Presidensialisme Setengah Hati :D
Perspektif
dalam membahas partai politik, sistem pemilu, maupun sistem partai politik itu
sendiri sangatlah beragam. Pengalaman pemerintahan orde baru di Indonesia telah
menunjukan bagaimana ideologisasi dan politisasi partai politik yang telah
dilakukan sebelumnya pada masa pemilu 1955 perlahan direduksi dan mengalami
perubahan besar-besaran atas nama kepentingan pembangunan ekonomi. Partai
politik yang jumlahnya puluhan disederhanakan menjadi hanya dua kontestan parpol
dan satu golongan karya (Golkar). Apa yang terjadi pascaruntuhnya rezim orde
baru—masa reformasi demokrasi 1998—rupanya menghadirkan semangat perubahan
tatanan demokrasi, salah satunya adalah dengan melaksanakan amandemen terhadap
UUD 1945 sampai empat kali—diantara butirnya adalah pelaksanaan desentralisasi
dan membahas pula tentang sistem politik dan sistem kepartian—serta berupaya
menghadirkan kembali ‘nuansa’ politik kepartian seperti pada saat pemilu tahun
1955 disamping agenda penguatan kembali karakter dan prinsip sistem
pemerintahan Presidensialisme.
Salah
satu praktik pengalaman buruk dalam berdemokrasi di masa orde baru adalah ketika
Presiden saat itu menjadikan parlemen sebagai hanya alat untuk memberikan
stempel dan menguatkan dirinya semata dalam pemerintahan, padahal hubungan yang
seharusnya terjadi tidaklah demikian. Dengan semangat presidensialisme yang
termaktub dalam UUD 1945, mestinya terjadi hubungan saling kontrol yang baik
dantara tiga lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), namun
nyatanya justru eksekutif mengkooptasi dua lembaga lainnya, legslatif dan
yudikatif. Begitu juga pada lembaga-lembaga negara selain tiga yang disebutkan
terakhir tersebut. Lembaga tersebut kebanyakan hanyalah bentuk derivasi dari
sosok tunggal Presiden yang sebenarnya lebih tepat disebut dengan otoritarianisme.
Nuansa politis dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintah sangatlah kental
meski rakyat dibatasi geraknya dalam bidang politik. Meskipun begitu, dengan
sistem presidensialisme yang dianut pada saat itu, masih dimungkinkan bagi
seorang Presiden mengalami pemakzulan (impeachment)
seperti Soeharto di akhir masa kejayaan orde barunya. Pada saat itu DPR sebagai
pemberi wewenang kekuasan kepada Presiden menyatakan secara politis bahwa
Presiden Soeharto harus mengakhiri masa jabatannya lebih cepat dari waktu yang
ditentukan.
Setelah
reformasi, semangat memperbaiki sistem politik yang dirasa telah penuh penyimpangan
pada masa rezim sebelumnya menjadi salah satu agenda yang dikedepankan dalam
amandemen UUD 1945. Namun di awal tahun 2000an sempat timbul permasalahan baru,
yaitu fenomena legislative heavy yang
mengusung semangat ‘pangkas habis kekuasaan terpusat’ sebagai bagian dari
uapaya menyederhanakan kekuasaan eksekutif. Setelah amandemen yang ke-tiga, dan
dilaksanakannya pemilihan umum tahun 2004, barulah perlahan wacana dan
penerapan mengembalikan karakter dan prinsip presidensialisme benar-benar
nyata. Dalam rangka persoalan inilah, Scott Mainwaring serta Hanta Yuda mencoba
untuk menjelaskan tentang sistem pemerintahan presidensialisme dan hubungannya
dengan sistem multipartai, khususnya dalam studi demokrasi di Indonesia pada
masa peemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemilu
2004 sebagai pemilu pertama yang menyelenggarakan pemilihan presiden secara
langsung sebenarnya juga merupakan bagian dari upaya penataan ulang karakter
dan prinsip dasar sistem presidensil di
Indonesia. Wacana institusionalisasi atau pelembagaan politik yang meliputi
proses amandemen UUD 1945 dan purifikasi
sitem presidensialisme—termasuk di dalamnya terkait konsep single chief executive atau kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan—rupanya perlahan telah memperbaiki sistem pemerintahan agar
menjadi lebih terlihat mekanisme saling kontrolnya. Purifikasi sistem ini
mengamantkan Presiden tidak lagi menjadi penguasa tunggal teratas, namun
berusaha menempatkan adanya ‘lembaga’ lain yang lebih tinggi dari seorang
Presiden seperti konstitusi secara hukum dan rakyat secara politik. Proses
purifikasi ini tidak berjalan tanpa masalah, salah satu persoalan yang bisa
dianalisi adalah posisi wakil presiden. Meski dipilih secara paket pada saat
pemilu bersama Presiden, namun kekuasaannya lebih kecil dari Presiden. Diantara
fungsi wakil presiden yang dianggap sub-ordinat dari Presiden adalah fungsinya
sebagai ‘ban serep’, mewakili Presiden dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan, dan membantu tugas-tugas Presiden
lainnya. Sampai disini dapat disimpulkan
bahwa ternyata masih terdapat persoalan di dalam proses purifikasi sistem
presidensial di Indonesia pascareformasi, yaitu lembaga kepresidenan—insitusi
politik atau organisasi jabatan kenegaraan yang dalam sistem presidensial
terdiri dari dua jabatan politik yaitu Presiden dan wakil presiden—yang masih
‘menunggalkan’ kekuasaan kepada sosok Presiden semata.
Persoalan
kedua setelah lembaga kepresidenan seperti dijelaskan di atas adalah kombinasi buruk sistem presidensial
dengan sistem multipartai dalam sebuah negara. Sebelum menelaah lebih jauh,
perlu kita cermati terlebih dahulu ciri dari sistem presidensialisme itu
sendiri. Menurut Ball dan Petters, ciri-ciri tersebut diantaranya (1) posisi
Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, (2) Presiden
tidak dipilih parlemen, (3) Presiden bukan bagian dari lembaga parlemen, Presiden
tidak dapat diberhentikan lembaga parlemen kecuali melalui mekanisme
pemakzulan, (4) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Sedangkan menurut Scott
Mainwaring, terdapat dua ciri yang paling uatama, yaitu pertama, pemilihan
kepala pemerintahan (Presiden) diselnggarakan secara terpisah dengan pemilihan
anggota parlemen. Karena itu, hasil pemilu legislatif tidak menentukan
kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua, kepala pemerintahan
dipilih untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (fixed term). Maka jika di saat yang bersamaan suatu negara juga menerapkan
sistem multipartai, terdapat implikasi-impliaksi lanjutan—diantaranya menciptakan
suatu hubungan struktur internal dan ekternal sistem presidensial—yang menurut
Mainwaring sebagai kombinasi yang sulit dan berkecenderungan melemahkan sistem
pemerintahan dan kepartaian itu sendiri.
Pascapemilu
2004 di Indonesia, proses pelembagaan politik dan purifikasi sistem
presidensial lebih kentara. Diantaranya adalah tercipta sebuah mekanisme checks and balances dari hasil kekuasaan
yang terpisah-pisah dan saling mandiri (separation
of power) tidak seperti periode sebelumnya yang menjadikan kekuasaan
kehakiman berada di bawah pengaruh Presiden. Selain itu, mekanisme
impeachment juga tidak lagi didasarkan oleh alasan politis. Sebab dalam
peraturan yang terbaru, Presidena hanya bisa dijatuhkan melalui mekanisme hukum
pidana. Kategori tindak pidana menurut
konstitusi setelah amandemen UUD 1945 pasal 7A diantaranya adalah pengkhianatan
terhadap negara (treason), korupsi
atau penyuapan (bribery and hight crimes)
dan beberapa bentuk perbuatan tercela (misdemeanours).
Inilah konsekuensi dari masa jabatan Presiden yang telah ditentukan. Artinya
seorang Presiden tidak bisa dihentikan dalam masa jabatannya yang sedang
berjalan, sehingga sangat sulit bagi mekanisme impeachment untuk dilaksanakan.
Jika
kembali membicarakan persoalan sistem presidensil yang dikombinasikan dengan
sistem multipartai, selain karena kombinasinya yang dianggap sulit dan tidak
cocok, juga dikarenakan masing-masing—baik sistem presidensil maupun sistem
multipartai—pada dasarnya memiliki kekurangan dan kelemahan. Kelemahan sistem multipartai
misalnya, sistem ini sangat rapuh dalam pelembagaan partai politik seperti
terlihat dengan mudahnya para kader yang berpindah dari satu partai ke partai
lain. Mudahnya seseorang atau sekelompok orang untuk membuat partai baru juga
disinyalir menjadi kelemahan institusionalisasi partai dalam sistem
multipartai. Sedangkan di parlemen, jumlah partai yang banyak dan beragam itu
sekaligus turut membuat parlemen menjadi terfragmentasi berdasarkan ideologi
atau kepentingan tertentu. Implikasinya jika sistem kepartaian dan sistem
pemerintahan ini digabungkan, maka diantaranya akan menyebabkan deadlock dalam pembuatan keputusan di
parlemen, anomali oposisi dalam pemerintahan yang berasal dari partai atau
kelompok yang kalah dalam pemilihan Presiden, dan bayang-bayang koalisi yang
terkartel akibat kekuasaan Presiden yang minoritas (tidak didukung oleh partai
mayoritas dalam parlemen)
Dalam
kasus di Indonesia, Hanta Yuda menilai bahwa sistem multipartai dan
presidensialisme adalah suatu keniscayaan akibat budaya politik, sosio-ekonomi
masyarakat, dan karakter bangsa. Presidensialisme dinilai cocok dengan budaya
politik di Indonesai sebab mayoritas masyarakat Indonesai menganut sistem
patrilineal dan patrimonial dalam budayanya dalam rangka menciptakan suatu stabilitas
politik yang matang dan terkendali di tangan seorang penguasa yang kuat.
Sedangkan sistem multipartisme selain didasarkan pada faktor sejarah (sejak
pemilu 1955), juga karena masyarakat Indonesia yang majemuk (heterogen) dan jumlahnya yang banyak . Ingat
kembali tentang konsep budaya politik aliran menurut Clifford Geertz—abangan,
priyayi, dan santri—yang sedikit banyak telah memberikan penjelasan bagi kita
tentang hubungan masyarakat yang multikultur dengan sistem kepartaian yang
multipartai. Memang pada dasarnya sistem kepartaian seperti ini menimbulkan
banyak permasalahan . Diantaranya, multipartisme sulit menghasilkan partai
politik pemenang—atau setidaknya jumlah mayoritas—mutlak dalam pemilu.
Akibatnya parlemen yang diharapkan dapat memberikan dukungan kuat pada jalannya
pemerintahan presiden dan eksekutif lainnya, justru menjadi lemah dan Presiden selalu
dibayang-bayangi oleh impeachment yang
wacanyanya biasanya datang dari partai-partai oposisi—jarak ideologi yang
terlampau besar sehingga kepentingan yang muncul juga sangat ekstrim seperti impeachment.
Kelemahan
perpaduan dua sistem ini—presidensialisme dan multipartisme—secara tidak
langsung telah ‘memaksa’ lahirnya figuritas tokoh politik untuk menyelamatkan
jumlah perolehan partai politik yang kecil akibat partai politik peserta pemilu
yang banyak jumlahnya. Ingat ketika Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari
partai minoritas justru dapat memenangkan pemilihan Presiden langsung dengan
wakil presiden saat itu adalah Jusuf Kala yang notabene adalah ketua umum partai pemenang suara mayoritas pemilu
(Golkar). Lebih jauh, fenomena Presiden minoritas seperti dijelaskan pada kasus
pemilu 2004 dan pemerintahan terbelah akibat koalisi yang pragmatis,
menyebabkan demokrasi menjadi labil. Pendapat ini diperkuat oleh tesis yang
dibuat oleh Scott Mainwaring yang menyatakan bahwa ketika dua sistem ini
dipadukan dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, umumnya kebijakan
yang dibuat akan mengalami deadlock. Akibatnya, dengan ‘kecacatan’ yang terjadi
seperti itu, maka secara dilematis dan terpaksa akan lahir kompromi-kompromi
dari partai politik dalam rangka memenuhi kepentingannya masing-masing di
tengah surutnya mekanisme memperoleh sumber daya kekuasaan dan ekonomi. Sebagai
implikasi dilema tersebut—presidensialisme kompromis—, maka secara tidak
langsung perlahan demi perlahan kekuasaan dan hak prerogratif Presiden dari
sisi eksekutif, legislative, yudikatif, serta diplomasi mulai memudar dalam rangka memberkan
akomodasi politik bagi partai lain maupun opsisi yang sebenarnya juga berwatak
perburuan rente dengan cara ‘memeras’ pemerintah yang berkuasa. Presiden akhirnya
terpaksa melakukan ‘penyelewengan’ hak prerogratif dalam mengangkat secara langsung menteri-menteri akibat tuntutan
akomodasi politik tersebut. Misalnya ketika Presiden harus memberikan sekian
kursi kabinet kepada orang-orang partai pendukung koalisinya dengan
pertimbangan yang juga politis, bukan profesionalisme atau alasan-alasan yang
rasional-kebutuhan, tapi justru rasional-kepentingan.