Kolam Renang Seorang Perantau

Kolam seorang perantau

Jikalau bumi sebesar kolam , dan langit hanyalah satu
Tak akan ada ransel-ransel dipikul
Orang-orang berbondong, apalagi bersikutan . . .
Jikalau masih mampu berdiri, dan kaki ini milik sendiri
Untuk apa jauh berjalan dan bersusah-susah meminta
Jikalau sempat kami berkhayal lagi . . .
Izinkan hidup tidak bergantung
Telapak kaki seorang perantau diatas kertas
Selalu ramai dengan keluhan
Namun sepi keberpihakan
Atas nama ibu kami pada mulanya
Dan untuk beliau pula pada akhirnya
Karena kami pernah berjalan jauh lebih dari pada ini
Keluhan di balik tembok
Kami tidak punya sesuatu lebih dari pada ini
Tidak pula doa kecuali dari seorang tua
Jauh sebelum terbit hari ini dan orang-orang mulai bergembira dengan sebuah kata
Kami tetap tidak punya sesuatu lebih dari pada ini
Di atas genangan air mata kami bersandiwara
Di balik tembok retak ini kami menegur dunia
Kenapa engkau mengkerdilkan hati kami yang papa ini
Wahai tembok yang enggan bicara
Kami senang engkau tidak tuli seperti dunia
Teriakan di tengah hutan
Berlariku sampai lupa aku tidak memiliki kaki lagi
Aku yakin tidak ada yang melihat dari balik semak yang mulai kecoklatan di musim gugur
Hari itu mulai senja seremang hatiku
Tidak ada suara kecuali kembalinya gagak pada anak-anak mereka
Tidak ada cahaya kecuali bulan yang mengintip di sela ranting pinus
Aku lelah dikejar bayanganku sendiri
Hingga sampai di atas bukit ku berdiri menghadap lembah penantian
Betapa bahagianya saat itu
Menunggu kabar dari anggrek liar yang berjanji sebelumnya
Di sana sekawanan edelweis menghiburku dengan kesetiaannya untuk tetap abadi
Tersenyum getir dari kejauhan seakan ada yang dirahasiakan dariku
Kudekati untuk mencari tahu lebih jauh
Dengan iba seranting dari mereka menghampiriku
Dalam dekapanku ia bercerita sehari lalu anggrek-anggrek mati tanpa sebab
Tidak juga
aku tak yakin dengan kesakitanku
tidak juga kehadiranku
kecemasan mengikat kepalaku
perlahan menjalari urat nadi, memutus sebagiannya
aku tak yakin hari ini masih hidup
berdiri di sudut jauh keramaian
memprhatikan lalu lalang kegiatan orang
diperhatikan daun kering pohon akasia
aku telah sesaat larut dalam kesedihan
harapanku membohongiku
beranjakku pada sebuah meja
menyajikan diri ini yang telah diperlakukan hina
asing sekali hari itu, aku tidak berteman dengan siapa pun
dan parahnya ini bukanlah mimpi
pada sebuah kamis
kuberanikan keluar kamar di sore yang tak bersahabat
memenuhi pertemuan di bawah pohon
sekedar tahu apa kabarnya hari ini
dua hari lalu di tempat yang sama kami masih berbincang tentang hari kamis
menyudutkan orang-orang yang senang di gunjingkan
tertawa karena ketidaklucuan
dan khidmat untuk hal-hal yang sederhana
dalam kesenagannya ia suka tak sadarkan diri
sesekali jatuh dalam dekapanku
dan saat itu pula ia menangis takut
itu benar terjadi
aku masih bisa merasakan senderan kepalanya di pundakku
berbisik menyebut namaku
menggenggam erat jemariku yang kaku karena takut untuk ditinggal
apakah ia masih bisa semesra dahulu
tertawa dan menangis untuk hari kamis yang tak bersahabat
inilah hari itu
waktu terakhir bagiku mendengar ia bergurau
pada sebuah pohon yang akan aku temui

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Kolam Renang Seorang Perantau"

Posting Komentar