Logika Mistik
Logika Mistik dan Upaya Tanggap Bencana
Salah satu yang umum dikritisi oleh kebanyakan orang saat ini adalah bagaimana bencana merapi telah menimbulkan banyak korban jiwa, bahkan sampai dengan minggu malam (7/11) jumlah pengungsi di Jawa Tengah dan DIY mencapai278.403 jiwa. Lalu pertanyaan yang sering dilontarkan adalah apakah sebelumnya tidak pernah ada upaya preventif dari pemerintah, sehingga jatuh korban jiwa begitu banyak ?.
Jika kita mau mersikap arif terhadap pertanyaan di atas maka bukanlah pemerintah seorang yang harus disalahkan karena dinilai lambat dalam upaya penanggulangan bencana, namun masyarakat gunung merapi sendiri pun bisa menjadi sebab permasalahan seperti ketika lambatnya proses relokasi.
Menarik dicermati saat ini adalah ketika banyaknya penduduk yang enggan diungsikan ke posko bencana sejak mulai diberlakukannya status “Awas” pada gunung merapi hingga pascaterjadinya letusan. Beragam alasan diutarakan dari mulai takut jika hewan ternak mereka hilang atau dicuri orang hingga hal yang tidak masuk akal –Mbah Maridjan sebagai juru kunci gunung merapi belum menginstruksikan penduduk untuk mengungsi–.
Jika coba membandingkan masalah tersebut dengan masa penjajahan bangsa asing sebelum kemerdekaan Indonesia, maka ada satu kesamaan keadaan masyarakat gunung merapi saat ini dengan masyarakat zaman penjajahan kala itu, yaitu sama-sama diselimuti hal yang disebut oleh Tan Malaka sebagai logika mistik. Sikap dan pemikiran takhayul campur aduk atas ilmu-ilmu kegaiban.
Menurut Tan, saat itu masyarakat disibukan oleh hal-hal mistik dan menganggap kekuatan besar di luar kehendaknya seperti ketika terjadi bencana alam adalah sumber keberkahan sehingga perlu melakukan sesajian untuk memohon berkah. Masyarakat tidak berfikir bagaimana menanggulagi bencana tersebut dan mencegah agar hal serupa tidak terjadi lagi. Keadaan ini justru membuat mereka selalu mudah dibodohi oleh penjajah dan semakin sulit untuk melakukan revolusi.
Rupanya ada kemiripan dengan masyarakat sekitar gunung merapi pada waktu akan direlokasi. Mereka lebih percaya kepada tanda-tanda yang mereka yakini secara turun-temurun dan nasihat Mbah Maridjan sebagai juru kunci gunung merapi daripada pemerintah dengan para ahli vulkanologinya walaupun tanda-tanda akan terjadinya letusan kian nampak.
Berkenaan dengan upaya tanggap bencana rasanya sesigap apapun pemerintah dari mulai tahap preventif hingga pascabencana merapi, jika masyarakatnya masih berfikiran mistik, sepertinya sulit bisa berjalan efektif. Padahal, di dalam skema penaggulangan bencana apapun pasti dibutuhkan kerjasama pemerintah yang didukung oleh kesadaran tinggi masyarakat terhadap keselamatan mereka sendiri.
Inilah perjuangan yang tidak perah henti terkait pembangunan karakter bangsa, mengalihkan tahap masyarakat yang masih diselimuti kegaiban kepada kepada tahap masyarakat yang rasional dan telah memiliki ilmu pengetahuan. Sebab menurut Tan (dalam bukunya: MADILOG), kesejahteraan itu tercapai jika masyarakat telah melewati tiga tahap, logika mistk, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, tanggap bencana seyogianya diartikan sebagai upaya jangka panjang, bukan upaya reaktif semata terhadap suatu permasalahan, seperti sekedar menghimbau penduduk untuk menungsi dan menyediakan posko bencana. Tetapi tanggap bencana sudah harus mulai memprogramkan pendidikan ilmu pengetahuan (science) sebagai bagian dari usaha preventif kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana jika tidak ingin terjadi korban jiwa lebih banyak lagi dikemudian waktu.
Sehingga, ketika pemerintah akan merelokasi penduduk tidak ada lagi orang-orang yang “bandel” untuk tetap bertahan padahal hal tersebut sangat membahayakan dirinya hanya karena alasan-alasan yang sebagian kita menilai tidak masuk akal.
0 Response to "Logika Mistik"
Posting Komentar