“KAJIAN FENOMENA CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA: STUDI KASUS KEMENANGAN CALON INDEPENDEN DI PILKADA KABUPATEN GARUT 2008”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Eksistensi calon independen dalam pemilihan kepala daerah adalah hal baru dalam sistem pemilihan umum RI, khususnya pemilihan kepala daerah (pilkada). Akses perorangan untuk dapat dipilih sebagai kepala daerah tanpa melalui jalur partai politik merupakan titik balik dari keadaan selama ini di mana masyarakat hanya dinilai memilih partai bukan individu beserta program-program yang ditawarkan. Sebelum amandemen oleh Mahkamah Konstitusi, UU 32/2004 dan PP 6/2005 memang mengharuskan pasangan calon kepala daerah hanya bisa diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketika itu monopoli pintu masuk calon kepala daerah inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh pengurus partai. Kasus yang terjadi di DKI Jakarta termasuk contoh yang paling mencolok. Ada bakal calon gubernur yang sudah menghabiskan miliaran rupiah akhirnya harus mundur dari bursa pencalonan internal parpol karena tidak tahan diperas terus menerus oleh oknum-oknum parpol.
Permohonan judicial review yang diajukan oleh seorang yang bernama Lalu Ranggalawe, anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, setidaknya memberikan secercah harapan bagi penyelenggaraan pemilihan kepada daerah di Indonesia. PascaPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 23 Juli 2007, pengkultusan partai politik sebagai "kendaraan" menuju pencalonan kepala daerah mulai menurun. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut disambut dengan penuh semangat oleh para pendukung calon independen. Sementara itu kalangan partai politik tidak bisa menolak putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum tersebut.[1]
Dari pengalaman pilkada 2005–2008, maka setelah keputusan MK tersebut baru pada pilkada 2008 lah dapat diikuti oleh calon perseorangan. Kini masyarakat akan lebih diajak utuk berfikir secara luas terkait pilihannya dalam sebuah pergelaran pilkada, sebab alternatif perbandingan kapasitas dan siapa yang sekiranya akan dapat mengartikulasi serta mengejawantahkan kepentingannya tidak hanya datang dari calon pewakilan parpol, tapi dari calon yang benar-benar independen dan tidak bergantung pada organisasi keanggotannya apapun. Meski begitu hal ini bukan tanpa masalah, realitas dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia sampai saat ini tetap menunjukan bahwa calon independen belum bisa berbuat banyak meski tetap ada di daerah-daerah pemilihan tertentu yang dimenangkan oleh pasangan calon independen, seperti pilkada di Garut.
Melalui penjelasan dan pemaparan terkait fenomena calon independen kepada daerah saat ini, penulisan makalah akan lebih memfokuskan pada faktor apa saja yang sekiranaya mempengaruhi kemunculan calon independen dalam suatu pilkada dan apa pula yang menyebabkan tidak munculnya calon independen dalam pilkada tersebut. Dengan memberikan contoh kasus pelaksanaan pilkada di Garut yang dimenangkan oleh pasangan calon independen, diharapkan mampu menjelsakan lebih jauh dan menjawab faktor-faktor yang menjadi pertanyaan penulisan makalah, serta memberikan alternatif solusi tentang masih relatif minimnya kemenangan oleh calon independen.
1.2 PERMASALAHAN
Bagaimana cara pasangan independen Aceng – Dicky mengeksploitasi modal sosial masyarakat Garut dalam rangka memenangkan Pilkada Kabupaten Garut pada tahun 2008?
1.3 KERANGKA TEORI
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) juga merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.[2]
Kemudian dalam perkembangannya muncul wacana agar kepala daerah dapat maju tidak hanya melalui kendaraan politik (parpol), namun juga melalui jalur independen yang tidak berafiliasi dengan parpol manapun. Perdebatan mengenai partisipasi calon independen dalam pemilihan kepala daerah sudah lama, sejak disahkannya UU No 32/2004. Perdebatan muncul karena UU tersebut dianggap diskriminatif dan berlawanan dengan konstitusi, UUD 1945. Diskriminatif karena UU tersebut hanya mengijinkan partai-partai politik atau gabungan partai politik yang mendapatkan 15% kursi atau suara di daerah yang bersangkutan. Berlawanan dengan UUD 1945 karena konstitusi menjamin hak politik individu masyarakat untuk memilih dan dipilih. Tetapi terlepas dari perdebatan itu, tetapan tersebut tetap diberlakukan untuk semakin menjunjung demokrasi di Indonesia.
Akhirnya, UU No. 32 Tahun 2004 khususnya pada Pasal 59 (1)—Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang—[3]mengalami revisi sebanyak dua kali yang melahirkan UU No. 12 Tahun 2008 dan dengan dukungan Keputusan MK tahun 2007, ditetapkanlah bahwa calon independen diterima untuk mencalonkan diri di pilkada.
Modal Sosial
Selama satu dekade terakhir, modal sosial menjadi perhatian serius dalam sosiologi, ekonomi, ilmu politik, kesehatan dan bahkan dikembangkan oleh kerja-kerja agen pembangunan internasional. Perhatian serius pada modal sosial tampaknya paralel dengan perhatian pada good governance, desentralisasi, demokrasi lokal, pemberdayaan, civil society dan seterusnya. Secara akademik, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “modal sosial”? Istilah “modal sosial” sebenarnya sudah lama dikenalkan oleh sosiolog kenamaan Emile Durkheim pada abad ke-19. Durkheim menyebut istilah “modal sosial” untuk menyatakan ikatan sosial antarmanusia di dalam sebuah masyarakat sangat penting untuk membentuk kohesivitas sosial dalam mencapai tujuan bermasyarakat.[4] Ia merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal. Sebagai contoh, misalnya, kegiatan pendidikan. Pendidikan merupakan aktivitas kolektif antara pendidik, siswa, masyarakat, dan pemerintah. Sebagai sebuah aktivitas kolektif, pendidikan memerlukan kerjasama banyak pihak, mulai dari pemimpin sekolah, para guru, tenaga administrasi, murid, orangtua siswa, komite sekolah, dan tentu pemerintah. Jika semuanya fungsional sesuai tugas dan peran masing-masing, maka pendidikan akan berjalan baik dengan hasil yang baik pula
Dalam hubungannya dengan konteks politik, kami melihat bahwa modal sosial merupakan salah satu penggerak masyarkat, mengapa mereka mau bersatu dan apa yang menjadi pengikat mereka. Dengan menelaah modal sosial, kami berusaha melihat apakah modal sosial ini berhasil dieksploitasi oleh calon independen untuk bisa memenangkan pilkada.
Dalam makalah ini, kami akan mengangkat konsep model sosial yang diutarakan oleh Robet Putnam dalam tulisannya, Making Democracy Work, dikemukakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang dapat menjamin keterikatan sosial masyarakat; yaitu keberadaan norma, nilai sosial dan kepercayaan (trust) serta jaringan sosial (social networks)[5].
Putnam menjelaskan bahwa modal sosial adalah sebuah sumber daya yang individu atau kelompok orang memiliki atau gagal untuk memiliki[6], selanjutnya Ia menjelaskan bahwa modal sosial mengacu pada norma dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerjasama diantara warga negara dan institusi mereka. Maka dalam kaitannya dengan individu dalam politik, sering kali modal sosial ini diasosiasikan dengan apa yang melekat dan dimiliki oleh individu yang dapat mempengaruhi orang lain dan terlihat berbeda dari individu lainnya secara kualitas. Modal sosial tersebut dapat berupa kekayaan, popularitas, jaringan, organisasi, rekam jejak pengalaman, hubungan masyarakat, dan lain-lain.[7]
James Coleman (1988) adalah sosiolog pertama yang mengusung modal sosial ke dalam mainstream ilmu sosial Amerika[8], yang kemudian menurut Sutoro Eko semakin dipopulerkan oleh studi Robert Putnam (1993, 1995, 2000). Secara akademik studi tentang “modal sosial, desentralisasi dan demokrasi lokal” berada dalam haluan pendekatan berpusat pada masyarakat, sebagai sebuah studi alternatif atas studi tentang otonomi daerah yang selama ini sibuk membicarakan masalah kerangka regulasi dan kebijakan, pemilihan kepala daerah, kinerja DPRD, investasi daerah, pendapatan asli daerah, dan sebagainya. Membuat desentralisasi dan demokrasi bekerja lebih baik tidak cukup hanya disandarkan pada kebijakan yang demokratis (akuntabel, responsif dan partisipatif), komitmen elite lokal, atau capacity building bagi pemerintah daerah, melainkan juga harus digerakkan oleh modal sosial dalam sektor masyarakat sipil.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fenomena Calon Independen dan Pengaruhnya dalam Pilkada
Indonesia sendiri baru memberlakuan pilkada secara langsung ketika dikeluarkannya Undang – Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6/2005 mengenai Tata cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Secara sederhana pengertian calon independen yang dimaksud di dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya. Munculnya calon independen ini, membuat keinginan untuk mendirikan parpol baru dalam merebut kekuasaan akan turun animonya. Harapan terjadinya penyederhanaan parpol yang terjadi secara alamiah nantinya juga semakin besar.[9] Partai yang kuat itulah yang bertahan. Biaya demokrasi diharapkan akan jauh lebih sehat dalam prinsip demokrasi negara kita.
Dalam pilkada langsung, dua faktor yang biasanya berperan penting adalah kekuatan primordial dan kekuatan uang, begitu pula dalam pilkada yang menyertakan calon independen. Peluang tampilnya calon perseorangan mungkin akan mengurangi mahalnya “mahar” yang harus dibayar kepada partai politik. Namun demikian, calon perseorangan tetap saja harus mengeluarkan tidak sedikit biaya untuk membeli dukungan pemilih, baik pada tahap pencalonan maupun pemilihan. Jika hal itu benar-benar terjadi, pilkada dengan calon independen tetap akan berdampak buruk terhadap proses demokratisasi. Sebagaimana sebelumnya, demokrasi menjadi sangat mahal. Demokrasi bahkan bisa dibeli oleh pemilik uang dan para cukong. Kita menyaksikan maraknya transaksi buying democracy, demokrasi yang bisa dibeli.
Harapan akan lahirnya demokrasi yang baik tetap ada dan menjadi bagian dari fenomena calon independen dalam pilkada. Ketidakpercayaan akan calon yang berasal dari partai kini sedikit menemui jalan tengahnya sebagai sebuah lahirnya solusi atau alternatif pilihan lain yang lebih netral dan diaharapkan sesuai dengan harapan rakayat (pemilih). Ini sebuah nuansa baru dalam kehidupan berdemokrasi, kini semua pemuka agaman dan tokoh masyarakat yang dianggap kharismatik dan memiliki pengaruh dapat maju menjadi calon kepala daerah. Ada anggapan bahwa lemunculan calon independen juga akan membawa pada pertarungan yang minim konflik, hal ini dimungkinkan jika pendidikan politik masyarakatnya sudah baik, sebab dalam pilkada tersebut akan lahir pilihan-pilihan yang rasional dari alternatif pilihan yang beragam.
Hadirnya calon independen dalam sebuah pilkada tentu memilki imbas politik yang luas setidaknya kepada partai-partai politik, diantara imbas tersebut adalah lahirnya tantangan bagi para pengurus partai politik. Tampilnya calon independen memang membuat kompetisi semakin kompleks dan ketat. Kompetisi tidak saja terjadi antar partai politik yang mengusung calonnya masing-masing, tetapi juga terjadi antara partai politik dengan calon independen. Sudah tentu persaingan yang semakin ketat tersebut "memaksa" partai politik untuk membenahi dirinya dengan melakukan konsolidasi wawasan, konsolidasi organisasi dan konsolidasi Kader
Di sisi lain fungsi partai politik menjadi dipertanyakan di dalam sebuah sistem yang demokratis, jika sebelumya partai politik secara umum di berbagai dunia memiliki fungsi-fungsi seperti sebagai sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, komunikasi politik, maupun fungsi lainnya termasuk sarana partisipasi politik,[10] maka kini pertanyaan besar muncul, siapa yang akan melaksanakan fungsi tersebut jika pada suatu daerah masyarakatnya tidak lagi percaya kepada partai politik dan lebih memilih calon independen sebagai kepala daerah.
Kelemahannya dan tantangannya saat ini, calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen (infrastruktur) dengan lembaga eksekutif (suprastruktur) tidak ada. Justru posisi eksekutif yang diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota karena representasi dari kekuatan berbagai parpol. Dilihat dari efektifitas pemerintahan, kita menyaksikan pesimisme yang lain. Calon independen yang terpilih menjadi kepala daerah sangat mungkin akan mengalami kesulitan dalam mengambil kebijakan bersama DPRD. Jika tidak dicalonkan oleh partai dan tidak didukung oleh partai, sangat mudah diduga bahwa fraksi-fraksi DPRD juga tidak akan begitu saja mendukung kebijakan Kepala Daerah. Potensi masalah lain, di daerah-daerah dengan kontrol publik yang lemah, calon independen bisa menjadi tokoh politik yang tidak terkontrol sehingga kebijakan publik pun menjadi tidak terkendali. Jika didukung institusi primordial yang kuat, tampilnya kepala daerah dari calon independen juga bisa memicu peluang bangkitnya oligarki primordial.[11]
Berikut adalah pemaparan mendetil mengenai calon independen berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2008:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH[12]
Pasal 59
(1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
(2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(2a) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
(2b) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
(2c) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2a) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.
(2d) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2b) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
(2e) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
(4a) Dalam proses penetapan pasangan calon perseorangan, KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
(5) Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan calon partai politik, wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung;
b. kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon;
c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung;
d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;
e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya;
i. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;
j. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan
k. visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
(5a) Calon perseorangan pada saat mendaftar wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pasangan calon perseorangan;
b. berkas dukungan dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk;
c. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
d. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f. surat pernyataan nonaktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di daerah wilayah kerjanya;
g. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;
h. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan
i. visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
(5b) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) huruf b hanya diberikan kepada satu pasangan calon perseorangan.
(6) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya.
(7) Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon.
Meskipun tata cara dan persyaratan untuk mengajukan diri menjadi calon independen atau perseorangan dalam pilkada sudah sangat jelas dan mengalami perbaikan beberapa kali dalam undang-undangnya, tetap saja peraturan yang ada tersebut dirasa masih diskriminatif dan mengandung kritikan di beberapa pasalnya, misalnya saja tentang aturan main yang mengatakan bahwa dalam pilkada yang di dalamnya juga diikuti oleh calon perseorangan, waktu pelaksanaannya boleh dimundurkan untuk memberikan kesempatan bagi calon perseorangan yang ada mengkonsolidasikan dukungannya. Logikanya, jika memang jarak antara masa akhir jabatan kepala daerah dan pilkada masih panjang, pengunduran jadwal bisa dilakukan. Namun, jika jarak antara masa akhir jabatan kepala daerah dan pilkada hanya satu bulan, tidak mungkin ada pengunduran jadwal pilkada. Sebab, dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan, pilkada harus dilakukan satu bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Seperti diketahui, salah satu usaha KPU untuk mengakomodasi calon independen adalah mengeluarkan surat edaran pada KPU di daerah.[13]
Kritikan lain juga datang terhadap ketentuan pasal 59 ayat 2a UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan, calon dari jalur independen harus mendapat dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan surat pernyataan dukungan. Syarat itu dinilai diskriminatif bila dibandingkan dengan pencalonan anggota DPD yang hanya mensyaratkan dukungan dalam bentuk fotokopi kartu tanda penduduk (KTP).[14] Padahal, dukungan terhadap calon kepala daerah bisa dalam dua bentuk, yaitu dengan KTP saja atau dengan pernyataan dukungan yang ditandatangani. Fungsinya tetap sama, yaitu untuk menunjukkan apakah benar calon tersebut didukung masyarakat. Dalam pasal yang lain misalnya, pada pasal 59 ayat 2a, kritikan juga datang sebab dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa calon independen di suatu daerah yang memiliki jumlah penduduk hingga dua juta jiwa minimal harus didukung sekurangnya 6,5 persen penduduk atau sekitar 130 ribu jiwa. Beratnya syarat tersebut dinilai diskriminatif karena menguntungkan calon wali kota yang berangkat dari partai politik. Dan jika hal ini tetap demikian, sangat dimungkinkan terjadinya transaksi politik uang yang tidak hanya biasa lagi dilakukan oleh para politisi parpol, namun juga para kandidat yang maju dengan cara independen atau perseorangan.
2.2 Alasan Kemunculan Calon Independen
Ketidakterbukaan partai politik dalam menempatkan kader-kadernya dalam jabatan politik menjadi salah satu alasan munculnya calon-calon independen di berbagai daerah.[15] Hal ini memunculkan kecurigaan sendiri bagi kader-kader internal dalam partai. Partai memiliki mekanisme internal masing-masing dalam menentukan siapa kadernya yang akan ditempatkan dalam jabatan politik tertentu. Golkar misalnya, dalam penentuan calon presidennya Golkar menggunakan mekanisme konvensi di mana dalam konvensi tersebut kader-kader Golkar dapat menyeruakan aspiransinya untuk mendorong jagoan mereka. Lain lagi dengan Partai Keadilan Sejahtera yang menyerahkan penentuan pemilihan jagoannya dalam lingkaran Dewan Syuro. Baru-baru ini masyarakat Jawa Barat dihebohkan oleh pemberitaan Wakil Gubernur mereka, Dede Yusuf, yang menyeberang semula sebagai kader Partai Amanat Nasional menjadi kader Partai Demokrat. Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y. Thohari mengungkapkan alasan munculnya calon independen adalah karena kekecewaan publik karena sistem pemilihan internal parpol menjadi sangat kuat. Masyarakat menjadi kecewa terhadap kredibilitas partai politik.
Elit lokal yang hendak maju dalam Pilkada memang dapat menyewa kendaraan partai politik. Adang Daradjatun misalnya, pada tahun 2007 beliau menggunakan kendaraan PKS dalam pencalonannya untuk menjadi Calon Gubernur Jakarta. Dede Yusuf yang semula kader PAN sekarang beralih ke Partai Demokrat ditengarai akan menjadi kendaraan politiknya dalam pemilukada Jawa Barat selanjutnya. Sebagian elit daerah lain lebih memilih menempuh jalur calon independen dalam pencalonannya. Salah satu alasannya adalah mekanisme partai politik seringkali membatasi ruang gerak elit politik lokal tersebut dan persyaratannya susah dipenuhi.[16] Dalam pemenangan seleksi calon kepala daerah ditentukan oleh dua faktor: materil (uang) dan non materil (lobby). Namun kondisinya adalah tidak semua elit lokal merupakan elit yang memiliki materi yang berlebih serta memiliki kemampuan lobby atau memiliki tim lobby yang kompeten. Kondisi ini memaksa elit lokal yang ingin tampil menggunakan jalur dukungan rakyat sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Dengan kondisi yang demikian, salah satu alasan terkuat elit politik daerah untuk akhirnya menempuh jalur calon independen sesuai aturan undang-undang adalah karena elit politik tersebut memiliki modal sosial.[17] Modal sosial ini berupa ketokohan, kepribadian dan kepercayaan.[18] Salah satu bentuk modal sosial adalah posisi elit lokal tersebut dalam masyarakat, misalkan keterkenalan seseorang karena dia adalah tokoh adat, artis, pemuka agama, aktivis sosial, dan lain sebagainya. Singkatnya modal sosial tersebut adalah apa yang sering disebut sebagai kalangan antropolog sebagai kewibawaan tradisional. Dengan modal ini elit lokal lebih mudah mendapatkan dukungan dari masyarakat.
2.3 Studi Kasus: Kemenangan Calon Independen Pilkada Garut 2008
Tujuh pasangan calon kepala daerah awalnya meramaikan Pilkada di Kabupatten Garut pada tahun 2008. Hal ini dimungkinlan sebelum dilakukan verifikasi syarat-syarat ketentuan yang dibutuhkan dan verifikasi faktual lainnya. Melihat jumlah tersebut, kita disajikan sebua fenomena unik bahwa ternyata dari komposisi tujuh pasang yang telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Garut, tiga dari unsur perseorangan dan empat lainnya adalah dari partai politik.[19] Dengan begitu, Garut menjadi daerah yang paling banyak calon peserta Pilkada meski ketujuh pasang calon belum dipastikan lolos karena masih perlu diverifikasi. Diantara nama-nama yang mencalonkan diri tersebut adalah Abdul Halim (Ketua Majelis Ulama Garut) Nandang Suhendra (Kementrian Riset dan Teknologi), Sali Iskandar (Ketua Umum Persatuan Guru dan Dosen Swasta), Asep Kurnia Hamdani (Ketua Asosiasi Kepala Desa Indonesia Garut), dan yang tidak kalah menarik adalah tampilnya artis Dicky Candra yang berpasangan dengan Aceng Holik (mantan pengurus Partai kebangkitan Bangsa di Garut).
Akhirnya dalam pilkada Kabupaten Garut—yang terjadi melalui dua putaran—tersebut menghasilkan pemenang dari calon independen, yaitu pasangan Ceng Fikry-Dicky Chandra yang nantinya akan dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Garut priode 2009-2014 menggantikan Agus Supriadi dan Memo Hermawan, sekaligus saat itu merupakan kasus ketiga dalam pilkada Indonesia yang memperlihatkan kemenangan calon independen,[20] padahal dalam pilkada putara pertama lalu, pasangan Ceng Fikri-Dicky Chandra berada di urutan kedua di bawah Rudy-Oim.[21] Hasil rekapitulasi penghitungan suara, kedua orang itu unggul 112.026 suara atas lawannya yang diusung gabungan parpol yaitu duet Rudy Gunawan dan Oim Abdurochim, Aceng dan Diky meraih 535.289 suara (55.8 persen) sedangkan lawannya mengumpulkan 423.263 suara (44,2 persen), sementara partisipasi pemilih mencapai 985.898 atau 62,3 persen yang berarti 37,7 persen lainnya golput.
Untuk dapat melihat mengapa pasangan ini bisa memenangkan pilkada dengan lawan yang tangguh, terutama dari partai politik, dan berhasil mengalahkan pasangan independen lainnya, perlu dilakukan analisis internal dari pasangan dan eksternal dari peta perpolitikan di Garut.
2.3.1. Modal Sosial: Norma Pengikat Masyarakat Garut
Bisa dikatakan bahwa masyarakat Garut dikenal sebagai masyarkat Sunda yang memiliki ikatan yang sangat kuat dalam agama Islam. Hal ini dapat dirunut dari latarbelakang sejarah kerajaan Islam dan faktor persebaran Islam yang kental di daerah Jawa Barat. Apabila kita refleksikan dari jumlah penduduk beragama Islam di Garut yang mencapai sebesar 99,8%[22] dari total populasi, tidak heran apabila Gaurt sangan kental dengan kegiatan agamisnya dan menjunjung tinggi budaya Islam. Berbagai aktivitas pemuda Islam seperti GP Ansor juga marak tumbuh di Garut dan sudah merupakan hal yang wajar bagi pemuda di sana untuk ambil andil.
Tingkat kesetiaan masyarakat Garut terhadap agama Islam ini pun dapat dilihat dari responnya yang sangat keras kepada kelompok Ahmadiyah. Pemerintah Garut menentang dengan keras berdirinya kelompok Ahmadiyah dan men-teror anggotanya yang ada diwilayah mereka demi membela nilai “Islam” yang sebenarnya[23].
Melihat dari kenyataan ini, agama Islam bisa dikatakan menjadi norma dalam masyarakat Garut yang mengikat mereka satu sama lain. Norma ini juga berhasil menggerakkan mereka dalam merespon terhadap suatu ‘ancaman’ bersama, seperti apa yang terjadi terhadap kelompok Ahmadiyah di Garut. Keterikatan ini menciptakan trust antara satu anggota masyarakat dengan yang lainnya, sehingga akan memudahkan apabila pemimpin mereka bisa menunjukkan ke-trustworthiness-annya kepada masyarakat Garut. Masyarakat Garut akan lebih percaya pada pemimpin yang bisa menunjukkan nilai agamisnya. Agama ini juga sudah membangun network tersendiri dengan jaringan kegiatan agamanya.
2.3.1. Modal Individual: Kekuatan Internal dan Eksploitasi Modal Sosial
Seperti yang telah dipaparkan di dalam subbab di atas, masyarakat Garut memiliki modal sosial yang sangat kuat, yaitu kepercayaannya dalam agama Islam. Berikut ini kita akan melihat bagaimana modal individual dari kedua calon bisa mengeksploitasi modal sosial masyarakat Garut sehingga bisa memenangkan Pilkada 2008. Secara individual Fikri yang dilahirkan di Garut pada 6 September 1972 dan beranak tiga orang ini adalah wiraswastawan, mantan pengurus teras PKB Garut dan aktif dalam perkoperasian. Sedangkan Diky Candra dilahirkan di Tasikmalaya pada 12 Mei, beristrikan Rani Permata dan dikarunia empat orang anak, berprofesi wiraswasta, selain juga dikenal sebagai artis, sutradara dan penulis.
Kedua orang ini mengusung visi, "Terwujudnya Garut yang mandiri dalam ekonomi, adil dalam budaya, dan demokratis dalam politik dengan didasari Ridho Allah SWT”. Beberapa diantara janji mereka selama kampanye adalah mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih serta berpihak kepada kepentingan rakyat, meningkatkan keseimbangan hubungan ekonomi, politik, sosial dan budaya antara wilayah pedesaan dan perkotaan, dan menciptakan lapangan kerja.[24]
Dari pemaparan tersebut diketahui bahwa kedua pasangan telah memiliki modal sosial yang bisa menarik hati masyarakat. Fikri sendiri telah aktif menjadi pengurus koperasi di Garut dan dirinya pernah menjadi pejabat PKB di Garut. Ia memiliki modal sosial dari beberapa lingkaran masyarakatnya. Yang pertama yaitu dari lingkaran partai PKB. Ceng Fikri sulit untuk dikatakan benar – benar bebas dari politik, beliau telah memnjalani pendidikan politik dengan diangkatnya menjadi pemimpin Garda Bangsa Garut pada tahun (2001 – 2002), yitu kelompok pemuda penduung PKB, sebelum akhirnya menjadi Sekretaris PKB Garut tahun (2002 – 2006). Kelompok tidak menemukan alasan pasti mengapa Fikri keluar dari PKB, tetapi bisa dilihat dari sejarah perpecahan PKB sebelum tahun 2008 bisa menjadi salah satu alasan mengapa Fikri memilih menjadi independen[25].
Yang kedua yaitu modal sosialnya di kalangan pemuda dan agama dari lingkaran Gerakan Pemuda Ansor Garut. Pemuda merupakan salah satu populasi terbesar yang ada di Indonesia, termasuk di Garut. Dengan memiliki peran dan kepemimpinan dalam aktivitas kepemudaan, Fikri memiliki keuntungan yang lebih besar dari pada lawannya[26]. Belum ditambah dengan kegiatan GP Ansor yang bersifat keagamaan, dengan kedekatan GP Ansor di bawah Nadhatul Ulama, aktivitas Fikri dilihat sebagai aktivitas agamis dan menarik hati masyarakat yang mengutamakan ideologi agamis. Melihat kekentalan agama Islam di masyarakat Garut, bisa dikatakan penokohan Fikri sebagai aktivis agamis memenangkan hati masyarakat. Masyarakat Garut yang sangat frontal terhadap pelarangan Ahmadiyah dan memegang tradisi yang kuat terhadap agama Islam, terutama dengan ditemukannya Alquran tertua di Garut membuktikan bagaimana masyarakat di kabupaten tersebut memiliki pengutamaan agama Islam[27]. Aktivitasnya menjadi pemimpin Pecinta Garut pun menjadi salah satu kontributor kemenangannya.
Sedangkan untuk Dicky Chandra, nama dan wajahnya yang sudah tidak asing lagi di layar kaca setiap rumah di Indonesia, termasuk di Garut, membuat masyarakat seakan – akan dekat dengannya. Sebagai seorang figur publik yang sudah terkenal, biografi tentang dirinya dan masa lalunya sebagai pejuang yang berjuang keluar dari tekanan ekonomi juga menjadi salah satu cerita yang bisa ia ‘jual’ untuk mendekatkan dirinya ke masyarakat. Liputan media yang menyorot kehidupan masa lalunya, dan keterbatasan ekonomi yang membuatnya tidak lanjut kuliah tetapi harus bekerja menarik simpati masyarakat dan merasa Dicky mengetahui bagaimana rasanya untuk berada menjadi orang susah[28].
Selain dari kekuatan personal, strategi kampanye mereka juga sangat baik. Dengan tema “Terwujudnya Garut yang mandiri dalam ekonomi, adil dalam budaya, dan demokratis dalam politik dengan didasari Ridho Allah SWT” pasangan ini mengusung nilai; kesejahteraan masyarakat, keadilan, demokrasi, anti-korupsi dan yang terpenting adalah agama. Label demokrasi yang dimanifestasikan melalui pencalonan keduanya sebagai calon indepenen memenuhi euphoria masyarakat mengenai pemilu yang demokratis, belum lagi ditambah nilai agamis yang dibawa dari slogan tersebut. Sementara pasangan Rudy dan Oim yang di dukung oleh PDI dan Golkar tidak mengkapitulasi nilai agama dan kedekatan dengan masyarakat sebaik pasangan sebelumnya.
2.3.3. Analisis Eksternal Perpolitikan Garut Tahun 2008
Pada saat Pilkada Kab. Garut 2009, kandidat terkuat adalah pasangan Rudy Gunawan-Oim Abdurohim. Kedua pasangan ini diusung oleh dua partai politik besar Golkar dan PDIP. Latar belakang Rudy Gunawan sebenarnya selama ini dikenal sebagai kader dari PAN dan HKTI. Sedangkan Oim Abdurrohim merupakan kader dari PDIP dan alumni GMNI. Banyak kalangan menilai keputusan Golkar Garut untuk memilih Rudy Gunawan adalah salah satu blunder. Blundernya adalah karena beliau bukan merupakan kader asli Partai Golkar dan berasal dari kalangan yang belum teruji militansinya. Hal ini memungkinkan muncul perasaan sakit hati kader Golkar Garut lain yang juga ikut konvensi untuk maju menjadi calon dari partai.
Pasangan yang menjadi kuda hitam adalah Aceng Fikri dan Diki Chandra. Keduanya merupakan pasangan dari calon independent. Selama ini Aceng Fikri dikenal lekat sebagai orang PKB. Namun terdapat perpecahan di tubuh PKB sehingga Aceng akhirnya keluar. Hal ini menguntungkan Aceng karena dirinya sangat dikenal oleh masyarakat ‘bersarung’ yang menjadi mayoritas di Garut. Penduduk mayoritas Garut beragama muslim sehingga hal ini menjadi keuntungan bagi Aceng, di sisi lain partai islam besar lain PPP dan PKS belum terlalu jelas basis politiknya di sana. Keberadaan Diki Chandra lebih menonjol sebagai vote-gater mengingat dia ternyata bukan putra daerah Garut, namun cukup dikenal dalam masyarakat awam karena latar belakangnya sebagai artis.
2.4 Analisis Sedikitnya Kemenangan Calon Independen
Hingga Pilkada yang diselenggarakan pada tahun 2011 ini, sangat sedikit jumlah kemenangan calon independen yang menang. Beberapa kasus yang dapat diidentifikasi, adalah beberapa kemenangan berikut ini:
1. Pilkada Bupati Rote Ndou Oktober 2008 lalu yang dimenangkan oleh pasangan non partai yaitu Christian N Dillak, SH- Zacharias P Manafe. Pasangan ini mengalahkan calon perseorangan lain yaitu Leonard Haning MM – Drs Marthen L Saek. Kemenangan Christian N Dillak, SH- Zacharias P Manafe merupakan kemenangan pertama bagi calon perseorangan yang bertarung di Pilkada.
2. Pilkada di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, 10 Oktober 2008. Pasangan O.K. Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar menyingkirkan pesaingnya yang diusung partai politik.
3. Pilkada di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, 19 Desember 2009 lalu. Pasangan Muda Mahendrawan – Andreas Muhrotien mengalahkan jago dari partai politik.
4. Pemilukada Garut bahkan sampai terjadi dua putaran. Putaran Pertama diikuti oleh 7 (tujuh) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati. 4 (empat) pasangan calon dari partai Politik, sisanya 3 (tiga) pasangan dari calon Perseorangan. Pada Pilkada putaran pertama tanggal 26 Oktober 2008 Ceng Fikri-Dicky Chandra lolos keputaran kedua dengan suara dibawah pasangan dari Parpol Rudi-Oim. Namun pada putaran kedua Ceng Fikri-Dicky Chandra justru lolos dan ditetapkan KPU Garut sebagai pemenang Pilkada di Kabupaten Garut. Pasangan Ceng Fikry Diki Chandra menang mutlak dengan 535.289 suara (55,8 persen) mengalahkan pasangan Rudy-Oim dengan suara 423.263 (44,2 persen). Kemenangan pasangan Ceng Fikri-Dicky Chandra (Anda) yang diusung dari independen juga menjadi sejarah bagi Garut. Dan ironisnya, kemenangan itu terjadi di daerah basis kuat partai besar selama ini. Kabupaten Garut hingga Pemilu 2004, merupakan basis terkuat partai-partai politik. Apalagi Garut juga sebagai salah satu barometer perpolitikan di Indonesia.
5. Pemilihan Gubernur, calon independen (perseorangan) yang berjaya adalah Irwandi Yusuf sukses merebut kursi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam[29]
Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya sulit untuk memastikan apa rumusan faktor yang bisa memastikan kemenangan seorang calon independen. Semua tergantung dari konteks perpolitikan partai – partai yang ada di daerah tersebut; contohnya Ceng Fikri dan Dicky Chandra bisa mengalahkan jagoan dari parpol lain, sementara Dede Yusuf harus bergabung dengan parpol untuk mengalahkan lawannya. Namun satu hal yang dapat dilihat bahwa alasan mengapa banyak calon independen yang jarang menang. Secara umum hanya terdapat 5 hingga 10 kemenangan calon independen di Pilkada di seluruh Indonesia[30].
Kita dapat menganalisis sedikitnya calon yang menang dari dua aspek, aspek internal calon dan eksternal. Aspek internal bisa dilihat dari kualitas calon itu sendiri, apakah ia anak daerah, apakah ia memiliki kelompok masyarakat yang besar dan mau mendukung dirinya. Disinilah analisis modal sosial calon independen dilakukan.
Sedangkan aspek eksternal dapat dilihat dari peta perpolitikan partai politik dan politik informal yang terjadi di dareah tersebut. Semakin kuat kesetiaan masyarakat kepada suatu partai tertentu, semakin sulit calon independen mengambil hati rakyat. Partai politik yang jauh lebih terstruktur, kemungkinan memiliki suntikan dana kampanye yang lebih besar dibanding personal, memiliki berbagai akses dan kemudahan untuk maju dalam Pilkada dibandingkan personal.
Husnusl Isa Harahap, dosen politik USU Medan, mengungkapkan bahwa ada tiga cara bagaimana pemilih menentukan pilihannya dalam pilkada[31]. Pada tingkatan pertama pemilih hanya berupaya melakukan identifikasi terhadap para kandidat yang pada akhirnya menciptakan orientasi terhadap kandidat. Pertanyaan kuncinya adalah siapa kandidat. Pertanyaan tersebut menjurus pada upaya mencari persamaan antara pemilih dengan kandidat, misalkan apakah kandidat memiliki suku dan agama yang sama dengan pemilih. Selain itu juga mencari sesuatu yang menarik, apakah itu karena ketertarikan fisik, keperibadiannya, atau karena memiliki ikatan tertentu. Dalam hal ini faktor ikatan emosional seringkali lebih menentukan dibandingkan dengan faktor fisik dan kepribadian
Identifikasi pada tingkatan kedua adalah identifikasi partai politik. Identifikasi ini merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan karena alasan ideologis. Sebagian pemilih melihat partai politik sebagai representasi keyakinan pemilih. Dalam hal ini pilihan terhadap kandidat didasarkan pada pilihan partai politik. Misal, pemilih akan memilih si A karena dia didukung oleh Partai B. Apabila partai B ternyata mendukung si C, maka sang pemilih akan memilih si C. Hal ini dikarenakan faktor partai menjadi penentu pilihannya. Pemilih semacam ini disebut sebagai pemilih loyal.
Pada tingkatan yang ketiga, pemilih tidak hanya mengidentifikasi latar belakang kandidat, melainkan juga mengidentifikasi program kerja. Pemilih akan melihat program kerja dari calon yang maju dalam pilkada, apakah menurut mereka program kerja yang mereka tawarkan akan benar-benar dapat membawa menuju perubahan yang lebih baik. Untuk kasus calon incumbent, kinerja mereka selama menjadi kepala daerah akan menjadi pertimbangan bagi pemilih untuk memilih mereka kembali atau tidak.
Melalui tiga cara pemilih menentukan pilihannya di atas, kita dapat melihat bahwa faktor partai politik masih sangat dominan bagi pemilih di Indonesia. Partai politik tentu akan memilih calon yang memang kompeten. Hal ini termasuk kesesuaian/kesamaan sang calon dengan daerah di mana dia dicalonkan. Misalkan, untuk mengajukan calon di daerah Subang, maka partai politik akan mencari figur yang memang berasal dari Subang. Dengan demikian akan muncul faktor kesamaan bahwa calon tersebut berasal dari daerah yang sama. Aspek ketiga mengenai program kerja juga dimiliki oleh partai politik. Terlebih lagi mereka sudah mempunyai struktur organisasi yang jelas untuk menyampaikan visi-misi dan program kerja mereka ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, apabila ada 2 orang calon yang memiliki kualitas sama menempuh dua jalur yang berbeda (indendent dan partai politik), maka kandidat dengan jalur partai politik akan memiliki kemungkinan menang lebih besar.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan analisis keberhasilan dari Fikri dan Dicky Chandra di Kabupaten Garut menunjukkan bahwa mereka memiliki modal sosial yang kuat dan berhasil mengkapitalisasikannya dalam program dan slogan kampanyenya; yaitu aktivitas kemasyarakatan Garut, kepemudaan, latarbelakang ekonomi personal dan nilai keagamaan. Karakteristik ini memnuhi kriteria yang dicari oleh pemilih berdasrakan Husnusl Isa Harahap yang mengatakan bahwa para pemilih melihat tokoh (‘siapa’ yang dicalonkan), partai mana yang mendukung dan apa programnya. Dengan sejarah kepartaian yang dimiliki Fikri, ia memiliki pendidikan politik, pemilih loyal, dan pengalaman yang diperlukan. Dapat dikatakan bahwa kemenangan ini dikarenakan karakteristik Firki dan Chandra memenuhi apa yang dicari pemilih sebagai calon independen, bukan serta merta karena ia independen maka ia terpilih. Sesuai dengan pemaparan yang telah diberikan bisa dilihat bahwa norma dari masyarakat Garut sebagai masyarakat Islami berhasil di kapitalisasi oleh pasangan Aceng – Dicky, nilai trust dari masyarakat Garut kepada Aceng didapatkan dengan latarbelakang Aceng sebagai anak daerah dan aktivitasnya di organisasi kepemudaan dan network yang dimiliki oleh Aceng di peta perpolitikan Garut sebagai mantan PKB ditambah dengan figur Dicky sebagai artis yang mempermudah membuat network baru karena karakternya sebagai public figure yang membuat orang baru ingin dekat dengannya sebagai efek dari populatritasnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa selama calon memiliki modal individual seperti yang dicari masyarakat, ia dapat memenangkan pemilu terlepas dari saingan partai politik. Untuk mencapai modal tersebut kandidat tidak bisa terlepas dari kegiatan politik sebelumnya. Bahkan dalam kasus Fikri yang pada akhirnya masuk ke partai Golkar setelah menjabat, memperlihatkan bagaimana sebenarnya dukungan partai masih dibutuhkan untuk meluruskan kepemimpinan kepala daerah kedepannya.
Daftar Pustaka
Sumber Buku dan Artikel Cetak
Bambang Purwoko, Calon Independen, dalam Analisis Kedaulatan Rakyat, 27 Juli 2007
Coleman, James. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital, dalam American Journal of Sociology I 94 (supplement).
Haryanto. 1984. Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum. Liberty: Yogyakarta
H.A. Kartiwa, Solusi Atas Isu Politik Tentang Calon Independen dan Ajakan Golput dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008, Makalah disampaikan dalam kegiatan sosialisasi Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat tahun 2008.
Husnul Isa Harahap, "Pilkada dan Bagaimana Pilihan Ditentukan", Harian Waspada, Maret 2010
Husnul Isa Harahap, Makna Munculnya Calon Independen, dalam Harian Umum Waspada, 10 Maret 2010
James Coleman, Social Capital in the Creation of Human Capital, dalam American Journal of Sociology I (1988) 94 (supplement), p. 95-120.
JURNAL EKONOMI ISLAM REPUBLIKA, "Pengentasan Kemiskinan Berbasis Zakat"
Martti Siisiäinen , “Two Concepts of Social Capital: Bourdieu vs. Putnam” Department of Social Sciences and Philosophy University of Jyväskyla.
Sutoro Eko, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, draft makalah disajikan dalam Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003.
Sutoro Eko dari Coleman (1988, 1990), Putnam (1993, 2000), North (1990), Bain dan Hicks (1998), Uphoff (2000), Colleta dan Cullen (2001) dalam Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Ayat 1 Pasal 47
Pasal 1 ayat (1) PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Sumber Internet
http://www.jpnn.com/berita.detail-54641
http://mudjiarahardjo.com/artikel/204-mengenal-modal-sosial.html
http://rasgar.wordpress.com/berita-garut/biodata-bupati-dan-wakil-bupati-garut-periode-2009-–-2014/ http://tv.liputan6.com/main/read/3/1035730/1/alquran_kuno_bukti_sejarah_islam_di_garut
[1] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Ayat 1 Pasal 47
[2] Pasal 1 ayat (1) PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
[3] Diakses dari http://anganaji.wordpress.com/uu-32-tahun-2004-revisi-disahakan/ (3 Mei 2011)
[4] Diakses dari http://mudjiarahardjo.com/artikel/204-mengenal-modal-sosial.html (9 Mei 2011)
[5] Martti Siisiäinen , “Two Concepts of Social Capital: Bourdieu vs. Putnam” Department of Social Sciences and Philosophy University of Jyväskyla.
[6]Sutoro Eko, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, draft makalah disajikan dalam Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003.
[7] Diadaptasi dan dimodifikasi oleh Sutoro Eko dari Coleman (1988, 1990), Putnam (1993, 2000), North (1990), Bain dan Hicks (1998), Uphoff (2000), Colleta dan Cullen (2001) dalam Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal.
[8] James Coleman, Social Capital in the Creation of Human Capital, dalam American Journal of Sociology I (1988) 94 (supplement), p. 95-120.
[9] H.A. Kartiwa, Solusi Atas Isu Politik Tentang Calon Independen dan Ajakan Golput dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008, Makalah disampaikan dalam kegiatan sosialisasi Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat tahun 2008.
[10] Haryanto, Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum, Liberty: Yogyakarta (1984), hal. 13-14
[11] Bambang Purwoko, Calon Independen, dalam Analisis Kedaulatan Rakyat, 27 Juli 2007, www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id,
[12] Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 April 2008 oleh Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 April 2008 oleh Menteri Hukum dan HAM RI Andi Mattalata
[13]Diakses dari http://www.pemilu-online.com/index.php/en/Syarat_Calon_Independen_Dipermudah.html, (25 Mei 2011)
[14]Diakses dari http://www.jpnn.com/berita.detail-54641 (25 Mei 2011)
[15] Diakses dari http://rimanews.com/read/20110413/23614/calon-independen-urgen-mencuat-karena-parpol-beku-dan-tak-terbuka, (3 Mei 2011).
[16] Husnul Isa Harahap, Makna Munculnya Calon Independen, dalam Harian Umum Waspada, 10 Maret 2010
[17] Ibid
[18] Ibid
[19]Diaksesdarihttp://lipsus.kompas.com/grammyawards/read/2008/08/11/2120399/Tujuh.Pasangan.Ramaikan.Pilkada.Garut ( 8 Mei 2011 )
[20] Calon Independen pertama yang menang pilkada terjadi di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, 10 Oktober 2008. Pasangan O.K. Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar menyingkirkan pesaingnya yang diusung parpol. Kasus kedua terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, 19 Desember lalu. Pasangan Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotien memecundangi jago parpol. Diakses dari http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/pilkada_visi_wahdan_helmi (31 Mei 2011)
[21] Diakses dari http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=17176.0 ( 8 Mei 2011 )
[22] JURNAL EKONOMI ISLAM REPUBLIKA, "Pengentasan Kemiskinan Berbasis Zakat", (31 Mei 2011)
[23] Diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2010/07/30/brk,20100730-267625,id.html (31 Mei 2011)
[24] Diakses dari http://www.sumbawanews.com/berita/nasional/calon-independen-pimpin-garut.html ( 8 Mei 2011 )
[25] Diakses dari http://gp-ansor.org/8230-23012009.html (10 Mei 2011)
[26] Diakses dari http://rasgar.wordpress.com/berita-garut/biodata-bupati-dan-wakil-bupati-garut-periode-2009-–-2014/ (31 Mei 2011)
[27] Diakses dari http://tv.liputan6.com/main/read/3/1035730/1/alquran_kuno_bukti_sejarah_islam_di_garut (10 Mei 2011)
[28] Diakses dari http://nasional.vivanews.com/news/read/26351-belajar_dan_besar_di_jalanan (10 Mei 2011)
[31] Husnul Isa Harahap, Pilkada dan Bagaimana Pilihan Ditentukan, harian Waspada, Maret 2010
0 Response to "“KAJIAN FENOMENA CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA: STUDI KASUS KEMENANGAN CALON INDEPENDEN DI PILKADA KABUPATEN GARUT 2008”"
Posting Komentar