Teori Pembangunan Negara-Negara Dunia Ketiga
Konsep sebuah frase “negara dunia ke-tiga” sebenarnya sudah mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan jika diamati dari awal kalahirannya sebagai sebuah sikap negara-negara yang tidak memihak pada salah satu blok ketika terjadi perang dingin antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat. Saat ini pemaknaan yang terjadi terhadap frase kata tersebut adalah sebuah atau pun kelompok negara-negara yang dinilai tertinggal, miskin, belum maju teknologinya, dan sangat tergantung pada negara-negara yang sudah maju. Pemaknaan secara ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan anatar negara-negara berkembang dengan negara-negara maju terkait hubungan bilateral maupun multilateral. Dengan demikian, teori-teori pembangunan untuk dunia ke-tiga tentunya memiliki perbedaan (meskipun ada juga persamaannya) dengan teori-teori pembangunan bagi negara-negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berbeda. Bagi negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau bagaimana meletakan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional, sementara bagi negara-negara adikuasa persoalanya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan. Ada tiga kelompok teori yang akan dibahas dalam pembagunan negara-negara dunia ke-tiga, yaitu teori ini merupakan reaksi terhadap modernisasi, yang dianggap tidak mencukupi, bahkan menyesatkan.[1]
Pertama adalah teori modernisasi. Teori ini menilai bahwa akan terjadi pembusukan dalam masyarakat jika (decay of society) jika modernisasi tidak dilakukan. Berawal dari teori pembagian kerja secara internasional—yaitu asumsi bahwa spesialisasi yang dilakukan oleh negara-negara dapat memberikan keuntungan semua pihak—teori ini melihat pada perbedaan pembangunan antar negara. Namun kemudian lahir kritik ketika terjadi kesenjangan perbedaan nilai tukar barang antar negara industri di utara (dianggap maju) dengan negara pertanian di selatan (dianggap terbelakang). Teori moderniasi yang ramai digunakan pada abad ke-19 di Eropa Barat rupanya terispirasi pula oleh konsepsi jalur kehidupan linear berkesinambungan menuju kemajuan. Jadi secara sederhana dapat dipahami bahwa teori ini berasal dari masalah-masalah dalam negeri atau faktor-faktor internal. Dengan menggunakan perspektif yang dikemukakan oleh Max Weber dalam melihat pembangunan, maka pembagunan (dengan teori modernisasi) akan dilihat dari kinerja birokrasi yang dilakukan oleh suatu negara industri melalui fokus terhadap syarat-syarat seperti efisiensi, professional, dan terdidik.[2] Pembagunan macam itu sering kali dinilai idealis, memiliki kekhasan, dan berciri tertentu. Maka dengan konsep Weberian tersebut dapat diakatakan bahwa indikator-indikator pembangunan yang digunakan dalam teori modernisasi diantaranya adalah indeks pembangunan manusia suatu begara (human development index) dan diterapkannya sistem ekonomi dan politik yang liberal. Meskipun begitu, teori ini tidak lepas dari kritikan diantaranya metodelogi yang dinilai ahistoris, terlalu terpaku pada Barat (negara-negara industri), dan terlalu berkubang pada persoalan dikotomi tradisional-modern.
Teori selanjutnya adalah ketergantungan dan underdevelopment. Teoir ini berawal dari asumi bahwa moderniasai telah gagal dalam menjelaskan ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan yang terjadi. Maka dengan menggunakan pendekatan struktur (base and superstructure) teori ini mencoba menjelaskan ketimpangan tersebut melalui penekanan pada aspek materi. Meskipun begitu sebenarnya teori ini membantah tesis Marx yang mengatakan bahwa kapitalisme akan menjadi cara produksi tunggal, dan menciptakan proses maupun struktur masyarakat yang sama di semua negara di dunia ini.[3] Anggapan ini diantaranya dikemukakan oleh Prebisch dan Baran yang mengatakan justru kapitalisme yang berkembang dinegara-negara yang menjadi korban imperialisme, tidak sama dengan perkembangan kapitalisme dari negara-negara imperialis yang menyentuhnya. Kapitalsme di negara-negara pinggiran adalah kapitalisme yang sakit dan sulit berkembang. Sehingga dapat diasumsikan bahwa di dalam teori ketergantungan, negara-negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamikanya sendiri bila tidak disentuh oleh negara-negara kapitalis maju dan justru karena sentuhan itulah (faktor eksternal) pembangunan di daerah pinggiran ini sulit berkembang. Maka kesimpulannya adalah kapitalisme di negara-negara pinggiran adalah kapitalisme yang bergantung pada perkembangan kapitalisme di pusat.
Menurut pandangan liberal, hubungan ketergantungan yang tercipta sebenarnya adalah hubungan saling membutuhkan, bagaimanapun juga negara-negara industri memerlukan apa yang tidak dimiliki dan hanya dimiliki oleh negara pertanian atau negara pinggiran. Namun pandangan liberal ini melupakan satu hal bahwa ketergantungan yang sebenarnya tercipta tidaklah saling setara.[4] Lebih keras lagi Andre Gunder Frank—seorang ekonom Amerika—melihat bahwa peluang terjadinya kebaikan manfaat pada negara-negara pinggiran dari hasil hubungan ketergantungan itu sangatlah mustahil. Baginya hasil yang akan tercipta hanyalah sebuah pembangunan keterbelakangan (development of underdevelopment). Frank dalam teorinya mengembankan kembali konsep Prebisch tentang negara-negara pusat dan pinggiran yang disebutnya dengan negara metropolis dan negara satelit. Namun jika Prebisch lebih melihat pada faktor ekonomi, Frank lebih berbicara tentang aspek politik, yaitu hubungan politis antara modal asing dengan kelas-kelas di negara-negara satelit.
Menurut Frank ada tiga komponen utama yaitu modal asing, pemerintahan lokal di negara-negara satelit, dan kaum borjuasi. Pembangunan hanya terjadi di kalangan mereka dan rakyat hanya menjadi tenaga upahan dan selalu dalam posisi dirugikan. Maka kemudian ciri-ciri yang timbul dari hubungan antara ketiganya adalah kehidupan ekonomi yang tergantung, terjadinya kerjasama antara modal asing dengan kelas-kelas penguasa lokal[5] serta terjadinya ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin di negara-negara satelit. Keuntungan dari berhubungannya tiga komponen diatas tidak akan pernah menetes ke bawah, seperti yang diperkirakan oleh teori penetasan ke bawah atau trickle down effect.[6] Akhirnya menurut Frank ketergantungan hanya akan bisa diatasi melalui revolusi yang langsung melahirkan sosialisme, berbeda dengan revolusi yang dikemukakan oleh Marx (secara bertahap).
Teori pembangunan yang terakhir adalah imperialisme atau pascaketergantungan. Sebelumnya menurut teori ketergantungan negara-negara yang lebih kuat ekonominya dianggap tidak hanya menghambat pembangunan negara pinggiran, tetapi juga ikut campur dalam merubah struktur sosial, politik, dan ekonomi negara yang lebih lemah. Namun setelah bertahun-tahun kemudian kenyataan empiris mengatakan lain. Negara pinggiran nampak mengalami gejala kemajuan dan pembangunan ekonominya. Salah satu tokoh yang banyak membahs tentang teori imperialisme atau pascaketergantungam adalah Immanuel Wallerstein. Sama dengan ilmuan lainnya, Wallerstein menilai bahwa teori ketergantungan dinilai tidak bisa menjelaskna gejala pembangunan di dunia ketiga. Dia beranggapan bahwa dahulu dunai dikuasi oleh sistem-sistem kecil dalam bentuk kerajaan, sitem dunia saat itu belum terjadi karena hubungan antar kerajaan juga masih terbatas. Kemudian terjadi penggabungan-penggabungan baik melalui penaklukan maupun secara damai dan akhirnya kerajaan-kerajaan yang bersatu ini membentuk apa yang disebut dengan world empire.[7] Kerajaan dunia ini mengendalikan kawasannya melalui sebuah sistem politik yang terpusat. Sampai pada akhirnya muncul kemajuan dibidang teknologi yang membuat sistem dunia baru, yaitu sistem ekonomi, sistem ini menggabungkan kawasan dunia melalui perdagangan bebas[8] dan saat ini kita mengenalnya dengan sistem kapitalisme global. Menurut teori sistem dunia yang saat ini dikenal dengan kapitalisme global, kelas-kelas sosial yang ada dapat saling berubah, negara yang maju dapat mengalami kemunduran begitu juga sebaliknya. Lihat bagaimana kelahirna negara adidaya Amerika Serikat pascaperang dunia dua dan Jepang—sebuah negara di Asia—yang hadir untuk mengimbanginanya sampai pada akhirnya lahir negara-negara industri baru seperti China, Korea Selatan, Singapura, dll.
Daftar Pustaka
Budiman, Arif. 2000 Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hadiz, Vedi R. 2005. “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES
Weber, Max. 1958. The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribne’s Sons
[1] Secara umum terdapat dua kelompok teori besar, pertama teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor internal, teori ini disebut dengan teori modernisasi. Kelompok teroi selanjutnya adalah teori yang banyak memepersoalkan faktor-faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskiann di negara-negara tertentu, teori seperti ini masuk ke dalam kelompok teori struktural yaitu diantaranya teori ketergantungan dan imperialisme.
[2] Lebih jauh lihat Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, 1958, New York: Charles Scribne’s Sons
[3] Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, 2000, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 62
[4] Dapat dipahami pula dengan asumsi bahwa majikan dan buruh memang benar saling membutuhkan, namun derajat keterbutuhannya berbeda dan buruh tidak akan pernah mempengaruhi majikan lebih jauh seperti ketika majikan mempengaruhi buruh
[5] Uapaya membangun borjuasi di negara satelit nampaknya hanya akan sia-sia, karena borjuasi tersebut merupakan borjuasi yang tergantung pada modal asing. Akumulasi modal yang terjadi akan diserap oleh kekuatan modal asing keluar, tidak dikonsumsikan atau diinvestasikan di dalam negeri itu sendiri.
[6] Arif Budiman,Teori Negara Dunia Ketiga, hal. 42
[7] Ibid,. hal 108
[8] Selain perdagangan bebas, desentarlisasi juga merupakan agenda yang saat ini gencar dilaksanakan. Perspektif ini banyak diproduksi oleh intelektual dan organisasi-organisasi pembangunan dunia seperti Bank Dunia atau USAID (United States Aids for International Development) yang mendefinisikannya sebagai aliran pemikiran pembangunan dari berbagai macam institusi (pasar, keluarga, hukum, dan sebagainya) berdasarkan asumsi-asumsi teori ekonomi neoliberal. Lebih lanjut lihat Vedi R Hadiz, “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, 2005, Jakarta: LP3ES
0 Response to "Teori Pembangunan Negara-Negara Dunia Ketiga"
Posting Komentar