Punya Helm ?
Lahirnya sebuah kebijakan baru adalah salah satu isu sentral di dalam menciptakan pemerintahan yang baik, tidak terkecuali bagi perekonomian nasional dalam kaitannya dengan perdagangan bebas. Dengan melihat berbagai fenomena di masyarakat sebagi respon dari lahirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada para pengendara motor untuk menggunakan helm berstandar nasional Indonesia (SNI) sebagai suatu kewajiban, tulisan ini berusaha memahami proses dari sebuah pemerintahan yang baik (good governance) tersebut. Berbagai alasan keselamatan hingga masalah ekonomi melatarbelakangi peraturan UU yang baru berlaku pada tanggal 1 April 2010, dan akhirnya dinyatakan sebagai sebuah kewajiban yang sulit diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Kecurigaan akan sebuah “proyek bisnis” antar instansi pemerintah juga dibahas untuk menjelaskan siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan adanya pemberlakuan peraturan tersebut. Pada akhir pembahasan terlihat bahwa masih ada kerancuan di dalam pelaksanaan peraturan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk perlengkapan pengaman pengendara sepeda motor maupun peraturan sejenis. Akan tetapi, keberaadaan peraturan ini sebenarnya adalah upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik pula, dari segi proteksi perekonomian terhadap persaingan di pasar bebas hingga masalah keselamatan pengendara sepeda motor. Namun begitu, upaya evaluasi dan kritik tetaplah menjadi bagian penting dan wajar dalam mewujudkan sebuah konsensus di dalam pemerintahan yang kita harapkan.
Kebijakan Paksa “Proyek” Helm Ber-SNI, Untuk Siapa ?
Akhir-akhir ini saya dibuat bingung kembali oleh pemerintah melalui istilahnya yang menyebutkan bahwa Bangsa yang besar adalah bangsa yang teratur, makmur, dan menghargai standar. Ditambah lagi oleh sebuah kebijakannya yang mewajibkan para pengendara motor untuk menggunakan helm yang sudah distandarisasikan secara nasional (SNI). Padahal, belum lama juga masih kita ingat tentang adanya pemberlakuan peraturan yang mengharuskan kendaraan bermotor dan angkutan umum di Ibu Kota untuk melakukan uji emisi. Melalui alasan yang sama populisnya dengan peraturan helm ber-SNI, menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat, namun pada akhirnya menjadi perdebatan dan hilang seperti angin lalu saja.
Ramlan Surbakti (2007)1, mengatakan bahwa pada awal abad pertengahan liberalisme lahir bukan dari golongan pedagang maupun pelaku industri, melainkan dari mereka yang memiliki inteliktual dan rasa ingin tahu dan haus akan pengetahuan baru. Hal tersebut demikian karena kekuasaan dicurugai sebagai cenderung disalahgunakan, maka dari itu perlu ada pengawasan dan pembatasan, hingga saat ini pun konsepsi tersebut masih relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di msyarakat kita. Kecurigaan ini kita bisa lihat dari momentum pemberlakuan hubungan dagang bebas ASEAN dan China (CAFTA) yang nampaknya dilihat berbeda oleh Kementrian Perindustrian dan Perdagangan. Tidak seperti kebanyakan pihak yang merasa pesimistis, justru mereka menyebutnya sebagai peluang meningkatkan mutu produksi barang-barang dalam negeri dan mulai membudayakan kebiasaan berstandarisasi melalui Permenperin No. 40/M-IND/Per/42009.
Sikap demikian wajar dilakukan jika melihat perkembangan respon masyarakat sebagai objek sekaligus pemonitor pemberlakuan peraturan tersebut dari mulai tanggal 1 April 2010 hingga saat ini. Diawali adanya istilah “wajib” yang ambigu bagi para pengendara motor untuk menggunakan helm yang berlabel SNI tanpa terkecuali itu produksi dalam dan luar negeri. Hingga pada indikasi adanya “proyek bisnis” antara Badan Standariasi Nasional Indonesia (BSNI), Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan dan Instansi Kepolisian. Jika dicermati sejenak, sebenarnaya pihak-pihak yang disebutkan tadi hanyalah membidani lahirnya berbagai bentuk kecurigaan masyarakat akan praktik liberalisme lain dari sebuah konsepsi besar, yaitu kerjasama perdagangan bebas (CAFTA).
Seyogianya pemerintahan yang baik dapat menghasilkan kebijakan publik yang baik pula dalam arti dapat diterima masyarakat sebagai suatu konsensus yang utuh, yaitu suatu putusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu2. Sehingga pada prinsipnya, yang memiliki kekuasaanlah yang dapat menghasilkan kebijakan tersebut. Di lain hal sering pula good governance dicirikan oleh tingkat partisipasi dalam dukungan terhadap kebijakan yang lahir. Seperti yang dikemukakan oleh David Easton, bahwa kita berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat maupun politik jika aktivitas kita ada hubungannya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan3. Pertanyaannya adalah apakah peraturan yang dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian, kepolisian maupun yang lainnya dalam hal mewajibkan pengendara motor menggunakan helm ber-SNI telah diterima oleh masyarakat sebagai suatu konsensus yang utuh lalu turut berpartisipasi di dalamnya ?.
Cerita singkat lahirnya peraturan ini bermula pada tanggal 7 Desember 2004 di Jakarta diadakan suatu kesepakatan oleh Panitia Teknis Kimia Hilir tentang perumusan helm SNI yang dihadiri oleh para anggota panitia teknis kimia hilir, konsumen, produsen, lembaga penguji, dan instansi pemerintah terkait. Kemudian pada tahun 2007, BSNI telah menetapkan standar nasional Indonesia (SNI) untuk standar minimal helm, yaitu SNI 1811-2007 yang sudah dinotifikasikan regulasinya ke WTO. Standar ini menetapkan spesifikasi teknis untuk helm pelindung yang digunakan oleh pengendara dan penumpang kendaraan bermotor roda dua, meliputi klasifikasi helm standar terbuka dan helm standar tertutup4. Karena Kementrian Perindustrian menilai belum siapnya berbagai pihak yang akan mendukung peraturan tersebut, maka pelaksanaannya diundur hingga 1 April 2010.
Kemeriahan menyambut kelahiran ini rupanya berdampak luas di masyarakat. Asosiasi Industri Helm Indonesia (AIHI) maupun ketua BSNI, Bambang Setiadi, menyatakan kapasitas produksi helm SNI di dalam negeri meningkat dan secara tidak langsung pula mengurangi jumlah helm impor dari luar negeri. Saya melihat bahwa fenomena tersebut hanyalah “kebahagiaan” untuk kalangan tertentu saja. Bagaimana dengan euforianya berbagai instansi yang sebelumnya di sebutkan begitu gencar menyerukan secara paksa di tengah sosialisasi yang minim dan situasi daya beli basyarakat kita yang masih kecil tentang pemberlakuan peraturan tersebut. Begitu juga seperti dikatakan oleh Bambang Setiadi di Jakarta, bahwa wajib helm SNI ini berlaku untuk semua produk helm, baik impor maupun lokal di seluruh Indonesia, sehingga semua produk helm tersebut wajib memiliki tanda emboss SNI, dan yang tidak memiliki tanda tersebut akan dimusnahkan. Lalu bagaimana dengan helm impor yang telah memiliki standar luar negeri seperti DOT yang jelas-jelas lebih tinggi tingkat kepercayaannya namun tidak memiliki tanda SNI ?.
Kembali kita bertanya, untuk siapa sebenarnya kebijakan ini ?, sebab telah begitu banyak keganjilan yang dirasakan dari sebuah kebijakan pemerintah yang berlaku mulai 1 April lalu. Cita-cita kita bersama akan terwujudnya sebuah pemerintahan yang baik nampaknya kembali menghadapi hambatan. Konsensus yang diharapkan lahir dari keinginan bersama telah berubah menjadi kepentingan sesaat pihak tertentu. Hal pertama yang dikritisi adalah tentang sosialisasi, pada awalnya tanggal 1 Pebruari lalu, BSNI telah melaunching SMS Blasting yang isinya “Ingat 1 April 2010, Pilih Helm Ber-SNI, Pilih SELAMAT”. Sms ini telah dikirim ke 7 ribu nomer pelanggan operator ponsel di tanah air guna memberikan “awarness” kepada para pihak terkait untuk segera bersiap menyongsong pemberlakuan SNI Helm pada 1 April 20105. Tapi apaka ini efektif ?, dalam banyak diskusi yang saya lakukan dengan teman-teman yang juga menggunakan motor saat ke kampus, tidak pernah ada yang tahu bagaimana peraturan ini sebenarnya. Kebanyakan mengatakan bahwa tilang yang dilakukan polisi terhadap pengendara adalah mereka yang kebetulan saja terjaring saat razia.
Kedua adalah kegiatan tukar helm gratis antara helm non-SNI yang dimiliki oleh masyarakat dengan helm ber-SNI yang disediakan oleh pemerintah di beberapa tempat, salah satunya di Parkir Timur Senayan beberapa saat lalu. Dari kegiatan tersebut dapat kita amati bahwa peratuan yang bersifat nasional, namun pelayanan sosialisasinya hanya bersifat lokal, lalu bagaimana dengan masyarakat di luar Pulau Jawa ?. Masyarakat kita kembali dipaksa dengan cara yang halus untuk ditimbulkan jiwa konsumtifnya. Di satu sisi mereka di paksa membeli helm baru yang ber-SNI dengan harga lebih mahal. Namun begitu, di lain sisi banyak mereka yang mempertanyakan apakah helm impor yang telah mereka miliki dengan harga beli yang lebih mahal dan kualitas lebih baik dari helm SNI harus ikut dimusnahkan dan ditukar dengan helm SNI ?. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan nampaknya sukar untuk menjawab pertanyaan ini jika masih saja tidak transparan dan terbuka dalam hal tersebut, kemudian bagi saya adalah wajar jika akhirnya banyak kecurigaan timbul akan adanya sebuah ‘proyek bisnis” antar instansi yang giat menyuarakan helm SNI karena adanya kesan dipaksakannya tadi.
Theodore Lowi mengatakan bahwa ciri khas kebijakan umum adalah produk yang sifatnya mengikati dan pemerintah berhak untuk memaksakannya secara fisik. Namun jika kembali dengan apa yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti di awal, rasanya tepat jika momentum perdagangan bebas (CAFTA) baru-baru ini sebagai upaya liberalisasi oleh kaum intelektual di pemerintahan dengan mengeluarkan kebijakan helm ber-SNI. Industri dikelola secara ketat, kegiatan dimonopoli oleh kaum aristokrat, begitu juga hari ini bagaimana salah satu sektor industri dalam ekonomi merupakan bentuk dominasi yang melembaga atas individu atau pihak tertentu. Semetara itu, banyak rakyat biasa sebagai konsumen dibiarkan dalam kebingungan yang dipaksakan dan tidak dilibatkan dalam konsensus agar “praktik” dapat tetap berjalan.
Tipe kebijakan umum yang bersifat regulatif ini ternyata secara tidak sadar telah merefleksikan dirinya sebagai alat kontrol bagi masyarakat terhadap penguasa yang kerap dilegalkan dalam membuat peraturan. Pendidikan politik masyarakat kita saat ini memang belum begitu baik, tapi keterbatasan dan kelangkaan ekonomi telah membuat masyarakat kita mau berfikir dan balik bergerak mengkritisi kebijakan guna mendukung lahirnya suatu pemerintahan yang baik. Kita tidak lagi mudah terbuai dengan ucapan populis para penguasa, justru kita mulai berani mempertanyakan hal yang dianggap ganjil saat hal-hal tertentu banyak memberikan dampak kerugian.
Budaya hidup berstandar dan mengutamakan keselamatan sejatinya adalah baik, namun upaya pemantauan (monitoring) dan evaluasi pelaksanaan kebijakan adalah proses terakhir dari pembuatan kebijakan itu sendiri yang sering tidak diperhatikan. Kita selalu berharap akan datangnya perbaikan bagi kehidupan di negara ini, yaitu lahirnya pemerintahan yang baik. Kalaupun upaya standarisasi memiliki maksud ke arah itu, harusnya masyarakatlah yang menjadi tujuan dari sebuah kebijakan, bukannya dicampuri oleh kepentingan pihak terentu. Jawaban atas judul diatas sebenarnya adalah suatu yang retoris, telah tertanam kuat di hati masyarakat bahwa sebagai bangsa yang demoratis rakyatlah yang harus diutamakan. Hari ini kita bicara dalam forum-forum kecil tentang hak kita yang dipermainkan. Harapannya adalah kelak dari diskusi yang dimulai di bawah pohon ini lahir sebuah budaya controling di dalam masyarakat yang mulai rajin berpendapat pascareformasi, tidak hanya gemar berserikat namun gemar pula menyuarakannya di depan hidung pemerintah secara langsung.
Catatan Kaki :
1. Surbakti, Ramlan. (2007). Memahami ilmu politik (cet. ke-6) (p.34). Jakarta: Grasindo.
2. Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-dasar ilmu politik. (p.20). Jakarta: Gramedia
3. ibid. hlm. 21
4. “Membangun budaya standar melalui pemberlakuan wajib SNI helm.”, (23 Februari 2010), http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=1653, diakses pada tanggal 19 April 2010, pukul 21:32
5.“Menyonsong pemberlakuan wajib helm ber-SNI.”, (23 Februari 2010) http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=1649, diakses pada tanggal 19 April 2010, pukul 21:38
0 Response to "Punya Helm ?"
Posting Komentar