Politik Kartel di Indonesia: Suatu Tinjauan Pendahuluan
Menurut
Katz dan Mair, sejarah partai politik yang
mula-mula dari bentuk partai kader atau partai elit di abad ke-19 lalu berubah
bentuk menjadi bentuk partai massa setelah diperkenalkannya istilah hak pilih
publik, bukanlah suatu proses akhir dan sama sekali tidak menjelaskan
terjadinya bentuk-bentuk partai yang lain. Sebab dalam perkembangan
selanjutnya, ada pula yang disebut dengan istilah partai lintas kelompok,
partai electoral-professional, hingga
yang paling kontemporer adalah patai kartel—suatu bentuk kooperasi yang lebih
khusus ketika partai lebih mengurusi kepentingan sendiri, dan politik menjadi
profesi dalam dirinya—dengan ciri terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen
mereka, dan terpinggirkanya para oposan di tubuh partai. Fenomena yang terakhir
ini selain menandakan proses evolusi partai dan sistem kepartaian yang pernah
ada, sekaligus juga memberikan bantahan terhadap proses terbentuknya partai
politik yang didasarkan hanya pada pembelahan sosial atau cleavage. Pada hari ini—khususnya di Indonesia—persaingan antar
partai akibat akomodasi pembelahan sosial secara historis (cleavage social, lihat Lipset dan Rokkan) tidak lagi begitu kentara,
misalnya pascatransisi. Sebagai contoh dahulu kepentingan politik masyarakat
(salah satu yang menjadi tujuan partai politik) tercermin dari adanya pemisahan
antara masyarakat Jawa dan non-Jawa di pulau-pulau lainnya pada masa
parlementer maupun orde baru. Namun dengan proses evolusi sistem pemilu dan
kepertaian yang ada saat ini, justru mendorong arena politik pada pemilu,
parlemen, maupun pemerintahan untuk lebih memungkinkan adanya koalisi partai
yang mulai memudarkan tautan-tautan elektoral seperti ideologi dan kepentingan masyarakat.
Sekilas
apa yang dijelaskan sebelumnya menunjukan bahwa di era reformasi ini telah
terjadi anomali partai politik. Anomali ini setidaknya bermula dari pembahasan
soal ideologi hingga platform kebijakan yang menjadi “barang” perjuangan sebuah
partai politik. Partai semakin lebar jaraknya dengan ideologi dan
konstituennya. Bahkan jika melihat berita akhir-akhir ini di media elektronik,
menunjukan bahwa hasil survey yang dlakukan oleh beberapa lembaga survey
semakin menegaskan lebih banyak jumlahnya konstituen yang rasional (mudah
beralih pilihan pada suatu partai) daripada konstituen ideologis (memiliki
kesetiaan dengan suatu partai karena kesamaan tujuan dan ideologi). Selain itu,
kekusaan dan akses terhadap sumber daya—seperti uang dan kekuasaan—di dalam
pemerintahan telah menciptakan watak baru dari para politisi dan partai dalam perburuan
rente yang lebih terkordinir, semisal dengan korupsi birokrasi secara bersama.
Maka dari itu, perlu bagi kita memahami peristiwa ini (politik kartel) dan perbedaannya
dari model demokrasi konsensus maupun bentuk-bentuk koalisi seperti koalisi
besar, dan koalisi kemenangan minimal.
Kuskrido
Ambardi di dalam bukunya Mengungkap
Politik Kartel menjelaskan bahwa setidaknya ada lima ciri politik kartel—dan
keseluruhannya bukanlah model konsensus—, yaitu (1) hilangnya peran ideologi
partai sebagi faktor penentu perilaku koalisi partai, (2) sikap permisif dalam
pembentukan koalisi, (3) tiadanya oposisi, (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir
tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik, (5) kuatnya
kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagi suatu kelompok.
Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem
kepartaian yang kompetitif. Ciri lainnya yang bisa diidentifikasi, selain lima
ciri di atas, adalah persaingan antar partai yang hilang dari arena ke arena. Berbeda dari asumsi semula (lihat Sartori)
tentang bagaimana prilaku dan gejala turunan partai dianggap konsisten dari
waktu ke waktu di tiga arena politik (pemilu, legislatif, dan eksekutif). Sebab
bagi sebuah sistem pemilu yang kompetitif, persaingan atau kompetisi itu tidak
berhenti hanya sampai proses pemilu berakhir, namun juga terjadi di arena-arena
politik selanjutya, yaitu parlemen dan pemerintahan.
Fenomena
pragmatisme (kolusi dan absennya oposisi) telah mewarnai konstelasi partai
politik di Indonesia dewasa ini. Semakin kaburnya partai-partai yang bisa
dikategorikan sebagai partai kader dan partai massa telah menjadi salah satu
indikasi fenomena tersebut. Partai politik terlihat jelas berupaya untuk menumpuk
segala macam ceruk yang ada dan dari barbagai macam ideologi dengan menyuarakan
jargon-jargon seperti partai religious-demokrat, partai religious-nasionalis,
bahkan mungkin ada yang menamakan dirinya partai nasionalis-demokrat-religius. Namun
menurut beberapa peneliti politik lain, partai politik dewasa ini juga
dihadapkan pada suatu dilema pilihan koalisi yang semata-mata tidak selamaya
disandarkan pada pragmatisme (lihat Muller dan Storm). Misalnya partai suatu
ketika akan menghadapi pilihan sulit ketika harus menetukan pilihan apakah koalisinya
berdasarkan tujuan atau ideologi. Seringkali
partai politik terjebak untuk melepaskan ideologinya hanya untuk bergabung
dengan koalisi yang ada, padahal partai tersebut sebelumnya sangat kuat dalam
ideologi.
Masyarakat
Indonesia yang multikultur dan sistem kepartaian yang multipartai juga mendorong
fenomena kartel politik. Demi menjaga kelangsungan hidupnya, suatu partai rela berkoalisi
dan merubah ideologi yang sebenarnya sangat bertentangan dengan cita-cita
partai. Konsekuensi sistem pemerintahan presidesil yang membutuhkan dukungan partai
yang kuat pada seorang pemimpin negara, sering kali mengabaikan kelompok-kelompok
minoritas yang ada dan “memaksa” kelompok minoritas tersebut melakukan pilihan
pada partai-partai politik yang berbeda kepentingan dengan dirinya. Di satu
sisi negara kita membutuhkan sosok pemimpin dengan dukungan yang kuat, namun di
saat yang sama kepentingan dan keragaman kelompok yang ada begitu kompleks.
Banyak
sisi dan sudut pandang yang dapat digunakan untuk meganilisis gejala politik
kartel di Indonesia pada era reformasi. Konsep jebakan “pertanggungjawaban”
dari Dan Slater bisa menjadi salah satunya. Slater menjelaskan bahwa tidak
adanya checks and balances yang
horizontal antara parlemen dan pemerintah pascapemilu 1999 telah melemahkan
sistem pertanggungjawaban pemerintah terhadap lembaga perwakilan seperti kontrol
oleh parlemen maupun rakyat. Ketiadaan oposan di dalam sistem pemerintahan
telah membuat kewenangan pemimpin negara yang besar di sebuah negara
presidensil menjadi lebih tidak terkontrol bahkan dikhawatirkan akan terjadi
pembalikan seperti masa otoriterianisme sebelumnya. Pascaamandemen UUD 1945 dan
diselenggarakannya pemilu pada tahun 2004 dan 2009 setidaknya memberikan sedikit
harapan bagi tercitanya suatu mekasnisme pertanggungjawaban yang lebih baik. Sebab dengan ketentuan pemilihan presiden
secara langsung diharapkan akan tercipta kontrol maupun peertanggungjawaban
pemerintah yang lebih jelas secara vertikal, misalnya pertanggugnjawaban
langsung presiden terhadap rakyatnya. Namun belakangan mulai ada kekhawatiran juga
dari mekanisme pemilihan presiden secara langsung yang sempat menghadirkan
harapan ini, yaitu tantangan pilpres langsung dengan adanya sistem partai yang
terkartel. Sebab Indonesia yang menganut sistem perwakilan politik tidak
langsung—melalui parlemen—ini tidak kuasa melakukan ‘gugatan’ terhadap
pemerintah yang melakukan penyimpangan kecuali setidaknya melalui perantara
partai yang jelas-jelas sudah masuk ke dalam sistem politik kartel maupun
parlemen yang isinya adalah orag-orang partai juga.
Kita
benar-benar sedang mendambakan model sistem kepartaian seperti yang dikemukakan
oleh Sartori, yaitu sistem kepartaian yang menekankan adanya interaksi
persaingan antar partai yang bebas (satu partai, dua partai, multipartai
moderat, dan multipartai ekstrim). Bukan karena ingin adanya perselisihan yang
terus menerus antar partai, tapi agar adanya sebuah pemerintahan dan mekanisme
pemilihan umum yang terkontrol, memuliakan tujuan kolektif masyarakat, dan
bukan kepentingan partai politik bersama saja—yang terlepas dari tautan dengan
konstituennya—apalagi kepentingan pribadi. Lalu salah satu pertanyaannya, ada
di mana ideologi saat ini?. Saat ini jelas-jelas telah terjadi tantangan bagi
sistem koalisi yang berbasis pada ideologi (de Swaan: 1973) saat berhadapan
dengan pola koalisi kemenangan minimal (Rikker: 1962) dalam rangka mewujudkan
adanya tautan elektoral di dalam suatu pemilihan umum. Bukan berarti penulis
secara pribadi mendewakan ideologi, namun jika ideologi saja sudah tidak ada,
lalu berdasarkan pada apa nilai-nilai perjuangan partai saat ini.
Pendapat
penulis diantaranya adalah bukan berarti tidak ada ideologi sama sekali pada
saat partai politik memutuskan untuk berkoalisi. Lihat bagaimana PDIP, Hanura,
dan Gerindra berkoalisi setidaknya dengan dasar kesamaan cara pandang sebagai
sebuah kelompok partai oposisi, padahal Gerindra dan Hanura adalah dua partai
dengan suara terkecil yang berhasil duduk di parlemen namun lebih memilih untuk
bergabung menjadi oposisi. Selanjutnya adalah apakah watak sistem kepartaian
yang kompetitif benar-benar mampu menciptakan konsolidasi demokrasi di
Indonesia—seperti pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya negara secara
beramai-ramai serta keberhasilannya membentuk lembaga-lemabaga politik seperti
di Eropa—di saat negara kita yang menganut sistem presidensil lebih ‘menginginkan’
adanya suatu pemerintahan yang stabil dan dukungan besar terhadap kepala negara
dan kepala pemerintahan?.
0 Response to "Politik Kartel di Indonesia: Suatu Tinjauan Pendahuluan"
Posting Komentar