Kerjasama Internasional Menghadapi Isu Perubahan Iklim
Ada sebuah tantangan serius yang dihadapi manusia di
abad 21 pascaperang dunia. Bukan sekedar masalah kelaparan atau ledakan jumlah
penduduk manusia yag tidak terkendali sehingga mengurangi jumlah lahan yang
ada, tapi lebih kompleks dari itu semua
adalah apa yang kita sebut dengan terjadinya perubahan iklim. Berbagai macam
bencana seperti banjir, angin topan, kekeringan dan lainnya terjadi semakin
sering dalam kurun 50 tahun terakhir dan sulit diprediksi sebab iklim atau
cuaca yang ada juga datang dengan tidak menentu. Perubahan iklim ini terjadi
akibat pemanasan bumi yang sudah mengglobal, sehingga menciptakan dampak-dampak
turunan sepeti bencana-bencana yang sudah disebutkan. Bahasa yang paling umum
digunakan saat ini adalah efek rumak kaca. Sebuah analisis perubahan iklim yang
kemudian menjadi istilah utama ketika selubung bumi dihinggapi oleh gas-gas
rumah kaca—karbondioksida, metan, CFC, dll—dalam jumlah berlebihan atau istilah
yang lebih sederhanaya bumi menjadi ‘pengap’.
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah menjadi isu yang
melampaui batas-batas negara (borderless)
layaknya konsep globalisasi. Suatu negara tidak bisa tidak terlibat dampak
maupun upaya penanganannya. Bukan saja menjadi persoalan negara-negara industri—sebagai
penyumbang GRK terbesar—tapi mereka yang tidak tahu menahu dan hidup dibelahan
bumi lain bisa mengalami dampak negatifnya juga. Atas asumsi sederhana seperti
inilah kemudian muncul wacana perencanaan penggulangan isu perubahan iklim ini
dengan konsep kerjasama baik regional maupun internasional selain upaya yang
juga dilakukan di masing-masing negara. Bayangkan saja, untuk sebuah kawasan
seperti Uni Eropa (UE) ternyata berkontribusi mencapai 15% – 20% emisi gas
rumah kaca dunia (Victor, 2006; RCI, 2007)[1].
Maka dari itu, perubahan iklim adalah salah satu tantangan perkembangan global
yang tidak bisa dikatakan murah. Sebab invetasi yang dikeluarkan untuk
menangani kasus seperti di Uni Eropa saja mencapai lebih dari U$200 Milyar
setiap tahunnya.[2]
Persoalan lalu muncul ketika semangat kerjasama internasional
ini mulai digalang. Rupanya negara-negara maju dan negara-negara berkembang memiliki
perbedaan cara pandang dalam menyikapi isu yang ada. Bukan hanya karena
negara-negara maju lebih banyak kegiatan industrinya sehingga ada rasa tanggung
jawab yang besar akan nasib yang sedang mereka alami atau juga bukan karena
negara berkembang tidak memiliki dana investasi yang besar untuk menanggulangi
nasib tersebut, tapi yang menjadi peredaan utama adalah fokus kedua blok negara
ini yang berbeda dalam ragka pembangunan negaranya. Namun di sisi lain, negara-negara
berkembang—seperti Idonesia, India, dan Meksiko—yang umumnya pendapatan
nasionalnya masih rendah, tingkat pendidikan yang tidak mereta, kemiskinan
tinggi, serta penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang masih minim membuat
arah kerjasama internasional ini cukup jelas. Negara-negara maju umumnya
berperan sebagai investor dan penyandang dana bagi negara-negara berkembang
yang memiliki luas lahan hutan lebih besar guna upaya penyerapan dan
pengurangan gas karbon. Melalui lembaga keuangan internasional juga biasanya
ada bantuan-bantuan khusus yang diberikan kepada negara-negara yang memiliki
hutan yang luas disamping negara industri berupaya keras mengurangi emisi
GRKnya.[3]
Hari
ini bentuk kerjasama internasional yang dilakukan mulai semakin nyata. Melalui
konfrensi-konfrensi internasional yang membahas perubahan iklim—seperti UNFCCC
tahun 2007 di Nusa Dua, Bali—,upaya pengembangan teknologi yang dapat menghasilkan
karbon dalam jumlah rendah, pelibatan sektor swasta dan penguasaha, pembangunan
yang berkelanjutan, hingga konsep perdagangan karbon, perlahan emisi GRK dapat
ditekan walaupun masih dalam jumah yang tidak besar sebab aktifitas industri
yang juga tidak serta merta langsung berhenti. Melalui program mitigasi dan
adaptasi yang diakukan oleh setiap negara dengan membuat instrumen kebijakan
yang tegas tentang perubahan iklim, diharapkan dalam beberapa puluh tahun
kedepan bumi ini masih terjaga untuk anak cucu.
[1] Adji Krisbandono, Kerjasama
Pemerintah dan Swasta dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim: Pengalaman
Kota Rotterdam. Makalah tidak diterbitkan
[2] Keterangan Pers Pertemuan
Menteri Keuangan tentang Climate Change, bali Indonesai, 11 Desember 2007
[3] Dunia
internasional menetapkan bahwa tahun 2011 sebagai tahun Internasional Kehutanan
(International Year of Forests 2011) untuk meningkatkan kesadaran akan
pentingnya hutan terhadap iklim global dan kesejahteraan manusia.
postingan yang menarik, kami juga punya artikel terkait 'Gas Rumah Kaca (GRK)' silahkan buka link ini
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3143/1/PESAT%202005%20_ekonomi_008.pdf
semoga bermanfaat ya