Muhammadiyah dalam Partisipasi dan Keterbukaan Politik Pascareformasi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
1 Latar Belakang
Muhammadiyah adalah salah satu
organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sejarah
panjang kehadirannya dalam turut serta memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan
negara Indonesia menyebabkan Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
politik dan pemerintahan negara ini. Bahkan pada titik tertentu dalam
sejarahnya tersebut pernah sangat menguasai perpolitikan melalui
keikutsertaannya seperti ketika membawa Masyumi muncul sebagai salah satu
pemenang Pemilu pada tahun 1955. Pergulatan ormas yang pada khittahnya tidaklah
murni bercita-cita untuk turun dalam politik praktis ini rupanya juga penuh
dengan dinamika yang terjadi di dalam organisasi atau ketika bersinggungan
dengan kelompok ormas maupun partai politik lain. Apalagi di masa reformasi
ketika kebebasan untuk membentuk ormas atau partai politik begitu terbuka. Sehingga
menjadi semakin menarik ketika di masa seperti ini dicoba untuk melihat kembali
peran politiknya.
Muhammadiyah yang berdiri
tahun 1912 adalah sebagai organisasi “Islam Puritan”, yaitu organisasi
keagamaan yang dalam perkembangannya berhubungan langsung dengan para
pengikutnya dan sangat sesuai dengan karakteristik awal organisasi serta
penyesuaian karakteristik dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia yang
berlangsung lama[1].
Karenanya, misi Islam yang diusung begitu khas jika dibandingkan dengan ormas
Islam lainnya. Sebagai sebuah civil society, perannya bersamaan dengan ormas ataupun partai
politik lain adalah merupakan bagian yang juga penting untuk menciptakan
konsolidasi demokrasi. Dan satu hal
yang menjadi tolak ukur baik tidaknya peranan sebuah organisasi—termasuk
Muhammadiyah—di dalam era demokratisasi seperti ini adalah persoalan partisipasi
dan keterbukaan politik, terlebih ketika menyertakan Islam sebagai tujuan
hidupnya. Oleh karena itu, pada fase transisi kekuasaan yang sudah
berjalan lebih dari sepuluh tahun ini dirasa pentig bagi Penulis untuk mengkaji
apakah Muhammadiyah semakin ‘leluasa’ mendukung partisipasi dan keterbukaan
politik tersebut atau justru sebaliknya, mengingat di era demokrasi ini,
ormas—termasuk yang bernafaskan Islam moderat maupun radikal—dan partai politik
adalah faktor penting dalam mengartikulasikan pendapat dan memperjuangkan kepentingan.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka Penulis dalam makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan: “Bagaimanakah
Peran Muhammadiyah dalam Proses
keterbukaan dan Partisipasi Politik PascaReformasi?”
1. 3 Kerangka Konsep
Di dalam negara yang sedang mengalami transisi
demokrasi, kehadiran partai politik dan civil
society adalah bagian yang tidak bisa dianggap remeh. Linz dan Stepan
menyatakan bahwa kehadiran civil society
dan partai politik adalah bagian yang penting untuk menciptakan konsolidasi
demokrasi, selain juga kehadiran birokrasi yang efektif, kehadiran masyarakat
ekonomi yang juga kondusif dan taatnya aturan terhadap hukum secara
bersama-sama.[2]
Kehadiran civil society yang dijamin
kebebasannya juga menopang bagi keberlangsungan partai politik, terutama untuk
menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Tugas civil society adalah menghasilkan
gagasan-gagasan yang konstruktif dalam pembangunan dan juga memonitor aparat
negara serta kelompok-kelompok ekonomi. Sementara itu, tugas partai politik
adalah menghasilkan dan membentuk konstitusi dan aturan-aturan
perundang-undangan, mengontrol aparat birokrasi dan juga menghasilkan
produkproduk kerangka kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok ekonomi.
Khusus mengenai pembahasan tentang Muhammadiyah
seperti pada makalah ini, dapat pula dikategorikan sebagai gerakan sosial—termasuk
gerakan keagamaan di dalamnya—atau disebut pula dengan gerakan sosial keagamaan
yang sering juga dikenal dengan gerakan revitalisasi dan gerakan milenari.
Gerakan revitalisasi adalah gerakan keagamaan yang berupaya untuk menciptakan
eksistensi yang baru atau disebut direvitalisasi yang dipandang tapat untuk
kondisi saat ini. Gerakan milenari, yaitu suatu gerakan keagamaan untuk mengantisipasi
tibanya suatu masa seribu tahun (millenium), suatu masa yang diyakini penuh
kedamaian, harmonis dan makmur dengan hadirnya pemimpin kharismatik yang
dipandang mesias (ratu adil)[3]
.Di lain pihak, gerakan keagamaan tersebut bisa mengembangkan relasi sosial
yang bersifat komunal, dalam arti lebih mengedepankan hubungan yang bersifat
afektual, atau melibatkan hubungan timbal-balik yang akrab, dan secara
bersama-sama oleh kebiasaan dan kearifan lokal. Gerakan keagamaan tersebut bisa
pula mengembangkan relasi sosial yang bersifat asosiasional, atau lebih
mengedepankan hubungan yang bersifat impersonal dalam bingkai ideologi politik
tertentu yang dianggap sesuai dengan wahyu atau firman Tuhan.
BAB
2
MUHAMMADIYAH
DALAM PARTISIPASI DAN KETERBUKAAN POLITIK
“Hidup-hiduplah
Muhammadiyah dan Tidak mencari penghidupan dalam Muhammadiyah”
(KH.
Ahmad Dahlan)
2.1 Sekilas
Tentang Hubungan Muhammadiyah dan Politik
Sebelum
menjelaskan tentang peran Muhammadiyah dalam membuka kesempatan partisipasi dan
keterbukaan politik saat ini, perlu dijelaskan tentang bagaimana posisi
Muhammadiyah dalam politik dan proses historis yang dialaminya—di masa
pendirian dan kiprahnya pada fase-fase penting politik Indonesia—yang
melatarbelakangi sikap organisasi sampai saat ini agar tidak terjadi salah
tafsir dalam pembahasan pascareformasi. Melalui wawancara yang Penulis lakukan
terhadap nara sumber, didapatkan informasi bahwa sejak didirikan pada tahun
1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan di Jogjakarta, Muhammadiyah memang tidak memiliki
orientasi langsung kepada politik praktis. Sebab visi yang diusung cukup jelas,
yaitu ‘amar ma’ruf nahi munkar’ yang tidak berfokus pada satu bidang
pembangunan saja, namun justru politik itu pun masuk dalam bagian jargon
‘sakral’ Muhammadiyah tersebut, atau dalam kata lain politik Muhammadiyah
adalah amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri.[4]
Bagi K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi tidak akan
membatasi dirinya pada satu skup
permasalahan saja, sebab yang dimaksud dengan ‘amal ma’ruf nahi munkar’ adalah
seluruh sisi kehidupan dari mulai kesejateraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
bahkan hingga politik itu sendiri. Sangat kompleks cakupannya. Kalaupun ada
persoalan politik yang diperhatikan secara praktis, maksudnya adalah bukan
rekomendasi langsung dari Muhammadiyah sebagai organisasi, tapi lebih kepada
memberikan kebebasan para keder dan simpatisan untuk berperan aktif dalam
politik selagi tidak mengatasnamakan organisasi Muhammadiyah.[5]
Dalam sejarahnya tercatat bahwa Muhammadiyah lahir
pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta dengan pendiri K.H. Ahmad Dahlan. Dalam
beberapa buku rujukan yang menjadi sumber studi pustaka bagi penulis didapatkan
bahwa tujuan organisasi ini sebenarnya adalah menyebarkan pengajaran Kanjeng
Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra dan memajukan agama Islam terhadap
para anggota. Agar tujuan tersebut tercapai, organisasi itu bermaksud
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat tabligh yang akan
membicarakan permasalahan Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid, serta
menerbitkan buku-buku, surat-surat kabar, dan majalah-majalah[6].
Sedangkan pemberian nama Muhammadiyah itu sendiri oleh K.H. Ahmad Dahlan memiliki
harapan bahwa kelak warga Muhammadiyah dapat meneladani dan mengikuti Nabi
Muhammad SAW dalam segala tindakannya. Maka Organisasi Muhammadiyah ini
merupakan alat atau wadah dalam usaha melancarkan kegiatan sesuai tujuan
tersebut.[7]
Berdirinya Muhammadiyah di tengah konstelasi
perjuangan merebut kemerdekaan, memaksa secara tidak langsung kepada
Muhammadiyah untuk tidak hanya memikirkan tujuan-tujn organiasai yang bersifat
sosial keagamaaan, namun juga mulai melebarkan sayap kegiatan organisasinya ke
dalam dunia politik. Sebab selain karena faktor sosio-historis tersebut, Muhammadiyah
juga meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah
satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat)
yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur
agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif
dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk
tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meskipun dalam amanat pendirian Muhammadiyah oleh
K.H Ahmad Dahlan dikatakan bahwa organisasi ini tidaklah berafiliasi dan tidak
mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau
organisasi manapun, pada praktiknya banyak kader-kader dan anggota Muhammadiyah
yang tergabung dalam partai maupun kegiatan politik lainnya. Seperti contohnya
adalah K.H Ahmad Dahlan sendiri yang tergabung dalam aktifitas Serikiat Islam
dan banyak kader serta pemimpin Muhammadiyah lainnya yang menjabat sebagai
petinggi Masyumi dan Parmusi.[8]
Fenomena seperti ini—kader dan anggota yang berpolitik—oleh Muhammadiyah dipandang
sebagai sebuah sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan
fungsi kritik sesuai dengan prinsip “amar ma'ruf nahi munkar” demi tegaknya
sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
Sehingga kemudian, tidaklah menjadi suatu yang
mengherankan jika Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota maupun
kadernya untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati
nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan
tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan
kritis, sejalan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi.
Di masa orde baru dan setelah dilaksanakannya Muktamar Muhammadiyah ke-38, maka
semakin tegaslah bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal
dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan
organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik
atau organisasi apapun (kembali kepada khittah yang digarisan sejak awal oleh
K.H Ahmad Dahlan). Meski begitu, keputusan muktamar ini tidaklah lantas membuar
Muhamamdiyah menjadi ormas Islam yang kaku, sebab pada dasarnya setiap anggota
Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki
organisasi lain.
2.2 Muhammadiyah
PascaReformasi
Partisipasi dan keterbukaan Muhammadiyah terhadap
Politik di masa orde baru—di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi
(pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan
politik yang otoriter—bisa dibilang cukup menonjol. Banyak fakta-fakta yag
menunjukan dan mendukung pernyataan tersebut, salah satunya dengan lahirnya
strategi korporatisme negara orde baru yang menyederhanakan jumlah partai
politik pada tahun 1973, membuat ormas Islam yang ada pada saat
itu—Muhammadiyah dan NU sebagai yang terbesar—begitu kentara keterlibatannya
dalam praktik pemerintahan dan politik. Fakta ini didukung juga oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Mitsuo Nakamura yang mengangkat permasalahan
pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta. Telah didapatkan kesimpulan
bahwa pada masa itu Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan yang mempunyai banyak
wajah dalam melaksanakan aktifitasnya (ekonomi, sosial, bahkan hingga politik).[9]
Reformasi 1998 memang
membuahkan hasil yang paling dibutuhkan masyarakat Indonesia. Yaitu kebebasan
politik. Dalam kebebasan ini, masyarakat bebas mengartikulasikan hak-hak
sosial-politiknya. Baik melalui jalur politik formal (partai politik), maupun
gerakan sosial. Kekuatan organisasi masyarakat seperti
ormas, LSM ataupun organisasi yang sejenis juga meningkat jumlahnya secara
drastis bila dibandingkan dengan masa Orde Baru[10].
Sehingga tidak mengherankan jika tumbuh dan kembangnya civil society setelah Orde Baru runtuh menimbulkan sebuah harapan
baru yakni munculnya sebuah kekuatan yang penting dalam mendorong gerakan
pembaharuan politik di Indonesia dan pada saat yang bersamaan, struktur politik
yang lebih terbuka dan memberi kesempatan yang lebih luas adalah keuntungan
yang dimanfaatkan oleh kelompok civil
society di Indonesia.
Lalu
bagaimana dengan muhammadiyah di era reformasi? Meski di awal reformasi sempat
lahir dua partai politik—PAN[11]
dan PMB—yang diinisiatori oleh para kader Muhammadiyah, dalam perjalanan waktu
selanjutnya seperti pada gelaran dua pemilu terkahir, peran Muhammadiyah dalam
politik praktis tidaklah terlalu nampak seperti pada pemilu 1999. Amien
Rais—seperti dikutip perkataannya oleh informan—menjelaskan tentang prinsip
politik Muhammadiyah dengan istilah ‘hight politics’ atau politik tinggi atau
bisa juga politik kebijaksanaan.[12]
Hal ini dimaksudkan bahwa pada saat Muhammadiyah berhadapan dengan negara,
Muhammadiyah memposisikan diri sebagai pemberi masukan dan penasihat pemerintah
dalam menjalankan pemerintahannya. Sebab dalam pandangan Muhammadiyah,
berpolitik itu tidak dimaknai hanya dengan keterlibatan secara praktis, namun
juga bisa sebagai pemberi pandangan, solusi, kritik, dan turut mendukung
pemberdayaan masyarakat. Namun satu hal yang perlu diakui terkait peran
Muhammadiyah dalam kehidupan berpolitik jika membandingkan antara sebelum dan
sesudah reformasi adalah posisi Muhammadiyah yang semakin longgar ketika
berhadapan dengan pemerinrah, setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir pascareformasi.
Padahal jika kita mengamati peran politik
Muhammadiyah pada masa orde baru, tepatnya periode 1985-1998—masa saling
akomodasi umat Islam pada umumnya dengan pemerintah—dan periode 1998 yang saat
itu pergulatan antara Muhammadiyah sebagai sebuah civil society dengan politik (negara) sangatlah kental apalagi
ketika ada kader Muhammadiyah yang terjun dalam dunia politik dengan mendirikan
partai.[13]
Hubungan keduanya ini ditandai dengan—Muhammadiyah dan pemerintah—masih banyak
orang-orang Muhammadiyah yang duduk di parlemen maupun pemerintahan. Sehingga
apa yang terlihat pada masa reformasi ini bukan dimaknai bahwa Muhammadiyah
tidak lagi berperan dalam politik dan demokrasi, namun lebih kepada maksud yang
menjelaskan bahwa hubungan Muhammadiyah saat ini lebih dekat kepada masyarakat
daripada negara atau pemerintahan.
Fenomena Islam politik dan ormas Islam yang banyak
lahir pascareformasi memberikan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah yang
telah ada jauh sebelum bangsa ini merdeka. Radikalisme yang sempat mencuat di
awal tahun 2000an dengan tragedi yang terkenal saat itu, peristiwa 11
September, sempat menyudutkan kelompok-kelompok Islam di tanah air, tidak
terkecuali Muhammadiyah. Namun karena orientasi politik struktural dan kulturalnya
yang baik, setidaknya Muhammadiyah tetap eksis sebagai ormas Islam yang cukup
berpengaruh di Indonesia. Menurut
Munir Mulkhan, keberhasilan itu tidak terlepas dari peran Muhammadiyah dalam mengembangkan
keterbukaan, menghargai perbedaan, toleransi dan semacamnya kepada para
anggotanya melalui berbagai macam aktivitas atau forum seperti pengajian,
training, dan pertemuan pengurus-anggota di berbagai tingkatan (Muktamar,
Musyawarah Wilayah, Musyawarah Daerah, Cabang dan Musyawarah Ranting). Lebih
lanjut lagi, beberapa organisasi otonom Muhammadiyah seperti Aisyiah, Nasyiatul
Aisyiah dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah terlibat langsung dalam
penyelenggaraan demokrasi dalam pengertian partisipasi masyrakat dalam politik
formal, misalnya pendidikan untuk pemilih, monitoring pemungutan suara, pendidikan
anti korupsi dan pengembangan sensitifitas gender.
Peran dan posisi
keterbukaan Muhammadiyah terhadap politik ini rupanya dibingkai
oleh Khittah Ujung Pandang tahun 1971 dan Khittah Denpasar tahun 2002.[14]
Sejak saat itu Muhammadiyah secara proaktif menjalankan peran dalam pemberantasan
korupsi, penegakan supremasi hukum, memasyarakatkan etika berpolitik, pengembangan
sumberdaya manusia, penyelamatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, memperkokoh
integrasi nasional, membangun karakter dan moral bangsa, serta pembinaan atau
pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat
mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat
masyarakat dan negara.
Peran dan sikap politik Muhammadiyah seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya secara tidak langsung menyiratkan kepada kita bahwa
ormas Islam yang identik dengan Islam modern ini adalah salah satu contoh civil society yang tidak biasa
(unusual). Pertama, Semenjak pascareformasi, ‘ketidakbiasaan” ini ditunjukan dari
keterlibatan yang bersifat ekstra parlementer dimana peran civil society menjadi kelompok kritis terhadap lembaga-lembaga
pemerintah hingga menjadi bagian dari parlementer, meski jumlahnya belum
terlalu signifikan.[15]
Paling tidak ada perubahan yang lebih terlihat dalam bentuk perkawinan yang
masih bersifat personal, bukan kelembaagaan. Kedua, Muhammadiyah sebagai organisasi yang semi korporatis
terhadap negara, dimana kelompok ini memiliki independensi dalam ide dan
gagasannya namun dapat berkompromi terhadap kebijakan negara agar mereka dapat
bertahan hidup serta memiliki suara dalam lembaga legislatif atau eksekutif.[16].
2.3
Keterbukaan
dan Partisipasi Politik Muhammadiyah saat ini
Berdasarkan
hasil wawancara penulis dengan informan, sebenarnya dapat disimpulkan apa yang
dilakukan oleh Muhammadiyah saat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah
digariskan dan dilakukan sejak awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912 oleh K.H.
Ahmad Dahlan. Pascareformasi Muhammadiyah terus dan tetap konsisten dengan
fokus pengembangan dan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan,
dan ekonomi. Sejak lama Muhammadiyah terkenal sebagai organisasi masa Islam
yang paling concern terhadap bidang
pendidikan di Indonesia. Muhammadiyah memiliki sarana pendidikan dari mulai
jenjang Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi dan tidak terkecuali
pesantren-pesantren seperti yang dilakukan secara khusus oleh Nahdlatul ulama
(NU). Di bidang kesehatan melalui berbagai rumah sakit yang didirikan, menjadi
salah satu bukti keterlibatan partisipasi langsung organsasi ini di dalam
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun
selain dua bidang tersebut—pendidikan dan kesehatan—, ada satu bidang perhatian
lagi yang juga sangat penting dan mendapatkan perhatian luas, yaitu
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Menurut informan yang berhasil diwawancarai,
akar permasalahan bangsa saat ini adalah permasalahan ekonomi dan pendidikan
masyarakatnya yang menjadikan adanya turunan kerusakan-keruasakan moral lain
seperti korupsi, keterbelakangan, bahkan perilaku buruk elit politik dan
aparatur negara. Karena kemiskinan, orang mencari jalan pintas memperoleh kekayaan
dengan cara tidak halal, dan karena kebobrokan moral dan akal mereka yang sudah
terbilang mampu masih saja mengakumulasi kekayaan dengan cara-cara curang dan
tidak memeperhatikan persoalan kesenjangan sosial yang ditimbulkan. Seperti
perkataan K.H. Ahmad Dahlan bahwa karena kemiskinanlah masyarakat menjadi tidak
terdidik dan kesehatannya buruk. Maka sebagai bentuk nyata pemberdayaan bidang
ekonomi oleh Muhamamdiyah adalah dengan dibentuknya Baitul Mal Wa Tanwil yang bergerak dibidang pengumpulan dana dari
masyarakat untuk dipergunakan dalam program pemberdayaan ekonomi dan peluang
usaha, dan Lazismu semacam lembaga
amal zakat. Inilah upaya dan partisipasi politik Muhammadiyah, dengan semangat
konsolidasi demokrasi yang hendak dicapai bangsa ini, Muhamamdiyah tampil dan
mengambil peran besar dalam menciptakan masyarakat yang berdaya guna, terbuka
secara pemikiran, dan siap menghadapi persaingan dengan kemampuan ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan (3 hal yang menjadi parameter Human Development Index). Hingga diharapkan dengan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat semacam ini dapat melahirkan orang-orang yang siap
terjun dalam politik, mengambil peran penting dalam era keterbukaan, dan
partisipasi masyarakat semakin meningkat karena adannya kemampuan daya saing
yang cukup.
Dengan
melihat kembali penjelasan di awal sub-bab ini, maka dapat kita pahami arah
politik Muhammadiyah sepeti apa dan bukan arah politik seperti pada umumnya
organisasi politik. Kedekatan yang lebih besar kepada masyarakat daripada
negara bisa dilihat dari fokus Muhamamdiyah yang tinggi dalam bidang
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Inilah sikap politik Muhammadiyah ketika
memposisikan diri terhadap negara seperti dijelaskan sebelumnya. Organisasi ini
aktif dalam skup horizontal—dan
posisi non praktis—yang jarang atau tidak tersentuh sama sekali oleh negara
seperti yang dilakukan oleh informan dalam jabatan strukturalnya sebagai kepala
Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR).
Sebagai
salah satu ormas Islam terbesar dan cukup berpengaruh di Indonesia, bagaimana
dengan pandangan politik Islamnya saat ini?. Bagi Muhammadiyah, di era
reformasi dengan tema-tema kerterbukaan dan kebebasan berpolitiknya, tidak
menjadikan Muhamamdiyah khawatir dengan semakin banyak bermuculannya
ormas-ormas Islam baru yang memiliki latar dan tujuan berbeda. Selama ormas
Islam yang bermunculan itu sejalan dan sama-sama berlandaskan AL-Quran dan
Sunah, maka Muhamadiyah akan sama-sama mendukung dan menjadi mitra dalam
perjuangan politik menegakan nilai-nilai Islam. Sebab, untuk pillihan partai
politik bagi kader dan simpatisannya pun Muhamamdiah tidak pernah membatasi
apalagi menghalangi pilihan akan partai politik manapun.[17]
Namun sikap tegas juga ditunjukan ketika ada ormas-ormas yag menyimpang dari
ajaran Al-Quran dan Sunah, selama itu tidak bisa dikompromikan maka
Muhammadiyah akan tegas seperti penenatangannya kepada Ahmadiyah sejak dahulu.
Maka dapat dipahami bahwa pandangan politik Islam Muhamamdiyah adalah pandangan
yang moderat dan mendasarkan pandangannya tersebut kepada Al-Quran dan Sunah.
Tidak semata untuk memperjuangkan syariat Islam sebagai tujuan utama, namun
bagaimana Islam dapat dipraktikkan dalam segala aspek kehidupan dan zaman.
Maka
setelah memperhatikan hasil wawancara dengan informan—Bapak Mahmuddin
Sudin—yang juga dosen Agama Islam di Universitas Indonesia, dan menganalsisinya
dengan berbagai studi literatur yang lain, Penulis mendapatkan sebuah pemahaman
dan temuan baru bahwa dalam peran dan posisinya di tengah upaya kebebasan dan
partisipasi politik pascarefomasi, meski tidak seketat di masa orde baru—ketika
berhadapan dengan pemerintah—, Muhammadiyah tidaklah kehilangan identitas dan
konsistesi pada arah politiknya yang sudah digariskan sejak awal. Melalui
berbagai organissi yang berada di dalam naungannya, dari mulai bidang
kepemudaan, perempuan, pendidikan dan bidang-bidang kehidupan lainnya
menjadikan Muhamamdiyah kuat secara struktur dan kultur, proses kaderisasi
menjadi lebih baik dan Islam tetap kompatebel dengan konsep-konsep yang diinginkan
dalam fase konsolidasi demokrasi. Muhammadiyah juga cenderung terhindar dari
perseteruan kepentingan dan politik, juga tetap bisa menjalankan
program-programn nyatanya dalam pemberdayaan masyarakat. Inilah sikap moderat
Muhammadiyah yang membuat usianya tidak lekang tua, namun senantiasa ada
penyegaran baru sebagai sebuah ormas Islam, adaptasi, dan penerimaan yang baik
di tengah masyarakat yang semakin modern, terbuka, dan dinamis.
BAB 3
KESIMPULAN
Peran yang diambil Muhammadiyah dalam politik dan pemerintahan
Indonesia sejak awal masa kemerdekaan hingga reformasi sekarang ini setidaknya
semakin mengukuhkan posisinya sebagai salah satu ormas Islam terbesar di
Indonesia dan dunia yang cukup berpengaruh meski secara khittahnya bukanlah
sebuah organiasi politik. Sebagai sebuah civil
society dan gerakan sosial Muahmmadiyah dianggap berjasa dalam mendukung
aktifitas partisipasi dan keterbukaan politik, tidak hanya di masa demokratisasi
seperti sekarang ini, namun juga sejak masa orde baru yang dijalankannya secara
konsisten. Hal ini bisa diamati dari sisi kelembagaannya. Muhammadiyah memberi
kebebasan kepada kader maupun simpatisannya untuk berpolitik, sepanjang mampu
mengemban misi “amar makruf nahi mungkar”, sehingga ekses-ekses negatif dapat
dieliminasi dan tetap menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tidak
berpolitik. Maka tidak heran jika sikap moderat dan keterbukaan Muhammadiyah
terhadap politik membuat eksistensinya begitu kuat hingga saat ini.
Di masa reformasi ini, potensi besar Muhammadiyah
dikembangkan ke arah yang lebih bersifat pemberdayaan masyarakat dengan
melakukan pendidikan politik dan penyadaran politik masyarakat, meski juga
banyak aktivis organisasi Muhammadiyah yang menjadi pengurus partai politik
baik di PAN, PMB, PBB, dan Partai Golkar atau mencalonkan diri menjadi Caleg seperti
pada Pemilu 2004 dan 2009. Maka jika kemudian ada anggapan atau kesan
meredupnya peran Muhammadiyah dalam politik, mungkin bisa dimengerti karena pilihan
kepada sikap politiknya, yaitu hight
politics. Bagi organisasi ini, high
politics merupakan juga salah satu bentuk dari aktivitas politik
yang dilandasi oleh idelisme yang tinggi. High politic tidak
diarahkan pada pemenuhan hasrat konsumerisme, untuk hidup mewah lewat
jalur politik, tetapi high politic diorientasikan bagi adanya upaya
transformasi sosial, layaknya filsafat politik garam.
Dengan fokus pada pendekatan horizontal terhadap
masyarakat di banyak bidang—sekaligus mengamalkan konsep Amal Ma’ruf Nahi
Munkar—, Muhammadiyah efektif dalam mendukung keterbukaan politik masyarakat
dengan uapaya pemberdayaan-pemberdayaan pendidikan, kesehatan, dan ekonominya
yang memungkinkan keterbukaan pemikiran-pemikiran dan kempuan masyarakatnya
untuk turut andil dalam aktifitas pembangunan negara. Dalam hal partisipasi
politik juga demikian. Sikap Muhammadiyah yang tidak pernah mengamanatkan para
kader dan simpatisannya untuk berpolitik aktif namun juga tidak melarang kader
dan simpatisannya untuk aktif dan berafiliasi dalam politik praktis, telah
mendorong iklim politik yang sehat di dalam tubuh organisasi.
Daftar Pustaka
Ali, As’ad Said. 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi:
Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjuan Ideologis. Jakarta: LP3ES
Asyari, Suaidi. 2009. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah; Over Crossing
Jawa Sentri. Yogyakarta: LKiS.
Darban, Adaby
Ahmad, dan Mustafa Kemal Pasha. 2000. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam;
dalam perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Giddens, Antoni.
1993. Sociology. Combridge: Polity
Press.
Linz, Juan dan
Alfred Stepan. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation:
Southern Europe, South America and Post-Communist Europe. Baltimore:
The John Hopkins University Press.
Noer, Deliar.
1987. Partai Islam Di Pentas
Nasional 1945-1965. Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti.
__________,
1995. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES.
Sumber lain:
Perdana, Aditya.
2009. Civil Society dan Partai Politik
dalam Demokratisasi di Indonesia. Makalah ini disampaikan pada Seminar
Internasional ke-10 “Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif
2009”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga – Jawa Tengah, pada
tanggal 28 – 30 Juli 2009
Tuhuleley, Said.
2008. Muhammadiya dan Politik: Catatan Kecil tentang Perjalanan
Politik Warga Muhammadiyah. Disampaikan
pada Kajian Tematik III yang diselenggarakan Lembaga Pustaka dan Informasi PP
Muhammadiyah, Kampus UM Magelang.
Makalah tidak diterbitkan.
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-46 Tentang Revitalisasi Kader dan Anggota Muhammadiyah.
Wawancara
dengan Bapak Mahmuddin Sudin, M.Ag, salah seorang tokoh Muhammadiyah di Kota
Depok yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
Muhammadiyah Depok (Senin, 9 April 2012, pukul 13.30 di Masjid Agung Almuhajrin
Depok).
[1] Suaidi Asyari, Nalar Politik NU dan Muhammadiyah; Over Crossing Jawa
Sentris, 2009, Yogyakarta: LKiS
[2] Linz dan Stepan
menyebutkan partai politik sebagai masyarakat politik. Untuk mengkaji persoalan
ini lebih mendalam bisa dilihat pada Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems
of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America and Post-Communist
Europe, 1996, Baltimore, The John Hopkins University Press. Hlm 7-8.
[3] Antoni Giddens, Sociology, 1993, Combridge: Polity Press.
Hlm 643.
[4] Wawancara
Penulis dengan Bapak Mahmuddin Sudin, M.Ag, salah seorang tokoh Muhammadiyah di
Kota Depok yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
Muhammadiyah Depok (Senin, 9 April 2012, pukul 13.30 di Masjid Agung Almuhajrin
Depok).
[5] Lihat kembali ketika di awal masa reformasi Amien Rais
mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat menjadi ketua umum
Partai Amanat Nasional (PAN) dan neminta restu kepada warga Muhammadiyah untuk
mendirikan partai politik, bukan meminta restu kepada Muhammadiyah secara
organisasi.
[6] Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900 – 1942, 1995, Jakarta: LP3ES.
[7] Rumusan tujuan ini stidaknya mulai rampung sejak
Hindia Belanda mengeluarkan Besluit No. 18 yang bertanggal 22 Agustus 1914
sebagai pengakuan secara legal atas berdirinya Muhammadiyah dengan wilayah
operasionalnya terbatas pada residentsi Yogyakart. Lihat Ahmad Adaby Darban dan Mustafa Kemal
Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam; dalam perspektif Historis dan Ideologis,
2000, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. Hlm 43
[8] Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, 1987, Jakarta: Grafitipers
[9] Penjelasan lain
juga ditunjukan oleh penelitian-penelitian dari sejumlah ilmuan tanah air
diantaranya Alwi Shihab mengenai perkembangan Muhammadiyah yang ternyata merupakan
respons atas penetrasi misionaris Kristen, bukan semata-mata karena faktor
pengaruh Timur Tengah atau tantangan sinkretisme. Sedangkan menurut Alfian, Muhammadiyah
berperan sebagai pembaru pendidikan, sebagai agen perubahan sosial, dan juga sebagai
kekuatan politik.
[10] Jumlah LSM
ataupun organisasi kemasyarakatan tidak pernah jelas pada masa awal reformasi.
Kalaupun ada terdapat peningkatan jumlah Ornop sekitar 12.000 di antara tengah
tahun 1990-an. Dari sejumlah itu, hanya sekitar 10-20 persen yang bisa
dikonfirmasi datanya. Lihat Yumiko Sakai, Indonesia
Flexible NGOs vs Inconsistent State Control dalam Shinichi Shigetomi (ed), The
State and NGOs, perspective from Asia, 2002, Singapore: ISEAS. hal.165.
[11] Menyambut pemilihan umum 1999, Amien Rais,
pemimpin umum Muhamnmadiyah (1995-2000) mendirikan PAN (Partai Amanat Nasional)
yang pada saat itu tumbuh dan berkembangnya PAN tidak bisa dilepaskan
dari peran Muhammadiyah.
[12] Wawancara, 9 April 2012.
[13] Menurut Syarifuddin
Jurdi dalam Muhammadiyah Dalam Dinamika
Politik Indonesia 1966-2006 (studi ini dilakukan untuk mencari respon dan
peran Muhammadiyah dalam dinamika politik tahun 1966-2006. Selain partai
politik, ada juga kader-kader Muhammadiyah yang berkecipung di bidang politik
yang lain seperti pencalonan Irman Gusman sebagai anggota DPD dari Sumatera
Barat serta pencalonan Jeffri Geovani dan Dasman Lanin sebagai pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat pada Pilkada 2005.
[14] Pada masa reformasi, Muhammadiyah
memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu dengan melakukan
revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta aktivitas da‘wahnya.
[15] Salah satu
faktor lain yang menjadi alasan Penulis untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah
adalah organisasi unusual adalah pada
saat friksi di dalam organisasi mulai bermunculan. Diantara yang cukup diingat
adalah ketika informan yang Penulis wawancarai mengatakan bahwa kelompok muda
Muhammadiyah yang merasa kecewa berinisiatif untuk membentuk partai politik
baru, Partai Matahari Bnagsa (PMB). Meskipun begitu friksi-friksi yang ada
lebih kepada perbedaan cara pandang dan inisiatif para kader dan simpatisan
Muhammadiyah saja, bukan karena kecewa terhadap kebijakan organisasi.
[16] Aditya Perdana,
Civil Society dan Partai Politik dalam
Demokratisasi di Indonesia, Makalah ini disampaikan pada Seminar
Internasional ke-10 “Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif
2009”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga – Jawa Tengah, pada tanggal
28 – 30 Juli 2009
[17]As’ad
memprediksi terjadinya benturan antara gerakan Islam radikal dan Islam
mainstream. Hal ini perlu diwaspadai sebab gerakan Islam radikal ini telah
menggerogoti basis massa gerakan Islam mainstream. Basis Muhammadiyah di
perkotaan misalnya, telah digerogoti oleh jama’ah Ihkwan dan Hizbut Tahrir,
Jama’ah Tabligh mengerogoti konstituen NU di perkotaan, gerakan salafi berusaha
mengambil jama’ah NU puritan dengan pendekatan pesantren. Lihat As’ad
Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik
dalam Tinjuan Ideologis, 2012, Jakarta: LP3ES.
0 Response to "Muhammadiyah dalam Partisipasi dan Keterbukaan Politik Pascareformasi"
Posting Komentar