Presidensialisme Setengah Hati :D
03.09 | Posted by Sering Sharing
Perspektif
dalam membahas partai politik, sistem pemilu, maupun sistem partai politik itu
sendiri sangatlah beragam. Pengalaman pemerintahan orde baru di Indonesia telah
menunjukan bagaimana ideologisasi dan politisasi partai politik yang telah
dilakukan sebelumnya pada masa pemilu 1955 perlahan direduksi dan mengalami
perubahan besar-besaran atas nama kepentingan pembangunan ekonomi. Partai
politik yang jumlahnya puluhan disederhanakan menjadi hanya dua kontestan parpol
dan satu golongan karya (Golkar). Apa yang terjadi pascaruntuhnya rezim orde
baru—masa reformasi demokrasi 1998—rupanya menghadirkan semangat perubahan
tatanan demokrasi, salah satunya adalah dengan melaksanakan amandemen terhadap
UUD 1945 sampai empat kali—diantara butirnya adalah pelaksanaan desentralisasi
dan membahas pula tentang sistem politik dan sistem kepartian—serta berupaya
menghadirkan kembali ‘nuansa’ politik kepartian seperti pada saat pemilu tahun
1955 disamping agenda penguatan kembali karakter dan prinsip sistem
pemerintahan Presidensialisme.
Salah
satu praktik pengalaman buruk dalam berdemokrasi di masa orde baru adalah ketika
Presiden saat itu menjadikan parlemen sebagai hanya alat untuk memberikan
stempel dan menguatkan dirinya semata dalam pemerintahan, padahal hubungan yang
seharusnya terjadi tidaklah demikian. Dengan semangat presidensialisme yang
termaktub dalam UUD 1945, mestinya terjadi hubungan saling kontrol yang baik
dantara tiga lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), namun
nyatanya justru eksekutif mengkooptasi dua lembaga lainnya, legslatif dan
yudikatif. Begitu juga pada lembaga-lembaga negara selain tiga yang disebutkan
terakhir tersebut. Lembaga tersebut kebanyakan hanyalah bentuk derivasi dari
sosok tunggal Presiden yang sebenarnya lebih tepat disebut dengan otoritarianisme.
Nuansa politis dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintah sangatlah kental
meski rakyat dibatasi geraknya dalam bidang politik. Meskipun begitu, dengan
sistem presidensialisme yang dianut pada saat itu, masih dimungkinkan bagi
seorang Presiden mengalami pemakzulan (impeachment)
seperti Soeharto di akhir masa kejayaan orde barunya. Pada saat itu DPR sebagai
pemberi wewenang kekuasan kepada Presiden menyatakan secara politis bahwa
Presiden Soeharto harus mengakhiri masa jabatannya lebih cepat dari waktu yang
ditentukan.
Setelah
reformasi, semangat memperbaiki sistem politik yang dirasa telah penuh penyimpangan
pada masa rezim sebelumnya menjadi salah satu agenda yang dikedepankan dalam
amandemen UUD 1945. Namun di awal tahun 2000an sempat timbul permasalahan baru,
yaitu fenomena legislative heavy yang
mengusung semangat ‘pangkas habis kekuasaan terpusat’ sebagai bagian dari
uapaya menyederhanakan kekuasaan eksekutif. Setelah amandemen yang ke-tiga, dan
dilaksanakannya pemilihan umum tahun 2004, barulah perlahan wacana dan
penerapan mengembalikan karakter dan prinsip presidensialisme benar-benar
nyata. Dalam rangka persoalan inilah, Scott Mainwaring serta Hanta Yuda mencoba
untuk menjelaskan tentang sistem pemerintahan presidensialisme dan hubungannya
dengan sistem multipartai, khususnya dalam studi demokrasi di Indonesia pada
masa peemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemilu
2004 sebagai pemilu pertama yang menyelenggarakan pemilihan presiden secara
langsung sebenarnya juga merupakan bagian dari upaya penataan ulang karakter
dan prinsip dasar sistem presidensil di
Indonesia. Wacana institusionalisasi atau pelembagaan politik yang meliputi
proses amandemen UUD 1945 dan purifikasi
sitem presidensialisme—termasuk di dalamnya terkait konsep single chief executive atau kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan—rupanya perlahan telah memperbaiki sistem pemerintahan agar
menjadi lebih terlihat mekanisme saling kontrolnya. Purifikasi sistem ini
mengamantkan Presiden tidak lagi menjadi penguasa tunggal teratas, namun
berusaha menempatkan adanya ‘lembaga’ lain yang lebih tinggi dari seorang
Presiden seperti konstitusi secara hukum dan rakyat secara politik. Proses
purifikasi ini tidak berjalan tanpa masalah, salah satu persoalan yang bisa
dianalisi adalah posisi wakil presiden. Meski dipilih secara paket pada saat
pemilu bersama Presiden, namun kekuasaannya lebih kecil dari Presiden. Diantara
fungsi wakil presiden yang dianggap sub-ordinat dari Presiden adalah fungsinya
sebagai ‘ban serep’, mewakili Presiden dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan, dan membantu tugas-tugas Presiden
lainnya. Sampai disini dapat disimpulkan
bahwa ternyata masih terdapat persoalan di dalam proses purifikasi sistem
presidensial di Indonesia pascareformasi, yaitu lembaga kepresidenan—insitusi
politik atau organisasi jabatan kenegaraan yang dalam sistem presidensial
terdiri dari dua jabatan politik yaitu Presiden dan wakil presiden—yang masih
‘menunggalkan’ kekuasaan kepada sosok Presiden semata.
Persoalan
kedua setelah lembaga kepresidenan seperti dijelaskan di atas adalah kombinasi buruk sistem presidensial
dengan sistem multipartai dalam sebuah negara. Sebelum menelaah lebih jauh,
perlu kita cermati terlebih dahulu ciri dari sistem presidensialisme itu
sendiri. Menurut Ball dan Petters, ciri-ciri tersebut diantaranya (1) posisi
Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, (2) Presiden
tidak dipilih parlemen, (3) Presiden bukan bagian dari lembaga parlemen, Presiden
tidak dapat diberhentikan lembaga parlemen kecuali melalui mekanisme
pemakzulan, (4) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Sedangkan menurut Scott
Mainwaring, terdapat dua ciri yang paling uatama, yaitu pertama, pemilihan
kepala pemerintahan (Presiden) diselnggarakan secara terpisah dengan pemilihan
anggota parlemen. Karena itu, hasil pemilu legislatif tidak menentukan
kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua, kepala pemerintahan
dipilih untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (fixed term). Maka jika di saat yang bersamaan suatu negara juga menerapkan
sistem multipartai, terdapat implikasi-impliaksi lanjutan—diantaranya menciptakan
suatu hubungan struktur internal dan ekternal sistem presidensial—yang menurut
Mainwaring sebagai kombinasi yang sulit dan berkecenderungan melemahkan sistem
pemerintahan dan kepartaian itu sendiri.
Pascapemilu
2004 di Indonesia, proses pelembagaan politik dan purifikasi sistem
presidensial lebih kentara. Diantaranya adalah tercipta sebuah mekanisme checks and balances dari hasil kekuasaan
yang terpisah-pisah dan saling mandiri (separation
of power) tidak seperti periode sebelumnya yang menjadikan kekuasaan
kehakiman berada di bawah pengaruh Presiden. Selain itu, mekanisme
impeachment juga tidak lagi didasarkan oleh alasan politis. Sebab dalam
peraturan yang terbaru, Presidena hanya bisa dijatuhkan melalui mekanisme hukum
pidana. Kategori tindak pidana menurut
konstitusi setelah amandemen UUD 1945 pasal 7A diantaranya adalah pengkhianatan
terhadap negara (treason), korupsi
atau penyuapan (bribery and hight crimes)
dan beberapa bentuk perbuatan tercela (misdemeanours).
Inilah konsekuensi dari masa jabatan Presiden yang telah ditentukan. Artinya
seorang Presiden tidak bisa dihentikan dalam masa jabatannya yang sedang
berjalan, sehingga sangat sulit bagi mekanisme impeachment untuk dilaksanakan.
Jika
kembali membicarakan persoalan sistem presidensil yang dikombinasikan dengan
sistem multipartai, selain karena kombinasinya yang dianggap sulit dan tidak
cocok, juga dikarenakan masing-masing—baik sistem presidensil maupun sistem
multipartai—pada dasarnya memiliki kekurangan dan kelemahan. Kelemahan sistem multipartai
misalnya, sistem ini sangat rapuh dalam pelembagaan partai politik seperti
terlihat dengan mudahnya para kader yang berpindah dari satu partai ke partai
lain. Mudahnya seseorang atau sekelompok orang untuk membuat partai baru juga
disinyalir menjadi kelemahan institusionalisasi partai dalam sistem
multipartai. Sedangkan di parlemen, jumlah partai yang banyak dan beragam itu
sekaligus turut membuat parlemen menjadi terfragmentasi berdasarkan ideologi
atau kepentingan tertentu. Implikasinya jika sistem kepartaian dan sistem
pemerintahan ini digabungkan, maka diantaranya akan menyebabkan deadlock dalam pembuatan keputusan di
parlemen, anomali oposisi dalam pemerintahan yang berasal dari partai atau
kelompok yang kalah dalam pemilihan Presiden, dan bayang-bayang koalisi yang
terkartel akibat kekuasaan Presiden yang minoritas (tidak didukung oleh partai
mayoritas dalam parlemen)
Dalam
kasus di Indonesia, Hanta Yuda menilai bahwa sistem multipartai dan
presidensialisme adalah suatu keniscayaan akibat budaya politik, sosio-ekonomi
masyarakat, dan karakter bangsa. Presidensialisme dinilai cocok dengan budaya
politik di Indonesai sebab mayoritas masyarakat Indonesai menganut sistem
patrilineal dan patrimonial dalam budayanya dalam rangka menciptakan suatu stabilitas
politik yang matang dan terkendali di tangan seorang penguasa yang kuat.
Sedangkan sistem multipartisme selain didasarkan pada faktor sejarah (sejak
pemilu 1955), juga karena masyarakat Indonesia yang majemuk (heterogen) dan jumlahnya yang banyak . Ingat
kembali tentang konsep budaya politik aliran menurut Clifford Geertz—abangan,
priyayi, dan santri—yang sedikit banyak telah memberikan penjelasan bagi kita
tentang hubungan masyarakat yang multikultur dengan sistem kepartaian yang
multipartai. Memang pada dasarnya sistem kepartaian seperti ini menimbulkan
banyak permasalahan . Diantaranya, multipartisme sulit menghasilkan partai
politik pemenang—atau setidaknya jumlah mayoritas—mutlak dalam pemilu.
Akibatnya parlemen yang diharapkan dapat memberikan dukungan kuat pada jalannya
pemerintahan presiden dan eksekutif lainnya, justru menjadi lemah dan Presiden selalu
dibayang-bayangi oleh impeachment yang
wacanyanya biasanya datang dari partai-partai oposisi—jarak ideologi yang
terlampau besar sehingga kepentingan yang muncul juga sangat ekstrim seperti impeachment.
Kelemahan
perpaduan dua sistem ini—presidensialisme dan multipartisme—secara tidak
langsung telah ‘memaksa’ lahirnya figuritas tokoh politik untuk menyelamatkan
jumlah perolehan partai politik yang kecil akibat partai politik peserta pemilu
yang banyak jumlahnya. Ingat ketika Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari
partai minoritas justru dapat memenangkan pemilihan Presiden langsung dengan
wakil presiden saat itu adalah Jusuf Kala yang notabene adalah ketua umum partai pemenang suara mayoritas pemilu
(Golkar). Lebih jauh, fenomena Presiden minoritas seperti dijelaskan pada kasus
pemilu 2004 dan pemerintahan terbelah akibat koalisi yang pragmatis,
menyebabkan demokrasi menjadi labil. Pendapat ini diperkuat oleh tesis yang
dibuat oleh Scott Mainwaring yang menyatakan bahwa ketika dua sistem ini
dipadukan dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, umumnya kebijakan
yang dibuat akan mengalami deadlock. Akibatnya, dengan ‘kecacatan’ yang terjadi
seperti itu, maka secara dilematis dan terpaksa akan lahir kompromi-kompromi
dari partai politik dalam rangka memenuhi kepentingannya masing-masing di
tengah surutnya mekanisme memperoleh sumber daya kekuasaan dan ekonomi. Sebagai
implikasi dilema tersebut—presidensialisme kompromis—, maka secara tidak
langsung perlahan demi perlahan kekuasaan dan hak prerogratif Presiden dari
sisi eksekutif, legislative, yudikatif, serta diplomasi mulai memudar dalam rangka memberkan
akomodasi politik bagi partai lain maupun opsisi yang sebenarnya juga berwatak
perburuan rente dengan cara ‘memeras’ pemerintah yang berkuasa. Presiden akhirnya
terpaksa melakukan ‘penyelewengan’ hak prerogratif dalam mengangkat secara langsung menteri-menteri akibat tuntutan
akomodasi politik tersebut. Misalnya ketika Presiden harus memberikan sekian
kursi kabinet kepada orang-orang partai pendukung koalisinya dengan
pertimbangan yang juga politis, bukan profesionalisme atau alasan-alasan yang
rasional-kebutuhan, tapi justru rasional-kepentingan.
Politik Kartel di Indonesia: Suatu Tinjauan Pendahuluan
03.09 | Posted by Sering Sharing
Menurut
Katz dan Mair, sejarah partai politik yang
mula-mula dari bentuk partai kader atau partai elit di abad ke-19 lalu berubah
bentuk menjadi bentuk partai massa setelah diperkenalkannya istilah hak pilih
publik, bukanlah suatu proses akhir dan sama sekali tidak menjelaskan
terjadinya bentuk-bentuk partai yang lain. Sebab dalam perkembangan
selanjutnya, ada pula yang disebut dengan istilah partai lintas kelompok,
partai electoral-professional, hingga
yang paling kontemporer adalah patai kartel—suatu bentuk kooperasi yang lebih
khusus ketika partai lebih mengurusi kepentingan sendiri, dan politik menjadi
profesi dalam dirinya—dengan ciri terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen
mereka, dan terpinggirkanya para oposan di tubuh partai. Fenomena yang terakhir
ini selain menandakan proses evolusi partai dan sistem kepartaian yang pernah
ada, sekaligus juga memberikan bantahan terhadap proses terbentuknya partai
politik yang didasarkan hanya pada pembelahan sosial atau cleavage. Pada hari ini—khususnya di Indonesia—persaingan antar
partai akibat akomodasi pembelahan sosial secara historis (cleavage social, lihat Lipset dan Rokkan) tidak lagi begitu kentara,
misalnya pascatransisi. Sebagai contoh dahulu kepentingan politik masyarakat
(salah satu yang menjadi tujuan partai politik) tercermin dari adanya pemisahan
antara masyarakat Jawa dan non-Jawa di pulau-pulau lainnya pada masa
parlementer maupun orde baru. Namun dengan proses evolusi sistem pemilu dan
kepertaian yang ada saat ini, justru mendorong arena politik pada pemilu,
parlemen, maupun pemerintahan untuk lebih memungkinkan adanya koalisi partai
yang mulai memudarkan tautan-tautan elektoral seperti ideologi dan kepentingan masyarakat.
Sekilas
apa yang dijelaskan sebelumnya menunjukan bahwa di era reformasi ini telah
terjadi anomali partai politik. Anomali ini setidaknya bermula dari pembahasan
soal ideologi hingga platform kebijakan yang menjadi “barang” perjuangan sebuah
partai politik. Partai semakin lebar jaraknya dengan ideologi dan
konstituennya. Bahkan jika melihat berita akhir-akhir ini di media elektronik,
menunjukan bahwa hasil survey yang dlakukan oleh beberapa lembaga survey
semakin menegaskan lebih banyak jumlahnya konstituen yang rasional (mudah
beralih pilihan pada suatu partai) daripada konstituen ideologis (memiliki
kesetiaan dengan suatu partai karena kesamaan tujuan dan ideologi). Selain itu,
kekusaan dan akses terhadap sumber daya—seperti uang dan kekuasaan—di dalam
pemerintahan telah menciptakan watak baru dari para politisi dan partai dalam perburuan
rente yang lebih terkordinir, semisal dengan korupsi birokrasi secara bersama.
Maka dari itu, perlu bagi kita memahami peristiwa ini (politik kartel) dan perbedaannya
dari model demokrasi konsensus maupun bentuk-bentuk koalisi seperti koalisi
besar, dan koalisi kemenangan minimal.
Kuskrido
Ambardi di dalam bukunya Mengungkap
Politik Kartel menjelaskan bahwa setidaknya ada lima ciri politik kartel—dan
keseluruhannya bukanlah model konsensus—, yaitu (1) hilangnya peran ideologi
partai sebagi faktor penentu perilaku koalisi partai, (2) sikap permisif dalam
pembentukan koalisi, (3) tiadanya oposisi, (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir
tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik, (5) kuatnya
kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagi suatu kelompok.
Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem
kepartaian yang kompetitif. Ciri lainnya yang bisa diidentifikasi, selain lima
ciri di atas, adalah persaingan antar partai yang hilang dari arena ke arena. Berbeda dari asumsi semula (lihat Sartori)
tentang bagaimana prilaku dan gejala turunan partai dianggap konsisten dari
waktu ke waktu di tiga arena politik (pemilu, legislatif, dan eksekutif). Sebab
bagi sebuah sistem pemilu yang kompetitif, persaingan atau kompetisi itu tidak
berhenti hanya sampai proses pemilu berakhir, namun juga terjadi di arena-arena
politik selanjutya, yaitu parlemen dan pemerintahan.
Fenomena
pragmatisme (kolusi dan absennya oposisi) telah mewarnai konstelasi partai
politik di Indonesia dewasa ini. Semakin kaburnya partai-partai yang bisa
dikategorikan sebagai partai kader dan partai massa telah menjadi salah satu
indikasi fenomena tersebut. Partai politik terlihat jelas berupaya untuk menumpuk
segala macam ceruk yang ada dan dari barbagai macam ideologi dengan menyuarakan
jargon-jargon seperti partai religious-demokrat, partai religious-nasionalis,
bahkan mungkin ada yang menamakan dirinya partai nasionalis-demokrat-religius. Namun
menurut beberapa peneliti politik lain, partai politik dewasa ini juga
dihadapkan pada suatu dilema pilihan koalisi yang semata-mata tidak selamaya
disandarkan pada pragmatisme (lihat Muller dan Storm). Misalnya partai suatu
ketika akan menghadapi pilihan sulit ketika harus menetukan pilihan apakah koalisinya
berdasarkan tujuan atau ideologi. Seringkali
partai politik terjebak untuk melepaskan ideologinya hanya untuk bergabung
dengan koalisi yang ada, padahal partai tersebut sebelumnya sangat kuat dalam
ideologi.
Masyarakat
Indonesia yang multikultur dan sistem kepartaian yang multipartai juga mendorong
fenomena kartel politik. Demi menjaga kelangsungan hidupnya, suatu partai rela berkoalisi
dan merubah ideologi yang sebenarnya sangat bertentangan dengan cita-cita
partai. Konsekuensi sistem pemerintahan presidesil yang membutuhkan dukungan partai
yang kuat pada seorang pemimpin negara, sering kali mengabaikan kelompok-kelompok
minoritas yang ada dan “memaksa” kelompok minoritas tersebut melakukan pilihan
pada partai-partai politik yang berbeda kepentingan dengan dirinya. Di satu
sisi negara kita membutuhkan sosok pemimpin dengan dukungan yang kuat, namun di
saat yang sama kepentingan dan keragaman kelompok yang ada begitu kompleks.
Banyak
sisi dan sudut pandang yang dapat digunakan untuk meganilisis gejala politik
kartel di Indonesia pada era reformasi. Konsep jebakan “pertanggungjawaban”
dari Dan Slater bisa menjadi salah satunya. Slater menjelaskan bahwa tidak
adanya checks and balances yang
horizontal antara parlemen dan pemerintah pascapemilu 1999 telah melemahkan
sistem pertanggungjawaban pemerintah terhadap lembaga perwakilan seperti kontrol
oleh parlemen maupun rakyat. Ketiadaan oposan di dalam sistem pemerintahan
telah membuat kewenangan pemimpin negara yang besar di sebuah negara
presidensil menjadi lebih tidak terkontrol bahkan dikhawatirkan akan terjadi
pembalikan seperti masa otoriterianisme sebelumnya. Pascaamandemen UUD 1945 dan
diselenggarakannya pemilu pada tahun 2004 dan 2009 setidaknya memberikan sedikit
harapan bagi tercitanya suatu mekasnisme pertanggungjawaban yang lebih baik. Sebab dengan ketentuan pemilihan presiden
secara langsung diharapkan akan tercipta kontrol maupun peertanggungjawaban
pemerintah yang lebih jelas secara vertikal, misalnya pertanggugnjawaban
langsung presiden terhadap rakyatnya. Namun belakangan mulai ada kekhawatiran juga
dari mekanisme pemilihan presiden secara langsung yang sempat menghadirkan
harapan ini, yaitu tantangan pilpres langsung dengan adanya sistem partai yang
terkartel. Sebab Indonesia yang menganut sistem perwakilan politik tidak
langsung—melalui parlemen—ini tidak kuasa melakukan ‘gugatan’ terhadap
pemerintah yang melakukan penyimpangan kecuali setidaknya melalui perantara
partai yang jelas-jelas sudah masuk ke dalam sistem politik kartel maupun
parlemen yang isinya adalah orag-orang partai juga.
Kita
benar-benar sedang mendambakan model sistem kepartaian seperti yang dikemukakan
oleh Sartori, yaitu sistem kepartaian yang menekankan adanya interaksi
persaingan antar partai yang bebas (satu partai, dua partai, multipartai
moderat, dan multipartai ekstrim). Bukan karena ingin adanya perselisihan yang
terus menerus antar partai, tapi agar adanya sebuah pemerintahan dan mekanisme
pemilihan umum yang terkontrol, memuliakan tujuan kolektif masyarakat, dan
bukan kepentingan partai politik bersama saja—yang terlepas dari tautan dengan
konstituennya—apalagi kepentingan pribadi. Lalu salah satu pertanyaannya, ada
di mana ideologi saat ini?. Saat ini jelas-jelas telah terjadi tantangan bagi
sistem koalisi yang berbasis pada ideologi (de Swaan: 1973) saat berhadapan
dengan pola koalisi kemenangan minimal (Rikker: 1962) dalam rangka mewujudkan
adanya tautan elektoral di dalam suatu pemilihan umum. Bukan berarti penulis
secara pribadi mendewakan ideologi, namun jika ideologi saja sudah tidak ada,
lalu berdasarkan pada apa nilai-nilai perjuangan partai saat ini.
Pendapat
penulis diantaranya adalah bukan berarti tidak ada ideologi sama sekali pada
saat partai politik memutuskan untuk berkoalisi. Lihat bagaimana PDIP, Hanura,
dan Gerindra berkoalisi setidaknya dengan dasar kesamaan cara pandang sebagai
sebuah kelompok partai oposisi, padahal Gerindra dan Hanura adalah dua partai
dengan suara terkecil yang berhasil duduk di parlemen namun lebih memilih untuk
bergabung menjadi oposisi. Selanjutnya adalah apakah watak sistem kepartaian
yang kompetitif benar-benar mampu menciptakan konsolidasi demokrasi di
Indonesia—seperti pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya negara secara
beramai-ramai serta keberhasilannya membentuk lembaga-lemabaga politik seperti
di Eropa—di saat negara kita yang menganut sistem presidensil lebih ‘menginginkan’
adanya suatu pemerintahan yang stabil dan dukungan besar terhadap kepala negara
dan kepala pemerintahan?.
Perdebatan Dasar Negara: Kelompok Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam
03.08 | Posted by Sering Sharing
Pergulatan
politik antara agama dan negara, dasar negara dan agama, maupun antara agama
dan dasar negara yang terjadi di Indonesia telah berlangsung sejak lama dari
mulai negara ini dipersiapkan dalam suatu badan yang disebut dengan BPUPKI
hingga pascareformasi ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat
kali. Polemik ini berlangsung lama sebab diantaranya diakibatkan oleh
pertentangan yang tajam dan tiada henti antara golongan Islam dan nasionalis
yang ada baik di DPR-MPR, maupun partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia.
Isu antara agama, khususnya Islam dengan negara itu sendiri merupakan isu yang
sensitif. Mengingat meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun
konsentrasi penduduk di belahan timur justru berkebalikan. Satu hal yan biasanya
dikhawatirkan ketika terjadi dominasi mayoritas dalam pembentukan dasar negara
adalah terjadinya disintegrasi daerah sebagi bentuk penolakannya terhadap dasar
negara yang diambil dari ajaran agama tertentu saja.
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang plural dari sisi penduduk (suku, agama,
bahasa, hingga kebudayaan lain yang lebih kompleks). Keragaman ini tercermin
jelas dalam sejarah BPUPKI yang ditugaskan oleh Jepang untuk mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas menyusun konstitusi negara dan
keperluan lain yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang baru berdiri. Perwakilan
anggotanya pun beragam dari mulai orang-orang Indonesia bagian barat, hingga
orang-orang dari Indonesia bagian timur. Namun begitu, setidaknya di dalam
BPUPKI, kelompok-kelompok yang beragam itu mengkristal menjadi hanya dua
kelompok besar saja, yaitu kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis
religious/kelompok Islam. Maka kemudian jelas apa saja yang menjadi cita-cita
dan tujuan masing-masing kelompok. Kelompok Nasionalis sekuler menghendaki agar
Indonesia yang akan dibangun kelak berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus
pada ideologi keagamaan. Sedangkan kelompok lain—nasionalis Islam—menginginkan
agar negara Indonesia berdasarkan Islam.
Seperti
kita ketahui, elit modern Indonesia sebelum kemerdekaan pemikirannya
dipengaruhi oleh tiga ideologi besar yang hidup pada waktu itu, yaitu Islam
nasionalisme atau kebangsaan dan ideologi barat modern-sekuler (seperti
liberalisme, kapitalisme, dan komunisme). Tapi apa yang terjadi di Indonesia
pada awal-awal menjelang kemerdekannya setidaknya hanya menunjukan dua kutub
pemikiran saja, Islam dan nasionalis sekuler. Diawali sejak tahun 1930an ketika
PNI dengan tokoh terkenalnya—Soekarno—mewakili kelompok nasionalis sekuler, dan
kalangan Islam dengan tokohnya HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ahmad Hasan
dan M. Natsir. Ketika itu salah satu debat yang cukup fenomenal adalah antara
Soekarno denagn Natsir terkait bentuk dan dasar negara. Menurut Soekarno, agama
merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan negara merupakan persoalan
dunia dan kemasyarakatan. Menurutnya lagi, negara dalam hal ini tidak memiliki
wewenang mengatur apalagi memaksakan ajaran agama kepada para warga negaranya.
Sementara itu Natsir berpendapat lain. menurutnya, ajaran Islam bukan semata-mata
mengatur hubungan manusia dengan tuhannya saja, namun juga antara manusia
dengan sesamanya. Islam merupakan sebuah ideologi, sehingga seorang muslin
tidak mungkin melepasakan keterlibatannya dalam politik tanpa memberi perhatian
pada Islam.
Dalam
kehidupan sehari-hari, pertentangan dua paham ini juga semakin kontras ketika
kita melihat praktik penerapan sistem pendidikan di Indonesia kala itu. Sistem
pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu sangatlah
terkonsentrasi pada ilmu pnegetahuan dan keterampilan duniawi. Sedangkan sistem
pendidikan lokal masyarakat Indonesia yang sudah ada (pesantren-pesantren)
berlandaskan pada ajaran agama Islam yang menekankan pada kemampuan anak didik
menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan
agama. Sehingga tidak heran jika ketika dalam rumusan rencana dan persiapan
kemerdekaan Indonesia sekalipun, urusan debat dua paham ini juga mengemuka
seperti yang sudah dijelaskan di awal. Sejenak, ketika kita mengetahui
komposisi penduduk Indonesai saat itu—mayoritas beragama Islam—mungkin akan
terfikir jika proses perumusan dasar negara dan UUD negara akan berjalan lancar
dengan dominasi kelompok Islam, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dari tiga
orang konseptor dasar negara yang sempat mengemukakan pendapatnya, yaitu Muh.
Yamin, Soepomo, dan Soekarno, ketiganya adalah perwakilan dari kelompok
nasionalis sekuler meski juga tetap memasukan aspek ketuhanan dalam konsepsinya.
Ketika
proses pembahasan persiapan kelengkapan kemerdekaan telah sampai pada tahap
dibentuknya Panitia Sembilan (1 Juni 1945) yang dipimpin oleh Soekarno, sebenarnya
debat mengenai apa dasar negara yang cocok bagi Indonesia telah mulai mereda
dan menemui beberapa kesepakatan. Misalnya saja pada alinea ke-empat pembukaan
(preambule) UUD 1945 yang secara eksplisit mengatakan ketentuan ‘dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Kesepakatan ini merupakan
jalan tengah untuk mengakomodasi baik dari kalangan nasionalis sekuler, maupun
dari kalangan nasionalis Islam. Namun begitu, proses yang terlihat sudah mulai
sepakat ini bukalah tidak sama sekali menemui hambatan dan pertentangan. Ketika
rancangan UUD yang telah disusun oleh Panitia Sembilan ini hendak diajukan ke sidang
kedua BPUPKI untuk mendapatkan persetujuan, ternyata kalangan nasionalis
sekuler masih ada yang merasa keberatan dengan rumusan ‘tujuh kata’ tersebut. Diantara
tokoh yang menetang dan mengusulkan diadakan peninjauan kembali adalah R. Otto
Iskandardinata.
Kelompok
nasionalis Islam pun tidak berhenti sampai pada disematkannya ‘tujuh kata’
dalam pembuaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan dalam memperjuangkan
pemahamannya. Pada tanggal 13 Juli 1945, KH. Wachid Hasyim mengusulkan agar
Presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam dan Pasal 29
diubah menjadi ‘Agama negara adalah agama Islam’. Namun, usulan tersebut justru
ditolak oleh Agus Salim (salah satu kelompok nasionalis Islam) yang menyatakan
bahwa itu berarti kompromi yang sudah dihasilkan antara golongan kebangsaan dan
Islam mentah lagi. Lama-kelamaan, karena proses perdebatan yang semakin lama
dan menimbulkan kejenuhan diantara para tokoh nasional dan masyarakat Indonesia
lebih luas lagi, pada tanggal 16 Juli 1945 Soekarno menghimbau agar yang tidak
setuju dengan rumusan itu hendaknya bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya
demi persatuan Indonesia. Sehingga pada akhirnya, sampai Indonesia merdeka di
tanggal 17 Agustus 1945, hasil kerja Panitia Sembilan yang terkenal dengan sebutan
Piagam Jakarta telah benar-benar menjadi pembukaan UUD 1945 saat hari
kemerdekaan negara.
Rupannya
gegap gempita yang dirasakan oleh kalangan nasionalis Islam tidaklah berlangsug
lama. Sebab pada tanggal 18 Agustus 1945 (satu hari usia kemerdekaan),
‘kesepakatan’ yang telah dibuat mulai digugat kembali. M. Hatta merupakan tokoh
yang menganjurkan untuk meninjau ulang kembali ‘tujuh kata’ tersebut karena
khawatir akan merusak persatuan Indonesia. Kelompok nasionalis islam rupanya
bersedia mengalah karena beberapa sebab. Sebab
pertama adalah demi menjaga kelangsungan negara proklamasi Indonesia
yang masih satu hari umurnya. Kedua, keyakinan bahwa UUD 1945 itu bersifat
sementara seperti yang dikatakan oleh Soekarno dalam pidato peresmian UUD 1945
tanggal 18 Agustus 1945. Terlepas dari perdebatan yang terus berkepanjangan
setelah itu—seperti apa yang terjadi dalam badan konstituante tahun 1956-1959
dan amandemen UUD 1945 pascareformasi—, satu pelajaran yang terpenting dan
dapat kita resapi sebagai hikmah adalah jiwa besar para pendiri bangsa dan
penyusun konstitusi negara kita ketika mengedepankan semangat persatuan
daripada kepentingan kelompok semata. Hal ini telah masing-masing ditunjukan
oleh kelompok, baik nasionalis sekuler ketika menerima adanya ‘tujuh kata’
dalam preambule UUD 1945 atau Piagam Jakarta, maupun oleh kelompok nasionalis Islam
ketika bersedia menerima penghapusan kembali ‘tujuh kata’ tersebut di usia
kemerdekaan negara yang baru berumur satu hari. Er is grootheid in offer (terdapat kebesaran dalam pengorbanan).
Kerjasama Internasional Menghadapi Isu Perubahan Iklim
03.07 | Posted by Sering Sharing
Ada sebuah tantangan serius yang dihadapi manusia di
abad 21 pascaperang dunia. Bukan sekedar masalah kelaparan atau ledakan jumlah
penduduk manusia yag tidak terkendali sehingga mengurangi jumlah lahan yang
ada, tapi lebih kompleks dari itu semua
adalah apa yang kita sebut dengan terjadinya perubahan iklim. Berbagai macam
bencana seperti banjir, angin topan, kekeringan dan lainnya terjadi semakin
sering dalam kurun 50 tahun terakhir dan sulit diprediksi sebab iklim atau
cuaca yang ada juga datang dengan tidak menentu. Perubahan iklim ini terjadi
akibat pemanasan bumi yang sudah mengglobal, sehingga menciptakan dampak-dampak
turunan sepeti bencana-bencana yang sudah disebutkan. Bahasa yang paling umum
digunakan saat ini adalah efek rumak kaca. Sebuah analisis perubahan iklim yang
kemudian menjadi istilah utama ketika selubung bumi dihinggapi oleh gas-gas
rumah kaca—karbondioksida, metan, CFC, dll—dalam jumlah berlebihan atau istilah
yang lebih sederhanaya bumi menjadi ‘pengap’.
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah menjadi isu yang
melampaui batas-batas negara (borderless)
layaknya konsep globalisasi. Suatu negara tidak bisa tidak terlibat dampak
maupun upaya penanganannya. Bukan saja menjadi persoalan negara-negara industri—sebagai
penyumbang GRK terbesar—tapi mereka yang tidak tahu menahu dan hidup dibelahan
bumi lain bisa mengalami dampak negatifnya juga. Atas asumsi sederhana seperti
inilah kemudian muncul wacana perencanaan penggulangan isu perubahan iklim ini
dengan konsep kerjasama baik regional maupun internasional selain upaya yang
juga dilakukan di masing-masing negara. Bayangkan saja, untuk sebuah kawasan
seperti Uni Eropa (UE) ternyata berkontribusi mencapai 15% – 20% emisi gas
rumah kaca dunia (Victor, 2006; RCI, 2007)[1].
Maka dari itu, perubahan iklim adalah salah satu tantangan perkembangan global
yang tidak bisa dikatakan murah. Sebab invetasi yang dikeluarkan untuk
menangani kasus seperti di Uni Eropa saja mencapai lebih dari U$200 Milyar
setiap tahunnya.[2]
Persoalan lalu muncul ketika semangat kerjasama internasional
ini mulai digalang. Rupanya negara-negara maju dan negara-negara berkembang memiliki
perbedaan cara pandang dalam menyikapi isu yang ada. Bukan hanya karena
negara-negara maju lebih banyak kegiatan industrinya sehingga ada rasa tanggung
jawab yang besar akan nasib yang sedang mereka alami atau juga bukan karena
negara berkembang tidak memiliki dana investasi yang besar untuk menanggulangi
nasib tersebut, tapi yang menjadi peredaan utama adalah fokus kedua blok negara
ini yang berbeda dalam ragka pembangunan negaranya. Namun di sisi lain, negara-negara
berkembang—seperti Idonesia, India, dan Meksiko—yang umumnya pendapatan
nasionalnya masih rendah, tingkat pendidikan yang tidak mereta, kemiskinan
tinggi, serta penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang masih minim membuat
arah kerjasama internasional ini cukup jelas. Negara-negara maju umumnya
berperan sebagai investor dan penyandang dana bagi negara-negara berkembang
yang memiliki luas lahan hutan lebih besar guna upaya penyerapan dan
pengurangan gas karbon. Melalui lembaga keuangan internasional juga biasanya
ada bantuan-bantuan khusus yang diberikan kepada negara-negara yang memiliki
hutan yang luas disamping negara industri berupaya keras mengurangi emisi
GRKnya.[3]
Hari
ini bentuk kerjasama internasional yang dilakukan mulai semakin nyata. Melalui
konfrensi-konfrensi internasional yang membahas perubahan iklim—seperti UNFCCC
tahun 2007 di Nusa Dua, Bali—,upaya pengembangan teknologi yang dapat menghasilkan
karbon dalam jumlah rendah, pelibatan sektor swasta dan penguasaha, pembangunan
yang berkelanjutan, hingga konsep perdagangan karbon, perlahan emisi GRK dapat
ditekan walaupun masih dalam jumah yang tidak besar sebab aktifitas industri
yang juga tidak serta merta langsung berhenti. Melalui program mitigasi dan
adaptasi yang diakukan oleh setiap negara dengan membuat instrumen kebijakan
yang tegas tentang perubahan iklim, diharapkan dalam beberapa puluh tahun
kedepan bumi ini masih terjaga untuk anak cucu.
[1] Adji Krisbandono, Kerjasama
Pemerintah dan Swasta dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim: Pengalaman
Kota Rotterdam. Makalah tidak diterbitkan
[2] Keterangan Pers Pertemuan
Menteri Keuangan tentang Climate Change, bali Indonesai, 11 Desember 2007
[3] Dunia
internasional menetapkan bahwa tahun 2011 sebagai tahun Internasional Kehutanan
(International Year of Forests 2011) untuk meningkatkan kesadaran akan
pentingnya hutan terhadap iklim global dan kesejahteraan manusia.
Lanjut..
03.06 | Posted by Sering Sharing
Dalam
studi lingkungan atau lebih dikenal dengan ekologi, seringkali tidak bisa
dipisahkan dengan sebuah persoalan besar yang melanda masyarakat pascaperang
dunia ke dua, yaitu apa yang disebut dengan limits
to growth. Persoalan ini secara tidak langsung dapat membahayakan
kelangsungan hidup, lebih khusus lagi populasi manusia itu sendiri. Pada tahun
1970an sampai dengan 1980an, mulai muncul sebuah studi baru yang setidaknya
menghubungkan antara lingkungan dengan politik sebagai sebuah alternatif
menghadapi tantangan yang dipaparkan dalam limits
to growth—kemudian disebut dengan political
ecology. Perkembangan awalnya, politik ekologi dimulai dengan mengandalkan
konsep-konsep ekonomi politik yang berasal dari kepedulian pada faktor materialis
dan strukturalis. Artinya, sebagai sebuah studi, politik ekologi tidaklah berdiri
sendiri tanpa topangan dari ilmu-ilmu lainnya seperti geografi, politik,
antropologi, biologi, hingga ekonomi itu sendiri.
Diantara
penjelasan lebih lanjut mengenai politik ekologi ini adalah studi analisa rantai
yang menghubungkan dinamika lingkungan dengan kekuatan-kekuatan sosial,
ekonomi, bahkan politik, misalnya bagaimana hubungan antara lingkungan dengan
kemiskinan, lingkunagan dengan keterbelakangan, neo-kolonialisasi, dan
marjinalisasi ekonomi dan politik. Artinya, alam tidak lagi hanya sekedar menjadi
objek penelitian, tapi sekaligus sebagai subjek yang dapat memberikan pengaruh
pada kelangsungan hidup manusia. Disamping itu, politik ekologi juga
memperhatikan bagaimana gagasan tentang kesinambungan diciptakan dan disebarkan
dalam pembangunan, atau dalam istilah saat ini dikenal dengan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Maka, berangkat dari semangat berfikir kritis, studi politik ekologi menilai
bahwa keputusan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dipahami hanya dari
sudut pandang teknis yang memprioritaskan efisiensi, tapi bagaimana dampak
turunan yang diciptakan dan imbasnya pada keberlangsungan hidup manusia.
Modernisasi,
globalisasi, dan praktik ekonomi kapitalis sedikit benyak telah memberikan pengaruh
pada pembicaraan mengenai politik ekologi kontemporer. Pada awalnya tema-tema
ini dianggap sebagai ‘juru selamat’ bagi pembangunan sebuah negara dan
keterbelakangan manusia, namun belakangan disadari bahwa pada kenyataannya
justru lebih banyak merugikan manusia dan menimbulkan kerusakan alam.
Sifat-sifat eksploitatif dan akumulasi kepentingan modal telah membuat jurang
kemiskinan semakin dalam dan kesenjangan antar mereka yang punya dan tidak
punya semakin lebar. Pembangunan ekonomi global dirasa berjalan ganjil, ada
blok-blok negara yang maju namun ada juga blok-blok negara yang sebaliknya. Dengan
menyadari fenomena seperti ini, diharapkan pemahaman kita tentang politik
ekologi lebih luas—tidak hanya—seputar persoalan antara lahan dan masyarakat
seperti pada masa feodalisme, tapi juga lebih jauh lagi mengenai nasib
orang-orang yang hidupya sangat bergantung langsung pada alam dan lingkungan. Diantara
nasib orang-orang seperti itu adalah masyarakat lokal (indigineus people), meliputi juga kearifan lokalnya. Sampai di sini
kita memahami bahwa tidak heran jika dalam pembahasan politik ekologi juga terdapat
perhatian kepada persoalan antropologi dan antroposentrisme.
Sebagai
bagian akhir, rupanya dalam studi politik ekologi masih terdapat faktor yang
sering diabaikan karena terlalu terfokus pada masalah lingkungan dan politik.
Dintara faktor itu adalah mengenai kapitalisme global—dampak dan hubungannya
dengan kerusakan lingkungan—dan dimensi ideologis selain kapitalisme, seperti
marxisme dan sosialisme. Kita juga perlu
waspada pada ‘kecerdasan’ kapitalisme dalam memanfaatkan kesempatan dan melakukan
efisiensi di tengah desakan akan pembangunan yang berkelanjutan. Keberhasilan
mereka—kelompok kapitalis—membangun konsep-konsep lingkungan yang ‘ramah
lingkungan’, secara tidak sadar telah kembali menunjukan penguasaan mereka
dalam meraih akumulasi modal walupun telah terjadi perubahan cara pandang
pembangunan saat ini. Dan juga, jangan sampai kitSa terjebak dalam ‘kewajiban-kewajiban’
membuat dan melaksanakan kebijakan semata, padahal ada hal yang lebih penting
untuk diperhatikan dalam studi politik ekologi.
Energi Panas Bumi di Indonesia: Sebuah Alternatif
03.05 | Posted by Sering Sharing
Peningkatan konsumsi energi listrik di Indonesia dalam beberapa
kurun waktu terakhir telah menjadi perhatian serius, sebab selain menimbulkan
masalah kekhawatiran bagi masyarakat dan negara—mengenai cadangan sumber energi
dan termasuk juga pasokannya yang minim,—Indonesia di saat yang bersamaan juga
masih sangat bergantung pada sumber energi fosil (batubara, gas dan minyak
bumi). Dari data yang tertera di bawah ini, jelas bahwa setiap tahun—sejak
tahun 1990 sampai dengan tahun 2004—telah terjadi peningkatan penggunaan energi
yang signifikan, bahkan penggunaan energi listrik untuk keperluan bahan bakar
dan biomassa menempati jumlah yang terbanyak.
Penggunaan energi di Indonesia: 2,49 SBM/orang/tahun atau 0,35
(Statistics of Energy
Economics, 2007)[1]
Dari data yang dikeluarkan pada tahun 2007 tersebut, beberpa hal
yang bisa disimpulkan diantaranya adalah bahwa telah terjdai pertumbuhan
konsumsi energi sebesar 6,4% per tahun (1990-2004). Dominasi energi fosil masih
tinggi dibandingkan dengan sumber energi lainnya seperti barubara dan minyak
bumi, serta energi biomassa rupanya berperan sebesar 31% terhadap konsumsi
energi yang ada. Namun di luar data nasional yang mencengangkan tersebut,
ternyata keterbatasan pasokan listrik nasional yang selama ini dinilai rendah
juga mengakibatkan konsumsi listrik di Indonesia cukup rendah. Bahkan, jika
dibandingkan dengan negara-negara di Asean, Indonesia termasuk yang terendah.[2] Kapasitas pembangkit listrik
yang belum mencukupi kebutuhan ini diantaranya dipengaruhi oleh pola penggunaan
listrik masyarakat yang lebih banyak untuk keperluan konsumsi daripada produksi.
Di dunia internasional, rupanya krisis yang yag dialami tidak jauh
beda degan yang ada di dalam negeri. Persediaan pasokan bahan bakar minyak dunia
yang jumlahnya terbatas menuntut tiap negara untuk cerdas dan mampu memberikan
solusi alternatif menangani ketersediaan energi yang tidak sebanding dengan
jumlah kebutuhannya tersebut. di indonesia sendiri, sebenarnya dengan kekeayaan
dan potensi energi yang dimilikinya mampu menghadirkan alternatif bagi persoalan
yang saat ini sedang dialami. Wacana penggunaan energi yang ramah lingkungan
atau sering disebut denagn ‘energi hijau’ perlahan mengemuka ke khalaya publik.
Salah satu yang menjadi solusi alternatif potensial itu adalah energi panas
bumi. Diantara keuntungan yang bisa langsung dirsaakan selain karena Indonesia
merupakan tempat pertemuan dua arus pegunungan dunia—sehingga ketersediaan
panas buminya sangat banyak—adalah karena sifat energi panas bumi itu sendiri yang
tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga dunia dan energi ini tidak memiliki
dampak terhadap lingkungan apalagi sampai mencemari. Namun begitu, pemakaiannya
hanya bisa untuk kebutuhan dalam negeri (bukan seperti komoditi).
Pengembangan energi pasan bumi—lebih akrab dengan istilah
geothermal—nampaknya bukan hanya hadir sebagai solusi alternatif energi, namun
juga telah menjadi cita-cita pembangunan masa depan yang ramah lingkungan dan
berkesinambungan (karena jumlahnya yang bisa terus diperbaharui). Untuk tahun
2009 saja pemerintah menargetkan produski energi dari geothermal sebesar 4700 Mega
Watt. Meski potensi ketersediannya besar, sejumlah masalah juga hadir seperti
belum tersedianya investor yang mau mengembangkan potensi geotermal di
Indonesia, infrastuktur yang belum memadai dan teknologi yang terbatas, hingga
pemanfaatannya sampai saat ini yang tergolong rendah.[3]
Dari analsis data di atas, dapat kita lihat bahwa potensi energi panas
bumi di Indonesia cukup banyak terdapat di bagian timur negara khususnya di
sekitar kepulauan Maluku. Dan salah satu Kabupaten di daerah tersebut yang cukup
berpeluang untuk segera dimanfaatkan sumber energi panas buminya adalah
Kabupaten Halmahera Barat yang ber-ibu kota di Jailolo. Kabupaten ini merupakan
salah satu Kabupaten dan daerah ke dua di Indonesai Timur yang yang akan
mengembangkan energi panas bumi karena poteni yang dimilikinya.[4] Potensi energi panas bumi
di Kabupaten Halbar terbilang baik, misalnya saja daerah gunung berapi yang
sudah tidak aktif dan usianya yang sudah cukup tua (minimal setengah juta
tahun, dan juga memiliki struktur batuan di dalam tanah yang bisa memanaskan
sehingga membentuk uap.[5]
Dari penjelasan sederhana mengenai potensi energi panas bumi di
Indonesai, khususnya yang terdapat di Indonesia bagian timur, ada beberapa analisis
yang bisa dilakukan. Salah satu hal yang masih menjadi hambatan bagi
pengembangan energi panas bumi ini adalah minimnya investor dan pengembang geotermal
karena harga yang ditawarkan masih belum sesuai dengan perekonomian. PLN dan
BUMN sulit untuk menetukan harga karena selama ini harga listrik disubsidi
sehingga keuntungan yang didapatkannya pun rendah. Maka permasalahan harga ini
inilah yang menjadi fokus utama. Sebab jika saja harga listriknya berhasil
disepakati, tidak mustahil jika investor dan pengembang akan datang
berbondong-bondong. Padahal, dengan pemaparan sejumlah data di atas nampaknya
saat ini tinggal menggarapnya saja, tapi pemerintah rasanya begitu enggan berbuat banyak. Selain itu, ketimpangan antara kebutuhan penggunaan energi dengan
suplai energi yang dihasilkan masih terjadi. Sebagai contoh adalah energi
listrik di Pulau Jawa dan luar Jawa. Data dari Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa rasio elektrifikasi penggunaan energi
listrik di Indonesia mencapai 67 persen. Itu berarti 33 persen rumah tangga di
Indonesia belum teraliri listrik padahal kita berada di negeri yang kaya akan
sumber energi listrik terlebih seperti energi panas bumi yang jumlahnya tidak
terbatas.[6]
[1]
Data diambil dari Hak Kekayaan Intelektual dan Agenda Riset Strategis IPB Bidang Energi oleh Armansyah H. Tambunan
[2] Diakses dari http://www.jpnn.com/read/2011/06/06/94125/Konsumsi-Listrik-Indonesia-Terendah-di-Asean-.,
pada tanggal 13 Maret 2012, pukul 18.50. Konsumsi listrik per kapita ini dihitung
berdasar jumlah total konsumsi listrik dibagi dengan jumlah penduduk. Tumiran
menyebut, berdasar data International Energy Agency (IEA) 2010, dengan
pendapatan USD 3.500 per kapita, konsumsi energi listrik Indonesia per kapita
baru mencapai 591 kilowatt hour (KWh) per kapita.
[3] Hal ini diungkapkan
oleh Dr. Bambang Setiwan, selaku Dirjen Mineral, Batubara, dan Geotermal,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam acara Indonesia Geothermal Energy World Conference 22-23 Juli tahun 2009
di Bali
[4] Berdasarkan hasil
penelitian Direktorat Geologi Bandung pada 1971, ternyata ditemukan energi
panas bumi di Halmahera Barat yang berkapasitas 75 Mega Watt
[5] “Semangat Menyambut
Energi Hijau”, Majalah Tempo, edisi 17-23 Agustus 2009 (Edisi Khusus Hari
Kemerdekaan nasional).
[6] Diakses dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/18/85930,
pada tanggal 13 Maret 2012, pukul 18.30
Politik Lingkungan: Kerjasama dan Isu Lingkungan Internasional
03.05 | Posted by Sering Sharing
Kemunculan
isu lingkungan dalam skala besar atau menjadi pembicaraan global mulai
dirasakan pada tahun 1990an dan bahkan lebih awal lagi yaitu tahun 1960an
ketika lahir wacana-wacana tentang politik “hijau” atau yang identik dengan
partai “hijau”. Meski pada tahapan tersebut masih menjadi perhatian negara-negara
maju saja, nampaknya saat ini perlahan-lahan isu mengenai lingkungan mengena
juga ke negara-negera yang sedang berkembang. Sebab pada dasarnya, isu
lingkungan adalah isu yang sangat global dan menjadi ranah seluruh umat manusia
tanpa terkecuali.
Titik
tolak dan yang menjadi langkah nyata dalam pembahsan isu lingkungan setidaknya
terlihat pada saat berlangsungnya pertemuan internasional yang dilakukan oleh
PBB pada tahun 1972 di Stockholm, Rio
(Brazil) pada tahun 1992, dan Kyoto pada tahun 1997. Pada konfrensi atau
pertemuan PBB tersebut hadir perwakilan dari negara-negara maju maupun berkembang,
negara industri atau agraris, maritim maupun bukan. Mereka yang hadir
membicarakan tentang potensi lingkungan dan ancaman yang sedang terjadi terkait
permasalahan ekonomi dan ketahanan bangsa. Maka tidak mengherankan jika pada
mulanya pembahasan internasional terkait isu lingkungan masih besar porsinya pada
persoalan pencemaran lingkungan dan perubahan iklim yang tidak bisa dilepaskan
oleh urusan industri. Kerjasama antara negara-negara maju dan berkembang dalam
kaitan pencemaran lingkungan dan perubahan iklim tidaklah berjalan mulus.
Diantara mereka sampai hari ini masih menyisahkan persoalan saling menyalahkan
tentang pihak yang harus bertanggung jawab dan negara mana yang harus
mengurangi emisi CO2 lebih banyak. Lebih jauh lagi, perdagagan
karbon yang saat ini marak dibicarakan rupanya tidak lepas juga dari persoalan
politik dan kepentingan.
Terlepas
dari kerjasama dan perdebatan antara negara maju dan berkembang tentang
pencemaran lingkungan dan perubahan iklim, hal pertama yang penting bagi kita
cermati ketika membahas kerjasama internasional dalam menangani isu lingkungan
adalah siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana bentuk kerjasamanya.
Pertama, aktor yang berperan penting adalah negara. Negara adalah faktor terpeting
sebab hanya negaralah yang mampu melaksanakan perjanjian internasional. Kedua adalah
organisasi internasional yang meliputi organisasi supranegara seperti Uni Eropa
maupun organisasi-organisasi bentukan PBB seperti United Nation Environment
Programme (UNEP), dan Commission for
Sustainable Development (CSD). Ketiga, organisasi non-pemerintahan (NGO) yang
mulai memainkan peranan penting dalam aktivitas advokasi kemasyarakatan,
diantaranya WWF dan Greenpeace.
Hal kedua yang penting untuk dicermati adalah pentingnya
konsensi dan negosiasi dalam kerjasama internasional mengantisipasi pencemaran
lingkungan dan perubahan iklim. Proses seperti ini menjadi sangat vital karena
merupakan salah satu cara yang banyak digunakan untuk mencapai kesepakatan
ataupun perjanjian internasional. Contohnya adalah ketika berlangsung Protokol
Kyoto tahun 1997, pada awalnya Amerika Serikat tidak mau menyetujui hasil
perjanjian yang mengharuskan negara mengurangi emisi zat CO2nya
sebanyak 7%, namun akhirnya bersedia mengurangai zat emisi tersebut pada tahun
2008-2012.
Sebagai contoh aktor dan bentuk negosiasi yang cukup
baik ketika menjelaskan kerjasama internasional dalam mengatasi isu lingkungan
adalah Uni Eropa. Organsasi kawasan ini sebagai organisasi supranasional atau
internasional rupanya tergolong unik karena sebab kekuatan untuk mengikat
negara-negara anggotanya dan menjadi salah satu faktor yang mempermudah dalam
menggalang kerjasama internasional, organisasi ini juga tergolong banyak memberikan
perhatian pada masalah-masalah internasional, misalnya saja ada tahun 1973, Uni
Eropa sudah memiliki memiliki Environmental
Action Programme (EAP). Keberhasilannya dalam menggalang Kerjasama
internasional juga tidak terlepas dari integrasi kebijakan lingkungan di Eropa
yang dibuat. Arah kebijakan lingkungannya termasuk yang sangat komprehensif,
yaitu meliputi udara, boteknologi, zat kimia, perlindungan sipil terhadap
kecelakaan, perubahan iklim, ekonomi lingkungan, perluasan negara, kesehatan, teknologi
industri, isu internasional, kegunaan lahan, keanekaragaman hayati, polusi
udara, tanah, pembangunan berkelanjutan, limbah, dan air.
Meski pada awalnya organisasi internasional ini
dibentuk atas dasar ekonomi yaitu memperkuat kerjasama ekonomi negara-negara di
kawasan Eropa, namun karena pembangunan industri dan modernisasi yang kian
cepat, lama-kelamaan menuntut pula negara-negara yang tergolong maju itu untuk
mulai memperhatikan kelangsungan kehidupan dan kualitas lingkunagn di negaranya.
Karena bagimanapun juga, penyebab kerusakan lingkaungan dan pencemarannya
tidaklah menjadi faktor tunggal satu negara saja, tapi menjadi tanggung jawab
banyak negara dan dampak yang dirasakannya pun demikian juga. Meskipun begitu,
belakangan terdapat dilema diantara negara-negara Eropa yaitu ketika akan
membahasa isu lingkungan antara ketahanan lingkungan itu sendiri dan
kepentingan-kepentingan ekonomi. Bagaimanapun juga ketika industri mulai
membagi perhatiannya pada isu lain seperti lingkungan, ongkos produksi yang
dikeluarkannya pun menjadi lebih besar dan mengurangi keuntungan yang selama
ini didapat. Terlepasa dari dilema dan persoalan yang terakhir dibahas, Norwegia
rupanya berhasil tampil sebagai salah satu negara yang memiliki minat tinggi
dan sukses dalam mengatasi isu lingkungan dengan kerjasama internasional
melalui program diantaranya perdagangan karbon.
Langganan:
Postingan (Atom)