Sikap Politik WALHI Sebagai Gerakan Sosial Lingkungan Hidup di Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
1 Latar Belakang
Pascakemerdekaan
negara Indonesia tahun 1945 dan pembangunanisme—masa orde baru—menjadi sesuatu
yang “sakral” dalam menjalankan pemerintahan negeri ini, isu-isu terkait
lingkungan juga semakin tidak dapat dihindari sebagai kajian yang paling banyak
mendapatkan dampak turunan setelah isu-isu kemasyarakatan. Selain itu juga Indonesia
yang secara geografis berada di daerah rawan bencana (ring of fire) membuat kewaspadaan akan apa yang terjadi pada alam
dan lingkungan menjadi meningkat. Seperti pada kasus revolusi industri yang
membawa kemajuan teknologi di satu sisi, namun memberi dampak degradasi
lingkungan di sisi yang lain. Pada kasus Indonesia khususnya tahun 1970an, fenomena
tersebut juga sudah mulai terjadi. Lalu tidaklah mengherankan jika kesadaran
dari masyarakat meningkat akan pola pembangunan yang modern tetapi tetap
memperhatikan faktor-faktor berkelanjutan (sustainable
development).
Akibat dari
intensitas dan luasan bencana yang terus bertambah sebanyak sembilan bulan
dalam setahun, Indonesia dipaksa menghabiskan sumberdayanya hanya untuk
mengurus bencana.[1]
Artinya kebijakan mengenai isu lingkungan perlu diperjuangkan juga oleh pihak
di luar pemerintah. Misalnya Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di
dunia. Sekitar dua-pertiga dari luas lahan ditutupi oleh hutan, sehingga hutan
menjadi sumber daya penting bagi Indonesia dan rakyatnya. Jika masyarakat tidak
terlibat langsung, dan watak pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tetap tidak
memeperhatikan pembangunan berkelanjutan, tidak berlebihan jika kiamat akan
datang lebih awal di negeri yang makmur ini.
Maka Emil Salim
selaku Menteri Lingkungan Hidup pada saat itu—periode 1978-1993—menggagas
sebuah pertemuan dengan para NGO lingkungan yang kemudian berujung pada
berdirinya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di tahun 1980[2].
Pertemuan antara Menteri Lingkungan Hidup dengan NGO saat itu dilakukan di
Lantai 13, Balaikota, Kantor Gubernur DKI Jakarta, Jalan Merdeka Selatan. Meski
kelahiran WALHI dibidani oleh pemerintah, dalam perjalannya WALHI menjelma
menjadi organisasi yang independen bahkan tidak jarang menggugat pemerintah
sendiri yang terbukti melakukan pelanggaran lingkungan hidup. Dengan seiring
perkembangan zaman, WALHI kian melebarkan sayap aktifitasnya seperti melakukan
serangkaian kegiatan, mulai dari kampanye penyadaran kelestarian lingkungan
hidup, advokasi kebijakan, sampai dengan perjuangan pada keadilan lingkungan
hidup. Sejak melakukan berbagai serangkaian advokasi, secara langsung maupun
tidak langsung, WALHI sebetulnya telah bersentuhan dengan masalah-masalah
struktural dan politik. Sebab
persoalan lingkungan di Indonesia adalah persoalan politik karena pada dasarnya
semua kerusakan lingkungan terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang keluar dari
berbagai kepentingan dan arah politik. Oleh karena itu, dalam perjalanannya,
WALHI selalu kritis dengan persoalan-persoalan politik.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka Penulis dalam makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan: “Bagaimanakah bentuk dan sikap politik WALHI
sebagai sebuah gerakan sosial lingkungan
hidup di Indonesia?”
1. 3 Kerangka Konsep
1.3.1 Pengertian Civil Society dan Pemaknaannya
Di dalam negara yang sedang mengalami transisi
demokrasi seperti Indonesia saat ini, kehadiran partai politik dan civil society adalah bagian yang tidak
bisa dianggap remeh. Linz dan Stepan menyatakan bahwa kehadiran civil society dan partai politik adalah
bagian yang penting untuk menciptakan konsolidasi demokrasi, selain juga
kehadiran birokrasi yang efektif, kehadiran masyarakat ekonomi yang juga
kondusif dan taatnya aturan terhadap hukum secara bersama-sama.[3]
Kehadiran civil society yang dijamin
kebebasannya juga menopang bagi keberlangsungan partai politik, terutama untuk
menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Tugas civil society adalah menghasilkan
gagasan-gagasan yang konstruktif dalam pembangunan dan juga memonitor aparat
negara serta kelompok-kelompok ekonomi. Sementara itu, tugas partai politik
adalah menghasilkan dan membentuk konstitusi dan aturan-aturan
perundang-undangan, mengontrol aparat birokrasi dan juga menghasilkan
produkproduk kerangka kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok ekonomi.
Konsep civil society juga dapat dipahami dari latar belakang sejarahnya. Akar perkembangan konsep ini bisa di runut dari zaman Cicero, bahkan
Aristoteles. Cicero mengeluarkan istilah societas civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa, hingga abad ke 18,
pengertian civil
society dianggap sama dengan pengertian
negara (state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok
masyarakat lain. Jadi, istilah-istilah seperti koinonia politike, societas
civilis, societa civile, buergerliche gessellschaft, civil society, dan societa
civile dipakai secara bergantian dengan
polis,
civitas, etat, staat, state dan stato[4]. Dalam konteks gerakan sosial seperti WALHI yang memberikan perhatian
kerjanya pada isu-isu lingkungan, civil
society bukan lagi berperan sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol
jalannya pemerintahan negara, namun telah bertransformasi juga menjadi sebuah
alternatif pilihan bergerak dan menggalang komintmen penyelamatan dan
pelestarian lingkungan. Sejak awal abad ke-20 dan termasuk juga hari ini, isu
lingkungan tidak lagi menjadi persoalan orang-perorang. Dampak kerusakan dan
pencemaran lingkungan misalnya, tidak hanya dirasakan oleh sekelompok atau
orang yang tinggal di daerah tertentu, namun sudah seperti prinsip globalisasi
yang menyebar dan saling berpengaruh dan memebri akibat antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Maka dari itu, persoalan kebijakan lingkungan menjadi
penting dan ranah politik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari ketika
berbicara sebuah gerakan sosial maupun tema lingkungan itu sendiri, termasuk
WALHI.
I.3.2 Pengertian Lingkungan Hidup dan Pemaknaannya
Esensi
lingkungan hidup merupakan kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai
kehidupan yang ada didalamnya. Tata dan nilai yang menjaga keberlanjutan
lingkungan hidup dan sumber daya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan
manusia atas hak atas lingkungan saat ini dan generasi yang akan datang.
Sebagai sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah
kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini, dan
kehidupan masa yang akan datang. Itulah esensi dari sumber-sumber kehidupan[5].
Dengan asumsi seperti itu, maka lingkungan hidup dapat dimaknai sebagai kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsuangan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk lain.[6]
Dan WALHI menilai bahwa kerusakan ekosistem hutan misalnya, adalah salah satu
contoh ancaman nyata bagi kerusakan lingkungan hidup tersebut. Sebab pembalakan
liar terhadap hutan atau illegal logging
adalah sebuah kejahatan yang tak terkirakan, mempunyai dampak kejahatan
dibidang ekonomi yang sangat besar, termasuk nilai kehilangan keanekaragaman
hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan
sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan. Illegal
logging berdampak bukan hanya hilangnya paru-paru Indonesia tetapi juga
paru-paru dunia yang mengakibatkan pemanasan global. Berdasarkan riset jangka
panjang yang dilakukan sejumlah ahli menyimpulkan di Indonesia sejak tahun
1990-an musim kemarau mengalami percepatan[7].
BAB
2
Gerakan
Sosial WALHI dan Sikap Politiknya
“Apa yang kita lakukan
atas hutan-hutan di dunia adalah refleksi cermin dari apa yang kita lakukan pada
diri kita sendiri dan sesama.”
(Mahatma Gandhi)
2.1 Sejarah dan Awal Pembentukan WALHI
Dalam konteks gerakan sosial yang menaruh perhatian
pada isu dan permasalahan lingkungan, rasanya tidak berlebihan jika kita
mengatakan bahwa WALHI adalah yang terbesar dan pertama didirikan oleh dan
untuk masyarakat Indonesia. Meski juga terinspirasi oleh gerakan sosial
lingkungan lain seperti WWF dan Greenpeace,
WALHI tetap berdiri secara konsisten hingga saat ini dengan kekhasan organisasi
dan program kerja yang dilaksanakan. Dua bulan pascaditunjuk menjadi Menteri
Lingkungan Hidup, pada 1978 Emil Salim berdialog dengan beberapa kawan, seperti
Bedjo Rahardjo, ErnaWitoelar, Rio Rahwartono, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) dan Tjokropranolo, Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta saat itu mengenai gagasan yang dimilikinya. Emil Salim ingin lingkungan
hidup menjadi sebuah gerakan masyarakat di Indonesia. Bermula dari keinginan
Menteri Lingkungan Hidup yang begitu besar tersebut untuk mendirikan sebuah
program penyelamatan dan perlindungan lingkungan yang berbasiskan amsyarakat, membuat
Gubernur DKI Jakarta—Tjokropranol—menawarkan sebuah ruangan di Jakarta sebagai
arena pertemuan kelompok NGO lingkungan—termasuk pecinta alam dan organisasi
lainnya—membahas ide-ide Emil Salim. Gayung pun bersambut, tanpa pikir panjang
Emil Salim langsung menerima tawaran Tjokropranolo untuk melakukan pertemuan
NGO seluruh Indonesia yang pada akhirnya dari pertemuan tersebutlah lahir WALHI.
Pertemuan antara Menteri Lingkungan Hidup dengan NGO
dilakukan di Lantai 13, Balaikota, Kantor Gubernur DKI Jakarta, Jalan Merdeka
Selatan, Jakarta pada tanggal 23 Mei 1978. Tidak disangka, pertemuan itu rupanya
menyedot tingginya perhatian masyarakat hingga dihadiri oleh sekitar 350 lembaga
swadaya masyarakat yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta
alam, agama, riset, kampus, jurnalis, dan lain sebagainya. Arena pertemuan itu menjadi
layaknya ajang “curhat” Emil Salim kepada komunitas NGO terkait rencana
program-program menghadapi isu lingkungan yang pada saat itu sempat menyeruak
di banyak media. Dalam pemaparannya, Emil Salim ingin lingkungan hidup menjadi
arus utama dalam menjamin masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Lalu pada
akhir pertemuan disepakatilah bahwa 10 NGO akan membantu program-program pemerintah
dalam bidang lingkungan hidup. Ke-10 organisasi itu kemudian lebih kita dikenal
dengan nama Kelompok 10. Hubungan Kelompok 10 dengan lembaga pemerintah
dijelaskan sebagai hubungan yang tetap dijaga jaraknya dan bersifat timbal
balik. Dengan alasan tetap menjaga jarak, para aktivis itu menyatakan tidak
menggabungkan diri atau membantu Emil Salim di kementerian sebagai staf. Hanya
Linus Simanjuntak yang kemudian menjadi Sekretaris Menteri.
Selang dua tahun setelah pertemuan tersebut, yaitu
tepatnya pada tanggal 15 Oktober 1980, Kelompok 10 yang awalnya bermitra dengan
pemerintah dan bertugas layaknya lembaga ad-hoc
kemudian berubah menjadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).[8]
Sebelum resmi berubah nama menjadi WALHI, pada tahun awal pembentukan Kelompok
10, isu masalah lingkungan semakin menyeruak, mendorong Kelompok ini berniat
memperluas dampak programnya dengan menyelenggarakan Pertemuan Nasional
Lingkungan Hidup (PNLH) I. Dalam pertemuan nasional itulah WALHI dicetuskan.
Nama WALHI sendiri dipilih dengan alasan dianggap independen, tidak berbau
parpol, serta mencerminkan nama khas Indonesia (bukan nama asing). Saat ini
WALHI dipimpin oleh Chalid Muhammad (Direktur Eksekutif Nasional WALHI) yang
berkantor di beralamat di Jl. Tegal Parang Raya Utara No. 14 Jakarta
12790. Sedangkan periode sebelumnya, WALHI dipimpin oleh Longgena Ginting; Jolo Waluyo; Anggraini; Nur
Hidayati; Muhammad basuki; Winoto; Budi Arianto; keseluruhannya WNI, masing-masing sebagai Ketua, Wakil Ketua,
Bendahara, Sekretaris dan
Anggota Badan Pengurus Harian.
Sebagai sebuah civil
society, WALHI benar-benar tidak hanya berdiri sebagai penyeimbang dan
pengontrol negara semata, namun juga telah menjadi alternatif pilihan berbuat
dalam upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan di Indonesia. Bukan karena
negara terbatas perannya sehingga kurang memberi perhatian pada isu lingkuangn,
namun juga akibat ketidaktegasan
pemerintah dalam menyelesaikan masalah dikarenakan negara yang terlalu bersifat
otoritatif, berbeda dengan civil society seperti WALHI. Terlibatnya
NGO sebagi salah satu bentuk civil
society dalam penanganan masalah perubahan iklim global seperti Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), juga menjadi pertimbangan para pembuat
kebijakan luar negeri Indonesia terutama Kementerian Lingkungan Hidup sebagai
pihak yang menguasai masalah lingkungan hidup khususnya mengenai perubahan
iklim global dan Kementerian Luar Negeri sebagai pihak yang mengurusi masalah
yang berkaitan dengan transboundary issues yang melibatkan negara-negara
lain[9]
Pada pasal 5 angka 2 Anggaran Dasar, dijelaskan
bahwa salah satu maksud dan tujuan dari Wahana
Lingkungan hidup Indonesia (WALHI)
adalah: "Meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai Pembina lingkungan
dan terkendalinya pemanfaatan Sumber Daya secara bijaksana". Dengan
salah satu cara mencapai maksud dan tujuan: “Pengembangan program LSM
di dalam: a) menghimpun permasalahan lingkungan hidup dan Sumber Daya
yang ada serta menemukan berbagai alternative pemecahannya, b) mendorong
terciptanya kesadaran diri terhadap lingkungan menjadi kegiatan nyata
yang dapat mendatangkan manfaat bagi keselarasan antara manusia dan alam
lingkunganny, c) meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dengan
sebanyak mungkin mengikutsertakan anggota masyarakat secara luas”.[10]
2.2 Pengalaman dan Sikap Politik WALHI
Sejak dideklarasikan tahun 1980, Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI) menjelma menjadi pelopor gerakan lingkungan hidup di Indonesia
selama lebih dari seperempat abad. Mengalami pasang surut, WALHI melakukan
serangkaian kegiatan, mulai dari kampanye penyadaran kelestarian lingkungan
hidup, advokasi kebijakan, sampai dengan perjuangan pada keadilan lingkungan
hidup. kegiatan yang bermacam-macam ini dilandasai oleh pemahaman bahwa hidup
harus dipandang secara holistik dan mempunyai sistem yang teratur serta
diletakkannya semua unsur di dalamnya secara setara[11]
Sejak melakukan berbagai serangkaian advokasi, secara langsung maupun tidak
langsung, WALHI sebetulnya telah bersentuhan dengan masalah-masalah struktural
dan politik[12]. Sebab persoalan lingkungan di
Indonesia adalah persoalan politik karena pada dasarnya semua kerusakan
lingkungan terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang keluar dari berbagai
kepentingan dan arah politik. Oleh karena itu, dalam perjalanannya, WALHI
selalu kritis dengan persoalan-persoalan politik.[13] Pada awal dekade 1990-an, WALHI
benar-benar mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah sebagai sikap
politiknya. WALHI sempat melakukan aksi yang cukup berani—mengingat rezim
otoriter yang begitu kuat saat itu—dengan menggugat Presiden Soeharto karena
menggunakan Dana Reboisasi (DR) untuk membiayai industri pesawat terbang.
Dengan lantang WALHI menyatakan bahwa ini adalah pelanggaran kewenangan dan
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Sejak saat itulah, sebagian
kalangan menilai bahwa telah lahir sikap dan pilihan strategi baru WALHI yang
berbeda dari awal pendiriannya. Dengan pilihannya ini, maka WALHI tidak hanya
sudah menginjakkan kakinya ke ranah politik, namu juga telah senantiasa berada
di garda terdepan untuk melakukan protes keras terhadap kebijakan pemerintah
yang nyata-nyata mengancam kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam.
Sampai
dengan tahun 2007, WALHI mulai juga melebarkan sayap perhatiannya kepada isu-isu
liberalisasi ekonomi, kapitalisme global, dan korupsi birokrasi. Sebab WALHI
tidak melihat ada terobosan yang berarti dilakukan negara untuk mereduksi
kehancuran ekologis dan ketidakadilan sosial ekonomi yang makin membesar di
negeri ini. Pengurus negara cenderung mengabaikan fakta bahwa Indonesia sedang
dalam fase kritis, baik dari segi ekologis maupun kemampuan bertahan hidup
mayoritas rakyat terkena dampak pembangunan. Praktik ekploitasi alam terus
menjadi pilihan walau beragam peringatan telah diberikan oleh organisasi dan
pemerhati lingkungan hidup dalam dan luar negeri.[14]
Bahkan dalam situs resminya dikatan bahwa, “Kami menentang model pembangunan
saat ini yang berhaluan globalisasi ekonomi dan korporasi. Kami mempromosikan
solusi yang akan membantu menciptakan lingkungan yang berkelanjutan dan
berkeadilan sosial masyarakat.”[15]
Pupularitas
WALHI dibandingkan NGO lainnya.
Other
Greenpeace
Indonesia
ICEL
KIARA
(Jatam)
(TNC)
Sawit Watch
CSF
WWF
Indonesia
WALHI
0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00%
30.00% 35.00% 40.00%
Dari grafik di
atas bisa dilihat bahwa wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah LSM
yang paling popular menurut responden dalam berkampanye isu perubahan iklim
(40%), disusul WWF Indonesia (23%), Greenpeace (17%) dan CSF (13%). Dari sisi
usia LSM, popularitas CSF lumayan baik dibandingkan LSM-LSM lain yang
berkampanye soal perubahan iklim.[16]
Bentuk
nyata keterlibatan WALHI dalam politik bisa dilacak dari kerja-kerja yang
selama ini dilakukannya, baik dari mulai advokasi hingga yang paling ekstrim
adalah turut memberikan pendidikan pemilu dan politik pada masa kampanye
sebagai bagian kerja nyata mewujudkan pemerintahan yang baik (tidak salah
pilih), jujur, dan peduli terhadap siu-isu lingkungan lingkungan. Sikap ini
didukung pula setelah WALHI melihat bahwa sejalan dengan insentif yang
diberikan negara pada perbaikan dan perluasan industri perkebunan, ditambah
lagi dengan praktek illegal dan destructive logging yang belum juga
terselesaikan, maka kemusnahan hutan alam Indonesia adalah sebuah realitas.
WALHI memperkirakan seluruh hutan alam dataran rendah Indonesia akan musnah
pada tahun 2022.[17]
Jika kemudian kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia juga masih rendah
akan fenomena dan data fakta ini, tidak menutup peluang jika bahaya degradasi
lingkungan berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan akibat pemerintahan
yang terbentuk adalah pemerintahan yang berwatak eksploitatif dan hanya
mengejar kekayaan materil sebesar-besarya. Meski kegiatan pendidikan dan
kampanye politik seperti yang dijelaskan sebeluumnya ini membuat WALHI menjadi
lebih dikenal publik, tapi WALHI juga tetap melakukan kerja-kerja politik lain.
Misalnya, terlibat aktif dalam setiap pembahasan Undang-Undang Lingkungan Hidup
(UULH) mulai dari draft akademik
sampai pada tahap akhir saat diserahkan kepada Sekretariat Negara.
Seperti
dijelaskan sebelumnya, bahwa tata pemerintahan yang baik dan bersih menjadi
salah satu isu strategis yang diusung WALHI. Dengan semakin memberikan
perhatian pada masalah pembuatan dan implementasi kebijakan baik yamg berdampak
lingkungan maupun terkait langsung dengan lingkungan, pelan-pelan telah
mentransformasikan WALHI sebagai gerakan sosial yang berdiri di dua ranah,
lingkungan dan politik. Ciri-ciri kekentalan aroma politik ini tidak hanya
dilihat dari kerja yang selama ini dilakukan, namun juga dari tubuh organisasi
itu sendiri. WALHI menganut sistem pemerintahan demokratis dengan mengadopsi
prinsip tanggung gugat dan transparan. Struktur organisasi dibangun berdasarkan
prinsip Trias Politika—checks and
balances—untuk menjamin pelaksanaan pembagian kekuasaan dan kontrol dan
untuk menghindari penyelewengan kekuasaan yang terjadi. Bahkan dalam visinya
WALHI menghendaki terwujudnya suatu tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang adil
dan demokratis yang dapat menjamin hak-hak rakyat atas sumber-sumber kehidupan
dan lingkungan hidup yang sehat.[18]
BAB
3
KESIMPULAN
Sebagai
sebuah civil society, WALHI dinilai
telah berhasil menjadi penyeimbang negara sekaligus alternatif gerakan penyelamatan
dan perlindungan lingkungan. Di usianya yang mencapai 32 tahun WALHI sudah
cukup matang sebagai sebuah organisasi lingkungan bahkan bisa disejajarkan
dengan WWF maupun Greenpeace. Sejak pertama terjadi pertemuan antara Menteri
Lingkungan Hidup dengan NGO yang dilakukan di Lantai 13, Balaikota, Kantor
Gubernur DKI Jakarta, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta pada tanggal 23 Mei 1978
dan berujung pada acara pendeklarasian, WALHI telah bertransformasi menjadi
organisasi yang multifungsi. Diantaranya melakukan berbagai serangkaian
advokasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan pada saat itu juga
sebetulnya WALHI telah bersentuhan dengan masalah-masalah struktural dan
politik. Sebab persoalan
lingkungan di Indonesia adalah persoalan politik karena pada dasarnya semua
kerusakan lingkungan terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang keluar dari
berbagai kepentingan dan arah politik. Oleh karena itu, dalam perjalanannya,
WALHI selalu kritis dengan persoalan-persoalan politik.
Terbukti
pada awal dekade 1990-an, WALHI benar-benar mengambil sikap berseberangan
dengan pemerintah—yang membidani kelahirannya—sebagai sebuah sikap politik.
WALHI sempat melakukan aksi yang berani—mengingat rezim otoriter yang begitu
kuat saat itu—dengan menggugat Presiden Soeharto karena menggunakan Dana
Reboisasi (DR) untuk membiayai industri pesawat terbang. Dengan pilihannya ini,
maka WALHI tidak hanya sudah menginjakkan kakinya ke ranah politik, namu juga
telah senantiasa berada di garda terdepan untuk melakukan protes keras terhadap
kebijakan pemerintah yang nyata-nyata mengancam kedaulatan rakyat atas
sumberdaya alam.
Bentuk
nyata keterlibatan WALHI dalam politik tidak hanya dapat dilacak dari
kerja-kerja yang selama ini dilakukannya, baik dari mulai advokasi hingga yang
paling ekstrim yaitu turut memberikan pendidikan pemilu dan politik pada masa
kampanye sebagai bagian kerja nyata mewujudkan pemerintahan yang baik (tidak
salah pilih), jujur, dan peduli terhadap siu-isu lingkungan lingkungan. Ciri-ciri
kekentalan aroma politik ini ternyata juga bisa dilihat dari tubuh organisasi
itu sendiri. WALHI menganut sistem pemerintahan demokratis dengan mengadopsi
prinsip tanggung gugat dan transparan. Struktur organisasinya pun dibangun
berdasarkan prinsip Trias Politika—checks
and balances—untuk menjamin pelaksanaan pembagian kekuasaan dan kontrol agar
terhindar dari penyelewengan kekuasaan.
Daftra
Pustaka
Hikam, Muhammad
AS. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta:
LP3ES.
Ishak, Inar
Ichsana. 2005. Penaatan Atas Perjanjian Multilateral di Bidang Lingkungan
Hidup, Jurnal Hukum Internasional, FHUI, Volume 2 No. 2
Jurnal WALHI.
2005. Arti dan Manfaat Lingkungan Hidup Bagi Pembangunan.
Hartiwiningsih. 2009. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup.
Makalah disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka UNS
Linz, Juan J. dan
Alfred Stepan. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation:
Southern Europe, South America and Post-Communist Europe. Baltimore: The
John Hopkins University Press.
Nugroho, Dani Wahyu dan Andy Armansyah.
2008. Menjadi Enviromentalis Itu Gampang;
Sebuah Panduan bagi Pemula. Jakarta:
WALHI.
Rilis Pers Bersama.
2012. Himbauan untuk Penegakan Hukum
melawan perusakan Rawa Gambut
Tripa. Aliansi LSM-LSM Lingkungan dan HAM.
Uliyah, Luluk dan Firdaus Cahyadi. 2011. Keadilan Iklim, Sudahkah Membumi?. Indepth
Report: Knowledge Management Departement Yayasan
Satu Dunia
Sumber Lain :
Laporan Pertanggung Jawaban Eksekutif Nasional WALHI, Juni 2002 -
Februari 2005. Disampaikan dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup Indonesia,
Mataram (1-4 Maret 2005)
Departemen
Lingkungan Hidup. 2007. Kebijakan RI Terhadap Lingkungan Hidup.
UU No. 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[1] Lebih jauh bisa di lihat di situs
resmi WALHI, www.walhi.or.id
[2] Dani Wahyu Nugroho dan Andy
Armansyah, Menjadi Enviromentalis Itu
Gampang; Sebuah Panduan bagi Pemula,
2008, Jakarta: WALHI
[3] Linz dan Stepan
menyebutkan partai politik sebagai masyarakat politik. Untuk mengkaji persoalan
ini lebih mendalam bisa dilihat pada Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems
of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America and
Post-Communist Europe, 1996, Baltimore, The John Hopkins University Press.
Hlm 7-8.
[4] Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, 1999,
Jakarta: LP3ES. Hal tentang pengertian dan jenis Civil Society juga dijelaskan oleh Iwan Gardono Sujatmiko dalam Wacana Civil Society di Indonesia
[5] Jurnal WALHI, Arti
dan Manfaat Lingkungan Hidup Bagi Pembangunan, Desember 2005. Hlm 17.
[6] Defisi lingkungan hidup dalam UU
No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[7] Hartiwiningsih, Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup, Makalah disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka UNS Tanggal 14
Desember 2009
[8] Pada awalnya,
kelompok ini akan bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Kelompok 10.
Namun,George Aditjondro menolak nama “Sekber”, ia menilai nama ini amat dekat
dengan partai yang berkuasa pada masa itu, Golongan Karya (Golkar). Akhirnya,
George mengusulkan nama Kelompok 10.
[9] Inar Ichsana
Ishak, Penaatan Atas Perjanjian Multilateral di Bidang Lingkungan Hidup,
Jurnal Hukum Internasional, FHUI, Volume 2 No. 2 Januari 2005. Hlm 280-281.
[10] Rilis Pers
Bersama, Himbauan untuk Penegakan Hukum
melawan perusakan Rawa Gambut
Tripa, 24 April 2012,
Aliansi LSM-LSM Lingkungan dan HAM.
[11] Departemen Lingkungan Hidup, Kebijakan
RI Terhadap Lingkungan Hidup, Januari 2007
[12] Tercatat ada 10
gugatan yang pernah dilakukan WALHI pada periode 1988 – 2000. Antara lain,
menggugat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT. Inti Indorayon Utama
(1988), Dana Reboisasi (1999), Amdal PT. Freeport Indonesia, (1995), Pencemaran
air di Surabaya (1995), Penyelewengan dana Reboisasi oleh PT. Kiani Kertas
(1997), Kebakaran Hutan di Sumsel (1998), Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1
Juta Hekta (1999), Hak Atas Informasi yang diberikan PT. Freeport (2000), Hak
Penguasaan Hutan di Palu (2001), dan Banjir di Sumatera Utara (2002).
[13] Pada bulan Juli 1999, WALHI sempat
mendaftar sebagai Utusan Golongan di MPR dengan tujuan agar isu lingkungan
hidup dan pengelolaan sumber daya alam menjadi isu sentral selain demokratisasi
lainnya. Namun, hal ini dibatalkan karena anggota WALHI yang hadir dalam
Pertemuan Nasional Lingkungan PNLH ke - VII di Banjarmasin tidak mengijinkan WALHI
masuk dalam parlemen. Mulai saat itulah, WALHI ‘dianggap’ telah terjun ke
politik. Padahal, sesungguhnya sejak tahun 1988, di mana WALHI mulai melakukan
advokasi, secara langsung maupun tidak langsung, WALHI selalu bersentuhan
dengan persolan lingkungan. Persoalan Lingkungan di Indonesia adalah Persoalan
Politik. Inilah kesimpulan WALHI.
[15] Tentang WALHI dan profil
sejarahnya juga bisa dilihat di, http://www.walhi.or.id/id/home/siapa-kami.html.
[16] Luluk Uliyah dan Firdaus Cahyadi, Keadilan Iklim, Sudahkah Membumi?, 2011, Indepth Report: Knowledge Management Departement Yayasan
Satu Dunia
[17] Ibid,. Hlm 15,
[18] Op, Cit., http://www.walhi.or.id/id/home/siapa-kami.html
0 Response to "Sikap Politik WALHI Sebagai Gerakan Sosial Lingkungan Hidup di Indonesia"
Posting Komentar