“Tikus”, Mati di Lumbung Padi
Energi–minyak bumi dan gas–memang tidak pernah surut untuk terus jadi bahan perbincangan, jumlahnya terbatas, dan telah menjadi kebutuhan dasar setiap industri maupun proses pembangunan di setiap negara, sehingga harganya tinggi serta posisinya vital dalam perekonomian. Karena energi pula, perang terjadi dan negara yang satu menginvasi lalu menjajah negara yang lain. Kehidupan internasional menjadi lebih rentan terhadap terhadap konflik, lebih-lebih stabilitas politik dalam negeri, akibatnya lahir banyak kepentingan terhadap masalah energi tersebut.
Bukannya berhemat setelah tahu keadaannya seperti di atas, budaya kabanyakan elit kita (aktor politik) beserta parpolnya yang harusnya melaksanakan fungsi kebijakan justru lebih senang buang-buang energi.
Menarik jika dicermati kembali salah satu artikel di Koran Sindo (10/12) yang berjudul “Energi Parpol Terkuras Skadal”. Hampir sepanjang tahun 2010 ini kita disajikan berita dan pergulatan sengit para aktor politik dalam hal bertahan dari berbagai tuduhan hukum maupun ajang kontestasi. Dari mulai ramainya arus desakan terhadap penegakan hukum hingga masalah sepele tentang “ribut-ribut” wacana reshuffle, mereka terlihat asyik dengan dirinya masing-masing. Rakyat justru pusing oleh rencana naiknya harga BBM.
Seperti cadangan minyak bumi dan gas yang kita miliki, jumlahnya berlimpah namun lebih banyak yang terbang keluar negeri, akhirnya rakyat Indonesia banyak yang dirugikan karena tingginya harga minyak dan gas di dalam negeri, ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi. Agaknya parpol juga tidak mau kalah, jumlah dan massanya banyak, tapi fungsi mengartikulasikan aspirasi masyarakat lebih sedikit daripada mengartikulasikan kepentingan partai dan diri sendiri. Keduanya sama-sama bermasalah dalam memanfaatkan potensi yang ada. Akhirnya rakyat hanya bisa bilang, “mubazir” sambil geleng-geleng kepala.
Siapa yang tikus dan apa lumbung padinya ? jelas bukan rakyat tikusnya dan politik dengan berbagai kekuasaannyalah yang jadi lumbung padi tersebut. Beberapa aktor politik seperti tikus, terlibat korupsi dan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan perbaikan nasib rakyat. Manufer sana-sini cari tempat berlindung walau harus di tempat yang kotor (terima suap).
Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Demokrat (tiga partai teratas pemenang pemilu 2009) misalnya, massanya banyak, merupakan partai besar nasional, dan harapan rakyat juga terlanjur tinggi padanya, tapi apa yang terjadi selama satu tahun ini ?. Demokrat tersandung oleh masalah Bank Century, Partai Golkar oleh kasus mafia pajak Gayus, PDI Perjuangan oleh kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Gultom, belum lagi partai lain yang lebih kecil. Rakyat terciderai oleh hal tersebut, dan masih berharap ada kebijakan yang dirumuskan dan dilaksanakan oleh aktor politik untuk kesejahteraannya.
Intinya energi mereka terkuras oleh masalah yang tidak pro-rakyat. Dan nampaknya masalah energi yang sedang menjadi momok bagi rakyat karena adanya rencana kenaikan harga BBM kalah tenar dengan urusan pribadi aktor politik tersebut.
“Tikus” telah mati di lumbung padi, setidaknya hati nurani mereka yang giat bermain di tempat kotor seperti tikus sudah benar-benar mati. Jika para aktor politik yang bersarang di senayan beserta kendaraannya (parpol) serius terhadap janjinya saat berkampanye dulu, dan tidak buang-buang energi, mestinya minyak dan gas tidak terbang terlalu banyak ke luar negeri dan rakyat tidak mengalami penderitaan ekonomi. Lalu kemudian, tidak akan sesering sekarang lagi kita dengar adanya istilah tikus mati di lumbung padi.
0 Response to "“Tikus”, Mati di Lumbung Padi"
Posting Komentar