Sedikit mengenai biografi dan perjalanan hidup Tan Malaka, rupanya berarti penting untuk mengetahui sebab pemikiran dan warna yang menghiasi sumbangan Tan Malaka –ide cita-cita Indonesia Merdeka– pada republik ini. Sudah banyak buku yang menyematkan bahwa Tan Malaka adalah “Bapak Republik yang dilupakan”, hidup sendiri, dan berbeda dari kebanyakan orang di zamannya karena ide dan pemikirannya yang telampau jauh melewati yang dipikirkan orang saat itu. Sebut saja salah satu buku yang ditulisnya, yaitu Massa Actie, (1925) ditulis tiga tahun sebelum pelaksanaan hari sumpah pemuda, artinya saat pejuang kemerdekaan di Indonesia baru berfikir tentang bagaimana bersatu dan menggalang kekuatan, Tan Malaka telah jauh meninggalkan itu untuk berbicara pada tataran konsep negara jika suatu saat Indonesia merdeka. Namun, dengan pemikirannya itu pula ia wafat ditangan tentara bangsanya sendiri yang ia cintai dan perjuangkan selama ini.
Datuk Ibrahim Tan Malaka, yang menurut Dr. Alvian1 sebagai pejuang revolusioner yang kesepian lahir di Desa Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat, pernah bersekolah dan dibuang ke Belanda, hingga kini masih menjadi perdebatan tentang kapan tanggal pasti kelahirannya. Menurut Prof. Ahmad Suhelmi –salah seorang dosen di Departemen Ilmu Politik FISIP UI –Tan Malaka adalah seorang yang hafal Quran sewaktu mudanya, dibesarkan dalam lingkungan agama yang kental, namun menjadi seorang muslim berhaluan kiri pada masa dewasanya, dan pernah pula pada suatu ketika menyampaikan ide tentang penggalangan kerjasama antara partai komunis dengan gerakan Islam yang berkembang saat itu (Pan Islamisme) di hadapan peserta pertemuan komintern ke-IV di Moskow2. Lanjut beliau juga, Tan Malaka dengan pengalaman organisasi dan keberanian berpendapatnya tersebut sempat menjadi wakil komintern (komunis internasional) untuk Asia Tenggara dan menjabat ketua PKI beberapa saat.
Selama 20 tahun hidup di pelarian dan selalu diburu oleh intelejen dari 4 negara kolonial saat itu (Inggris, Jepang, Belanda, dan Amerika) membuat semangat Tan Malaka mengenai kemerdekaan semakin meruncing, apa lagi setelah lama dalam perhelatannya di beberapa negara seperti Rusia, Belanda, Filipina, Singapura, dll (total 13 negara). Dengan pengalamannya dan penyaksiannya tentang rakyat Indonesia yang menjadi budak di negeri sendiri itu, telah membuahkan sikap radikal dan pikiran yang dituangnya menjadi beberapa buku yang kemudian menjadi bacaan wajib para pejuang Indonesia dalam meretas kemerdekaan sebab dirasa sangat sesuai dengan nafas perjuangan, seperti buku Naar de Republic Indonesia (menuju Republik Indonesia), Massa Actie, dan Madilog.
· Awal Pemikiran Tentang Cara “Kemerdekaan” dalam Madilog
Banyak karya besar Tan Malaka yang dijadikan buku pegangan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh para pemuda saat itu, namun fokus penulisan makalah ini yang mengedepankan masalah rakyat terkait logika mistik sebagai salah satu penyebab melanggengnya proses penjajahan di Indonesia dalam waktu begitu lama menjadikan Madilog (materialism, dialektika, logika) dirasa sebagai acuan yang pas dalam penulisan tersebut.
Penulisan “Madilog” yang panjang mengikuti gerak kehidupan Tan Malaka secara tidak langsung memanifestasikan apa yang dirasa, dialami dan dipikiri olehnya terhadap masyarakat dan kaum yang disebutnya “proletar” di tengah upaya besar mewujudkan cita-cita sakaral saat itu, Indonesia merdeka. Ketidaksamaan cara pandang dan keadaan mengenai gerakan, konsepsi dan harapan Indonesia merdeka telah membuat Tan Malaka terasing di tengah-tengah masyarakat bersama pemikirannya. Apalagi, pengasingan dan pelariannya dari daerah ke daerah, negara ke negara, bahkan penjara ke penjara, karena statusnya sebagai orang yang “dicari” telah turut memberikan andil besar tentang apa yang berada di balik pemikiran dan cara pandang Tan Malaka tersebut. Oleh karena itu, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) yang ditulisnya sebagai apa yang disebutnya nutrisi bagi gerakan kaum proletar dalam cara berfikirnya, terasa amat langka didengar, dirasa dan diserap konsep-konsep pola pembelajarnanya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia dimasa itu.
Di tengah keterasaingan dan penyamarannya tersebut (karena sering dicari-cari oleh pemerintah pendudukan saat itu), pada awalnya Tan Malaka melihat adanya kekuatan potensial untuk melakukan sebuah gerakan bersama merebut kekuasaan imperialisme Belanda dari besarnya wilayah geografis Indonesia yang di dukung jumlah penduduk yang banyak pula. Namun terdapat hal yang bersifat kontradiksif dan sangat disayangkan olehnya, yaitu mereka (kaum proletar mesin dan tanah) kekurangan pandangan dunia (weltanshauung). Kekurangan filsafat. Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan takhayul campur aduk3. Karena masyarakat Indonesia yang menurutnya masih sangat gelap gulita saat itu dan diselimuti berbagai macam ilmu kegaiban, maka logika itu masing barang baru, perlu diketahui, dan dipahami bersama dengan dialektika dan materialism.
Dengan kisahnya yang selalu berpindah dan sibuk menyamar karena kejaran intelejen asing telah membuat cara pandangnya tentang belajar sesuatu, menghafal buku, dan mengingatnya kembali mebuahkan apa yang disebutnya “jembatan keledai”, seperti yang dikatakannya, “hafalkan, ya, hafalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul, saya hafalkan kependekan intinya saja…”4. Hal itu dilakukannya karena keterdesakan dan ketidakmungkinan untuk membawa buku keman pun saat itu dan sebagai cara juga rakyat yang mau belajar tapi sedikit memiliki buku.
· Keadaan Rakyat Indonesia Saat Itu
Pemerintahan Kolonial Belanda sangat takut kepada Universitas dan Perguruan Tinggi kalau-kalau apa yang terjadi di India dengan pejuang kemerdekaannya yang berhasil menentang Inggris saat itu pascasepulangnya dari belajar di luar negeri dapat terulang di Indonesia dan menggangu jalannya pemerintahan kolonial5. Maka imbasnya terlihat dari nasib pendidikan dan karakter orang Indonesia yang kebanyakan masih terkungkung oleh hal-hal mistik dan sulit untuk melakukan perlawanan revolusi.
Seperti pendapat Karl Max, masyarakat bukan terdiri atas individu-individu melaikan terdiri dari kelas-kelas. Yaitu orang-orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi6. Tan Malaka juga melihat bahwa gagalnya proses perebutan kemerdekaan selama ini adalah lebih dari sekedar permasalahan perjuangan yang masih bersifat kedaerahan, namun juga ketiadaan kesadaran gerakan bersama untuk melakukan sebuah revolusi dan ditambah lagi dengan keterpurukan masyarakat pada masalah mistik.
· Logika Mistika dan Cikal Bakal gerakan Revolusi Kemerdekaan
Seperti dalam Madilognya Tan Malaka pada Bab Logika Mistik dijelaskan bahwa pembahasan didahului dengan pertentangan antara kebendaan dan kerohanian, dan tentang mana yang lebih dahulu dari kedua hal tersebut. Singkatnya menurut Tan Malaka jumlah zat atau benda di alam adalah tetap. Ditambahkan dengan teori Dalton yang menerangkan tentang hukum perpaduan dari zal yang menyusun suatu zat atau benda tersebut. Perubahan bentuknya di alam bukanlah karena jumlanya yang berkurang, seperti air menguap bukan berarti air itu hilang, namun hanya wujudnya saja yang terkonfersi menjadi sesuatu yang lain dan tetaplah bahwa komposisinya semula berasal dari hidrogen dan oksigen dimanapun di belahan bumi. Inti dari pembicaraan tentang logika mistik ini adalah bahwa sesuatu itu memiliki sebab dan seperti keberadaan benda-benda di alam yang dapat dimaknai dengan logika serta bagaimana pentingnya sebuah kerja untuk merubah dan mendapatkan sesuatu. Tan Malaka membuat perumpamaan orang yang lapar walaupun ia berteriak seribu kali tentang sebuah kata, yaitu “kenyang” tetaplah ia pada kenyataannya masih lapar dan dapat pula mati. Hanya dengan makan sungguhan dan usaha yang nyatalah orang yang lapar bisa menjadi kenyang.
Tan Malaka berpendapat bahwa jika rakyat Indonesia mau terbebas dari penjajahan dan bisa mandiri mengatur negaranya, haruslah melalui tiga tahap perkembangan kemajuan manusia, yaitu logika mistik, filsafat, dan ilmu pengetahuan (science). Masyarakat harus dibebaskan dari kebodohannya dan kepasrahannya pada sesuatu yang dianggapnya lebih kuasa dan menekan rakyat. Sebagai contoh Tan malaka menggambarkan bagaimana orang-orang jawa kebanyakan saat itu ketika tertimpa suatu musibah seperti banjir dan gunung meletus, bukannya mencari solusi dengan akalnya tentang bagaimana menyelesaikan masalah tersebut, tapi justru malah sebaliknya memohon berkah teradap “kekuatan” yang telah membuat mereka celaka. Lebih-lebih membuatkan sesajian dan persembahan (sesajen) sebagai wujud permohonan akan hidup yang lebih baik.
Realitas masyarakat dan kehidupan yang selalu mengkutub seperti utara dan selatan maupun proletar dan borjuis yang selalu terjadi hubungan tarik-menarik, bertentangan dan juga tekan-menekan dan pada tahap itu menurut Tan Malaka sudahlah sampai pada tahap pemikiran apa yang disebut dialektika. Awalnya pada manusia yang hidup di dunia supranatural yang tak gampang dicuci, dikikis, maka dalam dunia berfikir perlu kita sekedar memajukan logika7.
Seperti saat pergerakan, menurutnya tidak cukup seorang petani yang secara jumlah banyak, para saudagar memiliki harta dan dipergunakan hartanya untuk perjuangan kemerdekaan, tetapi tidak berkelas pekerja mesin, yang menurutnya pula hanya bisa berdiri untuk sementara selanjutnya terjatuh kembali. Kelas pekerja mesin inilah yang sudah berfilsafat bahkan sebagian orangnya sudah berpendidikan walaupun berasal dari kelas petani sekalipun. Olehnya orang-orang ini lah yang lebih dibutuhkan ketimbang orang-orang banyak saja dan berduit namun tidak terlepas dari mental budak dan pengaruh feodalisme sebagai induk yang mematenkan cara pandang mereka terhadap logika mistik, logika yang didasarkan pada hal-hal gaib.
Dan setalah itu, dalam rangka menyusun revolusi pascaterbebasnya dari logika mistik, perlu pemahaman tentang filsafat dan dilanjutkan penguasaan pengetahuan. Seperti dalam tulisan Tan Malaka di Madilog, bahwa perindustrian pesawat sebagai pertanda negara industri sangat berpengaruh dalam usaha negara-negara kolonial menjajah suatu daerah dalam rangka kekuatan militernya. Namun hal demikian tidak akan pernah terwujud bilamana ilmu pengetahuan tidak dimiliki oleh masyarakat suatu negara, dan penentuan apakah ilmu itu digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya adalah tergantung pemahamannya tentang filsafat dan makna dari suatu keberadaan benda (matter) dan ide (idea). Akhirnya dibagian ini Tan Malaka sepertinya ingin berpesan bahwa kepada rakyat dan umumnya kaum proletar dunia untuk membangun semangat kritis dan menentang (semangat dialektika) dan beralih dari hal yang bersifat ruh menuju hal yang bersifat kebendaan (materialisme) dengan menggunakan logika (hukum) dan akal yang dimiliki, semua itu dapat menjadi kenyataan dengan salah satunya melalui jalur pendidikan.
· Revolusi yang Sebenarnya
“Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir dari perintah seorang manusia yang luar biasa”, itulah sepenggal perkataan Tan Malaka dalam Massa Actie yang terbit pada tahun 1925. Kemudian dimaknai olehnya pula bahwa revolusi di negara yang kelas borjuisnya tidak kuat seperti Indonesia, maka keharusannya untuk menjalankan revolusi tersebut adalah secara terus-menerus seperti tesis yang dikemukakan oleh Trotsky.
Perjuangan terus-menerus ini nampaknya konsisten dengan perkataannya dulu yang terbukti saat pascaIndonesia merdeka. Kabinet Sjahrir I yang dianggapnya dan oleh Jendral Sudirman juga saat itu sebagai bentuk kemerdekaan Indonesia yang tidak 100 %, sebab telah melakukan politik perundiangan dengan Sekutu. Hal ini menurut Tan Malaka hanya akan menjadikan bangsa Indonesia tetap terjajah secara pengaruh dan ketergantungan karena tidak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menentukan nasib pascakemerdekaan. Sikapnya yang berusaha untuk mengkritik dan beroposisi inilah yang membuatnya dipenjarakan kala itu oleh negaranya sendiri. Bersama Jendral Sudirman dan beberapa pengikutnya Tan Malaka lebih memilih melakukan gerakan gerilya untuk melawan sekutu –yang mulai lagi ingin menjajah Indonesia kembali– ketimbang melakukan perundingan. Akibat sikapnya untuk memutuskan berjuang sendiri secara bergerilya dari hutan ke hutan, gunung ke gunung, membuat Kepala Staff Angkatan Darat Meyjen Abdul haris Nasution pada tahun 1957 mengatakan bahwa Tan Malaka perlu dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia8. Hal demikian mengingat pemikiran Tan Malaka salah satunya seperti pada buku GERPOLEK (gerilya, politik, ekonomi) telah menyuburkan ide perang rakyat semesta dan sukses ketika rakyat dua kali melawan agresi militer Belanda.
Selanjutnya tulisan Hasan Nasbi yang termuat dalam Buku Tan Malaka yang disusun oleh Tempo sebagai seri buku bapak bangsa menjelaskan bagaimana filosofis republik yang sesungguhnya. Dia mengatakan bahwa Tan Malaka membuat perumpamaan dengan burung gelatik. Seekor burung yang lemah dan rawan dari ancaman, hidup ketakutan dan penuh keterbatasan, ketika berada di dahan yang rendah ia akan siap-siap untuk diterkam oleh kucing, namun ketika berada di dahan yang tinggi pun itu tidak akan nayaman sebab elang juga sudah siap untuk memangsa. Sehingga menurut Tan Malaka Indonesia haruslah bisa terbebas dari teror tersebut dan mencari kekuatan untuk dapat bertahan dari segala ancaman.
Namun ketika burung gelatik itu ada dalam rombongan besar, dengan seketika menjelma menjadi kekuatan yang sangat dahsyat bahkan mampu menjarah tanaman padi yang sudah menguning dengan waktu singkat dan mengecewakan petani yang telah berbulan-bulan menanamnya. Pada makalah ini tidak dijelaskan lebih jauh tentang bentuk negara yang seharusnya seperti pemikiran Tan Malaka, sebab butuh banyak pemahaman dan penulisan lagi sehingga dikhawatirkan menyimpang dari tujuan penulisan semula.
· Berseberangannya Pemikiran Tan Malaka dan Dampaknya
Ketika Tan Malaka ada diperantauan dan jauh dari Indonesia, kepalanya tidak pernah berhenti beerfikir tentang kemerdekaan dan tangannya pun tidak henti untuk menulis dalam rangka menyiapkan bekal yang menurut istilahnya adalah nutrisi bagi rakyat indonesai dalam menyongsong kemerdekaannya yang dilakukan dengan cara revolusi. Semula kaum muda dan pergerakan di Indonesia menggunakan tulisan-tulisan Tan Malaka sebagai pegangan berjuang dan menyusun kekuatan, namun sesungguhnya mereka tak tahu pasti siapa Tan Malaka dan pada akhirnya terjadi pergesekan yang dikarenakan perbedaan cara pandang tentang kemerdekaan dan sikap negara terhadap penjajah.
Awal pertentangan ini bermula saat Tan Malaka dan beberapa orang lainnya merasa geram dengan para pemimpin (Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir) yang tak bereaksi atas masuknya sekutu ke Indonesia9. Sebetulnya kekecewaan terhadap para pemimpin bangsa saat itu sudah nampak saat Tan Malaka mengetahui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil iming-iming yang diberikan Jepang jika Indonesia mau membantu jepang pada perang Asia Timur Raya melawan sekutu. Menurut Tan Malaka diplomasi ataupun perundingan baru mungkin dilakukan pada saat sekutu benar-benar sudah meninggalkan Indonesia, begitu juga Jendral Sudirman, beliau intinya memiliki pandangan yang sama dengan Tan Malaka. Sejak saat itulah Tan Malaka memilih untuk beroposisi dengan pemerintahan negaranya sendiri.
Sekiranya ini saja penggambaran tentang bagamana pemikiran Tan Malaka yang dahulu sebelum Indonesia merdeka sangat diandalkan dan dijadikan pedoman, namun pascakemerdekaan justru pemikirannya yang tidak mau berkompromi dengan sekutu membuat Tan Malaka dimusuhi oleh pemerintah Indonesia. Sebenarnya ada hal lain lagi dalam sumbangan kehidupannya bagi sejarah dan pemikiran politik di Indonesia namun bukan menjadi fokus pada makalah ini, yaitu pada saat perselisihannya dengan PKI dan tokoh-tokohnya seperti Muso, Alimin, Darsono, dan Semaun, sebab Tan Malaka menolak dan menganngap pemberontakan PKI tahun 1926/1927 belum terencana dengan matang dan terkesan terburu-buru.
· Kesimpulan
Pemikiran Tan Malaka dan sumbangsihnya bagi proses revolusi menuju kemerdekaan Indonesia tidak dapat dipungkiri sangat berpengaruh besar. Diawali dari pemahaman dan penelititan sosialnya yang begitu kuat terhadap masyarakat Indonesia yang hidup sengsara dibawah bayang-bayang penjajahan walaupun Tan Malaka sendiri hampir setengah usianya dihabiskan di luar negeri sebagai buangan dan buronan yang dicari-cari penjajah. Dapat disimpulkan dari uraian panjang dalam makalah ini bahwa Tan Malaka melihat pendidikan adalah sesuatu yang penting untuk kita bisa terbebasa dari kebodohan dan kungkungan penjajah. Melalui tulisan-tulisannya ia mencoba untuk mengajarkan kepada rakyat Indonesia dari jarak jauh tentang bagaimana seharusnya berfikir, bergerak bersama, dan melakukan revolusi, serta melihat persoalan yag ada sehingga mampu terbebas dari pemikiran mistik yang selama ini menghambat perkembangan manusia yang maju.
Namun satu kritik terhadap pemikiran Tan Malaka itu adalah, bahwa nampak seperti utopis buah pemikirannya tersebut jika dialamatkan kepada rakya Indonesia kebanyakan yang masih rendah pendidikannya, tinggi angka buta hurufnya dan terlalu merasa ngejelimet dengan istilah-istilah dan konsep yang ada pada Madilog sebagai contohnya. Saat itu rakyat Indonesia lebih ampuh untuk diajari dan dinasihati mengenai hal-hal yang sifatnya “membumi” seperti yang sering disampaikan Soekarno dengan PNI-nya, sehingga terlihat jelas masalah tersebut pada saat pemilu 1955. Maka dari itu, nampaknya pemikiran Tan Malaka lebih cocok untuk dicerna oleh para pelajar dan intelektual muda Indonesia ketimbang rakyat jelata kebanyakan, dan nampaknya pula hal tersebut masih relevan dengan keadaan zaman saat ini.
Daftar Pustaka
Malaka, Tan. 2000. Aksi Massa. Jakarta: CEDI dan Aliansi Press
Malaka, Tan. 2002. MADILOG: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Penerbit NARASI
Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. 2010. Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo
Catatan:
1Beliau adalah ahli Ilmu Politik dan pernah menjadi ketua Departemen Ilmu Politik, FIS, UI pada tahun 1977
2Hal tersebut disampaikannya pada saat Seminar Umum berjudul “Tan Malaka” di ruang AJB FISIP UI pada tanggal 14 Oktober 2010, pukul 10.15 WIB
3Malaka, Tan. (2002). MADILOG: Materialisme, Dialektika, dan Logika. (p.17). Yogyakarta: Penerbit NARASI
4Ibid., Hal. 24
5Malaka, Tan. (2000). Aksi Massa. (p.64). Jakarta: CEDI dan Aliansi Press
6 Surbakti, Ramlan. (2007). Memahami ilmu politik (cet. ke-6) (p.30). Jakarta: Grasindo
7 Penjelasan Tan Malaka dalam Madilog perihal perkembangan masyarakat yang maju
8Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. (2010). Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. (p.40). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
9 Ibid., Hal. 43