Energi Panas Bumi di Indonesia: Sebuah Alternatif
Peningkatan konsumsi energi listrik di Indonesia dalam beberapa
kurun waktu terakhir telah menjadi perhatian serius, sebab selain menimbulkan
masalah kekhawatiran bagi masyarakat dan negara—mengenai cadangan sumber energi
dan termasuk juga pasokannya yang minim,—Indonesia di saat yang bersamaan juga
masih sangat bergantung pada sumber energi fosil (batubara, gas dan minyak
bumi). Dari data yang tertera di bawah ini, jelas bahwa setiap tahun—sejak
tahun 1990 sampai dengan tahun 2004—telah terjadi peningkatan penggunaan energi
yang signifikan, bahkan penggunaan energi listrik untuk keperluan bahan bakar
dan biomassa menempati jumlah yang terbanyak.
Penggunaan energi di Indonesia: 2,49 SBM/orang/tahun atau 0,35
(Statistics of Energy
Economics, 2007)[1]
Dari data yang dikeluarkan pada tahun 2007 tersebut, beberpa hal
yang bisa disimpulkan diantaranya adalah bahwa telah terjdai pertumbuhan
konsumsi energi sebesar 6,4% per tahun (1990-2004). Dominasi energi fosil masih
tinggi dibandingkan dengan sumber energi lainnya seperti barubara dan minyak
bumi, serta energi biomassa rupanya berperan sebesar 31% terhadap konsumsi
energi yang ada. Namun di luar data nasional yang mencengangkan tersebut,
ternyata keterbatasan pasokan listrik nasional yang selama ini dinilai rendah
juga mengakibatkan konsumsi listrik di Indonesia cukup rendah. Bahkan, jika
dibandingkan dengan negara-negara di Asean, Indonesia termasuk yang terendah.[2] Kapasitas pembangkit listrik
yang belum mencukupi kebutuhan ini diantaranya dipengaruhi oleh pola penggunaan
listrik masyarakat yang lebih banyak untuk keperluan konsumsi daripada produksi.
Di dunia internasional, rupanya krisis yang yag dialami tidak jauh
beda degan yang ada di dalam negeri. Persediaan pasokan bahan bakar minyak dunia
yang jumlahnya terbatas menuntut tiap negara untuk cerdas dan mampu memberikan
solusi alternatif menangani ketersediaan energi yang tidak sebanding dengan
jumlah kebutuhannya tersebut. di indonesia sendiri, sebenarnya dengan kekeayaan
dan potensi energi yang dimilikinya mampu menghadirkan alternatif bagi persoalan
yang saat ini sedang dialami. Wacana penggunaan energi yang ramah lingkungan
atau sering disebut denagn ‘energi hijau’ perlahan mengemuka ke khalaya publik.
Salah satu yang menjadi solusi alternatif potensial itu adalah energi panas
bumi. Diantara keuntungan yang bisa langsung dirsaakan selain karena Indonesia
merupakan tempat pertemuan dua arus pegunungan dunia—sehingga ketersediaan
panas buminya sangat banyak—adalah karena sifat energi panas bumi itu sendiri yang
tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga dunia dan energi ini tidak memiliki
dampak terhadap lingkungan apalagi sampai mencemari. Namun begitu, pemakaiannya
hanya bisa untuk kebutuhan dalam negeri (bukan seperti komoditi).
Pengembangan energi pasan bumi—lebih akrab dengan istilah
geothermal—nampaknya bukan hanya hadir sebagai solusi alternatif energi, namun
juga telah menjadi cita-cita pembangunan masa depan yang ramah lingkungan dan
berkesinambungan (karena jumlahnya yang bisa terus diperbaharui). Untuk tahun
2009 saja pemerintah menargetkan produski energi dari geothermal sebesar 4700 Mega
Watt. Meski potensi ketersediannya besar, sejumlah masalah juga hadir seperti
belum tersedianya investor yang mau mengembangkan potensi geotermal di
Indonesia, infrastuktur yang belum memadai dan teknologi yang terbatas, hingga
pemanfaatannya sampai saat ini yang tergolong rendah.[3]
Dari analsis data di atas, dapat kita lihat bahwa potensi energi panas
bumi di Indonesia cukup banyak terdapat di bagian timur negara khususnya di
sekitar kepulauan Maluku. Dan salah satu Kabupaten di daerah tersebut yang cukup
berpeluang untuk segera dimanfaatkan sumber energi panas buminya adalah
Kabupaten Halmahera Barat yang ber-ibu kota di Jailolo. Kabupaten ini merupakan
salah satu Kabupaten dan daerah ke dua di Indonesai Timur yang yang akan
mengembangkan energi panas bumi karena poteni yang dimilikinya.[4] Potensi energi panas bumi
di Kabupaten Halbar terbilang baik, misalnya saja daerah gunung berapi yang
sudah tidak aktif dan usianya yang sudah cukup tua (minimal setengah juta
tahun, dan juga memiliki struktur batuan di dalam tanah yang bisa memanaskan
sehingga membentuk uap.[5]
Dari penjelasan sederhana mengenai potensi energi panas bumi di
Indonesai, khususnya yang terdapat di Indonesia bagian timur, ada beberapa analisis
yang bisa dilakukan. Salah satu hal yang masih menjadi hambatan bagi
pengembangan energi panas bumi ini adalah minimnya investor dan pengembang geotermal
karena harga yang ditawarkan masih belum sesuai dengan perekonomian. PLN dan
BUMN sulit untuk menetukan harga karena selama ini harga listrik disubsidi
sehingga keuntungan yang didapatkannya pun rendah. Maka permasalahan harga ini
inilah yang menjadi fokus utama. Sebab jika saja harga listriknya berhasil
disepakati, tidak mustahil jika investor dan pengembang akan datang
berbondong-bondong. Padahal, dengan pemaparan sejumlah data di atas nampaknya
saat ini tinggal menggarapnya saja, tapi pemerintah rasanya begitu enggan berbuat banyak. Selain itu, ketimpangan antara kebutuhan penggunaan energi dengan
suplai energi yang dihasilkan masih terjadi. Sebagai contoh adalah energi
listrik di Pulau Jawa dan luar Jawa. Data dari Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa rasio elektrifikasi penggunaan energi
listrik di Indonesia mencapai 67 persen. Itu berarti 33 persen rumah tangga di
Indonesia belum teraliri listrik padahal kita berada di negeri yang kaya akan
sumber energi listrik terlebih seperti energi panas bumi yang jumlahnya tidak
terbatas.[6]
[1]
Data diambil dari Hak Kekayaan Intelektual dan Agenda Riset Strategis IPB Bidang Energi oleh Armansyah H. Tambunan
[2] Diakses dari http://www.jpnn.com/read/2011/06/06/94125/Konsumsi-Listrik-Indonesia-Terendah-di-Asean-.,
pada tanggal 13 Maret 2012, pukul 18.50. Konsumsi listrik per kapita ini dihitung
berdasar jumlah total konsumsi listrik dibagi dengan jumlah penduduk. Tumiran
menyebut, berdasar data International Energy Agency (IEA) 2010, dengan
pendapatan USD 3.500 per kapita, konsumsi energi listrik Indonesia per kapita
baru mencapai 591 kilowatt hour (KWh) per kapita.
[3] Hal ini diungkapkan
oleh Dr. Bambang Setiwan, selaku Dirjen Mineral, Batubara, dan Geotermal,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam acara Indonesia Geothermal Energy World Conference 22-23 Juli tahun 2009
di Bali
[4] Berdasarkan hasil
penelitian Direktorat Geologi Bandung pada 1971, ternyata ditemukan energi
panas bumi di Halmahera Barat yang berkapasitas 75 Mega Watt
[5] “Semangat Menyambut
Energi Hijau”, Majalah Tempo, edisi 17-23 Agustus 2009 (Edisi Khusus Hari
Kemerdekaan nasional).
[6] Diakses dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/18/85930,
pada tanggal 13 Maret 2012, pukul 18.30
0 Response to "Energi Panas Bumi di Indonesia: Sebuah Alternatif"
Posting Komentar