Pemilihan dan Perwakilan

Pemilihan dan Perwakilan[1]
Konsep demokrasi dan perwakilan adalah sebuah konsep yang terdapat dalam pemerintahan yang demokratis sebab telah terdapatnya skema tentang pemilihan yang menjadi salah satu ciri sistem demokrasi, yaitu sebuah pemilihan yang memungkinkan setiap orang bebas berkontestasi, partisipasi yang tersebar luas, masyarakat memperoleh kebebasan politik, dan pemerintah akan berperan sesuai harapan dan pilihan terbaik masyarakatnya tersebut. Ada dua pandangan dalam sistem perwakilan ini, yaitu  pandangan mandat dan akuntabilitas. Di dalam pandangan mandat yang akan kita bahas setelah ini, melihat bahwa sebuah pemilihan ada untuk memilih kebijakan yang baik atau kebijkan yang tegas dari para politisi. Partai atau para kandidat menawarkan rencana kebijakan selama kampanye dan menjelaskan bagaimana kebijakan tersebut nanti akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang akan mendukungnya.
            Selain itu, masyarakat (warganegara) juga memutuskan rencana kebijakan mana yang akan diimplementasikan dan politisi mana yang sesuai dengan pandangan mereka. Selanjutnya, pandangan kedaua dalam sistem perwakilan—akuntabilitas—melihat bahwa pemilihan dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang responsible sebagai hasil dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya. Masyarakat dimungkinkan untuk selalu mengevaluasi kebijakan yang telah dibuat, dengan melakukan kontrol dan partisipasi aktif.
Namun bagaimanapun juga, kedua pandangan tersebut tetaplah memiliki masalah. Perwakilan adalah sebuah isu sebab para politisi memiliki tujuan, kepentingan, dan nilai mereka sendiri, dan mereka menyadari bahwa apa yang akan dilakukannya nanti tidaklah sepenuhnya diketahui oleh masyarakat meski sebelumnya kebijakan-kebijakan yang akan diusung sudah diketahui. Sulit dan belum ada jaminan yang pasti apakah kebijakan dan visi yang akan diimplementasikan nanti oleh para politisi bisa benar-benar sesui dengan “kesepakatan” yang telah dibuat bersama pemilih sebelumnya. Jadi mungkin sekali terjadinya praktik penyelewengan wewenang oleh para kandidat.
            Konsep Perwakilan Mandat                                                                             
            Proses mewakili dimana wakil bereaksi atau bertindak kepada kepentingan masyarakat yang terwakili atau yang sering kita sebut sistem perwakilan politik, pada dasarnya dalam sebuah sistem demokrasi perwakilan, seorang wakil tidaklah otonom posisinya. Meski begitu kita juga harus dapat membedakan perbedaaan-perbedaaan pemberian wewenang dari satu orang ke orang lain. Ada yang disebut hanya sebagai utusan saja (tipe perwakilan pada tahap awal), ada perwakilan yang sudah pada proses pemberian mandat untuk melakukan sesuatu, bahkan bentuk perwakilan tertingginya adalah perwakilan politik dengan pemberian mandat kepada seorang wakil untuk melaksanakan kepentingan si pemberi mandat (politico).
Maka sesuai dengan kuliah Sistem Perwakilan Politik sebelumnya, dapat kita pahami bahwa setidaknya terdapat tiga variabel untuk mengukur posisi wakil terhadap terwakil. (1) adalah fokus perhatian, maksudnya yang menjadi fokus perhatian seorang wakil atau mandataris itu adalah terwakil atau sebenarnya yang menjadi fokus perhatian adalah kepentingan partai. (2) kontrak yang dilakukan, yaitu aktivitas hubungan seorang terwakil (rakyat) dengan wakilnya untuk membuat sistem kerja di parlemen.
Di dalam kampanye pemilihan, partai politik menawarkan kebijakan-kebijakan dan para kandidat yang mewakili partai tersebut. Jika pemilih percaya bahwa semua politisi itu tidak sama, mereka boleh berusaha untuk mengamankan keterwakilannya dengan menggunakan suara mereka untuk memilih kebijaan yang terbaik atau memilih para politisi. Pertanyaan yang kita butuhkan untuk menguji adalah apakah (1) kampanye pemilihan itu informatif, yaitu pemilih dapat memahami partai dan apa yang menjadi maksud partai tersebut, dan (2) isi platform partai atau politisi yang akan dipilih selalu merupakan kepentingan yang terbaik para pemilih. Kita dapat mengatakan bahwa, “mandat yang represntatif” terjadi jika menjawab kedua pertanyaan sebelumnya dengan positif, yaitu hal yang menunjukan partai politik telah memberikan informasi yang baik dan jujur kepada para pemilih, termasuk yang menjadi implementasinya nanti. Jadi, konsepsi perwakilan mandat adalah ketersebarluasan. Dalam sebuah pemilihan, partai dan para politisi menghadirkan dirinya kepada para pemilih, menginformasikan tentang kebijakannya secara intensif.
            Suatu ketika dimungkin sekali kandidat yang menang memilih kebijakan yang tidak sesuai dengan apa yang dulu dikapanyekan. Dengan demikian, pertanyaan tentang perwakilan mandat adalah apakah (1) kebijakan inkamben (pejabat yang sedang memerintah) akan sama sebagai program partai, dan (2) apakah program-program partai tersebut akan menjadi yang terbaik untuk para pemilih. Selanjutnya, kondisi dalam perwakilan mandat ini terjadi dalam tiga lapisan, yaitu pertama ketika politisi dan pemilih kepentingannya bertemu secara kebetulan ataupun tidak, kedua, ketika politisi memotivasi dengan keinginan untuk kembali dipilih dan mereka berfikir bahwa pemilih akan kembali memilih jika mereka mengikuti kebijakan yang dikampanyekan, dan terakhir, ketika politisi memperhatikan kredibilitas janji-janji mereka yang akan datang.
            Catatannya adalah bahwa perwakilan adalah sebuah situasi yang didalammnya itu kebijakan diadopsi oleh inkamben melalui “electoral platform” mereka, dan kebijakan yang terbaik untuk masyarakat berada dibawah kondisi pengamatan inkamben. Tiga kemungkinan yang membedakan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya itu memberikan konklusi bahwa perwakilan mandat terjadi ketika apa yang politisi dan pemilih inginkan bertepatan, dan untuk menang mereka harus berjanji dan mengimplementasikan kebijakan yang terbaik untuk pubik.
            Selain itu, pokok-pokok kelemahan mekanisme mandat dianggap bahwa politisi tidak bisa menjadi kembali dipilih satu kali. Pemilih tahu bahwa pemilihan satu kali pejabat yang sedang memerintah (inkamben)—dia, para inkamben—akan melakukan apapun yang dia inginkan. Tanpa persetujuan voting lagi, pemilih harus mengangggap kompetisi partai atau kandidat-kandidat memiliki pilihan kebijakan yang bertepatan dengan mereka. Selanjutnya dijelaskan juga, hanya untuk memenangkan pemilihan, politisi boleh membuat janji kepada kepentingan yang spesial. Menurut semangat regulasi aliran Chicago (Stigler 1975; Peltzman1976; becker 1958, 1983), bahwa (1) pemilih itu bodoh, rasional atau tidak, tentang pengaruh kebijakan pada kesejahteraan mereka, dan (2) untuk menghadirkan diri mereka kepada pemilih, politisi perlu mengeluarkan sumber daya, meliputi tidak hanya terbatas pada uang. Politisi hanya fokus pada pemenangan pemilihan, tetapi untuk menang mereka harus mengeluarkan sumber daya.
            Situasi yang masih terjadi pada salah satu penyimpangan daripada janji-janji mereka terhadap pemilih yang belum terpenuhi, bisa menjadi suatu hal yang bertentangan atau berlawanan dengan kepentingan masyarakat umum, kemungkinannya adalah ketika seorang pejabat lama mengikuti pemilu kembali, ia akan sangat kesulitan meraih dukungan.sehingga bisa disimpulkan pada beberapa kondisi seseorang yang masih menjabat boleh hanya mengikuti salah satu kebijkan yang dapat mempertinggi kesejahteraan pemilihnya dengan penyimpangan mandat atau mereka boleh setia kepada amanah jika jika mereka fikir bahwa proses implementasi ini bukanlah yang terbaik bagi pemilih.
            Dan jika implementasi mandate bukanlah yang terbaik yang bisa pemerintah lakukan, kemudia bisa menjadi ancaman hukuman bagi pejabat yang sedang memerintah yang melakukan penyimpangan dalam amanahnya itu. Dan jika pula pejabat yang sedang memerintah jika mengantisipsi dengan melihat bahwa pemilih tidak hanya memperhatikan kebijakan mereka (inkamben) yang telah lalu, tetapi juga memberikan perhatian kepada janji-janji mereka yang baru. Sehingga disini pembentukan kepercayaan anatara pemilih dengan yang akan dipilih menjadi sebuah hubungan yang penting dibangun guna pencapaian-pencapaian tujuan bersama, bukan justru memberikan beban kepada informasi-informasi secara masif ketika berkampanye, meski hal itu juga tidak ada salahnya, hanya saja ongkos politiknya akan menjadi semakin besar. Mekanisme reputasi seperti ini sangat menganjurkan pejabat yang sedang memerintah untuk setia kepada janji-janji pemilihan, sebuah benturan yang akan datang dalam institusi demokrasi, seperti diungkapkan oleh Manin (1997), apakah para politisi tidak legal memaksa kepada suatu harapan yang masih ada dengan platform mereka di dalam beberapa sistem demokrasi.
Konsep Akuntabilitas dalam Perwakilan
            Sebagai civil society, masyarakat harus menjadi kekuatan pembanding dengan mengontrol pemerintah agar kinerja mereka sesuai dengan kepentingan dan tuntutan masyarakat sendiri. Seringkali ditemukan, pemerintah “menyeleweng” terhadap masyarakat dengan mengorbankan kepentingan masyarakat , dan mengutamakan kepentingan golongan, partai, dan individu. Sebagai usaha untuk menghindari hal tersebut, masyarakat dapat mendorong incumbent untuk mendahului kepentingan masyarakat diatas kepentingan lainnya. Jika pemerintah berhasil bertindak  sesuai dengan kepentingan dan tuntuan masyarakat  maka pemerintah tersebut merupakan pemerintah yang bertanggung jawab. Indikator Perwakilan yang bertanggung jawab (accountability representation) jika terdapatnya, pertama, pemilih memilih incumbent hanya jika mereka bertindak sesuai dengan kepentingan masyarakat dan kedua, incumbent memilih kebijakan yang sangat krusial, yang memungkinkannya untuk kembali dipilih.
            Masalah akuntabilitas muncul dipengaruhi oleh tujuan dari para politisi. Disatu sisi, mereka mungkin mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat  dan disisi lain mereka menginginkan sesuatu yang menguntungkan diri mereka sendiri seperti terpilih kembali, dan lain-lain. Politikus juga mengejar  gagasan mereka sendiri meskipun berbeda dari masyarakat, terdapat beberapa atau banyak dari mereka lebih mementingkan kenaikan karir politik dalam pemerintah maupun partai,  dan menjalin relasi dengan orang asing yang juga memiliki kedudukan tinggi.  Tindakan tersebut yang dilakukan politisi dapat dikatakan sebagai “rents” atau sewa politik.
 Politisi juga melakukan penyelewengan wewenang seperti melakukan persekongkolan terhadap lawan politiknya, memperkaya diri, nepotisme, dan yang paling buruk adalah mengkhianati konstituennya dengan mementingkan kepentingan tertentu. Masyarakat dapat membuat trade-off bagi politisi untuk menekan tindakan “pembangkangan” tersebut dengan cara mengekstrasi rent dan memberhentikan mereka atau tidak mengekstrasi rent dan tetap mempercayakan mereka sebagai wakil dari masyarakat. Dengan memaksa rent politisi rendah maka  mereka akan mengerjakan apa yang pemilih inginkan.
            Model akuntabilitas pemilihan menganggap secara khusus bahwa ketika pemilih tidak mengetahui sesuatu yang mereka butuhkan untuk menilai pemerintah, sedangkan  incumbent mengetahui apa yang mereka butuhkan untuk kembali terpilih. Ini bias disebut sebagai sebuah kelicikan sehingga pemilih mengajukan sebuah kontrak kepada pemerintah. Sehingga kedudukan antara pemilih dan incumbent sama dimana pemilih menuntut untuk dipenuhi aspirasi dan tuntutannya sedangkan incumbent dengan memperjuangkan hal tersebut dapat terpilih kembali.
            Dalam model akuntabilitas, pemilih menggunakan suara mereka hanya untuk mendukung incumbent sedangkan dalam model mandate murni, pemilih membandingkan janji para kandidat tentang masa depan dimana pemilih memilih kandidat yang lebih baik dengan. Pemilih melakukan penilaian terhadap pemerintahan terdahulu dan juga jejak dari penantang. Pemilih hanya memilih kandidat yang memiliki visi yang jelas dimasa depan.
            Pemilih tidak merencanakan apakah menggunakan instrument yang mereka punya yaitu suara untuk memilih  pemerintahan yang lebih baik atau untuk mendukung incumbent. Namun, inti dari apa yang pemilih cari adalah memilih politisi dan kebijakan yang baik bagi mereka dan mendorong politisi berperilaku baik saat sedang menjabat. Karena pemilih dipengaruhi oleh kemungkinan  memilih pemerintah yang lebih baik , mereka lebih memilih penantang ketimbang calon incumbent karena alas an tertentu seperti lebih kompeten, memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara kebijakan dengan hasil, dan lebih jujur dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil masyarakat. Bagi incumbent sendiri hal tersebut telah disadari  dan mereka mulai menyusun cara bagaiamana mempertahankan kekuasaan dengan membutuhkan level kontrak yang lebih tinggi lagi dengan masyarakat. Melalui kontrak “rent” baru ini memudahkan pemilih untuk mengontrol incumbent dalam menciptakan pemerintahan yang lebih baik dari sebelumnya.
            Kemampuan incumbent bersifat informative, seperti Bartels kemmukakan di Amerika Serikat bahwa performa masanlalu seorang presiden menjadi penentu masa depan karier politiknya. Sedangkan dari karakterisitk pemilihnya, mayoritas dari  mereka menggunakan suaranya berdasarkan informasi masa lalu dalam hal bagaimana kebijakan  pemerintah dan outcomenya dalam   masalah tertentu seperti asuransi kesehatan, perang Irak dan Afghanistan. Bila pemilih menganggap kemampuan pemerintah yang terdahulu terhadap kebijakan tersebut buruk maka pemilih mempertimbangkan untuk memilih penantang. Madison berpikir bahwa tujuan penggunaan suara yaitu pertama, untuk memperoleh penguasa yang terbaik dan kedua, tetap menjaga mereka menjadi baik.
Dalam setiap sistem demokrasi tidak menjamin terdapatnya kesamaan antar sistem demokratis. Namun setidaknya terdapat beberapa kesamaan dalam cara bagaimana pemilih atau voters dapat mempengaruhi dan mengontrol politisi, yang juga dari beberapa faktor kelembagaan yang memberikan pengaruh patut juga diperhitungkan. Pertama, pemilih haruslah secara jelas menyebutkan secara pasti mengenai performa pemerintah, bagaimana hasil yang diperoleh pemerintah selama jangka waktu pemerintahan berjalan. Terdapat keterbatasan bagi mereka untuk melakukan hal demikian kita pemerintahan yang terbentuk adalah koalisi. Begitu juga sama halnya dengan sistem presidensial dan perwakilan rakyat di parlemen yang dikontrol oleh beragam partai yang berbeda. Bagaimana pemerintahan bertanggung jawab terhadap pemilih pada kondisi yang demikian menjadi pertanyaan besar yang muncul disini.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Hamilton dalam federalist no. 70 yang menyatakan bahwa sistem yang memiliki pluralitas dalam lembaga eksekutifnya memiliki kecenderungan untuk menyembunyikan kesalahan dan menghancurkan pertanggungjawaban, yang disebabkan oleh banyaknya agen-agen yang terlibat, sehingga sulit untuk ditetapkan agen yang jelas lebih bertanggung jawab dibanding yang lainnya. lebih jauh, dan secara jelas dinyatakan oleh Bagehot (1992:67) yang menganggap kompleksitas dari agen-agen yang saling terkait satu sama lain, mempersulit dan mungkin sekaligus memperkeruh kondisi untuk memperbaiki keadaan yang ada.
Selain itu terdapat juga lembaga majoritarian yang meningkatkan jarak antara posisi ideal dari pemilih yang menjadi penengah. Yang pada gilirannya lembaga ini semakin memperjelas posisi pemerintah menjadi semakin ‘akuntabel’ , dan sebaliknya menjadi jauh dari kebijakan yang diharapkan oleh voters . Disini cukup disayangkan karena penulis buku tidak mencantumkan secara jelas bagaimana contoh kasus yang dapat ditarik kesimpulan atas apa yang dibahas oleh penulis mengenai hal ini, sehingga memudahkan pemahaman pembaca dalam memahami teks.
Peran kedua yang harus dilakukan oleh voters adalah tidak memilih partai dalam pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap buruknya kinerja pemerintah, dan pada tahapan selanjutnya memilih partai yang mampu untuk memasuki kursi pemerintahan.
Ketiga, will to power menjadi kehendak dasar bagi politisi untuk berkuasa, salah satu caranya adalah terpilih lagi menjadi elemen dari perwakilan. Kondisi ini mempersulit politisi karena keterbatasan sistem demokrasi, hampir di seluruh sistem demokrasi, yang memberi batasan pada pemenuhan syarat ulang, mungkin karena selalu terpilihnya politisi pada masa jabatan sebelumnya.
Keempat, oposisi harus berperan dalam memonitor dan mengkritisi kinerja, sekaligus juga kebijakan pemerintah yang mungkin dianggap kurang tepat dalam penyelesaian masalah, penangguran misalnya. Dengan munculnya oposisi sebagai kekuatan penyeimbang, pemilih memperoleh dua sudut pandang yang sama sekali berbeda yang dapat mempertimbangkan mereka untuk memilih kembali, antara sudut pandang opisisi yang menginginkan kekuasaan dan incumbent yang sedang memegang mandat pemerintahan. Oposisi bertugas untuk menginformasikan pada warga negara bagaimana kinerja pemerintah yang sedang berkuasa, terlepas dari kejujuran mereka terhadap informasi tersebut. Oposisi yang ideal bukanlah oposisi yang mengkritisi setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan, lebih dari itu, oposisi seharusnya menunggu momen yang tepat dalam mengkritisi pemerintah, ketika momen yang tepat ditemukan dengan menggunakan argumen yang sangat tepat dan mengena, itulah yang ditunggu, setidaknya agar voters sedikit banyak berpihak pada oposisi.
Kelima, peran media sebagai kekuatan dalam politik tidak dapat dinafikan. Media sebagai alat pembentuk opini publik menjadi instrumen yang setidaknya cukup ampuh dalam mempengaruhi pendapat publik. Terakhir dan yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya lembaga yang memungkinkan voters untuk memberikan reward and punish bagi pemerintah terhadap apa yang mereka hasilkan. Dalam materi bacaan wacana akuntabilitas, dan kredibilitas menjadi unsur yang mengemuka dalam sistem perwakilan. Setidaknya dalam menciptakan pemerintahan yang akuntabel mutlak perlu apa yang disebut sebagai “agen akuntabilitas” seperti lembaa yang memiliki peran, pertama, dewan independen yang memastikan terciptanya transparansi dalam kampanye, dengan kekuatan investigatifnya sendiri yang otonom. Kedua, lembaga auditing independen yang memiliki banyak cabangnya dalam pemerintahan. Ketiga, Sumber independen mengenai informasi statistik mengenai perekonomian negara. dan yang Terakhir adalah hak-hak khusus yang diperoleh oposisi untuk mengawasi publikasi dalam media.





           
           
           


[1]Bernard Manin, Adam Przeworski, and Susan C. Stokes,  Bahan Bacaan Kuliah Sistem Perwakilan Politik, Chapter 1: Elections and Representation.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Pemilihan dan Perwakilan"

Posting Komentar