“Individu, Negara, dan Pasar: Kritik Terhadap Liberalisme dan Kapitalisme”


Lebih dulu sebelum kelahiran sistem ekonomi kapitalis, sudah ada sebuah sistem yang lebih kuno lagi yang di dalamnya mengatur peran-peran negara dalam mengontrol dan mengelola kegiatan ekonomi masyarakatnya, yaitu merkantilisme. Selanjutnya dalam perkembangan sejarah yang lebih panjang bermunculanlah berbagai macam sitem ekonomi yang satu sama lain saling mengoreksi dan melakukan perbaikan sesuai keadaan zamannya. Hal demikian—proses diaklektika yang terjadi—semata-mata terjadi dalam rangka menyelenggaraakan keadaan bernegara yang mampu menjamin kesejahteraan bagi setiap individunya. Maka dalam pembahasan makalah singkat ini, individu akan menjadi topik yang akan terus digunakan dalam mengukur kebaikan setiap sistem yang ada.
Sebelum menjelajahi jalan panjang sistem ekonomi dalam menemukan bentuknya yang terbaik, rupanya uapaya mensejahterakan individu yang diusung oleh semangat liberalisme dapat pula memarjinalkan bahkan menyengsarakan individu yang lainnya. Untuk mecari alasan pembenaran tesis tersebut, maka sebelumnya kita harus memahami sejarah perkembangan liberlisme—dengan kapitalismenya di bidang ekonomi—sebagai ideologi pemenang dan paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia, setidaknya sampai dengan saat ini[1].
Perjalanan panjang menuju bentuk yang ideal dan benar-benar dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera ini mungkin bisa diawali ketika kita bicara mengenai merkantilisme pada abad 17 dan 18. Dari asumsi sederhana bahwa pengakumulasian kekayaan melaui emas oleh negara untuk pembiayaan perang dan sebagainya, rupanya juga mendorong pada apa yang kita kenal dengan proteksionime, sebuah tindakan melindungi produksi dalam negeri dari produsi yang berasal dari luar negeri. Sistim merkantilisme ini jugalah yang banyak mendorong terjadinya imperialisme bangsa Barat terhadap bangsa Timur yang banyak mempunyai sumber daya alam khsusnya logam mulia seperti emas dan perak. Pada tahun 1776 sistem ekonomi ini mengalami koreksi yang cukup frontal dan memulai pada fasenya yang kita kenal dengan fase ekonomi modern setelah terbitnya sebuah buku berjudul The Wealth of Nation.
Tokoh-tokoh liberalisme selain Adam Smith diantaranya adalah John Locke, Montesquieu, Thomas Jefferson, John Stuart Mill, Lord Acton, T. H. Green, John Dewey dan pemikir kontemporernya seperti Isaiah Berlin dan John Rawls[2]. Pandangan mereka terhadap liberalisme sering dikmaksudkan bahwa kepercayaannya akan kebebasan individu maupun  institusi adalah nilai tertinggi dalam politiknya. Maka kemudian, terjadi pembabakan leberaliisme ke dalam dua bagian, yaitu kebebasan individu dan kebebasan institusi serta praktik politik. Keduanya dilakukan dengan tujuan untuk mendukung kebebasan-kebebasan individu itu sendiri. Sehingga untuk membela nilai tersebut, harus dilakukan upaya perlindungan terhadap tiga hal yang pada saat ini lebih dikenal dengan tiga hak dasar (kehidupan, kebebasan, dan hak milik).
Adalah Adam Smith seorang tokoh yang paling dikenal dalam liberalisme dan dijuluki bapak ekonomi. Menurut pandangannya, individu itu harus dibebaskan dalam melakukan kegiatan aktifitasnya, baik ekonomi maupun politik. Hal ini diperkuat dengan sebuah “kata sakti” yang sangat terkenal di dalam pemikiran liberalisme, yaitu Liasez-faire atau biarkan saja segala sesuatunya terjadi, bahkan dalam hal ini, posisi negara sangat minimal (minimal state) dan harus membiarkan kebebasan individu tersebut.
Lebih bekembang lagi, dalam kegiatan ekonomi, individu menempati posisinya yang istimewa menurut Adam Smith. Setiap individu dianggap memiliki self interest masing-masing. Keuntungan pribadi tersebut—yang diperoleh ketika aktifitas ekonomi dilakukan tanpa peran dominan dari negara—bisa diperoleh oleh siapa pun. Hal ini bukan berarti bahwa individu-individu yang lain (yang berhasil dalam kegiatan ekonominya) merasa kasihan dengan individu yang lain sehingga biasa sama-sama merasakan dan mendapatkan keuntungan. Tapi aktivitas ekonomi yang terjadi melalui mekanisme pasar telah menciptakan sebuah keteraturan “ajaib” tanpa ada yang menggerakannya sama sekali dan terjadi begitu saja. Inilah yang disebut dengan konsep invicible hand (mekanisme dan keteraturan pasar tersebut terjadi karena adanya permintaan dan penawaran).
Seorang sosiolog, bernama Herbert Spencer membenarkan dan mendukung pandangan Adam Smith tentang individu dalam aktivitas ekonomi dan benegara. Dia memperkenalkan sebuah konsep yang disebut dengan negative liberty—hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh negara terhadap individu—sebagai lawan dari positive liberty yang menganggap bahwa negara perlu berperan aktif dalam mengatur individunya. Contoh negative liberty yang dikemukakan Spencer misalnya peraturan dalam berlalu lintas yang mewajibkan para pengguna kendaraan bermototr roda dua untuk menggunakan helm. Hal tersebut diberlakukan bukanlah untuk mengekang dan megatur individu, namun semata-mata dalam rangka untuk melindungi hak hidup individu.
Kedua tokoh yang telah disebutkan diatas itulah yang kemudian dikenal teori-teorinya sebagai liberalisme klasik yang menjadikan individu sebagai perhatian utama pembahasannya, dan mengecilkan peran negara karena dianggap peraturan yang akan dibuatnya nanti—terhadap individu—hanya akan mengakibatkan perubahan yang besar dan tidak menguntungkan lagi bagi individu. Meskipun dalam liberalisme klasik ini individu sangat diutamakan dan menjadi pusat kajiannya, Adam Smith dan Herbert Spencer juga membicarakan bagaimana posisi negara yang seharusnya di dalam sistem liberalisme.
Smith mengatakan bahwa negara memiliki fungsi atau peran diantaranya adalah melindungi warga negaranya dari intervensi atau agresi kelompok atau pun bangsa asing, dan merawat institusi publik (bendungan, jalan, maupun jembatan). Sedangkan menurut nagtive libertynya Spencer, fungsi dan tugas negara diantaranya tidak boleh mengurusi masalah agama, negara juga tidak boleh mengatur mekanisme pasar, tidak boleh mendukung kolonialisasi, dan ngara tidak boleh membantu orang miskin.
Pascaliberalisme klasik, pada tahun 1930an, terjadi peristiwa besar yang melanda sistem ideologi liberalisme dengan kapitalisme sebagai paham yang dianut di bidang ekonomi. Di negara-negara besar dan yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis tersebut mengalami depresi besar atau disebut krisis Malaise. Kegiatan eonomi runtuh dan fondasi ekononomi yang berlandaskan pada kebebasan individu yang telah dibangun sekian lama tersebut tidak mampu menanggulangi pengangguran, kemiskinan, dan kompetisi yang lemah di dalam pasar. Di sinilah kegagalan laissez-faire dalam memberikan keuntungan pada setiap individu, rupanya sistem yang ada tidak mampu melakukan pembinaan pada kehancuran ekonomi masyarakat, ekonomi dalam keadaan genting, dan solusi harus segera dicari.
Paham liberalisme ternyata bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia pada krisis ekonomi 1930an, setidaknya meliputi liberalisme dalam ekonomi (kapitalisme) dengan memahami proses panjang pertumbuhan, dan kritikan yang dialami oleh liberalisme sampai akhirnya terjadi koreksi besar pascakrisis kejadian tersebut. Liberalisme telah mengabaikan peran negaranya sendiri, pasar mengalami kebingungan pada saat pertumbuhan penduduk sulit dikendalikan dan pengangguran menunjukan tren yang terus meningkat. Seorang pemikir yang yang juga mendukung paham tersebtu seperti John Locke pun mengalami kontradiksi saat ia berbicara tentang tujuan dibentuknya negara dan kenapa manusia hidup bermasyarakat untuk tunduk pada suatu peraturan yang disepakati dan dengan rela sebelumnya menyerahkan seagaian kedaulatan yang dimiliki. Sampi di sini Locke dibenturkan bahwa negara ternyata harus tetap punya peran dan tidak bisa lagi menganggapnya sebagai “penjaga malam”.
Dari penjelasan sebelumnya dapat diasumsikan sekarang bahwa meskipun pasar sampai saat ini merupakan salah satu elemen yang penting dalam pembangunan ekonomi, namun tidak boleh mengabaikan posisi negara. Sebab yang terjadi nanti adalah semakin banyaknya tercipta pengangguran dan kemiskinan sebabagi akibat proses pembiaran kepada individu yang kalah dalam bersaing dalam kerimbaan sebuah pasar. Disinilah posisi pasar yang sudah tidak rerlevan lagi sebagi aktor tunggal kegiatan ekonomi, bahwa ternyata pada kenyataannya pasar tidak bisa sepenuhnya self regulated (mengatur dirinya sendiri dan mengakomodasi setiap individu, bahkan yang tidak memiliki modal).
Akhirnya, di tengah fase kegentingan ekonomi tersebut munculah seorang yang  bernama John M. Keynes. Seorang tokoh ekonomi yang juga masih terpengaruh oleh marxisme, namun sesungguhnya adalah pendukung tetap liberalisme itu sendiri. Dia menawarkan perlunya welfare state dalam pengelolaan sebuah negara yang baik, yaitu negara kesejahteraan yang dapat menjamin keadilan sosial dan peran negara lebih diatifkan lagi dalam rangka mengontrol jalannya kegiatan ekonomi yang dapat menguntungkan individu. Dia juga menilai bahwa persoalan ekonomi yang terjadi pada saat itu disebabkan oleh  sistem pasar yang tidak mampu melakukan efisiensi, hal ini dikarenakan tidak adanya otoritas yang mengatur jalannya pasar dan sistem ekonomi tersebut.
Menurut Keynes faktor lain ketidakefisiensian pasar adalah tidak terjadinya keadilan sosial, dan terakhir disebabkan oleh keadaan bebas itu sendiri yang menghinggapi setiap individu. Maka menurut asumsi Keynes, negara sebenarnya dibolehkan untuk melakkan ikut campur dalam rangka menunjang kebaikan individu. Setidaknya untuk menanggulangi kerugian yang dialami oleh individu dalam aktivitas ekonominya, negara perlu melakukan kontrol terhadap kredit dan kurs mata uang (perlu adanya insitusi terpusat). Skala investasi juga perlu ditentukan oleh negara, dan selanjutnya, negara perlu ikut terlibat mengotrol pertumbuhan jumlah penduduk.[3] Fase ekonomi pascamalaise tersebut dengan tokoh terkenalnya yang bernama John M. Keynes inilah yang kemudian dikenal dengan liberalisme baru.
Rupanya kritik terhadap liberalisme belum berhenti sampai dengan munculnya konsep negara kesejahteraan. Marxisme yang memiliki cita-cita agar tidak terjadinya kelas sosial di dalam masyarakat, sedikit juga dalam hal ekonomi terpengaru oleh pandangan-pandangan Smith dan David Ricardo. Pemikirnya, Karl Marx terang-terangan menentang sistem liberalisasi. Hubungan antar base dan superstruktur yang sering dimaknai dengan cara produksi yang dilakukan oleh masyarakat, terjadi pada lapisan bawah (base) akan menentukan bagian di atasnya seperti masalah politik, budaya, dan ideologi (superstruktur). Hubungan struktural seperti inilah yang menurut karl Marx hanya akan menciptakan terjadinya proses akumulasi modal oleh kelas-kelas berkuasa dalam ekonomi, dan dampaknya para buruh atau kelas pekerja akan semakin teralienasi dari hasil-hasil produksinya sendiri. Maka keadaan seperti ini pula—yang terjadi di dalam masyarakat—perlu dirubah secara mendasar dan hanya melalui revolusilah perubahan tersebut dapat tercipta, guna merubah keadaan hubungan anatara base dan superstruktur tersebut, yang pada akhirnya pada akhirnya tidak ada lagi pembagian kelas dalam masyarakat.
Individu, pasar, dan negara akan selalu bergelut sampai saat ini dan nanti.  Gelombang arus neoliberalisme yang mulai bertiup di dekade tahun 1980an yang dimotori oleh Margareth Thatcher dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan telah menjadi wacana yang saat ini sedang hangat berlangsung. Kekhawatiran timbul dimana-mana, tidak terkecuali di Indonesia, sebab salah satu paham yang diusungnya adalah ingin mengembalikan leberalisme ekonomi seperti dahulu, yang kalsik dan menjadikan individu sebagai fokus utamanya dengan meminimalkan peran negara (menolak konsep welfare state dari Keynes). Bagi negara kita yang sedang masa reformasi ini, jelas-jelas tidak hanya mencuatkan kekhawatiran akan para kaum pemiliki modal yang kemudian sepak terjangnya kembali lebih dominan ketimbang pasa birokrat di jajaran pemerintahan (menguasai aset negara dan sebagian besar modal ekonomi), namu juga mencederai konstitusi negara. Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 dikatakan jelas bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, dan di Ayat ke-2 ditambahkan jika negara itu mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.[4] Dari dua pasal tersebut dengan jelas dapat dilihat bahwa seharusnya sistem ekonomi dan pemerintahan negara adalah sitem yang dapat menjamin kesejahteraan dan keadilan masyarakatnya, bukan membiarkan individu dan masyarakat tersebut masuk dalam hukum rimba ekonomi yang sangat bersifat homo homini lupus.
Kita dapat mengambil pelajaran dari perjalanan liberalisme itu sendiri pada saat menemui ajalnya di pertengahan tahun 1930an sebelum diselamatkan kembali oleh sistem ekonomi welfare state dari Keynes. Keterjamiann individu tetap jadi yang diperioritaskan, namun paradigmanya saat ini harus berubah, bahwa mereka (individu) bukanlah sosok yang resisten terhadap perubahan, dan pasar sebagai arena yang katanya dapat dikontrol oleh tangan yang tidak terlihat, rupanya tidak benar-benar dapat mengatur dirinya sendiri. Dari sini dapat disimpulkan bahwa liberalisme dan kapitaslisme walaupun sebagai pemenang dalam pertarungan ideologi saat ini seperti yang dikatakn oleh Francis Fukyama, tetaplah memiliki kelemahan dan kekurangan. Ada sisi-sisi yang ternayata perlu mendapatkan perhatian dari negara dan tidak bisa dilakukan oleh pikah swasta dan individu (pasar). Maka jawaban terhadap hak-hak individu yang selama ini terabaikan di dalam sistem liberalisme adalah tetap pula menjadikan negara bagian dari kegiatan dan kehidupan ekonomi. Negara tidak lagi diposisikan bernegasi dengan pasar, negara juga arus ada di pasar dan mengontrol jalannya aktifitas transaksi, meski individulah yang menjalankannya. Dengan regulasi dan proteksi yan dlakukan maka akan jelas kenapa manusia berhimpun bersama memberikan kedaulatannya kepada sebagian orang guna diatur dan dapat hidup secara teratur.





[1] Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, The Free Press. 1992.
[2] Alan Ryan, Liberalism (chapter 14), bahan bacaan dan critical review pada kuliah Pemikiran Politik Kontemporer,  14 Februari 2011
[3]Daniel Hutagalung dalam kuliah Pemikiran Politik Kontemporer dengan tema: Konservatisme, Liiberalisme, dan marxisme pada tanggal 14 Februari 2011, Kampus UI Depok, Fisip H.101
[4] UUD ’45 dan Amandemennya, Pasal 34 Ayat 1 dan 2, Jakarta: Fokusmedia, 2004, hal. 24

Read Users' Comments (0)

0 Response to "“Individu, Negara, dan Pasar: Kritik Terhadap Liberalisme dan Kapitalisme”"

Posting Komentar