Bisnis dan Politik di Indonesia: Sebuah Tinjauan Pendahuluan
Belakangan
ini terdapat sebuah perdebatan menarik di kalangan pengamat politik mengenai
persoalan antara koalisi dan kolusi pengusaha-penguasa. Sebuah debat yang
mempertanyakan apakah hubungan erat pengusaha dan penguasa—politik dan
bisnis—adalah interaksi yang lumrah atau sebenarnya justru melemahkan pondasi
demokrasi yang sedang dibangun di Indonesia—beranjak pada tahap konsolidasi
demokrasi. Sebenarnya, di banyak negara di Eropa dan Amerika Seerikat sekalipun,
hubungan antara penguasa (politisi) dengan pemilik modal (pengusaha) sangat
umum terjadi. Hubungan ini biasanya terkait dengan masalah finansial atau
pendanaan salah seorang calon saat kampanye. Namun persoalan datang justru
pascakampanye tersebut. Ada semacam ‘jebakan balas jasa’ bagi pemodal atau
pengusaha yang sebelumnya mendanai kampanye kepala daerah terpilih berupa
keleluasaan melaksanakan bisnis dan proyek-proyek yang berhubungan dengan
kendaraan modalnya (perusahaan). Inilah sebuah simbiosis mutualisme yang sangat
mengkhawatirkan dan menjadi bahan perdebatan seperti yang penulis jelaskan
sebelumnya. Ingatlah bagaimana para spekulan ekonomi di Amerika Serikat (Hedge Fund) telah telah mempengaruhi
pemilihan umum di sana begitu jauh. Sebab kebanyakan dari motif hedge fund adalah mengusahakan agar tidak
terjadi—kebijakan—kenaikan pajak atas kekayaan mereka
Indonesia
sebagai sebuah negara yang telah lama merdeka juga diselimuti oleh banyak
pengalaman mengenai hubungan antara penguasa dan pengusaha. Pengalaman sejak tahun 1960an—era demokrasi
terpimpin—menyisahkan trauma yang mendalam bagi perekonomian negara setidaknya
begitu yang dipersepsikan oleh rezim setelahnya, orde baru. Tingkat inflasi yang
tinggi hingga 650% menjadi salah satu alasan Soeharto mengedepankan pembangunan
ekonomi daripada politik di masa-masa awal pemerintahannya. Orde baru memang
salah satu contoh analisis yang kompleks mengenai hubungan bisnia dan politik.
Bukti awalnya adalah ketika UU pertama yang dibuat justru mengenai Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Hal ini
mengindikasikan secara kuat bahwa kekuasaan politik saja tidak cukup untuk
membangun negara, tapi perlu adanya sokongan modal yang besar dalam rangka
membiayai pembangunan.
Di
era ini juga pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mengalami kejayaannya ketika
berhasil secara konsisten menyentuh besaran
4,5%. Dengan mengusung semangat pembangunan ‘kapitalis’, negara orde
baru perlahan membangun jaringan bisnisnya melalui kroni-kroni dan rekan bisnis
yang utamanya berasal dari kelompok pengusaha keturunan China. Meski di dalam negeri lebih sering disebut
dengan istilah pembangunan demokrasi Pancasila—daripada pembangunan kapitalis—,
pada tahun 1980an justru negara orde baru perlahan turut menerapkan ‘penyesuaian
struktural’ yang diusung oleh lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF
dan World Bank. Orde baru memang sebuah rezim yang unik, meski Indonesia dijalankan
melalui mekanisme otoritarianisme—kontrol yang kuat terhadap masyarkat dan
pembatasan aktifitas politik masyarakatnya—sejak akhir tahun 1960an, namun
negara tidak benar-benar ‘kuat’ dalam segala aspek, khsususnya ketika
berhadapan dengan modal investasi dalam rangka menjalankan pembangunan. Pembangunan
yang rupanya didanai oleh sebagian besar hutang luar negeri talah membuat
Indonesia bergantung dan mudah didikte oleh negara atau lembaga-lembaga donor
tersebut. Di Dalam negeri pun begitu, pengusaha keturunan memiliki tempat istimewa
dalam bisnis-bisnis negara selain bisnis yang dijalankan secara nepotisme oleh
keluarga Cendana sendiri.
Ciri
unik lainnya yang turut memberikan gambaran tentang bisnis dan politik di
Indonesia kala itu adalah bahwa meski roda perekonomian dijalankan melalui
industrialiasi dan modernisasi, faktor-faktor tradisional seperti
primordialisme sangat kental mewarnai jalannya pemerintahan dan aktifitas
bisnis di dalam negeri. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, faktor primordialisme
dan nepotisme keluaraga Cendana menjadi salah satu yang nampak. Anak-anak dari
Soeharto menguasai banyak sektor bisnis dalam negeri dan menjadi sangat
berkuasa. Pengusaha-pengusaha berlomba-lomba untuk mendekat ke Istana, dan
hubungan patron-client menjadi
sesuatu yang lumrah dalam rangka mendapatkan sumber daya ekonomi. Fenomena inilah
yang belakangan dinamai sebagai sebuah rezim otoritarianisme korporatis atau
negara korporatisme. Di satu sisi negara melalui jejaring dan kotrolnya yang
kuat berhasil menarik perwakilan kelompok-kelompok bisnis di masyarakat, namun
di sisi yang lain pengusaha-penguasaha yang ada memang berusaha juga untuk
mendekat kepada negara.
Jaringan
dan hubungan patrimordial rupanya turut mendukung kerapuhan struktur ekonomi
yang ada dan dampaknya mulai terlihat di penghujung tahun 1990an ketika terjadi
krisis ekonomi yang secara bersamaan juga menumbangkan pemerintahan Soeharto
yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun. Banyak para pengamat ekonomi menilai
bahwa nepotisme keluarga Cendana dan kroni-kroni Soeharto pada saat itu telah
membuat kesenjangan sosial dan kemiskinan meningkat. Praktik korupsi dan hutang
negara yang kian membengkak membuat rakyat harus menanggung penderitaan yang
akhirnya membuat mereka juga juga turut bersama mahasiswa berusaha menmbangkan
rezim otoriter tersebut pada pristiwa Mei 1998.
Gambaran
bisnis dan politik dalam dominasi dan negara kuat orde baru tidak hanya
memberikan implikasi seperti yang dijelaskan di atas saja. Persoalan lain yang
dihasilkan diantaranya mengenai dikotomi dan kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah atau lebih dikenal dengan istilah pembangunan yang
Jawa-sentris. Kebangkitan privatisasi tahun 1980an—swasembada pangan dan
sebelumnya ada peristiwa oil boom—rupanya
tidak serta membeuat kita berasumsi bahwa fenomena bisnis dan politik di
Indonesia adalah sebuah hubungan yang baik-baik saja. Negara intervensionis
orde baru telah membuat kontrol partisipasi politik dalam banyak aspek secara
sistemik dalam rangka meredam kemungkinan munculnya aksi-aksi kolektif, hal ini
juga dalam rangka melindungi para pengusaha dan upaya negara menciptakan iklim
yang kondusif bagi aktifitas bisnis. Dan hal yang paling ditakutkan dari
penjelasan ini adalah, lahirnya penguasa-penguasa yang justru melindungi para
pengusaha secara hukum dan politik.
Selamat hari
Apakah Anda memerlukan pinjaman mendesak untuk menyelesaikan kebutuhan finansial Anda, Kami Menawarkan Pinjaman mulai dari (($ 5.000,00 sampai $ 20.000.000,00)) Max, kami dapat diandalkan, efisien, cepat dan dinamis, dengan 100% Guaranteed Kami juga memberikan pinjaman dalam (Euro, Pounds Dan Dolar.) Tingkat suku bunga yang berlaku untuk semua pinjaman berada pada tingkat rendah jika Anda dapat tertarik untuk kembali kepada kami melalui (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
DATA APLIKASI
1) Nama lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Negara:
5) Jenis Kelamin:
6) Status perkawinan:
7) Pekerjaan:
8) Nomor Telepon:
9) Pendapatan bulanan:
10) Jumlah pinjaman:
11) Durasi Pinjaman:
12) Tujuan pinjaman:
13) Agama:
14) Umur:
Kesopanan
Ibu Iskanda Lestari, Chief Executive Officer,
Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
Tertanda
Pengelolaan.
Selamat hari
Apakah Anda memerlukan pinjaman mendesak untuk menyelesaikan kebutuhan finansial Anda, Kami Menawarkan Pinjaman mulai dari (($ 5.000,00 sampai $ 20.000.000,00)) Max, kami dapat diandalkan, efisien, cepat dan dinamis, dengan 100% Guaranteed Kami juga memberikan pinjaman dalam (Euro, Pounds Dan Dolar.) Tingkat suku bunga yang berlaku untuk semua pinjaman berada pada tingkat rendah jika Anda dapat tertarik untuk kembali kepada kami melalui (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
DATA APLIKASI
1) Nama lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Negara:
5) Jenis Kelamin:
6) Status perkawinan:
7) Pekerjaan:
8) Nomor Telepon:
9) Pendapatan bulanan:
10) Jumlah pinjaman:
11) Durasi Pinjaman:
12) Tujuan pinjaman:
13) Agama:
14) Umur:
Kesopanan
Ibu Iskanda Lestari, Chief Executive Officer,
Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
Tertanda
Pengelolaan.