperti ideologi dan kepentingan masyarakat.
Sekilas apa yang dijelaskan sebelumnya menunjukan bahwa di era reformasi ini telah terjadi anomali partai politik. Anomali ini setidaknya bermula dari pembahasan soal ideologi hingga platform kebijakan yang menjadi “barang” perjuangan sebuah partai politik. Partai semakin lebar jaraknya dengan ideologi dan konstituennya. Bahkan jika melihat berita akhir-akhir ini di media elektronik, menunjukan bahwa hasil survey yang dlakukan oleh beberapa lembaga survey semakin menegaskan lebih banyak jumlahnya konstituen yang rasional (mudah beralih pilihan pada suatu partai) daripada konstituen ideologis (memiliki kesetiaan dengan suatu partai karena kesamaan tujuan dan ideologi). Selain itu, kekusaan dan akses terhadap sumber daya—seperti uang dan kekuasaan—di dalam pemerintahan telah menciptakan watak baru dari para politisi dan partai dalam perburuan rente yang lebih terkordinir, semisal dengan korupsi birokrasi secara bersama. Maka dari itu, perlu bagi kita memahami peristiwa ini (politik kartel) dan perbedaannya dari model demokrasi konsensus maupun bentuk-bentuk koalisi seperti koalisi besar, dan koalisi kemenangan minimal.
Kuskrido Ambardi di dalam bukunya Mengungkap Politik Kartel menjelaskan bahwa setidaknya ada lima ciri politik kartel—dan keseluruhannya bukanlah model konsensus—, yaitu (1) hilangnya peran ideologi partai sebagi faktor penentu perilaku koalisi partai, (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi, (3) tiadanya oposisi, (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik, (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagi suatu kelompok. Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif. Ciri lainnya yang bisa diidentifikasi, selain lima ciri di atas, adalah persaingan antar partai yang hilang dari arena ke arena.  Berbeda dari asumsi semula (lihat Sartori) tentang bagaimana prilaku dan gejala turunan partai dianggap konsisten dari waktu ke waktu di tiga arena politik (pemilu, legislatif, dan eksekutif). Sebab bagi sebuah sistem pemilu yang kompetitif, persaingan atau kompetisi itu tidak berhenti hanya sampai proses pemilu berakhir, namun juga terjadi di arena-arena politik selanjutya, yaitu parlemen dan pemerintahan.
Fenomena pragmatisme (kolusi dan absennya oposisi) telah mewarnai konstelasi partai politik di Indonesia dewasa ini. Semakin kaburnya partai-partai yang bisa dikategorikan sebagai partai kader dan partai massa telah menjadi salah satu indikasi fenomena tersebut. Partai politik terlihat jelas berupaya untuk menumpuk segala macam ceruk yang ada dan dari barbagai macam ideologi dengan menyuarakan jargon-jargon seperti partai religious-demokrat, partai religious-nasionalis, bahkan mungkin ada yang menamakan dirinya partai nasionalis-demokrat-religius. Namun menurut beberapa peneliti politik lain, partai politik dewasa ini juga dihadapkan pada suatu dilema pilihan koalisi yang semata-mata tidak selamaya disandarkan pada pragmatisme (lihat Muller dan Storm). Misalnya partai suatu ketika akan menghadapi pilihan sulit ketika harus menetukan pilihan apakah koalisinya berdasarkan tujuan atau ideologi.  Seringkali partai politik terjebak untuk melepaskan ideologinya hanya untuk bergabung dengan koalisi yang ada, padahal partai tersebut sebelumnya sangat kuat dalam ideologi.
Masyarakat Indonesia yang multikultur dan sistem kepartaian yang multipartai juga mendorong fenomena kartel politik. Demi menjaga kelangsungan hidupnya, suatu partai rela berkoalisi dan merubah ideologi yang sebenarnya sangat bertentangan dengan cita-cita partai. Konsekuensi sistem pemerintahan presidesil yang membutuhkan dukungan partai yang kuat pada seorang pemimpin negara, sering kali mengabaikan kelompok-kelompok minoritas yang ada dan “memaksa” kelompok minoritas tersebut melakukan pilihan pada partai-partai politik yang berbeda kepentingan dengan dirinya. Di satu sisi negara kita membutuhkan sosok pemimpin dengan dukungan yang kuat, namun di saat yang sama kepentingan dan keragaman kelompok yang ada begitu kompleks.
Banyak sisi dan sudut pandang yang dapat digunakan untuk meganilisis gejala politik kartel di Indonesia pada era reformasi. Konsep jebakan “pertanggungjawaban” dari Dan Slater bisa menjadi salah satunya. Slater menjelaskan bahwa tidak adanya checks and balances yang horizontal antara parlemen dan pemerintah pascapemilu 1999 telah melemahkan sistem pertanggungjawaban pemerintah terhadap lembaga perwakilan seperti kontrol oleh parlemen maupun rakyat. Ketiadaan oposan di dalam sistem pemerintahan telah membuat kewenangan pemimpin negara yang besar di sebuah negara presidensil menjadi lebih tidak terkontrol bahkan dikhawatirkan akan terjadi pembalikan seperti masa otoriterianisme sebelumnya. Pascaamandemen UUD 1945 dan diselenggarakannya pemilu pada tahun  2004 dan 2009 setidaknya memberikan sedikit harapan bagi tercitanya suatu mekasnisme pertanggungjawaban yang lebih baik.  Sebab dengan ketentuan pemilihan presiden secara langsung diharapkan akan tercipta kontrol maupun peertanggungjawaban pemerintah yang lebih jelas secara vertikal, misalnya pertanggugnjawaban langsung presiden terhadap rakyatnya. Namun belakangan mulai ada kekhawatiran juga dari mekanisme pemilihan presiden secara langsung yang sempat menghadirkan harapan ini, yaitu tantangan pilpres langsung dengan adanya sistem partai yang terkartel. Sebab Indonesia yang menganut sistem perwakilan politik tidak langsung—melalui parlemen—ini tidak kuasa melakukan ‘gugatan’ terhadap pemerintah yang melakukan penyimpangan kecuali setidaknya melalui perantara partai yang jelas-jelas sudah masuk ke dalam sistem politik kartel maupun parlemen yang isinya adalah orag-orang partai juga.
Kita benar-benar sedang mendambakan model sistem kepartaian seperti yang dikemukakan oleh Sartori, yaitu sistem kepartaian yang menekankan adanya interaksi persaingan antar partai yang bebas (satu partai, dua partai, multipartai moderat, dan multipartai ekstrim). Bukan karena ingin adanya perselisihan yang terus menerus antar partai, tapi agar adanya sebuah pemerintahan dan mekanisme pemilihan umum yang terkontrol, memuliakan tujuan kolektif masyarakat, dan bukan kepentingan partai politik bersama saja—yang terlepas dari tautan dengan konstituennya—apalagi kepentingan pribadi. Lalu salah satu pertanyaannya, ada di mana ideologi saat ini?. Saat ini jelas-jelas telah terjadi tantangan bagi sistem koalisi yang berbasis pada ideologi (de Swaan: 1973) saat berhadapan dengan pola koalisi kemenangan minimal (Rikker: 1962) dalam rangka mewujudkan adanya tautan elektoral di dalam suatu pemilihan umum. Bukan berarti penulis secara pribadi mendewakan ideologi, namun jika ideologi saja sudah tidak ada, lalu berdasarkan pada apa nilai-nilai perjuangan partai saat ini.
Pendapat penulis diantaranya adalah bukan berarti tidak ada ideologi sama sekali pada saat partai politik memutuskan untuk berkoalisi. Lihat bagaimana PDIP, Hanura, dan Gerindra berkoalisi setidaknya dengan dasar kesamaan cara pandang sebagai sebuah kelompok partai oposisi, padahal Gerindra dan Hanura adalah dua partai dengan suara terkecil yang berhasil duduk di parlemen namun lebih memilih untuk bergabung menjadi oposisi. Selanjutnya adalah apakah watak sistem kepartaian yang kompetitif benar-benar mampu menciptakan konsolidasi demokrasi di Indonesia—seperti pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya negara secara beramai-ramai serta keberhasilannya membentuk lembaga-lemabaga politik seperti di Eropa—di saat negara kita yang menganut sistem presidensil lebih ‘menginginkan’ adanya suatu pemerintahan yang stabil dan dukungan besar terhadap kepala negara dan kepala pemerintahan?.

Read Users' Comments (0)

Perdebatan Dasar Negara: Kelompok Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam


Pergulatan politik antara agama dan negara, dasar negara dan agama, maupun antara agama dan dasar negara yang terjadi di Indonesia telah berlangsung sejak lama dari mulai negara ini dipersiapkan dalam suatu badan yang disebut dengan BPUPKI hingga pascareformasi ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali. Polemik ini berlangsung lama sebab diantaranya diakibatkan oleh pertentangan yang tajam dan tiada henti antara golongan Islam dan nasionalis yang ada baik di DPR-MPR, maupun partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia. Isu antara agama, khususnya Islam dengan negara itu sendiri merupakan isu yang sensitif. Mengingat meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun konsentrasi penduduk di belahan timur justru berkebalikan. Satu hal yan biasanya dikhawatirkan ketika terjadi dominasi mayoritas dalam pembentukan dasar negara adalah terjadinya disintegrasi daerah sebagi bentuk penolakannya terhadap dasar negara yang diambil dari ajaran agama tertentu saja.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dari sisi penduduk (suku, agama, bahasa, hingga kebudayaan lain yang lebih kompleks). Keragaman ini tercermin jelas dalam sejarah BPUPKI yang ditugaskan oleh Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas menyusun konstitusi negara dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang baru berdiri. Perwakilan anggotanya pun beragam dari mulai orang-orang Indonesia bagian barat, hingga orang-orang dari Indonesia bagian timur. Namun begitu, setidaknya di dalam BPUPKI, kelompok-kelompok yang beragam itu mengkristal menjadi hanya dua kelompok besar saja, yaitu kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis religious/kelompok Islam. Maka kemudian jelas apa saja yang menjadi cita-cita dan tujuan masing-masing kelompok. Kelompok Nasionalis sekuler menghendaki agar Indonesia yang akan dibangun kelak berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus pada ideologi keagamaan. Sedangkan kelompok lain—nasionalis Islam—menginginkan agar negara Indonesia berdasarkan Islam.
Seperti kita ketahui, elit modern Indonesia sebelum kemerdekaan pemikirannya dipengaruhi oleh tiga ideologi besar yang hidup pada waktu itu, yaitu Islam nasionalisme atau kebangsaan dan ideologi barat modern-sekuler (seperti liberalisme, kapitalisme, dan komunisme). Tapi apa yang terjadi di Indonesia pada awal-awal menjelang kemerdekannya setidaknya hanya menunjukan dua kutub pemikiran saja, Islam dan nasionalis sekuler. Diawali sejak tahun 1930an ketika PNI dengan tokoh terkenalnya—Soekarno—mewakili kelompok nasionalis sekuler, dan kalangan Islam dengan tokohnya HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ahmad Hasan dan M. Natsir. Ketika itu salah satu debat yang cukup fenomenal adalah antara Soekarno denagn Natsir terkait bentuk dan dasar negara. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan negara merupakan persoalan dunia dan kemasyarakatan. Menurutnya lagi, negara dalam hal ini tidak memiliki wewenang mengatur apalagi memaksakan ajaran agama kepada para warga negaranya. Sementara itu Natsir berpendapat lain. menurutnya, ajaran Islam bukan semata-mata mengatur hubungan manusia dengan tuhannya saja, namun juga antara manusia dengan sesamanya. Islam merupakan sebuah ideologi, sehingga seorang muslin tidak mungkin melepasakan keterlibatannya dalam politik tanpa memberi perhatian pada Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari, pertentangan dua paham ini juga semakin kontras ketika kita melihat praktik penerapan sistem pendidikan di Indonesia kala itu. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu sangatlah terkonsentrasi pada ilmu pnegetahuan dan keterampilan duniawi. Sedangkan sistem pendidikan lokal masyarakat Indonesia yang sudah ada (pesantren-pesantren) berlandaskan pada ajaran agama Islam yang menekankan pada kemampuan anak didik menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama. Sehingga tidak heran jika ketika dalam rumusan rencana dan persiapan kemerdekaan Indonesia sekalipun, urusan debat dua paham ini juga mengemuka seperti yang sudah dijelaskan di awal. Sejenak, ketika kita mengetahui komposisi penduduk Indonesai saat itu—mayoritas beragama Islam—mungkin akan terfikir jika proses perumusan dasar negara dan UUD negara akan berjalan lancar dengan dominasi kelompok Islam, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dari tiga orang konseptor dasar negara yang sempat mengemukakan pendapatnya, yaitu Muh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno, ketiganya adalah perwakilan dari kelompok nasionalis sekuler meski juga tetap memasukan aspek ketuhanan dalam konsepsinya.
Ketika proses pembahasan persiapan kelengkapan kemerdekaan telah sampai pada tahap dibentuknya Panitia Sembilan (1 Juni 1945) yang dipimpin oleh Soekarno, sebenarnya debat mengenai apa dasar negara yang cocok bagi Indonesia telah mulai mereda dan menemui beberapa kesepakatan. Misalnya saja pada alinea ke-empat pembukaan (preambule) UUD 1945 yang secara eksplisit mengatakan ketentuan ‘dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Kesepakatan ini merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi baik dari kalangan nasionalis sekuler, maupun dari kalangan nasionalis Islam. Namun begitu, proses yang terlihat sudah mulai sepakat ini bukalah tidak sama sekali menemui hambatan dan pertentangan. Ketika rancangan UUD yang telah disusun oleh Panitia Sembilan ini hendak diajukan ke sidang kedua BPUPKI untuk mendapatkan persetujuan, ternyata kalangan nasionalis sekuler masih ada yang merasa keberatan dengan rumusan ‘tujuh kata’ tersebut. Diantara tokoh yang menetang dan mengusulkan diadakan peninjauan kembali adalah R. Otto Iskandardinata.
Kelompok nasionalis Islam pun tidak berhenti sampai pada disematkannya ‘tujuh kata’ dalam pembuaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan dalam memperjuangkan pemahamannya. Pada tanggal 13 Juli 1945, KH. Wachid Hasyim mengusulkan agar Presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam dan Pasal 29 diubah menjadi ‘Agama negara adalah agama Islam’. Namun, usulan tersebut justru ditolak oleh Agus Salim (salah satu kelompok nasionalis Islam) yang menyatakan bahwa itu berarti kompromi yang sudah dihasilkan antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi. Lama-kelamaan, karena proses perdebatan yang semakin lama dan menimbulkan kejenuhan diantara para tokoh nasional dan masyarakat Indonesia lebih luas lagi, pada tanggal 16 Juli 1945 Soekarno menghimbau agar yang tidak setuju dengan rumusan itu hendaknya bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Sehingga pada akhirnya, sampai Indonesia merdeka di tanggal 17 Agustus 1945, hasil kerja Panitia Sembilan yang terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta telah benar-benar menjadi pembukaan UUD 1945 saat hari kemerdekaan negara.
Rupannya gegap gempita yang dirasakan oleh kalangan nasionalis Islam tidaklah berlangsug lama. Sebab pada tanggal 18 Agustus 1945 (satu hari usia kemerdekaan), ‘kesepakatan’ yang telah dibuat mulai digugat kembali. M. Hatta merupakan tokoh yang menganjurkan untuk meninjau ulang kembali ‘tujuh kata’ tersebut karena khawatir akan merusak persatuan Indonesia. Kelompok nasionalis islam rupanya bersedia mengalah karena beberapa sebab. Sebab  pertama adalah demi menjaga kelangsungan negara proklamasi Indonesia yang masih satu hari umurnya. Kedua, keyakinan bahwa UUD 1945 itu bersifat sementara seperti yang dikatakan oleh Soekarno dalam pidato peresmian UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Terlepas dari perdebatan yang terus berkepanjangan setelah itu—seperti apa yang terjadi dalam badan konstituante tahun 1956-1959 dan amandemen UUD 1945 pascareformasi—, satu pelajaran yang terpenting dan dapat kita resapi sebagai hikmah adalah jiwa besar para pendiri bangsa dan penyusun konstitusi negara kita ketika mengedepankan semangat persatuan daripada kepentingan kelompok semata. Hal ini telah masing-masing ditunjukan oleh kelompok, baik nasionalis sekuler ketika menerima adanya ‘tujuh kata’ dalam preambule UUD 1945 atau Piagam Jakarta, maupun oleh kelompok nasionalis Islam ketika bersedia menerima penghapusan kembali ‘tujuh kata’ tersebut di usia kemerdekaan negara yang baru berumur satu hari. Er is grootheid in offer (terdapat kebesaran dalam pengorbanan).

Read Users' Comments (1)komentar

Kerjasama Internasional Menghadapi Isu Perubahan Iklim


Ada sebuah tantangan serius yang dihadapi manusia di abad 21 pascaperang dunia. Bukan sekedar masalah kelaparan atau ledakan jumlah penduduk manusia yag tidak terkendali sehingga mengurangi jumlah lahan yang ada,  tapi lebih kompleks dari itu semua adalah apa yang kita sebut dengan terjadinya perubahan iklim. Berbagai macam bencana seperti banjir, angin topan, kekeringan dan lainnya terjadi semakin sering dalam kurun 50 tahun terakhir dan sulit diprediksi sebab iklim atau cuaca yang ada juga datang dengan tidak menentu. Perubahan iklim ini terjadi akibat pemanasan bumi yang sudah mengglobal, sehingga menciptakan dampak-dampak turunan sepeti bencana-bencana yang sudah disebutkan. Bahasa yang paling umum digunakan saat ini adalah efek rumak kaca. Sebuah analisis perubahan iklim yang kemudian menjadi istilah utama ketika selubung bumi dihinggapi oleh gas-gas rumah kaca—karbondioksida, metan, CFC, dll—dalam jumlah berlebihan atau istilah yang lebih sederhanaya bumi menjadi ‘pengap’.

Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah menjadi isu yang melampaui batas-batas negara (borderless) layaknya konsep globalisasi. Suatu negara tidak bisa tidak terlibat dampak maupun upaya penanganannya. Bukan saja menjadi persoalan negara-negara industri—sebagai penyumbang GRK terbesar—tapi mereka yang tidak tahu menahu dan hidup dibelahan bumi lain bisa mengalami dampak negatifnya juga. Atas asumsi sederhana seperti inilah kemudian muncul wacana perencanaan penggulangan isu perubahan iklim ini dengan konsep kerjasama baik regional maupun internasional selain upaya yang juga dilakukan di masing-masing negara. Bayangkan saja, untuk sebuah kawasan seperti Uni Eropa (UE) ternyata berkontribusi mencapai 15% – 20% emisi gas rumah kaca dunia (Victor, 2006; RCI, 2007)[1]. Maka dari itu, perubahan iklim adalah salah satu tantangan perkembangan global yang tidak bisa dikatakan murah. Sebab invetasi yang dikeluarkan untuk menangani kasus seperti di Uni Eropa saja mencapai lebih dari U$200 Milyar setiap tahunnya.[2]

Persoalan lalu muncul ketika semangat kerjasama internasional ini mulai digalang. Rupanya negara-negara maju dan negara-negara berkembang memiliki perbedaan cara pandang dalam menyikapi isu yang ada. Bukan hanya karena negara-negara maju lebih banyak kegiatan industrinya sehingga ada rasa tanggung jawab yang besar akan nasib yang sedang mereka alami atau juga bukan karena negara berkembang tidak memiliki dana investasi yang besar untuk menanggulangi nasib tersebut, tapi yang menjadi peredaan utama adalah fokus kedua blok negara ini yang berbeda dalam ragka pembangunan negaranya. Namun di sisi lain, negara-negara berkembang—seperti Idonesia, India, dan Meksiko—yang umumnya pendapatan nasionalnya masih rendah, tingkat pendidikan yang tidak mereta, kemiskinan tinggi, serta penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang masih minim membuat arah kerjasama internasional ini cukup jelas. Negara-negara maju umumnya berperan sebagai investor dan penyandang dana bagi negara-negara berkembang yang memiliki luas lahan hutan lebih besar guna upaya penyerapan dan pengurangan gas karbon. Melalui lembaga keuangan internasional juga biasanya ada bantuan-bantuan khusus yang diberikan kepada negara-negara yang memiliki hutan yang luas disamping negara industri berupaya keras mengurangi emisi GRKnya.[3]

Hari ini bentuk kerjasama internasional yang dilakukan mulai semakin nyata. Melalui konfrensi-konfrensi internasional yang membahas perubahan iklim—seperti UNFCCC tahun 2007 di Nusa Dua, Bali—,upaya pengembangan teknologi yang dapat menghasilkan karbon dalam jumlah rendah, pelibatan sektor swasta dan penguasaha, pembangunan yang berkelanjutan, hingga konsep perdagangan karbon, perlahan emisi GRK dapat ditekan walaupun masih dalam jumah yang tidak besar sebab aktifitas industri yang juga tidak serta merta langsung berhenti. Melalui program mitigasi dan adaptasi yang diakukan oleh setiap negara dengan membuat instrumen kebijakan yang tegas tentang perubahan iklim, diharapkan dalam beberapa puluh tahun kedepan bumi ini masih terjaga untuk anak cucu.



[1] Adji Krisbandono, Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim: Pengalaman Kota Rotterdam. Makalah tidak diterbitkan
[2] Keterangan Pers Pertemuan Menteri Keuangan tentang Climate Change, bali Indonesai, 11 Desember 2007
[3] Dunia internasional menetapkan bahwa tahun 2011 sebagai tahun Internasional Kehutanan (International Year of Forests 2011) untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya hutan terhadap iklim global dan kesejahteraan manusia.

Read Users' Comments (1)komentar

Lanjut..


Dalam studi lingkungan atau lebih dikenal dengan ekologi, seringkali tidak bisa dipisahkan dengan sebuah persoalan besar yang melanda masyarakat pascaperang dunia ke dua, yaitu apa yang disebut dengan limits to growth. Persoalan ini secara tidak langsung dapat membahayakan kelangsungan hidup, lebih khusus lagi populasi manusia itu sendiri. Pada tahun 1970an sampai dengan 1980an, mulai muncul sebuah studi baru yang setidaknya menghubungkan antara lingkungan dengan politik sebagai sebuah alternatif menghadapi tantangan yang dipaparkan dalam limits to growth—kemudian disebut dengan political ecology. Perkembangan awalnya, politik ekologi dimulai dengan mengandalkan konsep-konsep ekonomi politik yang berasal dari kepedulian pada faktor materialis dan strukturalis. Artinya, sebagai sebuah studi, politik ekologi tidaklah berdiri sendiri tanpa topangan dari ilmu-ilmu lainnya seperti geografi, politik, antropologi, biologi, hingga ekonomi itu sendiri.
Diantara penjelasan lebih lanjut mengenai politik ekologi ini adalah studi analisa rantai yang menghubungkan dinamika lingkungan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, bahkan politik, misalnya bagaimana hubungan antara lingkungan dengan kemiskinan, lingkunagan dengan keterbelakangan, neo-kolonialisasi, dan marjinalisasi ekonomi dan politik. Artinya, alam tidak lagi hanya sekedar menjadi objek penelitian, tapi sekaligus sebagai subjek yang dapat memberikan pengaruh pada kelangsungan hidup manusia. Disamping itu, politik ekologi juga memperhatikan bagaimana gagasan tentang kesinambungan diciptakan dan disebarkan dalam pembangunan, atau dalam istilah saat ini dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Maka, berangkat dari semangat berfikir kritis, studi politik ekologi menilai bahwa keputusan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang teknis yang memprioritaskan efisiensi, tapi bagaimana dampak turunan yang diciptakan dan imbasnya pada keberlangsungan hidup manusia.
Modernisasi, globalisasi, dan praktik ekonomi kapitalis sedikit benyak telah memberikan pengaruh pada pembicaraan mengenai politik ekologi kontemporer. Pada awalnya tema-tema ini dianggap sebagai ‘juru selamat’ bagi pembangunan sebuah negara dan keterbelakangan manusia, namun belakangan disadari bahwa pada kenyataannya justru lebih banyak merugikan manusia dan menimbulkan kerusakan alam. Sifat-sifat eksploitatif dan akumulasi kepentingan modal telah membuat jurang kemiskinan semakin dalam dan kesenjangan antar mereka yang punya dan tidak punya semakin lebar. Pembangunan ekonomi global dirasa berjalan ganjil, ada blok-blok negara yang maju namun ada juga blok-blok negara yang sebaliknya. Dengan menyadari fenomena seperti ini, diharapkan pemahaman kita tentang politik ekologi lebih luas—tidak hanya—seputar persoalan antara lahan dan masyarakat seperti pada masa feodalisme, tapi juga lebih jauh lagi mengenai nasib orang-orang yang hidupya sangat bergantung langsung pada alam dan lingkungan. Diantara nasib orang-orang seperti itu adalah masyarakat lokal (indigineus people), meliputi juga kearifan lokalnya. Sampai di sini kita memahami bahwa tidak heran jika dalam pembahasan politik ekologi juga terdapat perhatian kepada persoalan antropologi dan antroposentrisme.
Sebagai bagian akhir, rupanya dalam studi politik ekologi masih terdapat faktor yang sering diabaikan karena terlalu terfokus pada masalah lingkungan dan politik. Dintara faktor itu adalah mengenai kapitalisme global—dampak dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan—dan dimensi ideologis selain kapitalisme, seperti marxisme dan sosialisme.  Kita juga perlu waspada pada ‘kecerdasan’ kapitalisme dalam memanfaatkan kesempatan dan melakukan efisiensi di tengah desakan akan pembangunan yang berkelanjutan. Keberhasilan mereka—kelompok kapitalis—membangun konsep-konsep lingkungan yang ‘ramah lingkungan’, secara tidak sadar telah kembali menunjukan penguasaan mereka dalam meraih akumulasi modal walupun telah terjadi perubahan cara pandang pembangunan saat ini. Dan juga, jangan sampai kitSa terjebak dalam ‘kewajiban-kewajiban’ membuat dan melaksanakan kebijakan semata, padahal ada hal yang lebih penting untuk diperhatikan dalam studi politik ekologi.

Read Users' Comments (0)

Energi Panas Bumi di Indonesia: Sebuah Alternatif


Peningkatan konsumsi energi listrik di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir telah menjadi perhatian serius, sebab selain menimbulkan masalah kekhawatiran bagi masyarakat dan negara—mengenai cadangan sumber energi dan termasuk juga pasokannya yang minim,—Indonesia di saat yang bersamaan juga masih sangat bergantung pada sumber energi fosil (batubara, gas dan minyak bumi). Dari data yang tertera di bawah ini, jelas bahwa setiap tahun—sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2004—telah terjadi peningkatan penggunaan energi yang signifikan, bahkan penggunaan energi listrik untuk keperluan bahan bakar dan biomassa menempati jumlah yang terbanyak.
Penggunaan energi di Indonesia: 2,49 SBM/orang/tahun atau 0,35
(Statistics of Energy Economics, 2007)[1]
Dari data yang dikeluarkan pada tahun 2007 tersebut, beberpa hal yang bisa disimpulkan diantaranya adalah bahwa telah terjdai pertumbuhan konsumsi energi sebesar 6,4% per tahun (1990-2004). Dominasi energi fosil masih tinggi dibandingkan dengan sumber energi lainnya seperti barubara dan minyak bumi, serta energi biomassa rupanya berperan sebesar 31% terhadap konsumsi energi yang ada. Namun di luar data nasional yang mencengangkan tersebut, ternyata keterbatasan pasokan listrik nasional yang selama ini dinilai rendah juga mengakibatkan konsumsi listrik di Indonesia cukup rendah. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara di Asean, Indonesia termasuk yang terendah.[2] Kapasitas pembangkit listrik yang belum mencukupi kebutuhan ini diantaranya dipengaruhi oleh pola penggunaan listrik masyarakat yang lebih banyak untuk keperluan konsumsi daripada produksi.
Di dunia internasional, rupanya krisis yang yag dialami tidak jauh beda degan yang ada di dalam negeri. Persediaan pasokan bahan bakar minyak dunia yang jumlahnya terbatas menuntut tiap negara untuk cerdas dan mampu memberikan solusi alternatif menangani ketersediaan energi yang tidak sebanding dengan jumlah kebutuhannya tersebut. di indonesia sendiri, sebenarnya dengan kekeayaan dan potensi energi yang dimilikinya mampu menghadirkan alternatif bagi persoalan yang saat ini sedang dialami. Wacana penggunaan energi yang ramah lingkungan atau sering disebut denagn ‘energi hijau’ perlahan mengemuka ke khalaya publik. Salah satu yang menjadi solusi alternatif potensial itu adalah energi panas bumi. Diantara keuntungan yang bisa langsung dirsaakan selain karena Indonesia merupakan tempat pertemuan dua arus pegunungan dunia—sehingga ketersediaan panas buminya sangat banyak—adalah karena sifat energi panas bumi itu sendiri yang tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga dunia dan energi ini tidak memiliki dampak terhadap lingkungan apalagi sampai mencemari. Namun begitu, pemakaiannya hanya bisa untuk kebutuhan dalam negeri (bukan seperti komoditi).
Pengembangan energi pasan bumi—lebih akrab dengan istilah geothermal—nampaknya bukan hanya hadir sebagai solusi alternatif energi, namun juga telah menjadi cita-cita pembangunan masa depan yang ramah lingkungan dan berkesinambungan (karena jumlahnya yang bisa terus diperbaharui). Untuk tahun 2009 saja pemerintah menargetkan produski energi dari geothermal sebesar 4700 Mega Watt. Meski potensi ketersediannya besar, sejumlah masalah juga hadir seperti belum tersedianya investor yang mau mengembangkan potensi geotermal di Indonesia, infrastuktur yang belum memadai dan teknologi yang terbatas, hingga pemanfaatannya sampai saat ini yang tergolong rendah.[3]
Dari analsis data di atas, dapat kita lihat bahwa potensi energi panas bumi di Indonesia cukup banyak terdapat di bagian timur negara khususnya di sekitar kepulauan Maluku. Dan salah satu Kabupaten di daerah tersebut yang cukup berpeluang untuk segera dimanfaatkan sumber energi panas buminya adalah Kabupaten Halmahera Barat yang ber-ibu kota di Jailolo. Kabupaten ini merupakan salah satu Kabupaten dan daerah ke dua di Indonesai Timur yang yang akan mengembangkan energi panas bumi karena poteni yang dimilikinya.[4] Potensi energi panas bumi di Kabupaten Halbar terbilang baik, misalnya saja daerah gunung berapi yang sudah tidak aktif dan usianya yang sudah cukup tua (minimal setengah juta tahun, dan juga memiliki struktur batuan di dalam tanah yang bisa memanaskan sehingga membentuk uap.[5]
Dari penjelasan sederhana mengenai potensi energi panas bumi di Indonesai, khususnya yang terdapat di Indonesia bagian timur, ada beberapa analisis yang bisa dilakukan. Salah satu hal yang masih menjadi hambatan bagi pengembangan energi panas bumi ini adalah minimnya investor dan pengembang geotermal karena harga yang ditawarkan masih belum sesuai dengan perekonomian. PLN dan BUMN sulit untuk menetukan harga karena selama ini harga listrik disubsidi sehingga keuntungan yang didapatkannya pun rendah. Maka permasalahan harga ini inilah yang menjadi fokus utama. Sebab jika saja harga listriknya berhasil disepakati, tidak mustahil jika investor dan pengembang akan datang berbondong-bondong. Padahal, dengan pemaparan sejumlah data di atas nampaknya saat ini tinggal menggarapnya saja, tapi pemerintah rasanya begitu enggan berbuat banyak. Selain itu, ketimpangan  antara kebutuhan penggunaan energi dengan suplai energi yang dihasilkan masih terjadi. Sebagai contoh adalah energi listrik di Pulau Jawa dan luar Jawa. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa rasio elektrifikasi penggunaan energi listrik di Indonesia mencapai 67 persen. Itu berarti 33 persen rumah tangga di Indonesia belum teraliri listrik padahal kita berada di negeri yang kaya akan sumber energi listrik terlebih seperti energi panas bumi yang jumlahnya tidak terbatas.[6]


[1] Data diambil dari Hak Kekayaan Intelektual dan Agenda Riset Strategis IPB Bidang Energi oleh Armansyah H. Tambunan
[2] Diakses dari http://www.jpnn.com/read/2011/06/06/94125/Konsumsi-Listrik-Indonesia-Terendah-di-Asean-., pada tanggal 13 Maret 2012, pukul 18.50. Konsumsi listrik per kapita ini dihitung berdasar jumlah total konsumsi listrik dibagi dengan jumlah penduduk. Tumiran menyebut, berdasar data International Energy Agency (IEA) 2010, dengan pendapatan USD 3.500 per kapita, konsumsi energi listrik Indonesia per kapita baru mencapai 591 kilowatt hour (KWh) per kapita.
[3] Hal ini diungkapkan oleh Dr. Bambang Setiwan, selaku Dirjen Mineral, Batubara, dan Geotermal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam acara Indonesia Geothermal Energy World Conference 22-23 Juli tahun 2009 di Bali
[4] Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Geologi Bandung pada 1971, ternyata ditemukan energi panas bumi di Halmahera Barat yang berkapasitas 75 Mega Watt
[5] “Semangat Menyambut Energi Hijau”, Majalah Tempo, edisi 17-23 Agustus 2009 (Edisi Khusus Hari Kemerdekaan nasional).
[6] Diakses dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/18/85930, pada tanggal 13 Maret 2012, pukul 18.30

Read Users' Comments (0)

Politik Lingkungan: Kerjasama dan Isu Lingkungan Internasional


Kemunculan isu lingkungan dalam skala besar atau menjadi pembicaraan global mulai dirasakan pada tahun 1990an dan bahkan lebih awal lagi yaitu tahun 1960an ketika lahir wacana-wacana tentang politik “hijau” atau yang identik dengan partai “hijau”. Meski pada tahapan tersebut masih menjadi perhatian negara-negara maju saja, nampaknya saat ini perlahan-lahan isu mengenai lingkungan mengena juga ke negara-negera yang sedang berkembang. Sebab pada dasarnya, isu lingkungan adalah isu yang sangat global dan menjadi ranah seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Titik tolak dan yang menjadi langkah nyata dalam pembahsan isu lingkungan setidaknya terlihat pada saat berlangsungnya pertemuan internasional yang dilakukan oleh PBB  pada tahun 1972 di Stockholm, Rio (Brazil) pada tahun 1992, dan Kyoto pada tahun 1997. Pada konfrensi atau pertemuan PBB tersebut hadir perwakilan dari negara-negara maju maupun berkembang, negara industri atau agraris, maritim maupun bukan. Mereka yang hadir membicarakan tentang potensi lingkungan dan ancaman yang sedang terjadi terkait permasalahan ekonomi dan ketahanan bangsa. Maka tidak mengherankan jika pada mulanya pembahasan internasional terkait isu lingkungan masih besar porsinya pada persoalan pencemaran lingkungan dan perubahan iklim yang tidak bisa dilepaskan oleh urusan industri. Kerjasama antara negara-negara maju dan berkembang dalam kaitan pencemaran lingkungan dan perubahan iklim tidaklah berjalan mulus. Diantara mereka sampai hari ini masih menyisahkan persoalan saling menyalahkan tentang pihak yang harus bertanggung jawab dan negara mana yang harus mengurangi emisi CO2 lebih banyak. Lebih jauh lagi, perdagagan karbon yang saat ini marak dibicarakan rupanya tidak lepas juga dari persoalan politik dan kepentingan.
Terlepas dari kerjasama dan perdebatan antara negara maju dan berkembang tentang pencemaran lingkungan dan perubahan iklim, hal pertama yang penting bagi kita cermati ketika membahas kerjasama internasional dalam menangani isu lingkungan adalah siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana bentuk kerjasamanya. Pertama, aktor yang berperan penting adalah negara. Negara adalah faktor terpeting sebab hanya negaralah yang mampu melaksanakan perjanjian internasional. Kedua adalah organisasi internasional yang meliputi organisasi supranegara seperti Uni Eropa maupun organisasi-organisasi bentukan PBB seperti United Nation Environment Programme (UNEP), dan Commission for Sustainable Development (CSD). Ketiga, organisasi non-pemerintahan (NGO) yang mulai memainkan peranan penting dalam aktivitas advokasi kemasyarakatan, diantaranya WWF dan Greenpeace.
Hal kedua yang penting untuk dicermati adalah pentingnya konsensi dan negosiasi dalam kerjasama internasional mengantisipasi pencemaran lingkungan dan perubahan iklim. Proses seperti ini menjadi sangat vital karena merupakan salah satu cara yang banyak digunakan untuk mencapai kesepakatan ataupun perjanjian internasional. Contohnya adalah ketika berlangsung Protokol Kyoto tahun 1997, pada awalnya Amerika Serikat tidak mau menyetujui hasil perjanjian yang mengharuskan negara mengurangi emisi zat CO2nya sebanyak 7%, namun akhirnya bersedia mengurangai zat emisi tersebut pada tahun 2008-2012.

Sebagai contoh aktor dan bentuk negosiasi yang cukup baik ketika menjelaskan kerjasama internasional dalam mengatasi isu lingkungan adalah Uni Eropa. Organsasi kawasan ini sebagai organisasi supranasional atau internasional rupanya tergolong unik karena sebab kekuatan untuk mengikat negara-negara anggotanya dan menjadi salah satu faktor yang mempermudah dalam menggalang kerjasama internasional, organisasi ini juga tergolong banyak memberikan perhatian pada masalah-masalah internasional, misalnya saja ada tahun 1973, Uni Eropa sudah memiliki memiliki Environmental Action Programme (EAP). Keberhasilannya dalam menggalang Kerjasama internasional juga tidak terlepas dari integrasi kebijakan lingkungan di Eropa yang dibuat. Arah kebijakan lingkungannya termasuk yang sangat komprehensif, yaitu meliputi udara, boteknologi, zat kimia, perlindungan sipil terhadap kecelakaan, perubahan iklim, ekonomi lingkungan, perluasan negara, kesehatan, teknologi industri, isu internasional, kegunaan lahan, keanekaragaman hayati, polusi udara, tanah, pembangunan berkelanjutan, limbah, dan air.

Meski pada awalnya organisasi internasional ini dibentuk atas dasar ekonomi yaitu memperkuat kerjasama ekonomi negara-negara di kawasan Eropa, namun karena pembangunan industri dan modernisasi yang kian cepat, lama-kelamaan menuntut pula negara-negara yang tergolong maju itu untuk mulai memperhatikan kelangsungan kehidupan dan kualitas lingkunagn di negaranya. Karena bagimanapun juga, penyebab kerusakan lingkaungan dan pencemarannya tidaklah menjadi faktor tunggal satu negara saja, tapi menjadi tanggung jawab banyak negara dan dampak yang dirasakannya pun demikian juga. Meskipun begitu, belakangan terdapat dilema diantara negara-negara Eropa yaitu ketika akan membahasa isu lingkungan antara ketahanan lingkungan itu sendiri dan kepentingan-kepentingan ekonomi. Bagaimanapun juga ketika industri mulai membagi perhatiannya pada isu lain seperti lingkungan, ongkos produksi yang dikeluarkannya pun menjadi lebih besar dan mengurangi keuntungan yang selama ini didapat. Terlepasa dari dilema dan persoalan yang terakhir dibahas, Norwegia rupanya berhasil tampil sebagai salah satu negara yang memiliki minat tinggi dan sukses dalam mengatasi isu lingkungan dengan kerjasama internasional melalui program diantaranya perdagangan karbon.

Read Users' Comments (0)