“Kepalasingasentrisme”
Pada masanya pernah seorang ahli matematika bertamu ke rumah seorang sosiolog, seorang ahli sejarah bersalaman dengan beberapa pakar ekonomi di trotoar jalan, ahli fisika berkonsultasi pada seorang psikolog, dan sekelompok orang sarjana teknik duduk manis di bawah pohon sambil mendengarkan ceramah singkat dari seorang calon dokter. semua saling menghargai, tidak merendah apalagi merendahkan subjek lain yang berbeda identitas dan kualitas dengannya.
rekan-rekan, jauh dari tulisan ini pernah ada, bahkan ratusan tahun yang lalu ketika peradaban manusia di belahan bumi bagian barat masih tertinggal dan belum banyak mengerti kenapa mandi itu dianggap sebagai sesuatu penting, manusia-manusia cerdas di tengah padang pasir pernah begitu bersahaja seperti ilustrasi di atas.
apa maksud saya berkata seperti ini ?
ini sebuah kritik, rekan-rekan… refleksi bagi kita yang “cerdas” dan mau mengenal apa itu cerdas.
rekan-rekan, disadari atau tidak kita adalah orang-orang yang paling banyak mendapat doa dari rakyat Indonesia. pernah kita bayangkan 200 juta orang bersimpati dan menangis harap pada kita atau pernahkah kita bayangkan dari dalam kubur sana –taman makam pahlawan hingga tanah merah di Papua tempat pembuangan orang yang hobi teriak “merdeka!” — tulang belulang berusaha keluar dari tanah karena geram melihat anak cucunya masih dijajah pikirannya sendiri ?
orang-orang yang lebih banyak kita tidak kenal, mengerutkan dahinya merasa miris karena pajak yang ikhlas dibayarkan tiap tahun, 5 tahun, bahkan dengan cara dicicil jatuh bangun tidak kembali pada mereka sebagai sebuah kebanggaan hanya karena orang-perorang anak bangsa seperti kita sibuk mengagumi dirinya masing-masing.
orang tua, masyarakat kampung, pemerintah daerah, dan orang-orang yang saat ini hanya berfikir tentang bagaimana bertahan hidup sampai nanti sore ketika anak-anak mereka pulang dari memulung sampah, mereka semua juga tidak mengenal kita tapi menghadirkan kita saat usai salam di setiap shalat mereka…
luar biasa bangsa kita ini, rekan-rekan… luar biasa peduli dan acuh…
di sini –di tempat yang sangat kita banggakan tiap kali betemu kembali teman-teman dan guru kita di sekolah dahulu, dimana sebuah gambar berbentuk lingkaran menyerupai kepala singa dan apalah namanya itu selalu hadir di setiap pikiran kita menjelang malam-malam sebelum SNMPTN, SIMAK, UMB dan lian-lain –saat ini tenggelam dengan kesombongan dan warna kepala singanya masing-masing… hijau, merah, orange, biru-hitam, biru, ungu… angkuh untuk sedikit meleburkan warna dan kalaupun ada percampuran warna, selalu terlihat dominasi egoisme dari warna yang lain
percakapan ketika warna kepala singa yang berbeda itu saling bertemu, entah di jalan, sebuah diskusi, ataupun obrolan kantin pinggir kampus yang lebih ramai oleh suara kereta lewat ketimbang isi percakapan anak-anak yang katanya “putra terbaik bangsa”, selalu diwarnai dengan sentimen dan egoisme untuk saling berusaha menampilkan dirinya sebagai super-ordinat dari kepala singa yang beda warna dengannya.
pernah kita dengar pecakappan orang “cerdas” seperti ini ?
“” gila tugas gua banyak banget minggu ini, paling tidur dua jam sehari.. elu enak banget, keliatannya santai-santai aja…”, ” sibuk banget nih gue lagi jadi PJ Danus acara keroncongan se-Indonesia, malah yang dateng Presiden Kenya lagi.. “, “eh, elu ikut seminar Internasional tentang pedagang kaki lima ga ? gua bingung nih mau pake baju apa, doraemon apa berunga ya ?”, ” 4 orang dari kepala singa gua diterima di korea untuk nerusin kuliah S4, dari kepala singa lu ada ga yang ikut ?”
kepala singa=makara
diskusi terkadang diselingi dengan kebanggaan cara belajar yang hebat, fasilitas yang lengkap, iklim belajar yang kompetitif, dosen yang katanyasering ke luar negri, bahkan sampai beradu tentang kepala singa mana yang tugas kuliahnya paling banyak. penting, kawan… ?
dalam sebuah aksi yang rutin dilakukan demi atau sekedar menuruti tradisi yang katanya “inilah idialisme kita” juga sering terdengar yel-yel dan pekikan suara dari almamater kepa singa tertentu. apa salah ? tidak.. tapi sadarkah kita yang melakukan dan berdiri mematung tulus karena punya tuntutan mulia saat itu, bahwa kepala singa yang kita junjung saat itu kini berwarna kuning, semua berwarna kuning dan tidak ada warna biru, merah, orange atau bahkan berwarna putih seperti sebelumnya. bodoh ! (silahkan komentar) tidak mengerti posisi dan tidak tau apa itu kesadaran bersama (saya sadar itu salah satu bagaian dari bentuk mobilisasi masa, tapi yang lebih keliatan sekarang cuma tonjol-tonjolan warna kepala singa).
rekan-rekan yang saya hormati dan berharap bukan segolongan orang yang “cerdas” (mabuk “kepalasingasentrisme” dan tidak sadar 200 juta orang yang berdoa sekarang isinya doanya berubah jadi “semoga mereka sadar”) …
ayolah mulai sekarang kita belajar berdiri dengan melihat sekitar, hirup udara hutan kota depok ini dengan sepuas-puasnya dan jangan lupa dihembuskan kembali sambil berucap “alhamdulillah”…
tidak salah apa warna kepala singa kita, dan boleh kita begitu bangga padanya di waktu dan tempat yang pas… tapi ingat, 200 juta orang sedang berdoa hari ini –di kolong jembatan, di tengah sawah, di dalam jeruji besi maupun bambu, hingga di dalam meja rapat dewan direksi perusahaan besar yang bermukim di mega kuningan– untuk kita, cuma untuk kita biar kita bisa merubah nasib mereka, nasib bangsa kita juga dengan ilmu dan spesialisasi masing-masing yang kita punya…
berhenti dari sekarang menjadi super-ordinat dan men-sub-ordinatkan yang lain karena kepala singa kita lebih prospektif dan bakalan dapat pekerjaan hebat selepas kuliah nanti…
tidak rindukah kita pada masa dimana ahli matematika bertamu ke rumah seorang sosiolog, seorang ahli sejarah bersalaman dengan beberapa pakar ekonomi di trotoar jalan, ahli fisika berkonsultasi pada seorang psikolog… semua tidak merendahkan dirinya sendiri apalagi merendahkan yang lainnya… yang namapak hanyalah suasana saling menghormai dan merasa yang lain menjadi guru bagi yang lainnya dan tidak sungkan untuk belajar apa yang mereka tidak ketahui di luar keahlian yang dimiliki dan hanya dimiliki oleh sebagian yang lainnya…
sungguh indah bangsa dan almamater kita jika bisa begitu, rekan-rekan…
mari kita buat 200 juta orang yang selama ini tidak mengenal kita menangis haru dan terisak bangga…
dan mari kita buat tulang-belulang yang terpendam dalam anatara pulau ronde-merauke dan pulau miangas-pulau rote beristirahat tenang dan berucap, ” kalian lebih aku cintai daripada diriku sendiri”
sekian, semoga bukan sumpah serapah yang keluar dari mulut rekan-rekan, tapi doa dan semangat membahagiakan orang tua kita di dunia dan yang di alam barzah….
apa maksud saya berkata seperti ini ?
ini sebuah kritik, rekan-rekan… refleksi bagi kita yang “cerdas” dan mau mengenal apa itu cerdas.
rekan-rekan, disadari atau tidak kita adalah orang-orang yang paling banyak mendapat doa dari rakyat Indonesia. pernah kita bayangkan 200 juta orang bersimpati dan menangis harap pada kita atau pernahkah kita bayangkan dari dalam kubur sana –taman makam pahlawan hingga tanah merah di Papua tempat pembuangan orang yang hobi teriak “merdeka!” — tulang belulang berusaha keluar dari tanah karena geram melihat anak cucunya masih dijajah pikirannya sendiri ?
orang-orang yang lebih banyak kita tidak kenal, mengerutkan dahinya merasa miris karena pajak yang ikhlas dibayarkan tiap tahun, 5 tahun, bahkan dengan cara dicicil jatuh bangun tidak kembali pada mereka sebagai sebuah kebanggaan hanya karena orang-perorang anak bangsa seperti kita sibuk mengagumi dirinya masing-masing.
orang tua, masyarakat kampung, pemerintah daerah, dan orang-orang yang saat ini hanya berfikir tentang bagaimana bertahan hidup sampai nanti sore ketika anak-anak mereka pulang dari memulung sampah, mereka semua juga tidak mengenal kita tapi menghadirkan kita saat usai salam di setiap shalat mereka…
luar biasa bangsa kita ini, rekan-rekan… luar biasa peduli dan acuh…
di sini –di tempat yang sangat kita banggakan tiap kali betemu kembali teman-teman dan guru kita di sekolah dahulu, dimana sebuah gambar berbentuk lingkaran menyerupai kepala singa dan apalah namanya itu selalu hadir di setiap pikiran kita menjelang malam-malam sebelum SNMPTN, SIMAK, UMB dan lian-lain –saat ini tenggelam dengan kesombongan dan warna kepala singanya masing-masing… hijau, merah, orange, biru-hitam, biru, ungu… angkuh untuk sedikit meleburkan warna dan kalaupun ada percampuran warna, selalu terlihat dominasi egoisme dari warna yang lain
percakapan ketika warna kepala singa yang berbeda itu saling bertemu, entah di jalan, sebuah diskusi, ataupun obrolan kantin pinggir kampus yang lebih ramai oleh suara kereta lewat ketimbang isi percakapan anak-anak yang katanya “putra terbaik bangsa”, selalu diwarnai dengan sentimen dan egoisme untuk saling berusaha menampilkan dirinya sebagai super-ordinat dari kepala singa yang beda warna dengannya.
pernah kita dengar pecakappan orang “cerdas” seperti ini ?
“” gila tugas gua banyak banget minggu ini, paling tidur dua jam sehari.. elu enak banget, keliatannya santai-santai aja…”, ” sibuk banget nih gue lagi jadi PJ Danus acara keroncongan se-Indonesia, malah yang dateng Presiden Kenya lagi.. “, “eh, elu ikut seminar Internasional tentang pedagang kaki lima ga ? gua bingung nih mau pake baju apa, doraemon apa berunga ya ?”, ” 4 orang dari kepala singa gua diterima di korea untuk nerusin kuliah S4, dari kepala singa lu ada ga yang ikut ?”
kepala singa=makara
diskusi terkadang diselingi dengan kebanggaan cara belajar yang hebat, fasilitas yang lengkap, iklim belajar yang kompetitif, dosen yang katanyasering ke luar negri, bahkan sampai beradu tentang kepala singa mana yang tugas kuliahnya paling banyak. penting, kawan… ?
dalam sebuah aksi yang rutin dilakukan demi atau sekedar menuruti tradisi yang katanya “inilah idialisme kita” juga sering terdengar yel-yel dan pekikan suara dari almamater kepa singa tertentu. apa salah ? tidak.. tapi sadarkah kita yang melakukan dan berdiri mematung tulus karena punya tuntutan mulia saat itu, bahwa kepala singa yang kita junjung saat itu kini berwarna kuning, semua berwarna kuning dan tidak ada warna biru, merah, orange atau bahkan berwarna putih seperti sebelumnya. bodoh ! (silahkan komentar) tidak mengerti posisi dan tidak tau apa itu kesadaran bersama (saya sadar itu salah satu bagaian dari bentuk mobilisasi masa, tapi yang lebih keliatan sekarang cuma tonjol-tonjolan warna kepala singa).
rekan-rekan yang saya hormati dan berharap bukan segolongan orang yang “cerdas” (mabuk “kepalasingasentrisme” dan tidak sadar 200 juta orang yang berdoa sekarang isinya doanya berubah jadi “semoga mereka sadar”) …
ayolah mulai sekarang kita belajar berdiri dengan melihat sekitar, hirup udara hutan kota depok ini dengan sepuas-puasnya dan jangan lupa dihembuskan kembali sambil berucap “alhamdulillah”…
tidak salah apa warna kepala singa kita, dan boleh kita begitu bangga padanya di waktu dan tempat yang pas… tapi ingat, 200 juta orang sedang berdoa hari ini –di kolong jembatan, di tengah sawah, di dalam jeruji besi maupun bambu, hingga di dalam meja rapat dewan direksi perusahaan besar yang bermukim di mega kuningan– untuk kita, cuma untuk kita biar kita bisa merubah nasib mereka, nasib bangsa kita juga dengan ilmu dan spesialisasi masing-masing yang kita punya…
berhenti dari sekarang menjadi super-ordinat dan men-sub-ordinatkan yang lain karena kepala singa kita lebih prospektif dan bakalan dapat pekerjaan hebat selepas kuliah nanti…
tidak rindukah kita pada masa dimana ahli matematika bertamu ke rumah seorang sosiolog, seorang ahli sejarah bersalaman dengan beberapa pakar ekonomi di trotoar jalan, ahli fisika berkonsultasi pada seorang psikolog… semua tidak merendahkan dirinya sendiri apalagi merendahkan yang lainnya… yang namapak hanyalah suasana saling menghormai dan merasa yang lain menjadi guru bagi yang lainnya dan tidak sungkan untuk belajar apa yang mereka tidak ketahui di luar keahlian yang dimiliki dan hanya dimiliki oleh sebagian yang lainnya…
sungguh indah bangsa dan almamater kita jika bisa begitu, rekan-rekan…
mari kita buat 200 juta orang yang selama ini tidak mengenal kita menangis haru dan terisak bangga…
dan mari kita buat tulang-belulang yang terpendam dalam anatara pulau ronde-merauke dan pulau miangas-pulau rote beristirahat tenang dan berucap, ” kalian lebih aku cintai daripada diriku sendiri”
sekian, semoga bukan sumpah serapah yang keluar dari mulut rekan-rekan, tapi doa dan semangat membahagiakan orang tua kita di dunia dan yang di alam barzah….
0 Response to "“Kepalasingasentrisme”"
Posting Komentar