Menjajaki Bisnis dan Politik di Indonesia PascaSoeharto
Salah
satu evaluasi terkait bisnis dan politik orde baru adalah bahwa kebijakan
ekonomi menjelang akhir kekeuasaannya justru dijalankan semakin liberal dan pro
terhadap pasar, padahal di waktu yang bersamaan kekeuatan rezim otoritarianisme
juga semakin kuat dan pemberangusan terhadap kebebasan berpendapat juga tidak
kunjung ada perbaikan. Pada era tersebut—sekitar
tahun 1980an sampai 1994—ekonomi Indonesia tumbuh dengan laju yang cukup tinggi
dan penurunan angka kemiskinan pun berlanjut. Namun elastisitas angka
kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi semakin kecil, atau pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan berkurang. Ini
menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi ternyata diiringi dengan pemburukan
distribusi pendapatan, sehingga memperkecil dampak dari pertumbuhan ekonomi
terhadap penurunan angka kemiskinan.[1] Artinya menjelang akhir
kekuasaan orda baru, masalah ketimpangan ekonomi dan sosial semakin meninggi.
Maka
kemudian sebagian pengamat ekonomi dan politik melihat bahwa sebenarnya
kemampuan negara untuk mendikte kebijakan tidaklah kuat. Liberalisai yang dijalankan hanya menguntungkan sebagian kalangan
pengusaha dan kroni-kroni istana saja. Keputusan untuk mengambil sejumlah
kebijakan deregulasi dan liberalisasi pun lebih merupakan akibat dari tekanan
internal dan eksternal dan bukan merupakan pilihan ideologis. Akhirnya
masyarakat mulai geram akan ketimpangan sosial yang semakin lebar di tengah pertumbuhan
ekonomi negara yang sedang berlanjut, sebuah ironi di akhir masa orde baru.
PascaSoeharto, memang masih ada pengurangan dominasi negara di satu sisi, dan
ruang bagi kepentingan modal global di sisi lain, dalam menentukan arah
kebijakan ekonomi. Namun satu pola yang mungkin masih bisa dirasakan adalah
bahwa modal telah berubah peran namun tetap dominan menentukan arah kebijakan.
Misalnya saja pada saat pemilukada ketika terjadi simbiosis antara calon
kandidat dengan pengusaha yang mendanai kampanye calon tersebut dengan maksud
ada timbal balik jasa dikemudian hari saat berhasil memenangkan
pemilukada. Richard Robison (1986) dan
Andrew MacIntyre (1990) mencoba untuk merangkum sejumlah pandangan yang dapat
memodelkan relasi antara negara dan kepentingan semasa Orde Baru. Namun
pertanyaannya, apakah permodelan mengenai paradigma Marxis instrumentalis masih
bisa dikatakan valid dalam menjelaskan kenyataan yang terjadi pada masa
reformasi ini seperti kasus pemilukada?.
Evaluasi
lainnya yang turut memberikan gambaran tentang bisnis dan politik di Indonesia pada
masa orde baru adalah bahwa meski roda perekonomian dijalankan melalui
industrialiasi dan modernisasi, faktor-faktor tradisional seperti
primordialisme sangat kental mewarnai jalannya pemerintahan dan aktifitas
bisnis di dalam negeri. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, faktor
primordialisme dan nepotisme keluaraga Cendana menjadi salah satu yang nampak.
Anak-anak dari Soeharto menguasai banyak sektor bisnis dalam negeri dan menjadi
sangat berkuasa. Pengusaha-pengusaha berlomba-lomba untuk mendekat ke Istana,
dan hubungan patron-client menjadi
sesuatu yang lumrah dalam rangka mendapatkan sumber daya ekonomi. Fenomena
inilah yang belakangan dinamai sebagai sebuah rezim otoritarianisme korporatis
atau negara korporatisme. Di satu sisi negara melalui jejaring dan kotrolnya
yang kuat berhasil menarik perwakilan kelompok-kelompok bisnis di masyarakat,
namun di sisi yang lain pengusaha-penguasaha yang ada memang berusaha juga
untuk mendekat kepada negara. Lalu pertanyaannya, apakah rezim reformasi tidak
demikian?
Negara
intervensionis orde baru telah memberikan pelajaran bagaimana kontrol
partisipasi politik dalam banyak aspek secara sistemik dalam rangka meredam
kemungkinan munculnya aksi-aksi kolektif, dan ternyata hal ini juga dalam
rangka melindungi para pengusaha dan upaya negara menciptakan iklim yang kondusif
bagi aktifitas bisnis. Hal yang paling
ditakutkan dari penjelasan ini adalah, lahirnya penguasa-penguasa yang justru
melindungi para pengusaha secara hukum dan politik. PascaSoeharto, fenomena ini
mnenjadi salah satu yang masih sering terlihat. Seperti dicontohkan sebelumnya
mengenai gelaran pemilukada—bagian dari fenomena desentralisasi—bagaimana
biasanya pascakemenangan pemilihan kepala daerah, simbiosis yang sebelumnya
terjadi antara pengusaha dan calon kandidat menuntut adanya kemudahan dan
perlindungan bagi bisnis yang dijalankan oleh pengusaha tersebut. Kontrol
politik mungkin tidak terjadi seperti masa sebelumnya, namun tetap saja
masyarakkat kesulitan untuk dapat mempengaruhi pembuatan keputusan. Sebenarnya,
di banyak negara di Eropa dan Amerika Seerikat sekalipun, hubungan antara
penguasa (politisi) dengan pemilik modal (pengusaha) sangat umum terjadi.
Hubungan ini biasanya terkait dengan masalah finansial atau pendanaan salah
seorang calon saat kampanye. Namun persoalan datang justru pascakampanye
tersebut. Ada semacam ‘jebakan balas jasa’ bagi pemodal atau pengusaha yang
sebelumnya mendanai kampanye kepala daerah terpilih berupa keleluasaan
melaksanakan bisnis dan proyek-proyek yang berhubungan dengan kendaraan
modalnya (perusahaan). Inilah sebuah simbiosis mutualisme yang sangat
mengkhawatirkan dan menjadi bahan perdebatan seperti yang penulis jelaskan
sebelumnya.
Sehingga
tidak mengherankan jika di era reformasi ini kemudian banyak kalangan yang
menilai bahwa kewenangan ekonomi justru dijalankan dalam rangka mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya oleh sebagian kelompok baik elit-elit lokal maupun
para pemodal itu sendiri (mereka yang menyokong pendanaan calon kepala daerah
pada saat kampanye). Sebagai contoh, terkadang timbul adanya arogansi dari
seorang kepala daerah dalam mengelola sumber daya dan kekayaan alamnya. Meski
di UUD 1945 jelas mengamanatkan kepada negara untuk menguasai dan mengelola
kekayaan tersebut, namun pada kenyataannya banyak di daerah-daerah
pascareformasi justru memperlihatkan fenomena hegemoni kepala daedah dan
pengusaha dalam mengelola aset-aset daerah tersebut. Kontrak-kontrak bisnis dan
investasi dengan perusahaan swasta lokal maupun asing dilakukan sendiri oleh
daerah. Inilah gambaran singkat bagaimana sesungguhnya komunikasi dan hubungan
antara pusat dan daerah masih menyisahkan beberapa persoalan. Meskipun begitu, di era pascasoeharto, terlihat adanya
penurunan dominasi negara dalam penentuan kebijakan ekonomi karena
desentarlsisi mengamatkan kepada daerah untuk lebih mandiri. Di sisi lain ruang
gerak modal, terutama modal global, menjadi makin besar. Tapi masih terlalu
dini untuk menarik kesimpulan yang didasarkan pada logika Marxis-instrumentalis,
yaitu negara telah sepenuhnya menjadi instrumen bagi pemilik modal untuk
melayani kepentingan dan mempertahankan hegemoninya.
[1] Ari A. Perdana, Peranan
“Kepentingan” Dalam Mekanisme Pasar dan Penentuan Kebijakan Ekonomi di
Indonesia, 2001, CSIS Economics Working Paper Series, http://www.csis.or.id/papers/wpe061
0 Response to "Menjajaki Bisnis dan Politik di Indonesia PascaSoeharto"
Posting Komentar