Teori Kelas: Pluralisme, Strukturalisme, dan Insrtumentalisme (Review)
Teori Kelas: Pluralisme, Strukturalisme, dan Insrtumentalisme[1]
Kelas, sebagai sebuah keniscayan konstelasi dan hubungan dalam masyarakat—setidaknya sampai saat ini—telah benyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran ilmuan untuk menjelaskan bagaimana sebuah fenomena di dalam masyarakat itu terjadi, kenapa sekelompok orang bertindak terhadap kelompok yang lainnya dan kenapa ada hubungan saling ketergantungan anatara orang atau kelompok yang “punya” dengan orang atau kelompok yang “tidak punya”. Di dalam sosiologi, ekonomi, bahkan ilmu politik, fenomena dan keterkaitan antar kelas terus dipelajari, meskipun kurang mejadi minat pembahasan di negara-negara yang sudah mapan dan maju dimana kelas-kelas sosialnya cenderung stabil dan merata secara horizontal, seperti negara-negara Amerika Utara.
Di dalam ilmu politik, Plato dan Aristoteles telah lama juga memperhatikan kelas-kelas yang ada di masyarakat. Sebab bagaimanapun juga sejak masa itu pun hubungan kontras antar masyarakat yang satu dengan yang lainnya juga sudah nampak, contohnya adalah hubungan anatara kelompok-kelompok orang yang punya wewenang untuk mengatur dan di sisi lain ada yang diatur. Diantara penyebab keadaan tersebut adalah kenyataan bahwa setiap orang memiliki kekayaan, kewenangan, kekuasaan, akses, dan pendapatan yang berbeda di masyarakat, bahkan terkadang siapa kita dan siapa orang tua kita juga bisa dijadikan alasan kenapa kelompok atau perseorangan tertentu lebih dihormati daripada yang lainnya. Sehingga dikotomi-diotomi penyebutan terkait identitas mulai muncul, misalnya pada masyarakat yang berada di atas, mereka sering disebut sebagai elit pluralis, penguasa elit, borjuasi, kelas pengatur, maupun kelas penguasa. Sedangkan masyarakat yang berada di kelas bawah sering merujuk pada identitas seperti kaum urban, kelas pekerja, proletariat, pelayan, dan sebagainya.
Selanjutnya ketika masyarakat dan komunikasi antar manusia semakin kompleks, maka tuntutan dan kejadian-kejadian sosial pun semakin beragam, untuk itulah perlu pemahaman lebih lanjut terkait teori-teori yang digunakan sebagai pisau analsis untuk memahami hubungan antar kelas, sehingga dapat memebedakan masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Dianatara teori kelas tersebut adalah pluralisme, instrumentalisme, strukturalisme, kritikalisme, serta statisme dan perjuangan kelas. Pertama yang akan dibahas adalah pluralisme. Teori ini sering dikatakan merupakan bentuk adopsi dari ilmu ekonomi liberal dan pemikiran-pemikiran politik liberal awal. Seperti bagaimana John Locke dan Jeremy Bentham menjadikan individu sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kepemilikan properti dan hak-hak individu menjadi alasan kenapa setiap orang perlu di bebaskan dari pengaruh dan kekangan negara dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Pada sisi-sisi lainnya teori ini sangat menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat, sebab kembali pada pemahaman bahwa individu itu harus bebas, dan perjuangan pencapaian kekuasaan perlu dilakukan secara kompetisi, sama ketika masnusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Cara berfikir seperti inilah yang kemudian diadopsi kedalam kehidupan politik. Maka tidak heran jika kemudian teori ini sering disebut dengan teori elit demokrasi, sebab pada akhirnya jelas juga ada perbedaan anatara orang yang mengatur dengan yang diatur, pada tahap inilah dapat dipahami bahwa sesungguhnya kekuasan itu bersifat elitis dari orang-orang yang menang dalam kompetisi sebelumnya. Bahkan bagi Robert A Dahl, kehidupan berdemokrasi tidak cukup digerakan dengan prosedur atau metode semata. Demokrasi, dalam pandangan Robert A Dahl mesti mengandung dua dimensi terbaik dalam hal kontestasi dan partisipasi. Tatanan politik yang terbaik bagi masyarakat bukanlah demokrasi semata melainkan polyarchy.
Teori kelas yang kedua adalah instrumentalisme. Di dalam instrumentalisme dipercaya bahwa negara itu adalah sebuah boneka bentukan atau setidaknya dalam kata lain negara telah dikontrol dan bergantung pada kelas kapitalis (pemilik modal). Kaum instrumentalis berpendapat bahwa para elit dan kelasnya yang minoritas—karena biasanya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kelas lainnya—mengatur kelas-kelas sosial di masyrakat lainnya yang masyoritas. Pareto dan Mosca melihat hal tersebut sebagai sebuah hubungan ketidaksetaraan. Pandangan ini juga diperkuat oleh Ralph Milliband yang berpendapat bahwa kelas kapitalis telah mempergunakan dan mengatur kekuatannya untuk menggunakan negara yang ada sebagai instrument mendominasi masyarakat. Seperti yang terdapat dalam buku terkenal para penganut marxisme, “Manifesto Partai Komunis” karangan Marx dan Engels, yang melihat bahwa negara tidak lain hanyalah alat dari kelas kapitalis untuk mengakumulasi modalnya.
Sedangkan itu, dalam melihat keals di masyrakat, strukturalisme secara substansi ternyata berbeda dengan struktur kekuasaan. Nicos Poulantzas (1969) secara sederhana berpendapat bahwa partisipasi langsung dari para anggota yang berada di kelas pengatur tidak tepat dalam membentuk pengaruh aksi dari sebuah negara. Faktanya, ia menambahkan bahwa negara kapitalis hanya baik dalam memberikan keuntungan pada kelas kapitalis yang ada hanya ketika para anggota dari kelas tersebut tidak berpartisiasi dalam aparatus negara. Pemikir politik strukturalis seperti Althusser dan Poulantzas lebih berfokus pada mekanisme represi negara dan ideologi, serta cara mereka menyediakan keteraturan struktur untuk kapitalisme.
Antonio Gramsci, seorang pendiri partai komunis di Italia pada tahun 1921 dan seorang tahanan di bawah pemeritahan fasisme Mussolini, merupakan salah satu pemikir strukturalis yang berpengaruh, bahkan mengilhami pemikir lainnya seperti Althusser dan Poulantzas. Selama penahanannya dan kondisi yang sangat sulit, ia menulis buku-buku yang sangat bepengaruh bahkan diterjemahkan ke bahasa Inggris meski pemikrannya juga kental bernuansa marxis. Teori yang mungkin paling kita kenal sampai saat ini adalah tentang hegemoni dan dominasi. Dalam tulisan ini tidak akan dibahas dan dijabarkan lebih jauh tentang dua konsep tersebut dan apa yang menjadi pokok pikiran Gramsci terkait strukturalisme, namun setidaknya ada argumennya yang bisa memberikan gambaran tentang bagaimana strukturalisme tersebut. Dia melihat dan sepakat dengan posisi strukturalis bahwa aktivitas kenegaraan telah ditentukan oleh struktur masyarakat secara lebih, daripada oleh orang-orang di posisi kekuasan negara.
Meskipun dalam tulisan ini tidak dijelaskan lebih jauh tentang kritikalisme, statisme dan perjuangan kelas, dalam padangan sederhana saja kita diharapkan sudah mampu memahami hubungan dan teori-teori kelas secara singkat melalui pemaparan strukturalisme, pluralsime, dan instrumentalsime di atas. Memang belum lengkap rasanya jika tidak dikaji secara menyeleuruh apalagi tidak menyertakan berbagai variannya dalam pembahasan, tapi semangat untuk melihat ke dalam masyarakat secara langsunglah yang tidak boleh hilang. Kelas dengan berbagai macam bentuk dan pola hubungannya baik dalam masyarakat sendiri amupun jika dikaitkan dengan negara, akan selalu ada dan menjadi sesuatu yang dianalsisis setidak-tidaknya ketika negara dan masyarakat itu masih ada dan kekuasaan tetap menjadi barang yang langka untuk diperebutkan.
[1] Theories of class: From Pluralist Elite to Rulling Class and Mass. Bahan bacaan Kuliah Perbandingan Politik, 3 Mei 2011
0 Response to "Teori Kelas: Pluralisme, Strukturalisme, dan Insrtumentalisme (Review)"
Posting Komentar