Konflik Politik Identitas Masyarakat Quebec 1980-1995
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
1 Latar Belakang
Kanada merupakan negara “melting point” di mana berbagai etnis dan suku bangsa berkumpul menjadi satu di bawah naungannya. Imigrasi ke Kanada yang
marak terjadi serta kolonialisasi Inggris dan Prancis memang memberikan
pengaruh tersendiri bagi terbentuknya Kanada sebagai negara yang heterogen.
Namun demikian, Kanada sendiri memliki berbagai suku sebelum masuknya Inggris
dan Prancis ke wilayah Kanada maupun terjadinya ledakan migrasi ke Kanada
tersebut. Sebagai wilayah yang terletak di bagian utara benua Amerika, suku
aborigin merupakan suku asli di wilayah Kanada yang juga menduduki wilayah
Amerika Serikat. Tak hanya aborigin, suku arctic,
eastern woodlands, northern
coast, western plains, northern plateau, dan subarctic juga merupakan suku-suku awal yang menduduki wilayah
Kanada.[1]
Ketika Prancis menduduki Kanada sekitar tahun 1706,
wilayah Kanada yang telah terlebih dahulu dikuasai Inggris terbagi dua.
Demikian pula dengan sukunya. Saat itu, suku-suku di Kanada terhimpun dalam dua
kelompok besar yaitu Acadians dan Canadiens. Hal ini terkait dengan
pembagian daerah kekuasaan antara Inggris dan Perancis. Inggris memegang kendali atas bagian barat Kanada sementara Perancis menduduki bagian timurnya, termasuk Quebec. Selain
berpengaruh kepada kehidupan etnik, hal ini turut mempengaruhi penggunaan
bahasa di Kanada. Bahasa Inggris dan Perancis merupakan dua bahasa resmi di Kanada. Penggunaan
bahasa tersebut tentunya juga memperhatikan sejarah kolonialisasi yang terjadi
di Kanada yang berarti penggunaan bahasa Inggris berlaku di bagian barat
sementara bahasa Perancis digunakan di bagian timur.
Di sisi lain, gelombang imigrasi ke Kanada bermula
sekitar tahun 1896. Di bawah kepemimpinan Clifford Sifton yang menjabat sebagai
Menteri dalam Negeri yang juga bertanggung jawab atas imigrasi di Kanada,
gelombang imigrasi pun terjadi. Niat awal Clifford Siffton mendukung imigrasi
para petani dan pekerja dari Inggris dan Amerika adalah untuk menempati
lahan-lahan kosong dan mampu membantu perekonomian Kanada. Para imigran yang
berasal dari kedua negara tersebut ditempatkan di bagian barat Kanada.
Selanjutnya, 138.000 yahudi pun berimigrasi ke Kanada di tahun 1900 dan diikuti oleh suku
Doukhobors dari Rusia serta suku bangsa lainnya yang terdapat di Eropa
Timur.[2] Di tahun 1906,
warga Jepang dan China pun mengikuti jejak Doukhobors untuk berbondong-bondong
berimigrasi ke Kanada. Gelombang imigrasi pun terus berlanjut.
Dari hasil sensus 2006 yang dipublikasikan melalui situs
resmi badan statistik nasional Kanada, populasi di Kanada tercatat sejumlah
18.319.580 jiwa.[3]
Dari populasi tersebut dapat dilihat lagi bahwa lebih dari 100 suku bangsa yang
menjadi warga negara Kanada termasuk di antaranya Angolan, Ivorian, Kashmiri,
Lebanese, Bahamian, Swedish, Spanish, dan Welsh. Semenjak saat itu, populasi di
Kanada kian bertambah. Demikian pula dengan suku bangsa yang terdapat di
dalamnya. Hal inilah yang secara konsisten membuat Kanada menjadi negara
multikultural.
Pemerintah
Kanada menyadari bahwa multikulturalisme yang ada dapat menjadi alat kohesi
sosial atau justru menjadi pemicu konflik. Pada tahun 1963, Perdana Menteri
Lester B. Pearson bahkan mendirikan The Royal
Commission of Bilingualism and Biculturalism
untuk mengatur penggunaan bahasa Prancis dan Inggris serta untuk mengatur
kehidupan antar suku bangsa, terutama suku bangsa yang ada di Quebec. Komisi
tersebut berhasil menumbuhkan nasionalisme sipil di Quebec dari perlahan-lahan
menurunkan kadar nasionalisme etnis warga di Quebec sebagai wilayah francophone (wilayah jajahan Prancis).
Multikulturalisme yang tersaji di
Kanada tidak hanya sebatas menimbulkan persoalan dalam bidang demografi seperti
ledakan penduduk dan masalah ekonomi semata, namun juga telah merambah pada persoalan
resistensi suatu etnis terhadap etnis lainnya bahkan terhadap entitas yang lebih
besar lagi seperti negara. Maka tidak mengherankan jika kemudian mulai muncul
tuntutan-tuntuan maupun pergolakan yang berujung pada gerakan separatisme jika
eksistensinya tersebut merasa terganggu atau ada kepentingannya yang tidak diakomodir
oleh negara. Contohnya adalah pada kasus Quebec. Polemik politik identitas
masyarakat Quebec yang terjadi di kanada telah berujung pada konflik nasional
yang pada mulanya hanyalah berupa konflik lokal. Bahkan untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut sampai-sampai dilakukan referendum sebanyak dua kali
yaitu di tahun 1980 dan 1995 untuk menentukan keputusan apakah Quebec tetap
merupakan bagian dari negara Kanada, atau merdeka layaknya sebuah negara yang
berdaulat.
Melalui makalah ini, Penulis kemudian akan berusaha untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai konflik identitas yag terjadi di Kanada,
khususnya pada masyarakat Quebec di tahun 1980-1995 serta bagaimana resolusi
konflik itu terjadi. Dengan menggunakan teori konflik Clifford Geertz tentang
promordialisme, Penulis akan mencoba untuk menelaah penyebab konflik yang
terjadi, kenapa bisa terjadi begitu kuat, dan apa implikasinya bagi masyarakat
Quebec. Sehingga pada akhirnya akan didapatkan pemahaman yang baik tentang
konflik politik identitas dilihat dari sudut primordialisme dalam kasus
masyarakat Quebec dan juga bagaimana resolusi konflik tersebut dapat tercapai.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka Penulis dalam makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan: “Bagaimanakah konflik politik identitas di
Quebec terjadi dan resolusi dari konflik tersebut dapat tercapai?”
1. 3 Kerangka Konsep
1.3.1 Pengertian Identitas Kewarganegaraan dan
Pemaknaannya
Kewarganegaraan
(citizenship) artinya keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau
ikatan antara negara dengan warga negara. Warga negara sendiri diartikan
sebagai anggota dari organisasi yang bernama negara. Kewarganegaraan
diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara yang mengakibatkan adanya
kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan. Adapun menurut
Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan adalah segala
ikhwal yang berhubungan dengan negara. Istilah kewarganegaraan dibedakan
menjadi dua yaitu :
Kewarganegaraan
dalam arti yuridis dan sosiologis
- Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara.
- Kewarganegaraan dalam arti sosiologis, tidak ditandai dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikartan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air.
Kewarganegaraan
dalam arti formil dan materil.
- Kewarganegaraan dalam arti formil menunjukkan pada tempat kewarganegaraan. Dalam sistematika hukum, masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik.
- Kewarganegaraan dalam arti materil menunjukkan pada akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara.[4]
Baik
tidaknya praktek kewarganegaraan disebuah negara pertama-tama ditentukan oleh
konsepsi kewarganegaraan yang dianut dipahami baik oleh anggota masyarakat dan
pemerintah. Seringkali kewarganegaraan tidak didefinisikan secara jelas dan
tegas sehingga baik anggota masyarakat maupun pemerintah tidak mempunyai pengertian
yang sama tentang konsep ini. Bagi anggota masyarakat konsep ini umumnya
dipahami sebagai hak, sementara bagi pemerintah ia lebih dilihat sebagai
kewajiban. Oleh karena itu masyarakat akan cenderung menuntut terus hak-hak
mereka yang belum dipenuhi oleh negara seperti penyediaan layanan pendidikan
atau kesehatan yang berkualitas untuk semua warga negara. Sementara itu
pemerintah lebih mengutamakan kewajiban rakyat terhadap negara, misalnya
kewajiban membayar pajak.
I.3.2 Pengertian Nasionalisme dan Pemaknaannya
Nasionalisme adalah satu
paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara
(dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep
identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Beberapa tokoh mengemukakan mengenai pengertian nasionalisme. (1) Menurut
Ernest Renan Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara. (2)
Menurut Otto Bauar Nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter
yang timbul karena perasaan senasib. (3) Menurut Hans Kohn Nasionalisme secara
fundamental timbul dari adanya National
Counciousness, dengan perkataan lain nasionalisme adalah formalisasi
(bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara
sendiri dan kesadaran nasional inilah yang membentuk nation dalam arti politik,
yaitu negara nasional. (4) Menurut L.
Stoddard: Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian
terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan
memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. (5) Menurut Dr. Hertz dalam
bukunya yang berjudul Nationality in
History and Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu: Hasrat
untuk mencapai kesatuan, Hasrat untuk mencapai kemerdekaan, Hasrat untuk
mencapai keaslian, Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Dari definisi itu
nampak bahwa negara dan bangsa adalah sekelompok manusia yang: Memiliki
cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu kesatuan, Memiliki
sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan, Memiliki
adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama,
Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah, dan
Teroganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka terikat
dalam suatu masyarakat hukum. (6) Selanjutnya menurut Louis Sneyder.
Nasionalisme adalah hasil dari perpaduan faktor-faktor politik, ekonomi,
sosial, dan intelektual.
I.3.3 Primordialisme Clifford Geertz dan
Pemaknaannya
Bagi
negara yang baru merdeka umumnya terdapat pertentangan antara identitas baru
dan identitas lama, atau biasanya dikonsepkan dengan adanya pertentangan antara
primordialisme—nilai-nilai yang melekat sejak awal atau sejak kelahiran seperti
suku, agama, dan etnisitas—dengan nasionalisme. Biasanya di masyarakat akan
terjadi tarik-menarik diantara dua kepentingan dan identitas tersebut. Kemudian,
masyarakat umumnya akan terjadi pembelahan sosial yang berujung pada konflik,
bahkan di tingkat tertentu menyebabakan lahirnya gerakan-gerakan separatisme
karena alasan-alasan diskriminasi ataupun perbedaan nilai yang dianut. Di dalam
masyarakat yang multikultur hal tersebut akan lebih nampak terihat dan
memungkinkan terjadi. Karena pada dasarnya perbedaan menyulut lahirnya
pertentangan dan konflik, semakin suatu nilai kolektif—agama, suku, bahasa,
dll—itu berusaha resisten dari pengaruh dan keberadaan nilai-nilai kolektif
yang lain, maka benturan nilai itu juga akan semakin keras terjadi. Inilah yang
umunya menjadi penyebab ketidakstabilan ekonomi dan politik pada negara-negara
yang baru merdeka maupun yang sudah lama merdeka sekalipun. Menururt Geertz, nilai-nilai
primordialisme akan lebih kuat ketika berhadapan dengan nasionalisme sebab
sudah merupakan sesuatu yang bersifat given,
berbeda dengan nasionalisme yang jelas-jelas merupakan bentukan yang disengaja.[5]
BAB
2
KONFLIK
POLITIK IDENTITAS MASYARAKAT QUEBEC 1980-1995
2.1 Polemik Multikulturalisme dan Politik
Identitas di Kanada
Sebelum melihat konflik politik identitas di Quebec
(Kanada), kita akan melihat sebuah informasi dasar akan keberagaman masyarakat yang
ada di Kanada. Sebab pembahasan yang akan disampaikan ini sangat bermanfaat
untuk bisa mengatakan konflik yang terjadi adalah konflik politik identitas
atau bukan. Kanada dikenal sebagai salah satu negara dengan
diferensiasi latar belakang penduduk yang cukup banyak di dunia. Menurut data
sensus tahun 2006, ada sekitar 200 etnis berada dalam wilayah Kanada. Sebanyak 28% warga Kanada adalah keturunan Inggris,
23% keturunan Perancis, 15% keturunan eropa lainnya dan 2% suku Indian Amerika.
Beberapa minoritas lainnya yang mayoritas Asia, Afrika, dan Arab dengan jumlah
6%, dan terakhir etnis campuran sebesar 26%.[6]
Melihat keragaman etnis tersebut, cukup terlihat bahwa Kanada merupakan sebuah
negara multikulturalisme dengan keragamannya sendiri. Selain etnisitas, agama juga
mempunyai keragaman mencolok, dengan mayoritas Katolik Roma 42,6%, Protestan
sebesar 23,3% (termasuk Anglikan, Gereja Gabungan, Baptis, dan Lutheran), agama
Kristen lainnya sebesar 4,4%, Muslim 1,9%, beberapa agama yang tidak dapat
dispesifikasi 11,8%, dan untuk yang tidak beragama 16%.[7]
Data
terakhir ini membuat keadaan
demografis Kanada terebut menjadi semakin heterogen. Situasi tersebut mendorong
pemerintah
Kanada untuk mengubah bentuk bikultural menjadi multikultural. Pemerintah pun melahirkan Canadian Multiculturalism Act atau Pakta
Multikulturalisme Kanada di tahun 1988. Pakta tersebut bertujuan untuk mengatur
kehidupan sosial dan budaya warga negara Kanada yang heterogen agar dapat senantiasa
hidup berdampingan. Sebagai konsekuensi dari pakta tersebut, hukum nasional di
Kanada pun mengakui adanya keragaman suku bangsa di teritorial Kanada sehingga
hukumnya dirumuskan “ramah etnis”.
Meski bukanlah negara yang benar-benar baru merdeka, namun penjajahan
yang dilakoni oleh dua kekuatan besar—Perancis dan Inggris—setidaknya
menyisakan polemik politik pada Kanada di era modern, khususnya masyarakat
Quebec. Geertz sudah mengatakan bahwa pertentangan antara primordialisme atau
nilai-nila awal yang dibawa oleh seseorang akan senantiasa bergesekan dengan
nilai-nilai nasionalisme seorang warganegara. Sejarah yang lama dan proses
nilai yang didaptkan secara given
memebuat kebudayaan, bahasa, ataupun agama sering kali mengalahkan nasionalisme
itu sendiri. Apalagi didukung dengan masyarakat yang komposisinya multietnis,
membuat pertentangan atas dasar resistensi etnis maupun nilai primordial akan semakin
kuat. Ini pula yan terjadi pada masayarakat Quebec—keturunan Perancis—di bagian
timur Kanada yang dalam sejarahnya telah lama dukuasai oleh Perancis dan
terjadi proses transfer budaya yang cukup kuat. Fenomena tersebut menunjukan
bahwa konflik juga merupakan representasi dari
perjuangan berkepanjangan yang seringkali penuh dengan kekerasan oleh kelompok komunal
untuk keperluan dasar seperti keamanan, pengakuan dan penerimaan, serta akses
yang adil bagi institusi politik dan partisipasi ekonomi. Dalam hal ini, peran
negara dapat memuaskan atau mengecewakan kebutuhan dasar komunal, dan karenanya
dapat mencegah atau justru menimbulkan konflik. Hal ini menunjukkan bahwa
sumber-sumber konflik seperti ini terletak di dalam negara dan bukan antar
negara.[8]
Dalam
sejarahnya, keadaan Kanada yang dimukimi oleh beragam etnis dan suku bangsa ini
bukanlah tanpa masalah dan gesekan-gesekan sosial. Rupanya istilah
multikulturalisme yang sudah mulai ada sejak akhir tahun 1960-an dan 1970-an
dianggap oleh keturunan Perancis sebagai taktik keturunan Inggris untuk
menghapus “the founding status"
keturunan Perancis. Konsepsi multikularisme ini diawali oleh perlawanan
sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni kelompok anglo-saxon
dan franco di pusat kekuasaan Kanada. (Foster, L. & D. Stockley,
1989). Pandangan ini diamini oleh penulis buku Rethinking Multiculturalism, Bhikhu
Parekh (2001). Parekh mengatakan bahwa gerakan multikultural muncul pertama
kali di Kanada dan Australia sekitar tahun 1970-an, kemudian menyebar di
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Parekh pun menambahkan bahwa
sebenarnya inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain
secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik,
jender, bahasa, ataupun agama.[9]
Pergesekan dan
pertentangan etnisitas yang paling nyata dan sering dibicarakan di tengah
masyarakat multikultur seperti pada kasus di atas adalah masyarakat Quebec
(salah satu daerah yang mendapatkan otonomi khusus di bagian timur Kanada).
Sebuah daerah yang ingin memisahkan diri dari pemerintahan negara Kanada dengan
alasan karena memiliki budaya, sejarah, dan kebiasaan lainnya yang berbeda dari
masyarakat Kanada pada umunya. Perdebatan bermula sejak tahun
1960, antara penduduk Quebec yang bersikukuh dengan bahasa Perancis dan
penduduk daerah lain berbahasa Inggris. Bahasa Perancis sangat dominan di
negara bagian Quebec (setingkat provinsi), sementara bahasa Inggris mayoritas
di seluruh negara bagian Kanada.[10] Hal ini didasarkan bahwa dalam perjalana sejarahnya,
Perancis menduduki Kanada bagian Timur, sedangkan Inggris—sebagai rival dalam
beberapa peperangan yang terjadi—menguasai Kanada bagian Barat, sehingga sering
kali mereka yang berda di kawasan timur atau sebaiknya merasa berbeda dan
memiliki budayanya sendiri yang tidak bisa disamakan dengan budaya pada umumnya
di kanada. Inilah yang disebut Geertz dengan konflik primordialisme.[11]
Orang-orang Quebec yang merupakan keturunan Perancis ini berusaha
memperjuangkan hak dan eksistensi identitasnya (dengan cara non-violance) melalui serangkaian demonstrasi, perjuangan
parlemen, hingga membentuk partai politik sendiri, sebab merasa lebih dekat
secara budaya dan bahasa dengan masyarakat di Perancis daripada Kanada yang
menjadi persemakmuran kerajaan Inggris. Maka sering dalam perjuangan
orang-orang Quebec tersebut lahir slogan-slogan agar terciptanya
masyarakat Quebec yang berbasis bahasa Perancis yang homogen secara budaya.
Hingga pada akhirnya pernah sampai dilakukan suatu referendum sebanyak dua kali
(tahun 1980 dan 1995) untuk menentukan nasib orang-orang Quebec ini, apakah
tetap akan menjadi bagian dari masyarakat Kanada atau memisahkan diri dari
Kanada sebagai sebuah negara yang berdaulat. Partai
Quebec—partai lokal—memelopori referendum untuk memisahkan diri dari Kanada.
Pada referendum pertama tahun 1980., saat itu Partai Quebec memenangkan pemilu
dengan mayoritas mutlak di tingkat parlemen yaitu 71 dari 110 kursi pada Pemilu
1976 atau 64,54%. Referendum kedua berlangsung pada 1995. Lagi-lagi partai ini
memenangkan mayoritas kursi sebanyak 77 dari 125 kursi atau sekitar 61,6% pada
Pemilu 1994.[12] Namun pada
akhirnya, dari hasil penghitungan suara referendum kedua tersebut diputuskanlah
bahwa Quebec tetap menjadi bagian dari negara Kanada.
2.2 Implikasi dan Upaya Resolusi Konflik di
Quebec
Nasionalisme yang
dibutuhkan bagi seorang warganegara dalam rangka menjadi keutuhan eksistensi
maupun kedaulatan negara rupanya banyak menemui persoalan terhadap identitas
dari warga negara itu sendiri. Bagi negara-negara yang baru merdeka umumnya
mereka ‘dipaksa’ untuk melebur menjadi sebuah bangsa dengan identitas dan
bahasa yang baru dan berbeda dari bahasa dan kebudayaan awal mereka. Persoalan
inilalah yang disebut dengan konflik identitas politik. Apalagi masayarakat
yang multikulur dan sudah terglobalisasi mejadikan dirinya semakin seiring dan
kuat ikatan resistensinya terhadap pengaruh nilai-nilai yang datang dari luar.
Hal inilah yang umumnya berujung pada separatisme dan aksi-aksi teror. Buchanan
mengemukakan bahwa alasan-alasan yang sah jika suatu daerah yang meminta
memisahkan diri antara lain terancam kebebasan dan keragamannya. Mengalami
redistribusi yang diskriminatif dan inefisiensi, mempertahankan budaya; bela
diri, dan pemaksaan integrasi masa lalu. Di situlah pentingnya aspek kebebasan,
penghargaan dalam kebersamaan bangsa.[13]
Setidaknya dalam rentang tahun anatara 1980-1995, masyarakat Quebec telah
menunjukan bahwa aksi-aksi memperjuangkan kepentinannya itu tidaklah dilalui
dengan cara kekerasan apalagi berujung pada separatisme. Melalui perjuangan
politik yang panjang, Quebec berhasail mendorong terjadinya referendum sebanyak
dua kali yaitu di tahun 1980 dan 1995 sebagai usahanya memperjuangkan identitas
politik.[14]
Naiknya Jean Lesage
sebagai Premier Quebec tahun 1960 membuka lembaran baru dalam sejarah Quebec
dan menandai dimulainya periode reformasi Quiet
Revolution.[15]
Lesage merupakan premier Quebec pertama dalam 122 tahun yang mampu
mempolitisasi isu-isu primordial dan ketidakadilan secara efektif, serta
memimpin masyarakat untuk bersatu dan bergerak bersama menuntut perhatian yang
lebih dari pemerintah federal. Terlepas dari posisinya yang pada dasarnya
percaya bahwa Quebec harus belajar untuk memperoleh cita-citanya dalam bingkai
federasi Kanada. Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi
di Quebec, PM Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara resmi
membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language Act menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak
lagi mendiskriminasikan, mengabaikan, atau menutup mata terhadap keluhan warga
Quebecois.
Resolusi konflik politik identitas yang terjadi di Quebec—setidaknya
sampai tahun 1995—menunjukan beberapa strategi yang dapat diambil sebagai
pembelajaran dari mulai bagaimana menyelesaikan konflik dengan cara non militer/non violence hingga strategi
resolusi konflik yang juga memang datangnya dari pemerintah sendiri meski
mayoritas adalah orang-orang keturunan Inggris. Permintaan
orang-orang Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada
hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali.[16] Referendum yang dilakukan sebanyak dua kali
tersebut menjadi bukti cara-cara politis yang ditempuh namun tidak menggunakan
kekerasan. Bahkan referendum Quebec 1995 adalah referendum
kedua untuk memutuskan nasib Quebec sebagai provinsi Kanada atau
memisahkan diri untuk menjadi sebuah negara merdeka.[17]
Pada saat itu referendum dilaksanakan dengan membuat pertanyaan yang ditulis
dalam bahasa Perancis dan bahasa
Inggris. Bahkan untuk mengakomodir itu semua, kertas suara di komunitas
penduduk asli ditulis dalam tiga bahasa dengan tambahan bahasa setempat. Meskipun
begitu, referendum kedua yang berlangsung
di Quebec pada 30 Oktober 1995 melahirkan keputusan pemisahan Quebec dari Kanada yang dikalahkan
oleh perolehan suara 50,58% (menyatakan Tidak memisahkan diri atau
pro-integrasi) dan 49,42% (menyatakan Ya memisahkan diri).[18]
Selain dengan cara melakukan referendum
sebanyak dua kali, secara tidak langsung kebijakan yang diterapkan di Quebec
saat ini adalah bentuk dari otonomi khusus (otsus) seperti yang ada di
Indonesia dengan Aceh dan Papua. Dengan memberikan hak dan kebijakan khusus
seperti memperbolehkan penggunaan bahasa dan budaya Perancis inilah diharapkan
dapat meredam konflik dan tindakan separatisme yang lebih meluas. Dalam hal
kewarganegaraan, selain membolehkan menggunakan dua bahasa dan menjalankan
tardisi kebudayaan Perancis, masyarakat Quebec atau umumnya di Kanada
diperbolehkan memiliki dua kewarganaegaraan dalam rangka mengakomodir
warganya yang kebanyakan adalah para
imigran. Konsep kewarganegaraan ganda di negara Kanada bukanlah sebuah kebijakan
yang lahir baru-baru ini, tapi ini adalah buah dari hasil proses yang panjang
sejarah terbentuknya negara Kanada dan bersatunya berbagai macam etnis dan suku
bangsa yang ada di negara tersebut. Maka tidak heran jika kemudian Kanada
disebut sebagai negara pelopor lahirnya konsep multikulturalisme. Kemudian multikulturalisme
ini bisa diartikan baik sebagai suatu kondisi ideal (suatu ideologi) ataupun
sebagai serangkaian kebijakan resmi yang pernah diadopsi oleh para pemerintah
di sejumlah ‘settlement countries’ (negeri-negeri menjadi tempat tujuan
para imigran, seperti Kanada dan Amerika Serikat) sejak 1970an.
Kebijakan kewarganegaraan pada akhirnya tidak mensyaratkan para imigran yang
datang ke Kanada untuk mencabut
kewarganegaraan yang lama demi memperoleh kewarganegaraan Kanada. Akan tetapi, kebijakan tersebut menyatakan dengan tegas
bahwa seseorang bisa
saja kehilangan status
sebagai warga negara Kanada apabila
ia
mencoba untuk mendapatkan kewarganegaraan baru
dari negara lain. Yang
terpenting dari kebijakan tahun 1947—kemudian bereformasi melalui kebijakan Citizenship
Act 1977—Ini
adalah dijaminnya kesetaraan hukum bagi warga negara kelahiran Kanada maupun
warga negara kelahiran di luar Kanada tanpa melihat asal bangsa, keturunan,
agama dan bahasa. Pemberlakuan kebijakan kewarganegaraan ganda di Kanada juga
ditujukan sebagai bagian dari bentuk akomodasai negara merangkul warganegaranya
yang secara nyata dan jelas multietnis dan dalam hal tertentu juga bertujuan
untuk menghindari adanya pergolakan etnis seperti yang akhirnya pernah terjadi
pada masyarakat Quebec. Kanada mengenal apa yang disebut dengan multikultural.
Mereka sangat menghargai perbedaan.[19]
Meskipun begitu, konsep kewarganegaraan ganda ini juga
memiliki kelemahan. Dikhawatirkan seseorang yang menduduki jabatan strategis di
pemerintahan dapat menggunakan jabatannya tersebut untuk lebih menguntungkan
negara asal daripada Kanada. Jika orang
itu memiliki ikatan emosional yang lebih besar ke warga negaranya yang lain,
ditakutkan ketika proses pengambilan keputusan dapat merugikan Kanada.
Kritik-kritik semacam ini pernah muncul sewaktu Michaelle Jean naik jabatan
menjadi Gubernur Jenderal. Michaëlle Jean adalah salah satu
orang yang pernah meiliki kewarganegaraan ganda di Kanada, sebagai warganegara
Kanada sekaligus warganegara Perancis. Sebelum menjabat sebagai gubernur
jenderal, Jean memegang kewarganegaraan ganda
Kanada dan Perancis
sebagai hasil dari pernikahannya. Karena banyak orang yang mempertanyakan
loyalitasnya, ia akhirnya melepaskan kewarganegaraa Perancisnya.[20]
BAB
3
KESIMPULAN
Kanada sebagai
sebuah negara yang multikulur tidak bisa dilepaskan dari sejarah demografi dan
kolonialisasi yang dialaminya, baik oleh Inggris maupun Perancis karena dua negara
tersebutlah yang kemudian banyak membrikan pengaruh pada budaya, bahasa, hingga
politik di Kanada. Situasi inilah yang membuat lahirnya pembelahan sosial yang
tejadi cukup lama, yaitu antara masyarakat di bagian timur—Quebec yang berbahasa
Perancs—dan barat yang didominasi orang Inggris. Berawal dari gerakan
multikultural muncul pertama kali di Kanada sekitar tahun 1970-an dan diawali terlebih dahulu oleh gelombang imigrasi ke Kanada bermula sekitar tahun 1896,
upaya untuk memeperjuangkan identitas politik mulai kentara di Kanada, khususnya
oleh masyarakat Quebec yang menuntut otonomi khusus hingga kemerdekaan dari
Kanada. Namun uniknya, perjuangan politik yang
dilakukan tersebut adalah tanpa kekerasan, yaitu melalui perjuangan partai politik
lokal dan referendum.
Keberlangsungan
kekuasaan dan identitas bangsa harus dibingkai dengan konsep budaya politik
yang disebut revolusi integrasi, dengan harapan agar ikatan kultural dari
primordialisme dapat diintegrasikan ke dalam ikatan kultural yang lebih luas
yang mendukung pemerintahan nasional. Menurut Geertz, jika hal itu terjadi tanpa
bingkai revolusi integrasi dikhawatirkan memicu kekecewaan-kekecewaan di antara
etnis dan aliran politik yang hidup dalam masyarakat, hingga akumulasi
kekecewaan dapat memicu tumbuh dan berkembangnya gagasan regionalisme. Inilah
bukti nyata dari Quebec, bagaimana ikatan primordialisme dirasa lebih kuat
daripada ikatan nasionalisme itu sendiri dan tidak disangsikan lagi melahirkan
konflik secara lebih luas. Sebab Kanada sebagai sebuah negra dan bangsa tidaklah
dibentuk dari adanya kesamaan nasib, pegalaman, dan kebudayaan, namun justru
negara in dibentuk dari banyaknya migrasi bangsa-bangsa lain yang mencari
penghidupan, hal ini ditunjukan dengan diberlakukannya kewarganegaaan ganda.
Pengalaman
Quebec hingga tahun 1995 setidaknya memberikan penjelasan menarik bagaimana
konflik yang sangat sensitif—berlatar nilai primordialisme—bisa diselesaikan
dengan cara non violence dan
bagaimana negara serta masyarakatnya bersikap dewasa menghadapi kenyataan
multikulturalisme yang terjadi di Kanada. Terbukti dengan dipilihnya cara-cara
perjuangan politis daripada separatisme dan negara pun mengakomdirnya dengan
memberlakukan kebijakan otonomi khusus. Kedewasaan dalam bernegara ini bisa
dilihat pada referendum kedua 30 Oktober 1995 yang melahirkan keputusan bahwa perolehan suara 50,58%
(menyatakan Tidak memisahkan diri atau pro-integrasi) dan 49,42% (menyatakan Ya
memisahkan diri) dan semua pihak menggapinya dengan terbuka. Implikasinya adalah bahwa pemberian daerah khusus dengan
otonomi yang sangat luas telah memberikan ruang gerak bagi masyarakat setempat
untuk mengaktualisasikan diri dalam bidang ekonomi dengan tingkat kesejahteraan
tinggi dan mengekpresikan hak politiknya secara damai. Dengan demikian,
mayoritas masyarakat tidak membutuhkan perpecahan dengan Kanada (disintegrasi)
yang belum tentu menjamin kelangsungan dari kondisi yang diperoleh masyarakat
pada saat menjadi bagian dari Kanada saat ini
Daftra Pustaka
Basyar,
M Hamdan. Problematika Muslim di Kanada
dan Perancis Pasca 9/11, Bab III. Tanpa tahun dan penerbit
Buchanan
A. 1991. Secession: The Morality of Political Divorce from For Sumter to
Lithuania and Quebec. New York: Basic Books.
Bumsted, J. 2004. History of the
Canadian Peoples. Oxford University Press
Dickinson, John Alexander; Young,
Brian. 2003. A
Short History of Quebec, edisi 3rd, 357–360, Montreal: McGill-Queen's University
Press.
Geertz,
Clifford. Ikatan-ikatan Primordial dan
Politik Kebangsaan di Negara-negara Baru, dalam Juwono Sudarsono. 1976. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik.
Jakarta: Gramedia
Miall, Hugh., Ramsbotham, Oliver., & Woodhouse, Tom. Resolusi Damai Konflik Kontemporer:
Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial,
Agama, dan Ras. Terj. Budhi Satrio.
Soeseno,
Nuri. 2010. Kewarganegaraan: Tafsir,
Tradisi, dan Isu-isu Kontemporer. Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI
http://multiculturalcanada.ca/Encyclopedia/A-Z/c2,
9 Mei 2011
http://rumahfilsafat.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama-michael-e-brown/,
30 April 2012
http://www12.statcan.ca/census-recensement/2006/dp-pd/hlt/97-
562/pages/page.cfm?Lang=E&Geo=PR&Code=01&Data=Count&Table=2&StartRec=1&Sort=3&Display=All&CSDFilter=5000,
9 Mei 2011
http://ccrweb.ca/en/hundred-years-immigration-canada-1900-1999,
9 Mei 2011
[1] Canadian Culture And Ethnic
Diversity: From The Encyclopedia of Canada's Peoples. 2011. Diakses dari
http://multiculturalcanada.ca/Encyclopedia/A-Z/c2, pada 9 Mei 2011
[2] A hundred years of immigration to Canada 1900 - 199: A
chronology focusing on refugees and discrimination. 2000, diakes dari Canadian Council for Refugees:
http://ccrweb.ca/en/hundred-years-immigration-canada-1900-1999, pada 9 Mei 2011
[3] Ethnic origins, 2006
counts, for Canada, provinces and territories. 2006, diakses dari Statistic Canada:
http://www12.statcan.ca/census-recensement/2006/dp-pd/hlt/97-562/pages/page.cfm?Lang=E&Geo=PR&Code=01&Data=Count&Table=2&StartRec=1&Sort=3&Display=All&CSDFilter=5000,
pada 9 Mei 2011
[4] Mengenai teori kewarganegaraan
dan isu-isu kontemporer yang melingkupiya bisa dilihat pada Nuri Soeseno,
Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-isu Kontemporer, 2010, Depok:
Departemen Ilmu Politik FISIP UI
[5] Clifford Geertz, Ikatan-ikatan
Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-negara Baru, dalam Juwono
Sudarsono, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, 1976, Jakarta: Gramedia
[6] diakses dari https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ca.html,
pada 30 April 2012
[7] Ibid,.
[8] Miall, Hugh., Ramsbotham, Oliver., & Woodhouse, Tom. Resolusi Damai Konflik Kontemporer:
Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial,
Agama, dan Ras. Terj. Budhi Satrio. Hal 111-113.
[9] Disadur dari
tulisan Tatang Muttaqin, M.Ed dalam Studium General Komunikasi Lintas Budaya di
Fisip Unsoed 17 juni 2006
[10] Sebuah data
menarik berhasail didapatkan bahwa bahasa Perancis terutama dituturkan di
Quebec, Ontario,
New Brunswick dan Manitoba selatan. Pada sensus 2001 saja, sebanyak 6.864.615
orang mendaftarkan Perancis sebagai bahasa ibu,
dari yang 85% tinggal di Quebec, dan 17.694.835 orang mendaftarkan Perancis
sebagai bahasa ibu.
[11] Clifford Geertz dalam konflik primordialisme menjelaskan bahwa sering
kali terjadi ikatan primordialisme yang mengalami percampur adukkan antara
kesetiaan politik dengan kesetiaan primordial itu sendiri. Diantaranya dengan
membentuk Parti
radikal Front de libération du
Québec (FLQ) dan Partai berbasis kedaerahan, Bloc Québécois,
memperoleh banyak kursi di Provinsi Quebec dan mempromosikan kemerdekaan Quebec
dari Kanada.
[12]
Diman K Simanjuntak, Partai
Politik Lokal: Integrasi atau Disintegrasi, sebuah makalah dalam rangka
proses perumusan RUU Pemerintahan Aceh , di unduh pada www.parlemen.net
[13] Buchanan A, Secession: The
Morality of Political Divorce from For Sumter to Lithuania and Quebec, 1991, New York: Basic Books.
[14] Kita dapat
memahami dari kasus Quebec ini bahwa di dalam sebuah negara demokratis yang
menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat penyelesaian konflik
separatisme, negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang paling legal
dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal
memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk berdebat dan
mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari upaya mereka
menentukan arah masa depan negara.
[15] Quiet
revoluiton dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana
periode ini menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal
menarik yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang
konfliktual antara pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya
konstruksi nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat
keturunan Inggris dan masyarakat keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di
Kanada.
[16]Diakses dari http://rumahfilsafat.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama-michael-e-brown/,
pada 30 April 2012
[17] Referendum pertama tahun 1980
mengusulkan negosiasi "asosiasi-kedaulatan" dengan Pemerintah Kanada,
sementara referendum tahun 1995 mengusulkan "kedaulatan", berikut
kerja sama opsional dengan
Kanada.
[18] Diakses dari http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/18/konflik-pemilihan-bahasa-nasional/,
pada 30 April 2012
[19] M Hamdan Basyar, Problematika Muslim di Kanada dan Perancis
Pasca 9/11, Bab III, hal. 39, tanpa tahun dan penerbit
[20] Gubernur Jenderal Kanada sekarang
ini. Jean ditunjuk oleh Ratu Elizabeth II, setelah mendapat
rekomendasi dari Perdana Menteri Paul Martin
untuk menggantikan posisi Adrienne
Clarkson dan menjadi gubernur jenderal Kanada ke-27. Sebelumnya, ia adalah
seorang jurnalis dan penyiar CBC. Pengangkatannya diumumkan pada 4 Agustus 2005 dan dilantik pada 27
September. Jean adalah orang kulit hitam
pertama, perempuan ketiga, dan imigran kedua yang menjabat sebagai gubernur
jenderal.
0 Response to "Konflik Politik Identitas Masyarakat Quebec 1980-1995"
Posting Komentar