10 Tahun Guncangan Besar: Akankah Terulang
10 Tahun Guncangan Besar: Akankah Terulang ?[1]
Tragedi nasional yang setidaknya merupakan guncangan besar bagi bangsa Indonesia semenjak kemerdekaannya 65 tahun silam, yaitu peristiwa krisis ekonomi tahun 1997-1998, telah memberikan pelajaran berharga bagi kita semua, bukan hanya karena hal ini dapat mengganggu kehidupan kita (aktivitas ekonomi), namun ini adalah tanggung jawab serta tantangan kita bersama sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Memang kejadian tersebut mengatakan bahwa Indonesialah yang mengalami krisis terparah dan terlama dalama kurun waktu akhir tahun 1990an sampai dengan awal tahun 2000an, tapi tidak serta merta pembelaan yang kita lakukan adalah dengan mengatakan bahwa permasalahan ini disebabkan oleh krisis yang terjadi di Thailand semata dan berdampak domino bagi negara-negara di Asia Timur lainnya (termasuk Asia Tenggara).
Kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi lebih dari 10 tahun terakhir (sebelum terjadinya krisis), ketegangan psiko-politik antara rakyat dengan penguasa yang sudah mencapai titik kulminasinya semakin tidak diperdulikan oleh kalangan elit di negeri ini, serta rapuhnya fundamental ekonomi yang selalu diklaim oleh pemerintah dan ahli ekonomi bahwa sebenarnya ekomi Indonesia sudah pada struktur dan pondasinya yang kuat, adalah beberapa penyebab mendasar yang bisa kita jelaskan untuk membaca akar persoalan krisis yang terjadi di Indonesia. Ini semua pada kenyataannya begitu berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain (Malaysia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, dan lain-lain).
Sebenarnya peristiwa kelam dalam dunia ekonomi ini pernah terjadi pula sekitar 70 tahun yang lalu ketika terjadi depresi besar (Great Depression) yang melanda Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan beberapa negara lainnya dari tahun 1929 hingga 1939. Namun jika dicermati lebih jauh, yang terjadi dengan Indonesia (kriris 1997) nampaknya lebih serius dan lebih kompleks dalam artian bahwa dampak yang terjadi lebih buruk, setidaknya sampai dengan saat ini perasaan akan ketakuatan terulangnya peristiwa serupa terus membayangi dan menjadi kajian serius para ahli di Indonesia.
Apa yang membuat kata “paling buruk” itu tersemai pada Indonesai dan bukan pada negara lain yang mengalami hal serupa di waktu yang sama adalah karena krisis yang melanda masyarakat tidak hanya berdampak kerugian dan merosotnya daya beli masyarakat, tetapi juga kerugian karena memburuknya hubungan sosial, menyusutnya modal-modal sosial, jatuhnya korban jiwa, dan ditempatkannya Indonesia dalam urutan-urutan teratas sebagai negara dengan pendidikan buruk, masalah KKN, ketidakstabilan iklim politik, dan masalah lainnya. Sulitnya Indonesia keluar dari jerat krisis ini salah satu faktor dari sisi struktur ekonomi adalah adanya masalah ketimpangan spasial yang bukan hanya berdampak pada instabilitas ekonomi nasional tetapi juga berdampak pada terhambatnya demokratisasi di Indonesia.
Banyak para ahli dan pengamat dari dalam dan luar negeri mencoba memahami dan memberikan jawaban atas pertanyaan apa yang membuat terjadinya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia saat itu, salah satunya adalah Ross McLeod (1998)—seorang ekonom dari Australia yang juga menjadi pengamat ekonomi Indonesia—dia berpendapat krisis ekonomi Indonesia yang kian parah itu disebabkan oleh kepanikan, mismanajemen dalam merespon permulaan krisis, tajamnya penurunan nilai mata uang, dan besarnya utang-utang yang tidak mampu dibayar. Padahal pada saat itu, fundamental kekuatan ekonomi justru menunjukan fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat. Indikator ini diantaranya ditunjukan oleh pertumbuhan GDP Indonesia yang mencapai 8 persen, inflasi yang hanya sekitar 6,5 persen, dan neraca berjalan hanya 4 persen dari GDP.
Diantara analis-analis lain yang setidaknya dapat memberikan penjelasan yang komprehensif dan tajam terhadap kasus Indonesia adalah Manuel F. Montes yang melihat kesalahan pengambilan keputusan kredit dan keputusan membuat investasi dalam perputaran arus modal internasional. Menurut Montes, krisis ini adalah akibat langsung dari lonjakan besar utang swasta menyusul usaha liberalisasi keuangan yang dilakukan pemerintah. Akibat lonjakan utang swasta itulah, menurut Montes, terjadi peningkatan kerapuhan (fragility) sistem perbankan dan pada akhirnya menimbulkan kerentanan ekonomi atas serangan mata uang.[2]
Selain para ilmuan dan pengamat ekonomi yang banyak menyumbangkan fikirannya untuk menjelaskan krisis yang terjadi di Indonesia, ada juga ilmuan-ilmuan lain seperti Amartya Sen—seorang ahli ekonomi pembangunan yang menjadi pemenang nobel ekonomi pada tahun 1998—menurutnya krisis seperti yang terjadi di Korea Selatan dan di Indonesia, adalah karena faktor pemerintah yang tidak demokratis dan pemerintah telah memainkan peranan penting dalam menyebabkan terjadinya krisis. Menurutnya pula krisis keuangan tersebut terkait erat dengan transparansi dalam pembuatan kebijakan bisnis, khususnya lagi kecilnya peluang penyelidikan bagi publik untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan keuangan dan bisnis.
Di luar faktor dan penyebab-penyebab ekomi seperti yang diutarakan beberapa pakar sebelumnya, terdapat pula faktor-faktor non-ekonomi yang berpengaruh cukup signifikan, seperti contoh adalah sikap hiperpragmatis yang telah membiarkan mismatch antara pembangunn ekonomi, pembangunan sosial, dan pembangunan politik yang seharusnya saling melakukan penyesuaian dari waktu ke waktu sesuai tuntutan keadaan. Kehadiran lembaga-lembaga donor dan pembangunan internasional seperti IMF, World Bank, dan ADB telah membuat keadaan semakin keruh dan krisis yang terjadi semakin lama. Lembaga-lembaga ini telah bertindak sebagai penganjur yang bersuara berlebihan (provokator) agar negara-negara yang terkena krisis melakukan liberalisasi dan swastasnisasi secara radikal.
Khususnya pada Indonesia, hasil dari provokasi lembaga-lembaga donor ini adalah terjadinya liberalisasi prematur dan swastanisasi yang merusak kohesifitas sosial yang akhirnya menghancurkan pembangunan ekonomi yang telah dilakukan. Banyak sekali dari para ekonom Indonesia yang hanya ikut-ikutan menerima dan menjalankan berbagai saran dan “sanjungan” yang diberikan “lembaga penjerat internsional” tersebut tanpa terlebih dahulu melakukan simulasi dampaknya terhadap perekonomian domestik bila konsep tersebut dipublikasikan di Indonesia. Satu hal lagi yang patut disesalkan dari banyaknya anjuran-anjuran yang datang terhadap krisis di Indonesia adalah apabila anjuran-anjuran seperti yang keluar dari mulut lembaga donor internasional datang pula dari seorang ekonom seperti McLeod yang terlanjur diakui punya otoritas untuk memberi solusi-solusi ekonomi.
Hal demikian dilakukan sebab krisis yang terjadi dilihat dari sisi negatif penerapan mazhab neo-liberal untuk negara seperti Indonesia adalah akibat Indonesia tersesat oleh provokasi liberaliisasi para ekonom neo-liberal yang tidak berwawasan sosio-kultural. Saat ini seharusnya kita mencari jalan keluar sudah tidak lagi hanya dengan memecahkan permasalahan-permasalahan teknis ekonomi, seperti pembenahan lembaga-lembaga keuangan dan moneter, bongkar pasang kebijakan perpajakan, penyesuaian suku bunga atau pengaturan-pengaturan baru mengenai penanaman modal. Perhatian lebih seharusnya tertuju pada reformasi tata ruang nasional yang akan dimasukkan ke dalam penyusunan platform restrukturisasi dan agenda demokratisasi Indonesia ke depannya. Kita perlu menyadari bahwa format ruang secara langsung dan tidak langsung telah mendukung konsentrasi kekuasaan bagi segelintir orang, bagaimanapun ketimpangan antar wilayah yang ada selama ini dalah produk dari struktur kekuasaan dan struktur ekonomi di masa lalu.
Pemerintah sentralistis orde baru telah menjadikan Jakarta sebagai pusat segala macam kegiatan pembangunan nasional, sementara pembangunan yang terjadi di daerah tidak lebih dari “kegiatan pembangunan pemerintah pusat di daerah”. Oleh sebeb itu, upaya untuk memperkuat kedudukan dan peran aktor-aktor demokratisasi di daerah-daerah tidak akan cukup hanya dengan agenda-agenda otonomi dan desentralisasi semata. Para aktor demokratisasi di daerah-daerah, termasuk di sub-sub wilayah Jawa, saat ini memerlukan baik sumber daya ekonomi maupun sumber daya politik sekaligus. Indonesia harus dipahami bukanlah Jawa saja dan konsep tricle down effect dalam pembangunan ekonomi dan nasional telah banyak terbukti tidak memberikan tetesan kebaikannya pada daerah-daerah.
[1]Bahan Review Kuliah Ekonomi Politik, sebuah tulisan oleh Andrinof A. Chaniago yang diselenggaraan atas kerjasama Universitas Paramadina dengan PUSKAPOL UI dan Center for Indonesia Regional dan Urban Studies (CIRUS)
[2] Manuel F. Montes dan Vladimir V. Popov, Asian Crisis Turns Global, (Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2000) hal. 78, lihat juga Montes (1998a) dan Montes (1998b)
0 Response to "10 Tahun Guncangan Besar: Akankah Terulang"
Posting Komentar