Perdebatan Dasar Negara: Kelompok Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam


Pergulatan politik antara agama dan negara, dasar negara dan agama, maupun antara agama dan dasar negara yang terjadi di Indonesia telah berlangsung sejak lama dari mulai negara ini dipersiapkan dalam suatu badan yang disebut dengan BPUPKI hingga pascareformasi ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali. Polemik ini berlangsung lama sebab diantaranya diakibatkan oleh pertentangan yang tajam dan tiada henti antara golongan Islam dan nasionalis yang ada baik di DPR-MPR, maupun partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia. Isu antara agama, khususnya Islam dengan negara itu sendiri merupakan isu yang sensitif. Mengingat meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun konsentrasi penduduk di belahan timur justru berkebalikan. Satu hal yan biasanya dikhawatirkan ketika terjadi dominasi mayoritas dalam pembentukan dasar negara adalah terjadinya disintegrasi daerah sebagi bentuk penolakannya terhadap dasar negara yang diambil dari ajaran agama tertentu saja.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dari sisi penduduk (suku, agama, bahasa, hingga kebudayaan lain yang lebih kompleks). Keragaman ini tercermin jelas dalam sejarah BPUPKI yang ditugaskan oleh Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas menyusun konstitusi negara dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang baru berdiri. Perwakilan anggotanya pun beragam dari mulai orang-orang Indonesia bagian barat, hingga orang-orang dari Indonesia bagian timur. Namun begitu, setidaknya di dalam BPUPKI, kelompok-kelompok yang beragam itu mengkristal menjadi hanya dua kelompok besar saja, yaitu kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis religious/kelompok Islam. Maka kemudian jelas apa saja yang menjadi cita-cita dan tujuan masing-masing kelompok. Kelompok Nasionalis sekuler menghendaki agar Indonesia yang akan dibangun kelak berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus pada ideologi keagamaan. Sedangkan kelompok lain—nasionalis Islam—menginginkan agar negara Indonesia berdasarkan Islam.
Seperti kita ketahui, elit modern Indonesia sebelum kemerdekaan pemikirannya dipengaruhi oleh tiga ideologi besar yang hidup pada waktu itu, yaitu Islam nasionalisme atau kebangsaan dan ideologi barat modern-sekuler (seperti liberalisme, kapitalisme, dan komunisme). Tapi apa yang terjadi di Indonesia pada awal-awal menjelang kemerdekannya setidaknya hanya menunjukan dua kutub pemikiran saja, Islam dan nasionalis sekuler. Diawali sejak tahun 1930an ketika PNI dengan tokoh terkenalnya—Soekarno—mewakili kelompok nasionalis sekuler, dan kalangan Islam dengan tokohnya HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ahmad Hasan dan M. Natsir. Ketika itu salah satu debat yang cukup fenomenal adalah antara Soekarno denagn Natsir terkait bentuk dan dasar negara. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan negara merupakan persoalan dunia dan kemasyarakatan. Menurutnya lagi, negara dalam hal ini tidak memiliki wewenang mengatur apalagi memaksakan ajaran agama kepada para warga negaranya. Sementara itu Natsir berpendapat lain. menurutnya, ajaran Islam bukan semata-mata mengatur hubungan manusia dengan tuhannya saja, namun juga antara manusia dengan sesamanya. Islam merupakan sebuah ideologi, sehingga seorang muslin tidak mungkin melepasakan keterlibatannya dalam politik tanpa memberi perhatian pada Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari, pertentangan dua paham ini juga semakin kontras ketika kita melihat praktik penerapan sistem pendidikan di Indonesia kala itu. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu sangatlah terkonsentrasi pada ilmu pnegetahuan dan keterampilan duniawi. Sedangkan sistem pendidikan lokal masyarakat Indonesia yang sudah ada (pesantren-pesantren) berlandaskan pada ajaran agama Islam yang menekankan pada kemampuan anak didik menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama. Sehingga tidak heran jika ketika dalam rumusan rencana dan persiapan kemerdekaan Indonesia sekalipun, urusan debat dua paham ini juga mengemuka seperti yang sudah dijelaskan di awal. Sejenak, ketika kita mengetahui komposisi penduduk Indonesai saat itu—mayoritas beragama Islam—mungkin akan terfikir jika proses perumusan dasar negara dan UUD negara akan berjalan lancar dengan dominasi kelompok Islam, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dari tiga orang konseptor dasar negara yang sempat mengemukakan pendapatnya, yaitu Muh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno, ketiganya adalah perwakilan dari kelompok nasionalis sekuler meski juga tetap memasukan aspek ketuhanan dalam konsepsinya.
Ketika proses pembahasan persiapan kelengkapan kemerdekaan telah sampai pada tahap dibentuknya Panitia Sembilan (1 Juni 1945) yang dipimpin oleh Soekarno, sebenarnya debat mengenai apa dasar negara yang cocok bagi Indonesia telah mulai mereda dan menemui beberapa kesepakatan. Misalnya saja pada alinea ke-empat pembukaan (preambule) UUD 1945 yang secara eksplisit mengatakan ketentuan ‘dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Kesepakatan ini merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi baik dari kalangan nasionalis sekuler, maupun dari kalangan nasionalis Islam. Namun begitu, proses yang terlihat sudah mulai sepakat ini bukalah tidak sama sekali menemui hambatan dan pertentangan. Ketika rancangan UUD yang telah disusun oleh Panitia Sembilan ini hendak diajukan ke sidang kedua BPUPKI untuk mendapatkan persetujuan, ternyata kalangan nasionalis sekuler masih ada yang merasa keberatan dengan rumusan ‘tujuh kata’ tersebut. Diantara tokoh yang menetang dan mengusulkan diadakan peninjauan kembali adalah R. Otto Iskandardinata.
Kelompok nasionalis Islam pun tidak berhenti sampai pada disematkannya ‘tujuh kata’ dalam pembuaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan dalam memperjuangkan pemahamannya. Pada tanggal 13 Juli 1945, KH. Wachid Hasyim mengusulkan agar Presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam dan Pasal 29 diubah menjadi ‘Agama negara adalah agama Islam’. Namun, usulan tersebut justru ditolak oleh Agus Salim (salah satu kelompok nasionalis Islam) yang menyatakan bahwa itu berarti kompromi yang sudah dihasilkan antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi. Lama-kelamaan, karena proses perdebatan yang semakin lama dan menimbulkan kejenuhan diantara para tokoh nasional dan masyarakat Indonesia lebih luas lagi, pada tanggal 16 Juli 1945 Soekarno menghimbau agar yang tidak setuju dengan rumusan itu hendaknya bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Sehingga pada akhirnya, sampai Indonesia merdeka di tanggal 17 Agustus 1945, hasil kerja Panitia Sembilan yang terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta telah benar-benar menjadi pembukaan UUD 1945 saat hari kemerdekaan negara.
Rupannya gegap gempita yang dirasakan oleh kalangan nasionalis Islam tidaklah berlangsug lama. Sebab pada tanggal 18 Agustus 1945 (satu hari usia kemerdekaan), ‘kesepakatan’ yang telah dibuat mulai digugat kembali. M. Hatta merupakan tokoh yang menganjurkan untuk meninjau ulang kembali ‘tujuh kata’ tersebut karena khawatir akan merusak persatuan Indonesia. Kelompok nasionalis islam rupanya bersedia mengalah karena beberapa sebab. Sebab  pertama adalah demi menjaga kelangsungan negara proklamasi Indonesia yang masih satu hari umurnya. Kedua, keyakinan bahwa UUD 1945 itu bersifat sementara seperti yang dikatakan oleh Soekarno dalam pidato peresmian UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Terlepas dari perdebatan yang terus berkepanjangan setelah itu—seperti apa yang terjadi dalam badan konstituante tahun 1956-1959 dan amandemen UUD 1945 pascareformasi—, satu pelajaran yang terpenting dan dapat kita resapi sebagai hikmah adalah jiwa besar para pendiri bangsa dan penyusun konstitusi negara kita ketika mengedepankan semangat persatuan daripada kepentingan kelompok semata. Hal ini telah masing-masing ditunjukan oleh kelompok, baik nasionalis sekuler ketika menerima adanya ‘tujuh kata’ dalam preambule UUD 1945 atau Piagam Jakarta, maupun oleh kelompok nasionalis Islam ketika bersedia menerima penghapusan kembali ‘tujuh kata’ tersebut di usia kemerdekaan negara yang baru berumur satu hari. Er is grootheid in offer (terdapat kebesaran dalam pengorbanan).

Read Users' Comments (1)komentar

1 Response to "Perdebatan Dasar Negara: Kelompok Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam"

  1. Unknown, on 7 Februari 2018 pukul 04.07 said:

    nice,penyelesaian dari debat diatas bagaimana??

Posting Komentar