Perburuhan di Indonesia dan Aspek Politiknya: Pendahuluan
Dunia
perburuhan di Indonesia memiliki sejarah dan perjuangannya yang penjang dalam
hal hubungan industrial, maupun ketika buruh itu sendiri berhadapan secara
langsung dengan pemilik modal. Buruh sering kali ada di posisi yang didominasi
dan menjadi sapi perahan dalam kehiduapn indstri dan pembangunan negara. Maka
tidak mengherankan jika Presiden Soekarno dengan bernada Marxis pernah
mengatakan bahwa ada semacam kontradiksi antagonis antara buruh dan modal. Di
masa itu—sebelum kemerdekaan hingga masa demokrasi terpimpin—buruh adalah salah
satu kekuatan penting dalam memperjuangkan hak politik rakyat Indonesia sekaligus
aktif (positif dan negatif) dalam mengisi kemerdekaan yang telah diraih. Ingat
bagaimana kelompok buruh ini pernah mendalangi pemberontakan terhadap
pemerintah ketika masih kental afiliasinya dengan PKI maupun ketika buruh mulai
menampakan dirinya dalam sebuah political
union.
Seiring
dengan kejatuhan Soekarno dan pemerintahan Orde baru mulai melakukan pembenahan
dalam stuktur politik mapun ekonomi di sana-sini, buruh dan hubunagnnya dalam
persoalan politik mulai dijauhkan. Berawal dari dibubarkannya PKI tahun 1966
dan stigma bahwa buruh menjadi salah satu kekuatan utama PKI, pemerintah perlahan
tidak langsung melarang kegiatan politik kelompok buruh, namun menggiring
kelompok buruh ini pada idiom baru yang lebih moderat (dari istilah buruh
menjadi tenaga kerja). Political union
diarahkan berubah menjadi trade union,
serikat-serikat buruh yang banyak dan berafiliasi dengan partai politik mulai
dihapuskan dengan dibentuknya serikat buruh tunggal yang kita kenal dengan
FBSI/SPSI. Maka dengan mulai bergulirnya pemerintahan Orde baru, dimulai jugalah
babak baru dunia perburuhan di Indonesia.
Di
masa Orde baru, pola hubungan industrial dari ketiga pelakunya tidaklah sekuat
kohesi pada masa Presiden Soekarno. Sejak kemerdekaan hingga saat ini, hubungan
industrial sering dimaknai setidak-tidaknya sebagai “pergulatan” yang cenderung
saling lebih mandiri dan kuat berposisi dari masing-masing pelakunya—buruh,
manajemen, dan pemerintah—jika dibandingkan dengan pola tri-partite Soekarno, TNI AD, dan PKI di masa itu (Soekarno sebagai
penyeimbang pergulatan dari dua pelaku lainnya). Meskipun begitu, dampak
turunan yang sama dihasilkan adalah munculnya konflik-konflik kepentingan
diantara tiga pelaku hubungan tri-partite
tersebut. Bahkan dalam pengertian dampak positif lainnnya, hubungan industrial
ini dapat melahirkan apa yang disebut the
rules of the workplace atau semacam kesepakatan-kesepakatan dan peraturan kerja
antara buruh, pemerintah, dan manajemen di dalam sebuah tempat kerja (misalnya
UU Perburuhan, keputusan arbitrasi, hingga penyelesaian perselisihan). Jadi, pola
hubungan industrial ini penting untuk dipelajari dalam melihat dunia perburuhan
dari aspek politik sebab konflik kepentingan yang terjadi di dalam hubungan
ketiga pelakunya setidaknya telah mampu membuat perubahan dalam struktur
sosial-politik masyarakat bahkan negara.
Contoh
yang cukup kentara diantaranya adalah ketika terjadi pergeseran sektor lapangan
kerja dari pertanian menuju industri, dari industri yang padat kerja menjadi
industri yang padat modal, dari pemanfaatan tenaga manusia dan hewan beralih ke
tenaga mesin. Pada mulanya aspek sosial-ekonomi yang dirasa sangat berubah,
namun lebih jauh menjalar kepada aspek politik pada saat kesenjangan sosial dan
ekonomi yang tercipta menciptkan konflik-konflik kepentingan diantara buruh
dengan pemilik modal maupun pemerintah. Kemajuan pembangunan dalam masyarakat industri
tersebut telah merubah struktur masyarakat. Kelas menengah secara perlahan
mulai bertambah jumlahnya dan kesadaran buruh akan hak-hak mulai meningkat yang
ditandai dengan semakin banyaknya aksi mogok, penyuaraan tuntutan, dan
pembentukan serikat buruh meski bersifat ilegal.
Pembangunan
yang mengedepankan ekonomi dan stabilitas politik nasional—developmentalis integralis—seperti saat Orde baru telah membuat
semacam simbolisasi ekonomi pasar sebagai nilai yang mesti dijunjung dan secara
tidak sadar menundukan pola hubungan industrial dalam negeri kepada hubungan
industrian negara-negara maju. Terbukanya hubungan dagang internasional dan
kebutuhan akan modal yang semakin mendesak membuat negara kerap kali terjerat
dalam perangkap utang asing. Akhirnya mau tidak mau negara juga harus mengikuti
dan menerima intervensi lembaga atau negara pendonor yang ditandai dengan
tunduknya korporasi lokal terhadap aturan-aturan hubungan industrial di
neara-negara asing yang utamanya berpaham kapitalis. Saat itulah peran negara
semakin minimalis. maka di dalam pola pelaku hungan industrial praktis hanya
menyisahkan manajemen perusahaan dan
buruh. Mulailah dominasi dan hegemoni manajemen perusahaan terhadap buruh
menjadi sangat kentara dan merugikan karena peran negara yang harusnya menjadi
penengah dan pembuat kebijakan absen pada keadaan seperti itu..
Saat
ini di masa reformasi dan keterbukaan publik semakin memberi ruang kepada buruh
untuk menyuarakan pendapat dan membentuk seriat-serikat, justru pergolakan
politik di dalam hubungan industrial tidak serta merta berhenti. Kita ingat
ketika di awal tahun 1990an terjadi peningkatan kesadaran yang ditandai dengan tuntutan
dan artikulasi kepentingan yang semakin politis dari kelompok buruh (merubah kesepakatan
kerja dan memebentuk serikat buruh baru). Saat itu tuntutan yang ada tidak lagi
hanya bersifat normatif seperti persoalan upah, keselamatan kerja dan
kenyamanan kerja. Buruh telah semakin sadar akan hak dan potesi kekuatan
politik yang dimilikinya. Puncaknya adalah ketika pada pemilu tahun 1999 mulai lahir
partai-partai yang mengidentifikasikan dirinya sebagai partai pekerja atau
partai buruh meski belum mampu keluar sebagai salah satu partai pemenang
pemilu.
Maka
dari menilik perjalanan kehidupan perburuhan di Indonesia sejak sebelum
kemerdekaan hingga hari ini, menurut Dr. Cosmas Batubara setidaknya hubungan
industrial seperti yang dijelaskan di atas telah melahirkan implikasi akademik
yang penting bagi kita yang mengamati fenomena tersebut, diantaranya pertama adalah
ternyata potensi politik buruh sebagai kelompok kepentingan dan penekan tidak
bisa lagi diabaikan dalam wacana politik Indonesia kontemporer. Kedua,
penafsiran ilmu politik tentang hubungan antara negara dan masyarakat di
Indoneisia yang selama ini sangat menekankan pada sisi negara perlu dikaji
ulang berkaitan dengan gejala meningkatnya kemampuan buruh mempengaruhi proses
politik untuk melakukan perubahan kebijakan pemerintah.[1]
0 Response to "Perburuhan di Indonesia dan Aspek Politiknya: Pendahuluan"
Posting Komentar