PERANAN ABURIZAL BAKRIE SELAKU PENGUSAHA DAN POLITISI: STUDI KASUS BENCANA NASIONAL LUMPUR LAPINDO/SIDOARJO
B
|
encana
nasional yang terjadi di Sidoarjo sejak tahun 2006 hingga saat ini masih
terjadi merupakan salah satu permasalahan yang kerap membayang-bayangi Aburizal
Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) yang diprediksi akan
maju sebagai calon presiden pada pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Peranan
Aburizal Bakrie dalam bencana nasional yang dikenal luas dengan nama ‘Lumpur
Lapindo’ atau ‘Lumpur Sidoarjo’ ini menjadi penting ketika Aburizal Bakrie
sebagai salah satu pengusaha terkaya
di Indonesia merupakan pemegang saham terbesar PT. Lapindo Brantas yang
merupakan perusahaan yang bertanggung jawab atas bencana tersebut.[1] Meskipun
kepemilikan saham masih terbagi lagi dengan investor lain yang juga sudah
seharusnya bertanggung jawab dalam bencana ini, seperti Medco dan Santos, namun
sorotan publik terkait kasus ini lebih diarahkan kepada keluarga Bakrie yang
secara ekonomi dan politik memiliki pengaruh cukup signifikan di Indonesia,
setidaknya sejak masa pasca-Orde Baru.
Menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih
lanjut terkait peranan Aburizal Bakrie yang sebenarnya merupakan generasi kedua
dari pengusaha kaya yang mulai masuk ke dunia politik sejak masa pemerintahan
Presiden Soeharto. Peranan strategisnya sebagai pengusaha yang dimulai dari keterlibatannya
di dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sebagai Ketua Umum Kadin periode
1999-2004 yang juga sebelumnya sudah didukung dengan keterlibatannya di dalam
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) sejak tahun 1973 sebagai Wakil Ketua
Departemen Perdagangan HIPMI dan Ketua Umum HIPMI pada tahun 1979-1981. Selain
Kadin dan HIPMI, Aburizan Bakrie juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum
Gabungan Pabrik Pipa Baja Seluruh Indonesia periode 1976-1989, sebuah asosiasi
bisnis yang mulai marak terbentuk di Indonesia sejak berakhirnya masa keemasan oil boom di Indonesia. Di dunia politik,
Aburizal Bakrie sendiri sudah merupakan anggota Golongan Karya sejak tahun 1984
yang terus merangkak hingga akhirnya menjadi Ketua Umum Partai Golkar sejak
tahun 2009.[2]
Tim penulis merumuskan permasalahan yang akan
ditulis lebih lanjut dalam makalah singkat ini dalam bentuk pertanyaan: Apa saja signifikasi peranan Aburizal Bakrie
yang merupakan salah satu pengusaha terkaya di Indonesia dikaitkan dengan
jabatan strategisnya di bidang politik, khususnya dalam kasus bencana nasional
Lumpur Lapindo/Sidoarjo?
Selayang-Pandang
Bencana Nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo
Pada hari Senin, tepatnya tanggal 29 Mei 2006,
bencana lumpur panas terjadi di area pemboran eksplorasi gas Banjar Panji I di
Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur untuk pertama
kalinya terjadi sekitar pukul 05.30 WIB. [3] Semburan ini rupanya terjadi hanya selang satu
hari sesudah terjadinya gempa yang terjadi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta
dan Klaten, Jawa
Tengah. Peristiwa yang terjadi berdekatan dengan
terjadinya bencana gempa tersebut yang
kemudian sering digunakan oleh pihak PT. Lapindo Brantas sebagai alasan bahwa
semburan di area pemboran eksplorasi gas Banjar Panji I terjadi bukan karena
kesalahan manusia, tetapi karena fenomena alam ini menyebutnya sebagai bencana
nasional dalam waktu yang relatif
dekat, yaitu di tahun yang sama dengan semburan lumpur panas pertama kali pada
tahun 2006.
Terlepas dari perdebatan terkait penyebab bencana
Lapindo yang disebabkan oleh human error
seperti yang banyak dituduhkan atau bencana alam seperti penjelasan pihak
Lapindo, bencana tahun 2006 yang berpangkal pada kerusakan teknologi eksplorasi
sumber daya alam yang ini setidaknya telah menenggelamkan tujuh desa, 14 ribu
kepala keluarga, dan sebuah kompleks industri.[4] Dampak yang ditimbulkan sangat besar secara ekonomi dan
mental, setidaknya bagi warga sekitar. Warga kehilangan banyak hal dari mulai
tempat tinggal, pekerjaan, dan hidup ditengah ketidakpastian karena
permasalahan ganti rugi yang sampai saat ini masih belum sepenuhnya rampung. Belum
lagi dampak masalah turunan sebagai orang yang tinggal dipengungsian secara
psikis dan beban sosial yang mereka harus terima. Dengan melihat pada beberapa kerugian yang dialami
warga tersebut, sangat jelas jika PT. Lapindo memiliki tanggung jawab yang
besar terhadap persoalan tersebut. Baik dalam hal ganti rugi maupun perbaikan
masalah sosial sebagai akibat masalah yang berkepanjangan dari mulai tahun 2006
ini. Warga di wilayah sekitar pengeboran pada dasarnya tidak diberikan informasi yang
jelas tentang rencana pembangunan dan dampak dari pengeboran gas. Informasi warga terhadap aktivitas dan dampak dari usaha
eksplorasi tersebut pada dasarnya masih sangat terbatas. Selain itu, pasca-kejadian
semburan lumpur pertama kali pada tahun 2006, warga Sidoarjo pada umumnya juga
masih memiliki pemahamam yang relatif sedikit terkait pemberitaan peristiwa
tersebut, misalnya mengenai data korban dan kerugian yang harus ditanggung.[5]
Bencana
Nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo dalam Perspektif Bisnis dan Politik
Dalam perspektif bisnis dan politik, dapat
dikatakan telah terjadi pengebalan atau impunitas bagi perusahaan grup Bakrie
selaku korporat tersebut, karena dapat dilihat secara kasat mata terhadap
sebuah persekongkolan yang terjadi antara modal atau bisnis dan politik. Untuk
mencermati hal tersebut, perlu kita kenali
sosok Aburizal bakrie selaku pemilik
grup Bakrie dan peranan
PT. Lapindo tersebut sebagai
dua entitas yang saling berkaitan dalam studi kasus bencana nasional Lumpur
Lapindo/Sidoarjo tersebut. PT. Lapindo Brantas sebagai operator Blok
Brantas adalah anak perusahaan PT. Energi Mega Persada Tbk. Pada tahun 2005,
susunan pemegang saham di wilayah kerja Blok Brantas dipegang oleh PT. Lapindo
Brantas sebesar 50% (milik keluarga Bakrie, termasuk Aburizal Bakrie), Novus Brantas sebesar
32% (milik Medco Group), dan Santos Brantas sebesar 18%.[6] Sejak menguasai blok
eksplorasi energi di Sidoardjo tersebut.
Aburizal Bakrie yang pernah menjabat Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) pada tahun 1990an adalah juga seorang politisi dari salah satu partai
nasional terbesar, yaitu Partai Golkar.
Lebih jauh lagi, Aburizal Bakrie saat
ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai
Golkar sekaligus tengah berupaya untuk mencalonkan
diri sebagai salah satu kandidat Presiden Republik Indonesia pada pemilihan umum tahun 2014 mendatang.
Bencana Lumpur
Lapindo/Sidoarjo ini secara legal-formal seharusnya menjadi
tanggung jawab dari PT. Lapindo Brantas selaku pihak yang melakukan
eksplorasi di daerah tersebut.[7] Tanggung jawab ini berupa
ganti rugi yang diberikan oleh pihak PT Lapindo Brantas kepada warga-warga
Porong yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo tersebut. Hal tersebut
bukanlah hal yang mudah, masalah ganti rugi hingga saat ini masih belum
terselesaikan. Banyak hal yang masih diperdebatkan misalnya berapa tanah yang
harus diganti rugi serta kesepakatan ganti rugi yang masih menjadi perbedaan
antara kedua belah pihak. Aburizal Bakrie selaku pemilik dari PT Lapindo
Brantas menjanjikan ganti rugi yang diberikan kepada warga dengan total dana
yang ia keluarkan mencapai Rp. 9
triliun. Dana tersebut ia keluarkan sendiri,
bukan dana dari perusahaan.[8]
Posisi struktural Aburizal ini pada akhirnya
membuat posisinya begitu kuat dalam menghadapi peristiwa yang terjadi di
perusahaan eksplorasi energi miliknya tersebut. Partai Golkar sebagai partai
besar yang memiliki jumlah kader cukup bayak di parlemen dan pemerintahan dapat
disebut sebagai jangkar bagi Aburizal, termasuk Lapindo, ketika berhadapan
dengan negara dan masyarakat dalam menyelesaikan kasus semburan lumpur di
Sidoarjo tersebut. Tergabungnya Partai Golkar di dalam sekretariat gabungan
(Setgab) bersama partai pemerintah, Partai Demokrat, dan lima partai lainnya
menjadi salah satu strategi Aburizal untuk membuat kesepakatan-kesepakatan
terkait penanganan dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Lapindo agar tidak
terlalu memberatkannya dalam menghadapi tuntutan pertanggung jawaban dari kelompok
masyarakat. Dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2012 sendiri terdapat cukup
banyak media massa yang memberitakan bahwa dalam kasus bencana nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo
terjadi isu barter antara sikap Partai Golkar dengan pemerintah perihal kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM), meskipun secara tegas Aburizal Bakrie menyangkal
hal tersebut. Kordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi, melihat
bahwa pembiayaan korban Lumpur
Lapindo/Sidoarjo oleh pemerintah sebagai barter politik antara
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai
Golkar. Menurut Uchok, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono membutuhkan Partai Golkar untuk mempertahankan kekuasaan hingga 2014.
Fakta yang terjadi hingga
saat ini setelah hampir enam tahun berlalu, masalah Lumpur Lapindo/Sidoarjo masih juga belum dapat terselesaikan. PT. Minarak Lapindo Jaya yang merupakan perusahaan subsidiari PT. Lapindo Brantas masih memiliki serangkaian hambatan dalam
mengartikulasikan ganti rugi kepada korban Lumpur Lapindo/Sidoarjo. Dari
total tanggungan kerugian akibat lumpur Lapindo yang sebesar Rp. 3,9 triliun, sejauh ini hanya dapat diselesaikan sebesar Rp. 2,8 triliun. Sedangkan sisanya sebesar Rp. 1,1 triliun masih belum dapat dilunasi, sedangkan PT. Minarak Lapindo Jaya hanya menyanggupi pelunasan
sebesar Rp. 400 miliar, dan sisanya
masih belum jelas.[9]
Kemungkinan jika hal ini masih terus
berlanjut, pemerintah akan segera
turun tangan dalam mengganti kerugian warga yang masih belum bisa ditangani
oleh PT. Lapindo
Brantas. Sampai tahun 2012, total anggaran untuk Lapindo diperkirakan
mencapai Rp 8,6 triliun, bahkan lebih besar dibandingkan kasus Bank Century
senilai Rp 6,7
triliun.[10] Pemerintah juga
telah mengucurkan dana sekitar Rp. 1,3
triliun pada APBN Tahun Anggaran
2012 untuk menangani dampak sosial
kemasyarakatan penanganan Lapindo. Dana
itu diprediksi akan digunakan untuk melunasi pembayaran pembelian tanah
dan bangunan, bantuan kontrak rumah, tunjangan hidup pada daerah terkena dampak
dan di luar area peta terdampak. Dengan pengucuran dana itu, maka pemerintah
dianggap mengambil alih tanggung jawab PT. Lapindo
Brantas dalam menangani dampak akibat semburan lumpur. Padahal sesuai Peraturan
Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli tanah
dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur panas.
Dalam beberapa kesempatan, Aburizal Bakrie justru
terkesan tidak khawatir terhadap popularitasnya ketika tengah berupaya
mencalonkan diri untuk maju sebagai calon Presiden Republik Indonesia periode
2014-2019 mendatang. Aburizal Bakrie justru menjadikan bencana nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo
ini sebagai ajang untuk membentuk reputasi baik kepada masyarakat dengan
menginformasikan kepada publik terkait upayanya untuk membayar ganti rugi yang
merupakan titah dari ibunya yang baru meninggal pada 20 Maret 2012 silam. Padahal pada tanggal 20 Juni 2006, Nirwan
Bakrie, CEO PT. Lapindo Brantas, pernah menyatakan bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan luapan
lumpur panas dan berjanji akan
memenuhi semua tanggung jawab
sosial yang ditimpakan kepada PT. Lapindo
Brantas. Sikap ini kemudian berubah setelah didukung oleh kenyataan bahwa PT. Lapindo Brantas
dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung, terhitung sejak tahun 2008.[11]
Melalui Group Viva yang membawahi ANTV, tvOne dan
Portal Berita Viva News, pemberitaan tentang bencana nasional Lumpur
Lapindo/Sidoarjo lebih diarahkan kepada isu yang menguntungkan Aburizal Bakrie. Selain itu, juga terdapat upaya pengalihan isu bahwa bencana nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo bukan kesalahan pengeboran, namun akibat dari gempa bumi di Yogyakarta
beberapa hari sebelum luapan lumpur panas
beredar di permukaan situs pengeboran. Dalam upaya pemulihan nama baik ini, media massa milik Aburizal Bakrie ini bahkan tidak menggunakan istilah ‘Lumpur Lapindo’ untuk mengarah pada bencana nasional tersebut, namun lebih
sering menyebutnya sebagai
‘Lumpur Sidoarjo’ atau LuSi.[12] Pertarungan kepentingan
dalam kasus Lapindo dengan memanfaatkan media ini menarik untuk dikaji lebih
jauh. Terlebih, Aburizal adalah tokoh politik yang mempunyai peluang cukup besar
untuk mencalonkan diri sebagai kandidat
Presiden Republik Indonesia pada pemilu 2014. Mengingat jika pembentukan opini publik ini dapat dikatakan berhasil, bukan hanya
popularitasnya yang tetap terjaga, tapi juga persepsi masyarakat tetap baik
pada Aburizal Bakrie secara
personal dan grup Bakrie secara korporat.
Kesimpulan
Bencana nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo dapat
dikatakan telah menjadi mesin politik untuk mendapatkan dukungan dari
masyarakat secara umum maupun dukungan dari pihak korban oleh Aburizal Bakrie
selaku pengusaha dan politisi. Kasus bencana nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo menjadi isu yang menarik karena Aburizal Bakrie merupakan kandidat kuat Presiden Republik
Indonesia periode 2014-2019 mendatang, meskipun di sisi lain bencana nasional
Lumpur Lapindo/Sidoarjo menyangkut korban bencana yang jumlahnya dapat dikatakan cukup besar. Langkah politis dan
persekongkolan Aburizal Bakrie dengan
kekuatan modal ini sejauh ini juga
terlihat dari penggunaan media yang dimiliki. Aburizal Bakrie dengan cara yang
sistematis juga tengah mencoba
untuk mengubah persepsi publik tentang kasus bencana nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo dalam rangka menjaga popularitasnya sebagai
kandidat kuat Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 dari Partai Golkar melalui kegiatan pertanggung jawaban kepada korban
bencana Lumpur Lapindo/Sidoarjo dan mempublikasikannya melalui media massa miliknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Heroepoetri,
Arimbi. Pengabaian Dari Mula: Laporan
Pemetaan Pelanggaran Hak Asasi Perempuan dalam Bencana Luapan Lumpur di
Sidoardjo (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2011)
Subakti, Dwi Aris. Lumpur Lapindo dan
Persaingan Politik 2014 (Jakarta: Yayasan Satu Dunia,
2011)
Walhi, Lapindo Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi, (Jakarta: Walhi, 2008)
Internet
icalbakrie.com/s?page_id=228&cpage=3
www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2012-04-27/133809
www.epa.gov/bpspill/dhorizon_apr2010_nlink.kml
www.tempo.co/2012/03/15/390362
www.tempo.co/2012/04/18/397841
www.tempo.co/read/news/2012/03/15/078390373/Ical-Klaim-Habis-Rp-9-Triliun-untuk-Kasus-Lapindo
[1] Dalam penulisan makalah singkat ini, tim penulis akan
menggunakan dua istilah penyebutan ‘Lumpur Lapindo’ dan ‘Lumpur Sidoarjo’
secara berdampingan, yaitu Lumpur Lapindo/Sidoarjo.
[2] Informasi
diperoleh dari situs resmi Aburizal Bakrie
(http://icalbakrie.com/?page_id=228&cpage=3). Diakses pada 6 Mei 2012, pukul
19.15 WIB.
[4] Arimbi Heroepoetri, Pengabaian Dari Mula: Laporan
Pemetaan Pelanggaran Hak Asasi Perempuan dalam Bencana Luapan Lumpur di
Sidoardjo, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan, 2011), hlm. 2
[7] Perbandingan untuk kasus serupa adalah pencemaran Teluk Meksiko,
Amerika Serikat pada tahun 2010 (Tumpahan Minyak Deepwater Horizontal) yang
disebabkan oleh eksplorasi tidak bertanggung jawab oleh British Petroleum
selaku Perusahaan Minyak Internasional yang kerap melakukan eksplorasi minyak
di berbagai negara di dunia. Kasus tersebut terjadi pada tanggal 20 April 2010
dan berakhir hanya dalam tempo kurang lebih lima bulan, yaitu 19 September
2010. Padahal rasio kerumitan bencana
yang terjadi dapat dikatakan memiliki intensitas kerumitan yang relatif sama dengan
yang terjadi pada bencana nasional Lumpur Lapindo/Sidoarjo. Untuk informasi
lebih lanjut, lihat situs resmi Agen Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika
Serikat (www.epa.gov/bpspill/dhorizon_apr2010_nlink.kml). Diakses pada 6 Mei
2012, pukul 20.13 WIB.
[8] Informasi diperoleh dari situs TEMPO (http://www.tempo.co/read/news/2012/03/15/078390373/Ical-Klaim-Habis-Rp-9-Triliun-untuk-Kasus-Lapindo). Diakses pada tanggal 6 Mei 2012, pukul 19.45 WIB.
[9] Informasi diperoleh dari
situs Berita Jatim (http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2012-04-27/133809). Diakses pada tanggal 7 Mei 2012, pukul 16.30 WIB.
[10] Informasi diperoleh dari situs TEMPO (http://www.tempo.co/2012/04/18/397841/). Diakses pada 4 Mei 2012, pukul 18.13 WIB.
[11] Informasi
diperoleh
dari situs TEMPO (http://www.tempo.co/2012/03/15/390362/). Diakses pada 4
Mei 2012, pukul
19.34 WIB.
[12] Dwi Aris Subakti, Lumpur
Lapindo dan Persaingan Politik 2014, (Jakarta: Yayasan
Satu Dunia, 2011), hlm. 3
0 Response to "PERANAN ABURIZAL BAKRIE SELAKU PENGUSAHA DAN POLITISI: STUDI KASUS BENCANA NASIONAL LUMPUR LAPINDO/SIDOARJO"
Posting Komentar