FSBKU dan Kelompok Buruh Perempuan dalam Upaya Menghapuskan Sistem Kerja Outsourcing


BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1      Latar Belakang
             Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan, mutasi, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap pengurus serikat buruh/pekerja, upah yang murah, sistem kerja kontrak, outsourcing, dan lain-lain masih menjadi masalah besar dalam dunia perburuhan di Indonesia terlebih pascareformasi yang sebetulnya harapan akan perbaikan pada nasib buruh begitu tinggi. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No 87 tahun 1948 mengenai kebebasan berserikat melalui Kepres No 83 tahun 1998 serta adanya UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, tetapi belum dijalankan dengan baik oleh para pemilik modal dan pengusaha kapitalis. Sehingga tidak mengherankan jika sampai pada persoalan upah dan sistem kerja juga lebih menguntungkan kelas pemodal tadi daripada buruh. Hal seperti itu terbukti selama lima tahun terakhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta, ditemukan 49 kasus pelanggaran terhadap hak-hak buruh mulai dari mutasi pengurus serikat, PHK, pemberian sanksi akibat menjalankan kegiatan berserikat, juga upaya kriminalisasi terhadap pengurus serikat.[1]
Kondisi seperti ini memunculkan banyak studi tentang perburuhan dan hubungan industrial baik yang dilakukan oleh para aktivis perburuahn itu sendiri maupun ilmuan politik di Universitas. Pengalaman orde baru menunjukan bahwa ternyata adanya gerakan kaum sosialis dan komunis yang kuat, tidak memungkinkan perjuangan penuntutan hak dan kehidupan layak dapat dilaksanakan dalam kerangka sistem yang demokratis. Oleh karena itulah kaum pengusaha kapitalis saat itu cenderung mendukung sebuah rezim yang otoriter dan mampu membendung gerakan kaum buruh yang agresif ini.[2] Namun pasacareformasi yang diimpikan akan membawa perubahan pada nasib buruh setelah rezim otoriter tumbang tidaklah membawa kenyataan yang demikian. Melalui hadirnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mulai timbul sebuah sistem pembagian dan kesepakatan kerja yang “menjerat” para buruh. Diantara butirnya menyebutkan persoalan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Atau bahasa umumnya adalah outsourcing yang meliputi usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja (transportation).
Kegiatan-kegiatan ini pada dasarnya adalah kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, atau dengan kata lain kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu perusahaan. Sehingga pemberlakuannya juga bukanlah sebagai tenaga kerja tetap. Dan sewaktu-waktu dengan sifat penunjangnya itu bisa diberlakukan pemutusan hubungan kerja. Hal inilah yang dimaksud bahwa outsourcing tidaklah meberikan jaminan kepastian pada pekerja. Proses kontrak yang dilakukan melalui perusahaan penyalur jasa membuat posisi buruh outsourcing ini semakin lemah dan tersub-ordinasi begitu nyata. Maka dengan melihat persoalan outsourcing yang dipaparkan singkat ini, Penulis akan menghadapakannya dengan sebuah pengalaman perjuangan penghapusan sistem outsourcing yang dilakukan oleh salah satu Federasai Serikat Pekerja (FSBKU) dan dilihat pula potensi yang bisa dilakukan oleh kekuatan buruh perempuan.
1. 2      Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis dalam makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan: “Bagaimanakah peluang dan perjuangan yang dilakukan oleh FSBKU dan kelompok buruh perempuan dalam upaya menghapuskan sistem kerja outsourcing?
1. 3      Kerangka Konsep
1.3.1    Pemaknaan Buruh/Pekerja dan Serikat Buruh/Pekerja
Buruh secara sederhana dimaknai dengan kelompok orang yang bekerja namun tidak memiliki dan menguasai alat-alat produksi sendiri, dan karenanya mereka terpaksa dan dipaksa oleh keadaaan yang seperti itu untuk menjual tenaganya demi pekerjaan dan upaya bertahan hidup.[3] Buruh adalah semua manusia yang menggunakan tenaga, pikiran, dan usahanya untuk bekerja dan mendapatkan upah/penghasilan. Kaum buruh merupakan tulang punggung perekonomian di setiap negara. Untuk konteks Indonesia, mereka pernah begitu “berkuasa” di dalam suatu negara seperti yang pernah terjadi ketika tahun 1945-1966, baik yang berafiliasi dengan PKI maupun bukan. Mereka jugalah golongan masyarakat dengan jumlah yang sangat besar. Namun sering kali keadaaanya begitu lemah atau kalau tidak sedang dilemahkan. Mereka seolah tidak mempunyai hak dalam banyak hal, mulai dari penentuan upah kerja, penentuan jam kerja, hari libur, kesejahteraan maupun kebijakan-kebijakan lainnya.[4] Buruh sebagai kekuatan demokrasi baru pada hakikatnya adalah buruh yang mulai terorganisasi atau sering lebih kita kenal dengan serikat buruh. Mereka adalah sebuah kekuatan sosial yang memiliki posisi berlawanan dengan para elit, memiliki kekuasaan, sehingga tidak lagi mudah untuk dikooptasi. Pada tahap ini, buruh yang sudah terorganisasi memiliki kemampuan untuk memobilisasi segmen-segmen kelas pekerja sebagai strateginya melawan intimidasi dan kejahatan elit termasuk pemilik modal. Oleh karena itu, kekuatan baru ini mampu mempengaruhi pembuatan kebijakan atau arah reformasi dalam sebuah hubungan industrial khsusunya pascareformasi.[5]
Maka dari menilik perjalanan kehidupan perburuhan di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga hari ini, menurut Dr. Cosmas Batubara setidaknya hubungan industrial—antara buruh, perusahaan, dan pemerintah—telah melahirkan implikasi akademik yang penting bagi kita yang mengamati fenomena tersebut, diantaranya pertama adalah ternyata potensi politik buruh sebagai kelompok kepentingan dan penekan tidak bisa lagi diabaikan dalam wacana politik Indonesia kontemporer. Kedua, penafsiran ilmu politik tentang hubungan antara negara dan masyarakat di Indoneisia yang selama ini sangat menekankan pada sisi negara perlu dikaji ulang berkaitan dengan gejala meningkatnya kemampuan buruh mempengaruhi proses politik untuk melakukan perubahan kebijakan pemerintah.[6]
I.3.2       Pemaknaan Sistem Kerja Outsourcing
Di era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat saat ini, setiap perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerjanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien (prinsip-prinsip Weberian). Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran yang dibuat oleh perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini seperti inilah yang kita kenal dengan istilah outsourcing.[7] Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing atau alih daya ini juga dapat dimaknai dengan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk keperusahaan lain diluar perusahaan induk.[8] Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan biasa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing.[9]
Sistem kerja seperti ini di satu sisi (bagi perusahaan) menguntungkan karena memberi daya dukung pada upaya efektifitas dan efisiensi. Namun bagi pekerjanya justru mengalami hal yang sebaliknya. Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK menjadi hal yang lumrah dan terus membayangi karena posisiya sebagai tenaga penunjang dan bukan pekerja utama atau pekerja tetap dalam perusahaan. Akhirnya akan menjadi semakin jelas perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal (karyawan inti) dengan karyawan outsource. Dalam praktinya, kebijakan yang dilakuka oleh perusahaan bersama vendor yang menjadi tenaga penyalur buruh outsource ini juga sering kali menyalahi aturan yang ada. Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah, banyak kerja-kerja di perusahaan yang sebenarnya tergolong pekerjaan utamajustru diberlakukan secara outsource. Buruh diperlakukan seperti eksploitasi manusia dan sewaktu-waktu bisa tidak diperkerjakan lagi.


BAB 2
PERJUANGAN FSBKU DAN BURUH PEREMPUAN MELAWAN OUTSOURCING

2.1       Profil dan Upaya Penghapusan Outsourcing Oleh FSBKU
Berdasarkan hasil observasi Penulis bersama kelompok dalam perkuliahan Politik Perburuhan dan Hubungan Industrial pada sebuah federasi serikat buruh di Tangerang, didapatkanlah beberapa pengalaman perjuangan melawan sistem kerja outsourcing dan informasi mengenai Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU).[10] Secara singkat, Federasi ini diketuai oleh Koswara yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia menjadi buruh pada suatu perusahaan sejak tahun 1993 hingga 2009. Kini sudah tidak bekerja lagi di PT. GP (tempat sebelumnya bekerja) dikarenakan PHK yang diberlakukan perusahaan akibat aktifitas mobilisasi perburuhan yang dilakukannya. Aktifitas mobilisasi buruh atau serikat yang dibentuk dan dirintisnya di PT. GP tersebutlah yang menjadi salah satu cikal bakal lahirnya FSBKU tahun 1999. Koswara sebetulnya sudah beberapa kali mencoba melamar kerja kembali ke berbagai pabrik dan perusahaan sejak tahun 2009 hingga Penulis bertemu pada Maret 2012 lalu, namun tidak pernah ada satu pun yang mau menerima. Menurut kesaksian beliau, perusahaan-perusahaan takut mempekerjakan karyawan yang aktif dalam menyuarakan tuntutan, terlebih orang yang sudah dikenal memang lantang menyuarakan hak-hak buruh.[11] Keputusannya untuk bergabung dan hingga kini menjadi ketua umum FSBKU—tidak ke federasi yang lain—salah satunya dikarenakan kekecewaan dan penilaiannya tehadap KSPI—sempat beberapa waktu tergabung di dalamnya—yang tidak mampu memberikan banyak manfaat kepada buruh karena dianggap merupakan bentukan perpanjangan tangan dari rezim lama yang otoriter.
FSBKU sebagi sebuah organisasi resmi, pertama kali dideklarasikan pada bulan April tahun 2001 dan pada tahun 2004 melalui kongresnya yang kedua mengamanatkan kepada Koswara untuk menjadi Ketua Umum dengan visi secara garis besar ingin mensejahterakan anggotanya. Federasi ini didirikan tidak lepas dari lahirnya UU No. 21 tahun 2000 yang menyatakan bahwa serikat buruh tingkat pabrik boleh didirikan minimal dengan anggota sebanyak 10 orang dan untuk mendirikan federasai dibutuhkan setidaknya lima serikat buruh tingkat pabrik. Cakupan kerja dan perhatian FSBKU semakin lebar terbukti seiring dengan berjalannya waktu. Diantaranya pada tahun 2007 mulai aktif untuk menyuarakan penentangannya terhadap sistem buruh kontrak dan outsourcing.
Saat ini FSBKU telah menghimpun sekitar 29 serikat buruh dengan total 8000 anggota di daerah Tangerang. Struktur organisasi FSBKU secara singkat terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Umum, Bendarahara Umum, dan didukung oleh lima Departemen (Departemen pengkajian perempuan, pendidikan dan profesi (PP), hukum dan advokasi, pengembangan SDM, dan departemen dana usaha. Dalam hal pendanaan organisasi, FSBKU hampir sama dengan serikat atau federasai buruh pada umunya, yaitu memberlakkan kebijakan iuran sebesar 0,5% dari upah per-bulannya.[12] Program kerja yang dicanangkan oleh FSBKU pada umumnya juga sama dengan serikat atau federasi serikat buruh pada umumnya, namun yang menjadi khas selain karena cakupan wilayah kerjanya,—kawasan industri di Tangerang—FSBKU pernah beberapa kali terlibat kasus dengan perusahaan pada saat mengadvokasi anggotanya yang mendapatkan masalah.
Sebagai contoh ketika terjadi kasus pada PT. Golden Tatex yang beroperasi dalam pemintalan benang. Pabrik pemintalan benang yang sudah berdiri hampir 20 tahun ini rupanya masih menerapkan kebijakan sistem buruh kontrak, pemberangusan serikat pekerja, hak-hak normatif buruh yang tidak dipenuhi, dan PHK yang tidak diatur dalam perjanjian kerja bersama seperti pekerja perempuan yang hamil harus diberhentikan, dll. Dinas tenaga kerja yang saat itu diharapkan fungsinya sebagai pengawas hubungan industrial justru terkesan berperan sangat lemah dan lebih berpihak kepada perusahaan. Akhirnya FSBKU melaporkan kasus yang terjadi di PT. Golden Tatex tersbeut ke pihak berwajib. Setelah itu barulah keluar semacam nota peringatan yang berisi penghapusan sistem buruh kontrak dan menjadikan buruh yang selama ini bekerja sebagai buruh kontrak untuk diangakat menjadi buruh tetap. Namun sikap perusahaan terhadap nota yang dikeluarkan oleh dinas tenaga kerja sangat tidak kooperatif. Mereka secara sepihak mem-PHK sekitar 300 karyawan dengan alasan efisiensi kerja dan pengetatan anggaran perusahan. Oleh FSBKU sebagai bentuk protes dan aktifitas advokasinya, maka dikerahkanlah para buruh PT. Golden Tatex untuk menduduki pabrik sampai pada tuntutan mereka dipenuhi.
Hambatan yang dialami oleh FSBKU selama ini diantaranya adalah lemahnya sumber daya manusia, karena rata-rata pendidikan dari anggota FSBKU adalah SD-SMA. Pengetahuan tentang hubungan industrial umumnya mereka dapatkan dari belajar secara otodidak melalui diskusi-diskusi internal. Selain itu, dalam beberapa kasus mereka harus berhadapan dengan warga yang menurut Koswara kemungkinan besar dibayar oleh pihak perusahaan. Koswara sendiri pernah diinterogasi oleh sekelompok orang, termasuk pejabat kelurahan, karena melakukan aksi protes kepada sebuah pabrik yang terindikasi melakukan pelanggaran hubungan industrial. Meskipun demikian, ada juga pengalaman di mana FSBKU bersama warga di sekitar pabrik bahu-membahu dalam melakukan protes terhadap pihak perusahaan yang semena-mena.
2.2       Perjuangan FSBKU Pada Saat ‘May Day’
Pada saat peringatan dan aksi 1 Mei 2012 atau yang sering disebut dengan May Day[13] yang dipusatkan di Gedung Kemenakertrans, FSBKU yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Nasional (KSN) menyampaikan beberapa pernyataannya yang secara garis sebagai berikut :
1.      Berharap untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan swasta/asing yang bergerak dalam sumber daya alam/minyak dan gas, sebagaimana amanah UU,
2.      Harus segera menghapuskan sistem outsourching yang saat ini berlaku,
3.      Menghapuskan system upah murah/upah minimum dan mewujudkan upah layak bagi buruh,
4.      Menghapuskan sistem penyelesaian perselisihan industrial yang tidak memberikan rasa adil dan kepastian atas hukum atas hak-hak buruh karena UU PPHI sulit, mahal, dan lama,
5.      Menegakkan hukum dengan menindak pelaku pemberangusan serikat buruh,
6.      Meminta ketegasan dan komitmen pemerintah Indonesia kepada pemerintah Malaysia dalam kasus penembakan dan penjualan organ tubuh,
7.      Pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam memberikan jaminan dan perlindungan terhadap buruh migrant Indonesia,
8.      Kembali melakukan sentralisasi kembali sistem pengawasan ketenagakerjaan oleh Kemenakertrans karena selama ini alasan otonomi daerah, hak-hak buruh terabaikan.
Setelah terjadi diskusi antara menteri Menakertrans—Muhaimin Iskandar—dan beberapa perwakilan didalam gedung kementrian, Muhaimin Iskandar kemudian memberikan beberapa tanggapannya terkait dengan pernyataan dan harapan dari perwakilan buruh. Terdapat tiga hal yang diungkapkan Bapak Muhaimin dalam tanggapannya yaitu mengatakan bahwa pengawasan itu memang penting, namun permasalahannya utamanya tentu karena keterbatasan tenaga pengawas yang ada sehingga perlu ada peningkatan lagi dikemudian hari. Selanjutnya terkait dengan outsourching yang memang dianggap hal ini inskonstitusional karena dengan sistem ini para buruh tidak dapat kejelasan status dari perusahaannya. Dan yang terakhir yang menjadi testimoni pentingnya adalah mengenai persoalan perburuhan yang seharusnya dilakukan dengan sentralisasi, pengawasan dari pusat harus diutamakan. Berikut adalah beberapa pernyataan Muhaimin Iskandar untuk menanggapi pesan-pesan dan harapan dari perwakilan pihak buruh, yaitu[14] :
1.      Terkait dengan pengawasan, hal ini memang dianggap penting dan akan terus ditindaklanjuti dan diperbaiki,
2.      Terkait pengawasan tentang sentralisasi, memang harus didorong secara serius, dan menyadari bahwa pengawas kita terbatas,
3.      System outsourching akan dibenahi dan diluruskan sampai ke akar-akarnya,
4.      Masalah buruh migrant baik di Malaysia atau dimanapun akan diselesaikan dan saat ini terus didorong untuk melakukan perbaikan sistem perjanjian,
5.      Penyelesaian secara tripartit tentu akan dilakukan secara objektif, terbuka, tentunya dengan syarat-syarat yang diterima secara objektif,
6.      Upah minimum menjadi upah yang layak, dimana yang paling penting adalah pekerja mendapatkan upah yang layak. Dilakukan dengan dua langkah : (1) kemajuan usaha dan (2) regulasi yang harus didukung.
2.3       Potensi Kelompok Buruh Perempuan Melawan Outsourcing
Saat ini di masa reformasi dan keterbukaan publik semakin memberi ruang kepada buruh untuk menyuarakan pendapat dan membentuk seriat-serikat, justru pergolakan politik di dalam hubungan industrial tidak serta merta berhenti.[15] Kita ingat ketika di awal tahun 1990an terjadi peningkatan kesadaran yang ditandai dengan tuntutan dan artikulasi kepentingan yang semakin politis dari kelompok buruh (merubah kesepakatan kerja dan memebentuk serikat buruh baru). Saat itu tuntutan yang ada tidak lagi hanya bersifat normatif seperti persoalan upah, keselamatan kerja dan kenyamanan kerja. Buruh telah semakin sadar akan hak dan potesi kekuatan politik yang dimilikinya.[16] Terlebih lagi pada kelompok buruh perempuan, selain karena jumlahnya yang banyak, juga karena isu mengenai peran perempuan dalam politik di ere reformasi ini sedang menjadi perbincangan hangat dan mendapatkan perhatian positif.
Kaum feminis percaya bahwa kehidupan di dalam masyarakat dan hubungan antar negara dan warga negara akan lebih ramah terhadap perempuan, anak-anak, dan sebagainya jika perspektif dan cara berfikir atau keberadaan dan kepentingan perempuan diperhitungkan atau ikut menentukan.[17] Kuota 30% perempuan dalam parlemen sudah berhasil dicapai sebagai hasil dari pejuangan panjang selama ini, namun apakah kemudian nasib buruh perempuan khusunya otomatis menadi lebih baik? ternyata tidak juga. Faktanya, perjuangan demokrasi perempuan dalam partai politik dan perburuhan banyak menemui hambatan struktural kelembagaan yang masih kuat budaya patriarkinya. Artinya, meski kini kesempatan besar dalam bidang politik terbuka lebar, selama cara pikir masyarakatnya masih memarjinalkan dan menganggap perempuan sebagai subordinasi dari laki-lakai, maka perjuangan lewat jalur formal demokrasi seperti itu lebih dirasa sebagai sebuah kejenuhan. Di tengah kejenuhan berpolitik lewat saluran formal—partai politik dan parlemen—inilah kemudian lahir alternatif sarana perjuangan yang sering kali diabaikan padahal perannya sebagai agen demokrasai sangat penting, yaitu serikat buruh. Data yang dihimpun dari DPD SPN (Dewan Pimpinan Daerah, Serikat Pekerja Nasional) yang berasal dari konfederasi nasional tujuh serikat buruh, menunjukkan bahwa jumlah anggota perempuan dari serikat-serikat tersebut jumlahnya secara signifikan lebih besar (68,6 persen) jika dibandingkan dengan anggota laki-laki (31,4 persen).[18] Hal ini menunjukan bahwa ada potensi besar lain dalam upaya perjuangan pemenuhan hak-hak dan keadilan gender bagi perempuan yang bisa dilakukan selain perjuangan politik di parlemen.
Demokrasi adalah kata yang paling sahih digunakan oleh banyak negara saat ini untuk mewakili sistem pemerintahan yang diterapkan, baik negara yang benar-benar menerapkan demokrasi dengan konseken hingga negara-negara yang sebenarnya dalah negara otoriter. Mereka—negara-negara di dunia—selalu mengataan bahwa dirinyalah yang paling demokratis. Makanya tidak heran jika demokrasi dikatakan sebagai “The Best of The Worst”. Dari kesimpulan tersebut, secara umum demokrasi semata-mata hanya dilihat dari hasil rekayasa para elit-elit yang tercerahkan, jalan yang bergantung pada lembaga-lembaga politik yang ada, dan hasilnya pun sudah bisa diprediksi[19]. Lalu bagaimana dengan kekuatan lain yang bukan lembaga politi formal kenegaraan?, nampaknya kekuatan di luar itu—dalam pembahasan ini adalah kaum buruh—belum dilihat sebagai bagian dari agen demokrasi apalagi jika dikaitkan dengan perempuan, seolah-oleh demokrasi adalah milik dan permainanya laki-laki saja.
Seperti dikatakan dalam penjelasan sebelumnya, ternyata perjuangan perwakilan perempuan dalam lembaga politik formal mengalami kejenuhan karena perubahan yang dirasakan tidaklah signifikan, baru pada tataran jumlah kuota yang memungkinkan bagi perempuan yaitu sebesar 30%. Di sinilah celah untuk menawarkan alternatif lain dalam rangka mengisi transisi demokrasai yang sedang terjadi dan dalam upaya memperjuangkan hak-hak perempuan melalui aktifitas perburuhan dan serikatnya. Pengajuan ini bukanlah tanpa alasan, sebabnya adalah kini telah terjadi peralihan dari tesis “no bourgeoisie, no democracy” ke tesis-tesis yang dikemukakan oleh Rueschemeyer yaitu buruh sebagai agen demokrasi yang lebih kuat dan nampak dalam sejarah transisi demokrasi, menggantikan kaum borjuis yang selama ini diakui sebagai agen utama dalam demokrasi.[20] Buruh sebagai agen demokrasi bukanlah hal yang benar-benar baru. Pemanfaatan kelas sosial dan konflik yang ada diantaranya tidak hanya terjadi di Eropa pascarevolusi industri, namun juga di Indonesai saat ini.  Menururt Rueschemeyer, kekuatan pro-demokrasi yang paling konsisten adalah kelas buruh, yang mendorong ke depan dan berjuang untuk demokrasi menentang perlawanan dari aktor-aktor kelas lainnya, dan sering memerankan peran pro-demokrasi yang meyakinkan.[21]
Lalu apa hubungannya antara buruh dengan perempuan?. Lahan pekerjaan di bidang domestik adalah salah satu dari bentuk perjuangan persamaan hak dan kesetraan antara laki-laki dan perempuan, asumsi selama ini yang berkembang bahwa ranah bagi perempuan adalah di bidang domestik atau privat dapat digugurkan ketika perempuan berasail memperoleh kesempatan yang sama untuk bekerja di ranah publik. Pembahasan tentang buruh menjadi menarik sebab ternyata dari data yang dihimpun tentang perwakilan perempuan di segala bidang—ekonomi, pendidikan, parlemen, dll—, hanya di bidang perburuhanlah perempuan secara jumlah lebih banyak terwakili daripada laki-laki. Maka dengan eksplisit hal ini menandakan tentang potensi yang sebenarnya dimiliki perempuan untuk berjuang secara politik ketika sarana politik formal seperti parlemen sedang mengalami kejenuhan.
BAB 3
KESIMPULAN
Pascareformasi dan digulirkannya UU No. 20 Tahun 2000 dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang serikat buruh dan ketenagakerjaan membuat aktifitas perburuhan semakin meningkat dan posisi buruh tidak lagi sub-ordiiant dari perusahaan atau negara. Pola hubungan tripartit dalam industrial ternyata tidak selamanya menguntungkan buruh. Masih banyak praktik di lapangan yang menunjukan bahwa pascareformasi ini, buruh tetaplah kelompok yang tersub-ordinasi. Diantaranya adalah pada kasus mengenai sistem kerja outsourcing. Namun begitu, di saat yang bersamaan terjadi juga gejala meningkatnya kemampuan buruh mempengaruhi proses politik untuk melakukan perubahan kebijakan pemerintah, khususnya kelompok buruh perempuan yang memiliki potensi massa cukup besar. Hal seperti ini dimaknai demikian sebab pada dasarnya kaum buruh tetaplah merupakan tulang punggung perekonomian di setiap negara.
Persoalan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi dalam sistem kerja outsourcing yang meliputi usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja (transportation) telah melahirkan beanyak beban di pundak buruh. Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK menjadi hal yang lumrah dan terus membayangi karena posisiya sebagai tenaga penunjang dan bukan pekerja utama atau pekerja tetap dalam perusahaan. Akhirnya akan menjadi semakin jelas perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal (karyawan inti) dengan karyawan outsource yang jumlahnya lebih banyak.
Saat ini FSBKU—yang telah menghimpun sekitar 29 serikat buruh dengan total 8000 anggota di daerah Tangerang—sebagi salah satu gerakan yang memerangi sistem kerja outsourcing telah menunjukan fenomena bagaimana sebetulnya kekuatan buruh saat ini telah mampu mempengaruhi kebijakan politik seperti pada kasus pada PT. Golden Tatex yang beroperasi dalam pemintalan benang. Dan upaya menghapus sistem kerja yang menjerat buruh ini ternyata juga berpotensi silakukan oleh kelompok buruh perempuan. Dengan kuota 30% perempuan dalam parlemen yang sudah berhasil dicapai dan jumlah anggota perempuan dari serikat-serikat buruh secara signifikan lebih besar (68,6 persen) jika dibandingkan dengan anggota laki-laki (31,4 persen), telah menunjukan bahwa ada potensi besar dan alternatif lain dalam upaya perjuangan pemenuhan hak-hak dan keadilan buruh seperti yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Sehingga diharapkan kelak perjuangan melawan sistem kerja outsourcing ini bukan lagi wacana dan aksi-aksi demonstrasi saja, namun juga ke jalur politik dengan ikut andilnya buruh dalam proses pembuatan kebijakan.

Daftra Pustaka
Batubara, Cosmas. 2008. Hubungan . Jakarta: Penerbit PPM.
Bottomore, Tom (ed). 1983. A Dictionary of Marxist Thought. Cambridge: arvard University Press
Hadiz, Vedi R. 2005. Geraka Buruh Indonesia dalam Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesai PascaSoeharto. Jakarta: LP3ES.
Rueschemeyer, Dietrich dkk. 1992. Capitalist Development and Democracy. Chicago: The University of Chicago Press
Soeseno, Nuri. 2010. Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer, Depok: Departemen Ilmu Politik UI.
Subono, Nur Iman. 2007. Demokrasi dan Buruh: Kajian Teoritis dan Komparatif. Jurnal Ilmu Politik (POLITEA), Vol. 1, No. 1: Departemen Ilmu Politik FISIP UI.
Syahputra, Tunggal Iman. 2009. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Harvarindo.
Sumber lain :
 “Jumlah Anggota Serikat Pekerja Nasional Pada Juni 2006”, Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE, Vol. 6, No, 1, 2009 dalam United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Mei 2010, Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintah, sebuah makalah kebijakan, Jakarta.
Dokumen Pernyataan Sikap Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Nomor: 349/PS/KP-PRP/e/IV/11. Jakarta, 27 April 2011



[1] Sebuah dokumen Pernyataan Sikap Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Nomor: 349/PS/KP-PRP/e/IV/11. Jakarta, 27 April 2011
[2] Tom Bottomore (ed), A Dictionary of Marxist Thought, 1983, Cambridge: arvard University Press
[3] Nur Iman Subono, Demokrasi dan Buruh: Kajian Teoritis dan Komparatif, 2007, Jurnal Ilmu Poltiik (POLITEA), Vol. 1, No. 1: Departemen Ilmu Politik FISIP UI
[5] Vedi R Hadiz, Geraka Buruh Indonesia dalam Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia PascaSoeharto, 2005, Jakarta: LP3ES, hal. 61
[6] Cosmas Batubara, Hubungan Industrial, 2008, Jakarta: Penerbit PPM. Hlm. 7
[7] engaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagai Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.
[8] Tunggal Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, 2009, Jakarta: Harvarindo. Hlm 308.
[9] Umumnya perusahaan yang sepenuhnya menggunakan tenaga outsource merupakan jenis industri perbankan,  kertas, jasa pendidikan, pengolahan karet & plastik, serta industri makanan & minuman

[10] Observasi lapangan dilakukan pada bulan Maret 2012 dengan mendatangi langsung narasumber (Bapak Koswara) di sekretariat FSBKU, Tangerang.
[11] Pengalaman lain yang sempat diceritakan oleh narasumber tentang bagaimana ‘pengekangan’ terhadap aktifitas serikat buruh yang masih nampak adalah kontrol ketat perusahaan bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk tidak memberikan ruang bergerak yang leluasa bagi mereka yang terlibat atau pernah terlibat dalam aktifitas serikat buruh. Narasumber menceritakan bahwa ia dipersempit geraknya dengan harus banyak melapor ke pihak berwenaang ketika akan melakukan aksi dan introgasi yang dilakukan dinilai juga cukup berlebihan.
[12] Masalah pendanaan adalah masalah klasik yang paling menghambat kerja advokasi bagi FSBKU. Selain karena mereka tidak menerima sumbangan dana dari pihak luar terlebih pihak asing (luar negeri), kedisiplinan dan ketaatan para anggota untuk membayar iuran masih rendah. Akhirnya sering kali dana yang dikeluarkan adalah uang pribadi dan patungan bebera pengurus saja. Untuk  fund raising, FSBKU lebih mengandalkan penjualan souvenir seperti kaos dan atribut-atribut serikat buruh kepada anggotanya.

[13] Aksi ini pertama kali diawali pada saat terjadi tuntutan perubahan Jam kerja 18-20 jam / hari di Amerika Serikat dan Eropa Barat (pada abad 19)  menjadi 8 jam perhari. Akai massa ini dilakukan terhitung sejak tahun 1806 hingga akhir abad 19, dimana puncaknya pada 1 Mei hingga 4 Mei 1886 dilakukan mogok 400.000 buruh USA menuntut 8 jam kerja sehari.

[14] Pernyataan dan tanggapan ini didapatkan dari hasil Press Release yang dibuat dan dikeluarkan oleh Humas Kemenakertrasns pada sore hari setelah aksi dari Konfederasi Serikat nasional selesai dilakukan.
[15] Seiring dengan kejatuhan Soekarno dan pemerintahan Orde baru mulai melakukan pembenahan dalam stuktur politik mapun ekonomi di sana-sini, buruh dan hubunagnnya dalam persoalan politik mulai dijauhkan. Berawal dari dibubarkannya PKI tahun 1966 dan stigma bahwa buruh menjadi salah satu kekuatan utama PKI, pemerintah perlahan tidak langsung melarang kegiatan politik kelompok buruh, namun menggiring kelompok buruh ini pada idiom baru yang lebih moderat (dari istilah buruh menjadi tenaga kerja). Political union diarahkan berubah menjadi trade union, serikat-serikat buruh yang banyak dan berafiliasi dengan partai politik mulai dihapuskan dengan dibentuknya serikat buruh tunggal yang kita kenal dengan FBSI/SPSI. Maka dengan mulai bergulirnya pemerintahan Orde baru, dimulai jugalah babak baru dunia perburuhan di Indonesia
[16] Puncaknya adalah ketika pada pemilu tahun 1999 mulai lahir partai-partai yang mengidentifikasikan dirinya sebagai partai pekerja atau partai buruh meski belum mampu keluar sebagai salah satu partai pemenang pemilu.
[17] Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer, 2010, Depok: Departemen Ilmu Politik UI, Hlm. 125
[18]“Jumlah Anggota Serikat Pekerja Nasional Pada Juni 2006”, Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE, Vol. 6, No, 1, 2009 dalam United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Mei 2010, Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintah, sebuah makalah kebijakan, Jakarta. Hlm 19
[19] Lebih jauh lihat Nur Iman Subono, Demokrasi dan Buruh: Kajian Teoritis dan Komparatif, 2007, Jurnal Ilmu Poltiik (POLITEA), Vol. 1, No. 1: Departemen Ilmu Politik FISIP UI
[20] Dietrich Rueschemeyer, Evelyne Huber Stephens, John D. Stephens. Capitalist Development and Democracy. 1992, Chicago: The University of Chicago Press
[21] Ibid,. Hlm 8

Read Users' Comments (0)

0 Response to "FSBKU dan Kelompok Buruh Perempuan dalam Upaya Menghapuskan Sistem Kerja Outsourcing"

Posting Komentar