“Ekonomi Politik PascaSoeharto: Oligarki yang Terdesentralisasi”

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Kejatuhan rezim Soeharto menandai akhir dari sebuah babak panjang dan sebuah permulaan babak baru dalam sejarah politik Indonesia. Bagaimanapun juga, sistem sosial, keamanan, ekonomi, dan politik yang telah dibangun oleh rezim ini selama lebih dari 30 tahun tidak benar-benar hilang ketika taransisi demokrasi sudah bergulir, apalagi asumsi yang banyak mengemuka saat ini adalah bahwa sistem yang telah dibangun lama—dengan ongkos politik yang juga mahal—justru akan memberikan pengaruh pada arah perjalanan bangsa Indonesai di masa datang. Salah satu warisan besar yang ditinggalkan oleh rezim orde baru ketika Indonesia sudah melangkah ke fase reformasi menuju demokrasi adalah terpeliharanya sebuah sistem kekuasaan oligarkis yang melindungi para elit, terutama dari tekanan kelas bawah.[1]
Dilangsungkanya pemilihan umum tahun 1999 sebagai sebuah simbol lahir kembalinya demokrasi di Indonesia sempat memberikan harapan perubahan dalam bidang politik terlebih masalah ekonomi dan kesejahteraan yang selam ini disandera oleh rezim orde baru dan lelap dalam nyanyian “pembangunan” yang sampai saat ini pun tidak kunjung memberikan efek tetesnya di daerah-daerah. Terpilihnya presiden Abdurrahman Wahid menggantikan B.J Habibie dinilai oleh sebagian pengamat sebaga pemurnian reformasi, sebab sosok yang terakhir disebut namanya ini kerap dianggap sebagai “perpanjangan tangan” periode orde baru. Namun ternyata yang kita saksikan adalah sebuah transisi menuju sistem politik uang dimana kepentingan-kepentingan oligarkis,[2] baik yang lama maupun yang baru, kemungkinan menemukan sarana untuk membentuk kembali diri mereka.
Dengan tidak adanya koalisi kepentingan antar kelas yang efektif yang dapat merepresentasikan suatu tantangan terhadap penggunaan kekuasaan yang tamak, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba menganalisa dan menjawab pertanyana-pertanyaan yang muncul terkait masalah ekonomi politik pascajatuhnya rezim orde baru baik yang terjadi di pusat maupun di daerah. Sejauh mana kelompok oligarki ini berbuat dan mampu bertahan di tengah sebuah sistem baru pascatransisi demokrasi, hal apa saja yang mendorong kelahirannya dan apa hubungan para aktor “masa kini” dengan para “bandit” masa orde baru. Dengan beberapa contoh kasus penerapan desentralisasi di daerah sejak tahun 1999 sampai saat ini, diharapkan dapat memberikan pandangan yang luas diantara kaitan kedua tema—sekaligus tujuan pembangunan—besar di masa reformasi, yaitu ekonomi dan politik.
1.2              Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis dalam makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan: “Apa dan bagaimana kelompok oligarki mempengaruhi ekonomi dan politik di Indonesia pascaruntuhnya pemerintahan orde baru?”
1.3              Kerangka Konseptual
Pada sub-bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang dipakai dalam penulisan makalah pendek ini. Setidaknya teori yang akan digunakan, yaitu
Teori Elit[3]
Teori elit menegaskan bahwa setiap masyarakat terbagi atas dua kategori yang luas yang mencakup sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Konsep dasar teori yang lahir di Eropa ini mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the rulling class), selain ada elit yang berkuasa (the rulling elite) juga ada tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini, massa memegang sejenis kontrol jarak jauh atas elit yang bekuasa, tetapi karena mereka tak begitu acuh dengan permainan kekuasaan, maka tak bisa diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya.
Apa yang mendorong elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik (senantiasa) adanya dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Karena dalam teori-teori kelompok dan elit, kekuasaan merupakan tujuan utamanya.
Pareto (1848-1923), percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasan sosial dan politik yang penuh. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat,
Menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas : (1) Lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). (2) Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elite. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurutnya berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.
Berdasarkan perspektif Pareto dalam membedah hubungan antar elit, ada beberapa penekanan penting yang digunakan. Pertama, Pareto merujuk pada adanya sirkulasi atau pergantian elit antar waktu. Hal ini dapat bermakna ganda: (i) salah satu elit dapat digantikan oleh elit lain; atau, (ii) seseorang dapat berganti posisi di kedua strata –di satu masa ia berada pada kelas tinggi dan di masa lain di kelas rendah. Kedua, pembagian Pareto mengenai ‘kelas tinggi’ (high stratum) yang ada dalam masyarakat menjadi dua, elit yang sedang memerintah atau berkuasa –baik langsung ataupun tidak- dan elit yang di luar pemerintahan atau tidak sedang memegang kendali pemerintahan.




BAB 2
Ekonomi Politik Indonesia dari Orde Baru menuju Reformasi
2.1       Menjelang Transisi Demokrasi
Selama lebih dari 30 tahun memimpin dan “memanipulasi” negara Indonesia, orde baru telah berhasil mengangkat kondisi kehidupan ekonomi dan sosial di Indonesia secara sangat berarti. Data yang berhasil dihimpun menunjukan bahwa penghasilan per kapita meningkat dari sekitar hanya USD 70 pada pertengahan 1960an menjadi lebih dari USD 1000 pada pertengahan 1990an. Prasarana yang langsung melayani masyarakat maupun yang mendukung kegiatan ekonomi dibangun secara luas. Kemiskinan menurun drastis dan berbagai indikator kesejahteraan sosial mulai dari harapan hidup, tingkat kecukupan gizi, tingkat kematian ibu dan anak, sampai ke tingkat partisipasi pendidikan, ketersediaan air bersih dan perumahan, semuanya menunjukkan perbaikan yang berarti.[4] Di tengah kemajuan itu, terutama dalam dasawarsa terakhir Orde Baru, tumbuh persepsi di kalangan masyarakat, yang makin mengental setiap hari, bahwa praktek korupsi, penyalahgunaan kewenangan di jajaran pemerintahan dan kroniisme di kalangan dunia usaha makin meluas. Sehingga tidak heran jika “orang kecil” pun di akhir tahlun 1990an mulai berani untuk membuat pernyataan terhadap negaranya, “pembangunan hasil hutang dan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”.
Ibarat sebuah bom waktu yang siap meledak, segala problematika yang salama orde baru terkubur dalam dan rapat kini satu persatu mulai muncul ke permukaan. Integrasi semu yang selama ini dibangun oleh rezim dengan mengandalkan kekuatan militernya tidak mampu lagi menutupi kecurigaan masyarakat yang semakin luas akan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Dan pemicu ledakan ini akhirnya tiba. Krisis keuangan yang mulai muncul pada pertengahan 1997 terus memburuk dan memasuki tahun 1998 berkembang menjadi krisis ekonomi skala luas dengan dampak negatif yang langsung dirasakan oleh masyarakat banyak.[5] Harga barang kebutuhan pokok naik tajam dan PHK terjadi dimana-mana. Orde Baru yang telah ditinggalkan Bangsa Indonesia telah meninggalkan banyak warisan. Di bidang politik, dominasi eksekutif yang berakhir dengan dominasi lembaga kepresidenan telah menyebabkan banyak kerancuan. Presiden menjadi sangat berkuasa tidak hanya dalam konteks kelembagaan bahkan jabatan presiden telah berubah jadi personifikasi Soeharto. Pada akhir jabatannya, Soeharto seperti mengambil seluruh cabang kekuasaan di luar eksekutif yakni legislatif dan yudikatif.[6]
Pertanyaan besar kemudian timbul beriringan dengan keadaan negara yang sudah tidak menentu ini, yaitu apa yang sebenarnya terjadi, ada apa dengan negara orde baru yang selama ini terkenal kuat dan memiliki pondasi ekonomi yang diklaim oleh lembaga-lembaga donor internasional (IMF, World Bank, dan ADB) sebagai salah satu yang terbaik di Asia. Cita-cita seketika berubah menjadi imajinasi dan tujuan menjadi utopis, slogan trickle down effect justru malah membenarkan kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi antara pusat dan daerah, antara Jakarta dan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa.
Akhirnya timbul sebuah bencana dan tragedi besar bagi bangsa Indonesia yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya selama lebih dari 50 tahun pascakemerdekaan, krisis ekonmi tahu 1997-1998. Sebenarnya peristiwa kelam dalam dunia ekonomi ini pernah terjadi pula sekitar 70 tahun yang lalu ketika terjadi depresi besar (Great Depression) yang melanda Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan beberapa negara lainnya dari tahun 1929 hingga 1939. Namun jika dicermati lebih jauh, yang terjadi dengan Indonesia (kriris 1997) nampaknya lebih serius dan lebih kompleks dalam artian bahwa dampak yang terjadi lebih buruk, setidaknya sampai dengan saat ini perasaan akan ketakuatan terulangnya peristiwa serupa terus membayangi dan menjadi kajian serius para ahli di Indonesia.[7]

2.2       Oligarki di Ujung Usia Orde Baru

Dari sekian banyak faktor yang mendera dan menjadi alasan terpuruknya Indonesia di akhir tahun 1990an dalam bidang ekonomi dan politik adalah jalinan oligarki yang dibangun sekian lama sebagai buah hasil sismbiosis antara penguasa, keluarga, pengusaha, birokrasi, dan lembaga-lembaga donor internasional. Bahkan secara ringkas, hubungan kongsi “para penjahat negara” ini telah menghasilkan sebuah konsepsi ideologi atau keyakinan terhadap gagasan pada masa Orde Baru, yaitu sebuah gagasan yang bertumpu pada dua kekuatan yakni pembangunisme (developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI. Orde Baru sebenarnya sangat berupaya keras memberangus ideologi dengan melarang ideologi lain selain Pancasila. Langkah ini diambil guna menciptakan sebuah konstelasi politik yang stabil dalam rangka menciptakan iklim yang nyaman bagi para investor yang dalam banyak kasus justru lebih pantas disebut sebagai “lintah darat” karena memberikan beban hutang yang besar pada negara. Militer dengan kewenangan luas yang dimiliki telah berubah menjadi alat kepanjangan tangan pemerintah, birokrasi “dipaksa” tuduk dengan kekuasaan melalui UU monoloyalitas yang mengharuskan pegawai negeri adalah merupakan unsur kader Golkar, dan masih banyak lagi “kerja kotor” para ologarki dalam rangka menghisap darah bangsanya sendiri.
Hipotesis Martin S. Lipset yang menjadi salah satu acuan orde baru dalam membangun fondasi ekonominya mengalami pembusukan dikarenakan keserakahan dan kebrandalan jalinan kelompok oligarki yang hidup di masa itu. Sebelumnya Lipset mengatakan bahwa demokrasi politik umumnya terjadi setelah keberhasilan pembangunan ekonomi. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi. Ia mengambil kesimpulan ini setelah melihat sejarah pertumbuhan demokras-demokrasi di Barat[8]. Negara Indonesia di bawah orde baru mencoba mengdopsi teori tersebut, namun ketika pembangunan ekonomi telah mencapai pada pertumbuhannya yang tinggi, logika kekuasaan yang sebelumnya tidak dibayangkan mulai muncul, seperti sebuah ungkapan terkenal oleh Amien Rais bahwa seseorang yang telah memimpin terlalu lama ia akan mudah mengalami ketumpulan visi, dan ini dialami oleh Soeharto. Akhirnya demokrasi liberal dan kesejahteraan yang diidam-idamkan tidak kunjung datang.
Kabar buruk demikian tidak hanya datang dari Istana Negara dan pengusaha semata, namun juga kalangan birokrasi. Karena telah menjadi tulang punggung kekuasaanlah, biokrasi—bagian dari sekian keruwetan simpul oligarki—di Indonesia pada masa Orde baru akhirnya menjelma menjadi perpanjangan tangan kekuasaan secara tersistimatis. Hal ini merupakan sebuah gejala yang secara khusus bergerak dari sejarahnya, yang cenderung selalu menjadi pelayan kekuasaan sejak zaman Kolonial, dan bukan menjadi alat negara yang netral sebagaimana seharusnya.[9] Karena hubungannya yang dekat dengan kekuasaan itulah yang pada fase selanjutnya—pascaturunnya Soeharto dari kursi kepresidenan—membuat birokrasi menjadi salah satu sektor yang paling frontal mengalami perombakakan dan pembaharuan di tangan kelompok yang katanya reformis. Sampai di sini akhirnya dapat kita pahami dengan teori elit yang ada bahwa pada pemerintahan orde baru pun sirkulasi kekuasaan terbagi menjadi dua seperti yang dikemukakan oleh Paretto, yaitu elit yang berkuas dan elit-elit yang dikuasi. Terkadang terjadi saling rebut kekuasaan meski fenomena yang paling umum adalah hubungan simbiosis diantar elit-elit yang ada untuk menggerogoti negara dari dalam.

2.3       Kekuatan Ekonomi Politik Indonesia PascaSoeharto
Jatuhnya rezim otoriter pemerintahan Soeharto pada awalnya sempat membangkitkan harapan masyrakat Indonesia yang selama ini hidup dalam isolasi partisipasi dan berpendapat. Lebih dari itu, perbaikan sistem pemerintahan yang direncanakan akan lebih demokratis—setidaknya menggunakan prosedur-prosedur demokrasi—juga memberikan angin segar atau setidak-tidaknya berita baik akan perbaikan nasib ekonomi kaum marjinal, kelompok minoritas, suku-suku kecil, dan rakyat miskin kota. Secara singkat, setelah mengevalusi lebih dari sepuluh tahun jalannya demokrastisasi di Indonesia, rupanya terlepas dari bahwa demokrasi itu adalah “sebuah proses yang panjang” ada semacam prematurisasi praktik kenegaraan dan pemerintahan,[10] khususnya di daerah-daerah pascabergulirnya wacana desentralisasi. Demokrasi baru Indonesia ini rupanya dibangun oleh apa yang Vedi Hadiz sebut dengan kaum predatoris,[11] yaitu para pelaku politik lama ditingkat paling dasar dalam simpul oligarki dan primordial orde baru yang masih resisten dan terbawa arus desentralisasi sampai ke daerah-daerah.
Mereka ini—para predatoris lama—yang dipupuk di bawah sistem patronase orde baru yang luas telah berhasil menata ulang diri mereka di dalam rezim baru pascareformasi. Melalui aliansi-aliansi baru baru mereka secara efektif telah menguasai institusi demokrasi Indonesia. Ini fenomena bangkitnya politik lokal, yang selama orde baru terbenam di lapisan terbawah sebuah sistem patronase. Indonesia saat ini juga mengalami sebuh pertanyaan besar terkait transisi yang dilakukannya. Secara teori, jatuhnya rezim otoriter akan membawa pada masa transisi yaitu peralihan kepada kehidupan yang lebih demokratis, lalu kemudian fase selanjutnya adalah tahap konsolidasi, dan diakhiri dengan tahap pematangan (deepening democracy), tapi juga mungkin bisa tidak terjadi. Menurut O’Donnel dan Schmitter bisa saja transisi yang dilakukan oleh sebuah negara—Indonesia misalnya—justru berujung pada “sesuatu yang lain”,[12] bisa menjadi lebih demokratis atau justru pembalikan dan pada akhirnya mematangkan sistem otoriter sebelumnya, hanya saja tampuk kepemimpinannya yang berubah.
Sebelum berkesimpulan lebih jauh tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia, kita harus melihat indikator-indikator analisisnya, diantaranya apakah suatu negara yang mengalami transisi telah melakukan perubahan konstitusi, UU pemilu yang baru, UU Desentralisasi dan sebagainya. Lebih khusus lagi, Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor internasional lainnya menilai bahwa transisi harus menuju pada sistem ekonomi pasar dan persoaalan pembentukan lembaga-lembaga good governance yang dijalankan oleh individu-individu yang baik, rasional dan tercerahkan, serta mampu menegakkan peraturan dan perundang-undangan guna menciptakan transparansi dan alokasi sumber-sumber daya efisien. Meski begitu, pandangan yang berasal dari Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor internasional seperti ADB dan IMF, cenderung mengabaikan berbagai kepentingan yang melekat di dalam lembaga-lembaga tersebut dan pengaruhnya terhadap jalannya pemerintahan di tingkat praktik.
Setelah memahami dan mampumenjawab di mana sebenarnya Indonesia sekarang, maka ada beberapa analis yang berpendapat—seperti Kingsbury dan Budiman—bahwa Indonesia berada pada fase pertengahan dari transisi, yaitu dari masyarakat otoritarian yang tertutup ke masyarakat yang terbuka. Di beberapa sisi justru yang terlihat demokratisasi yang terjadi sangt formalistik dan prosedural, seperti pemilihan umum yang bebas namun belum bebas dari praktik politik uang, manipulasi, dan kekerasan. Maka pemaparan di bagian sebelumnya dengan sangat jelas telah memberikan gambaran umum bagaimana transisi ini sebenarnya terjadi dan siapa para pelaku yang bermain.
Setelah mundurnya Soeharto, muncul banyak keinginan daerah untuk mendapatkan otonomi yang luas, bahkan sampai ada yang berkeinginan memisahkan diri dari NKRI. Pada saat itu respon pemerintah adalah menyusun undang-undang desentralisasi daerah tahun 1999 yang sampai saat ini telah banyak menuai perdebatan dan revisi beberapa kali. Kemudian permasalahan timbul, Jakarta sebagai pusat ekonomi dan kehidupan bernegara pada masa orde baru tidak serta merta merelakan kekuasaan dan pengelolaan asetnya dibagi-bagi ke daerah, oleh karena itu persaingan utama yang dirasakan adalah adalah tentang penguasaan sumber-sumber daya, meski kekayaan dan aset tiap daerah berbeda, nampaknya usaha mempertahankan apa yang menjadi hak dan apa yang menjadi miliki, oleh pemerintah daerah seperti sudah merupakan harga mati, tidak jarang antara pemerintah lokal sendiri pun (seperti gubernur dan bupati) terlibat perselisihan pengelolaan kekayaan daerah.
Lalu bagaimana dengan ekonomi Indonesia pascaSoeharto ? seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa transisi yang dilakukan lebih dari 10 tahun ini rupanya menyisakan ruang abu-abu[13] bagi para “pemian” lama yang juga keluarga oligarki pada masa orde baru yang resisten dan mampu berevolusi seiring arus desentraliasasi dan otonomi daerah. Mengalirnya kekuasaan ke daerah telah membuat korupsi dan kroni-kroni yang selama ini bermukin di pusat ikut hijrah. Permasalahan baru kemudian muncul, di dearah kini sudah seperti Jakarta dalam ukuran mini pada masa orde baru. Kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengurus daerah dan membut investasi tumbuh di daerahnya, ada istilah yang kemudian muncul yang disebut dengan “raja-raja kecil”. Mereka sangat kuat dan berkuasa dengan dukunga budaya masyarakat yang masih sangat primordial, melalui dukungan patronase tersebut itulah, modal, dan terkadang kekuatan fisik (seperti yang terjadi di Sumatera Utara), raja-raja kecil ini seperti layaknya oligarki masa orde baru, mengakumulasi modal secara primitif dan menyalahgunakan jabatan yang ada untuk kepentingannya sendiri.
Pada beberapa kasus sangat nyata terlihat, seperti banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, bahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, ia menuturkan, ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan, seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1/2011). Fenomena ini menandai adanya sirkulasi elit antar waktu seperti yang dikemukakan oleh Paretto, yaitu sebuah hubungan oligarki yang terus ada meski sistem telah berubah arena, kemampuannya untuk beradaptasi, dan berganti peran, namun tetap melakukan tindakan sama, akumulasi modal primitif.
2.3.1    Jerat Neo-Institusionalisme dan Desentralisasi di Indonesia
Sebagai bagian dari wacana dan teori pembangunan, desentralisasi sudah menjadi sebuah fenomena global dan regional seperti yang diungkapkan oleh Bank Dunia (di Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dan ain-lain), dan ramai didiskusikan saat ini dalam literatur pembangunan Neo-Institusionalis. Perspektif ini banyak diproduksi oleh intelektual dan organisasi-organisasi pembangunan dunia seperti Bank Dunia atau USAID (United States Aids for International Development) yang mendefinisikannya sebagai aliran pemikiran pembangunan dari berbagai macam institusi (pasar, keluarga, hukum, dan sebagainya) berdasarkan asumsi-asumsi teori ekonomi neoliberal.[14] Begitu juga dengan neoliberalisme yang diusung Reagan dan Thatcer, terlebih peletak dasar pondasinya, Frederick Von Hayek mengenai keyakinan kehidupan ekonomi yang baik harus dimulai dengan ketimpangan-ketimpangan ekonomi menuai kejemuan masyarakat terkait hingga kapan ketimpangan tersebut harus terus berlangsung[15]
Secara singkat dimaksudkan bahwa perspektif ini lahir dari lembaga pembangunan seperti yang disebutkan diatas dengan fokus perhatiannya pada hal desentralisasi dan demokrasi serta hubungannya, partisipasi, pertanggungjawaban, dan pemeliharaan civil society/modal sosial dengan menekankan unsur pilihan, maksudnya adalah bahwa konsep desentralisasi ini bagi negara-negara atau daerah tertentu dapat disesuikan berdasarkan kebutuhan, karakteristik, dan capaian nilai-nilainya. Dengan begitu, sangat diperhatikan sekali sebuah jalannya pemerintahan lokal atau daerah yang bersifat teknokratis, bebas dari terjadinya konflik (kepentingan, ekonomi, dan lain-lain), dan hubungan kesetaraan dalam pemerintahan, agar kebijakan yang dihasilakan dapat efektif, efisien, akuntabel, dan rasional (praktik pemerintahan yang baik dan partisipasi yang lebih luas).
Badan pembangunan internasional nampaknya terlalu “memanjakan” konsep Neo-Institusionalisme dan terlalu memuji negara-negara berkembang dalam hal desentralisasi, contohnya adalah Indonesia. USAID misalnya, mengatakan bahwa Indonesia telah dengan cepat bergerak dari masa-masa kontrol pusat yang begitu kuat menuju suatu sistem pemerintahan lokal yang jauh lebih terdesentralisasi dan otonom. Jelas pernyataan ini tidaklah begitu bersesuaian pada kenyataannya.
Sekilas nampak penjelasan di atas baik-baik saja dan tidak mengandung unsur negatif, tapi sekali lagi kita tidak boleh mengabaikan sifat predatoris para aktor lokal yang juga ikut terdesentralisasi bersamaan dengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Inovasi dan eksperimentasi pemerintahan lokal bisa ditafsirkan berbeda dan disalahgunakan. Contohnya adalah kasus korupsi yang marak menjerat para pejabat daerah, hal itu dimungkinkan karena luasnya kekuasaan dan kewenangan untuk mengelola anggarannya sendiri, terlebih didukung oleh para preman-preman dan bandit lokal di dalam pemerintahan daerah. Untuk daerah lainnya kita juga bisa melihat bagaimana gagalnya pemerintahan lokal dan desentralisi diterapkan di Afrika. Di Filipina juga ada yang disebut “Bos Politik Lokal”, yang uniknya lagi mereka juga bisa digolongkan ke dalam kelas teknokrat atau kelas menengah, sebab meski merupakan keturunan lokal yang menguasai suatu daerah tertentu, mereka mengenyam pendidikan di Barat dan cukup dekat dengan model pemerintahan yang teknokratis.
Beberapa contoh tentang kebijakan ekonomi dan politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas adalah seringnya terjadi kenaikan harga BBM, dibukanya keran impor bagi produk-produk pertanian strategis, dikeluarkannya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan segelintir contoh kemenangan gagasan neo-liberal dalam kebijakan ekonomi di Indonesia. Dengan kata lain, monopoli ekonomi yang dulunya berada di tangan negara, kini justru jatuh ke tangan segelintir kelompok bisnis yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan liberalisasi ekonomi[16]
Menurut Vedi Hadiz, dalam kenyataannya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah keseimbamgan yang sebenarnya antara otoritas pusat dan regional jauh kurang berkenaan dengan pembagian kerja dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih merupakan perebutan nyata atas sumberdaya-sumberdaya politik dan ekonomi. Akhirnya dapat dikataan bahwa kemenangan kepentingan-kepentingan predator dalam perebutan kekuasaanlah yang memiliki implikasi yang paling penting bagi desentralisasi dan demokrasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan keberhasilan membangun kembali diri mereka (predator) dalam  demokrasi baru. Dengan demikian, desentralisasi tidak mungkin menghasilkan suatu jenis pemerintahan teknokratis yang baik sebagaimana yang diidealkan dalam kerangka Neo-Institusionalis, sebab bagimanapun juga hubungan antara negara dan kekuasaan sama sekali tidak dapat dipisahkan apalagi terkait kepentingan. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi, dan dengan kekuasaan itu pula negara melakukan pengaturan terhadap masyarakatnya. Dalam kaitan ini Arief menyatakan bahwa kekuasaan negara yang sedemikian besar akibat negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum.[17]

2.3.2    Oligarki dan Shadow State
Kemunculan kekuatan-kekuatan politik baru di daerah juga bukan tanpa masalah, biasanya yang kentara terlihat adalah permasalahn konsesus anatar lembaga-lemabaga negara formal dengan lemabaga-lemabaga masyarakat yang bersifat informal seperti LSM, Ormas, maupun persekutuan adat. Di satu sisi mungkin hal tersebut menandakan sinyal positif dari partisipasai masyarakat dalam berpolitik ketika mulai sulit menyalurkan aspirasinya secara langsung kepada lembaga-lembaga formal negara, namun di sisi lain hal ini menimbulkan ketegangannya sendiri, yaitu lebih dominan dan dipercayanya lembaga formal oleh masyarakat daripada saluran aspirasi formal seperti parpol dan DPRD. Kehadiran lembaga informal ini kemudian lebih terlihat menggerogoti otoritas yang dimiliki lembaga formal negara.
Beberapa kasus pilkada—sejak bergulir pemilihannya secara langsung pada tahun 2005—memperlihatkan peran lembaga informal ini (kelompok kepentingan dan pengusaha) lebih kuat dalam pemenangan kandidat dalam sebuah pilkada dibanding peran yang dimainkan oleh lembaga formal, yang seharusnya menjadi instrument utama. Penguasaan mereka atas sumber daya ekonomi dan politik menjadi modal dasar yang kemudian menciptakan mereka menjadi pemegang kontrol atas konfigurasi politik di pilkada.[18] Hal ini diperparah ketika saluran demokrasi tadi (pilkada) lebih hanya bersifat prosedural dan terkesan mengabaikan pokok-pokok substansinya, maka kemudian yang terjadi adalah kompetisi antar elit dan tawar-menawar kepentingan antara golongan pemiliki modal dengan penguasa atau dengan kata lain institusi formal negara dibajak oleh institusi politik informal. Kekhawatiran selanjutnya adalah apabila di tingkat lokal tersebut pendidikan politik masyarakatnya masih rendah, akan semakin sulit saja menghindari peran aktor-aktor informal (tokoh-tokoh masyarakat) sebagai aktor mobilisasi massa pendukung.
Pada dasarnya pemilihan kepala daerah secara langsung adalah demi mewujudkan proses akuntabilitas para kandidatnya agar mampu bertanggung jawab dengan baik, serta menjamin terjadinya sirkulasi elit-elit lokal sehingga potensi konflik anta relit dan abuse of power dapat diminimalisir. Namun, pelaksanaannya saat ini lebih cenderung kepada fenomena absennya negara dalam menjalankan fungsi demokrasi dalam pilkada-pilkada yang diselenggrakan. Kekuatan informal lokal lebih memainkan perannya dan inilah yang disebut oleh William Reno dengan shadow state, yang pada awalnya istilah ini digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di negara-negara Afrika pascakolonialisasi. Negara bayangan (shadow state) biasanya akan hadir, tumbuh, dan berkembang pada saat terjadi pelemahan institusi formal negara, karena ketidakberdayaannya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah.
Untuk kasus di Indonesia, aktor utama “pemerintah bayangan” dalam pilkada adalah umumnya berasal dari kalangan masa lalu (orde baru) yang sebelumnya mendapatkan previlage untuk membangun kerajaan bisnisnya. Ketika rezim orde baru berakhir, maka jalan yang tepat untuk “mengamankan” kepentingannya adalah melalui “investasi politik” atau yang lebih kita kenal saat ini dengan istilah politik balas budi, bagaimana para pemodal mendapatkan pelayanan tertentu sebagai hasil kerjasamanaya menyokong pemenangan salah satu kandidat yang bertarung untuk menjadi kepala daerah. Salah satu kasus yang menjelsakan kekuatan politik informal ini dengan terang telah memenangkan posisi dan pengaruhnya lebih baik daripada lembaga formal negara adalah dinamika politik yang terjadi di Lombok Timur, yaitu menguatnya Ormas dan Pamswakarsa sebagai lemabaga informal yang paling berpengaruh dalam pemilihan kepala daerah.
















BAB 3
KESIMPULAN
  1. Pareto (1848-1923), percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasan sosial dan politik yang penuh. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Dalam hal Indonesia pascaSoeharto rupanya apa yang disebut dengan sirkulasi elit antar waktu banar-benar terjadi. Mereka yang disebut preman, predator, oligarki, atau raja-raja kecil tidak ubahnya dengan para oligarki dan simpul kroni pada masa orde baru. Ekonomi politik Indonesia kembali dalam ancaman di tengah usahan bangkit dari krisis dan penataan ulang sistem ketata negaraan serta ekonomi yang selama ini rapuh dan hidup dibawah bayang-bayang pemerintahan yang otoriter dengan kebiasaan mengakumulasi modal primitif demi kepentingan pribadi.
  2. Menurut Vedi Hadiz, dalam kenyataannya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah keseimbamgan yang sebenarnya antara otoritas pusat dan regional jauh kurang berkenaan dengan pembagian kerja dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih merupakan perebutan nyata atas sumberdaya-sumberdaya politik dan ekonomi. Akhirnya sebagai sebuah kesimpulan dapat dikataan bahwa kemenangan kepentingan-kepentingan predator dalam perebutan kekuasaanlah yang memiliki implikasi yang paling penting bagi desentralisasi—sebagai salah satu wacana besar dan agenda yang diusung pada masa reformasi—dan demokrasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan keberhasilan membangun kembali diri mereka (predator) dalam  demokrasi baru.
  3. Untuk kasus di Indonesia, aktor utama “pemerintah bayangan” dalam pilkada adalah umumnya berasal dari kalangan masa lalu (orde baru) yang sebelumnya mendapatkan previlage untuk membangun kerajaan bisnisnya. Ketika rezim orde baru berakhir, maka jalan yang tepat untuk “mengamankan” kepentingannya adalah melalui “investasi politik” atau yang lebih kita kenal saat ini dengan istilah politik balas budi, bagaimana para pemodal mendapatkan pelayanan tertentu sebagai hasil kerjasamanaya menyokong pemenangan salah satu kandidat yang bertarung unutk menjadi kepala daerah.
Daftar Pustaka

Boediono, 2008. Dimensi Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas EkonomiUniversitas Gadjah Mada, Jurnal Keuangan Publik Vol 5, No. 1
Chaniago, Andrinof A. (tanpa tahun). 10 Tahun Guncangan Besar: Akanka terulang ?. Diselenggaraan atas kerjasama Universitas Paramadina dengan PUSKAPOL UI dan Center for Indonesia Regional dan Urban Studies (CIRUS)
Eppler, Erhard. 2009 Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia
Hadiz, Vedi R. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES
_____________. 2003. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called ‘democratic transitions’, The Pacific Review, vol. 16 No. 4
.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia. Kanisius: Yogyakarta
Mas’oed, Mohtar. 1994. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Varma, S P. 1999. Teori Politik Modern. Jakarta : PT Raja Grafindo


Sumber internet :

http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/03/03/142/Ekonomi-Politik-Pasca-Reformasi (30 Mei 2011)





[1] Vedi R Hadiz, “Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesai” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, 2005, Jakarta: LP3ES, hal. 202
[2] Mereka ini diantaranya adalah para tokoh lokal, penguasaha-politisi, para pengusaha kecil yang bercita-cita menjadi pengusaha besar, dan bahkan para preman dan bajingan politik. Ibid., hal. 203
[3] Diolah dari SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta : PT Raja Grafindo,1999), hal. 197-200
[4] Boediono, Dimensi Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas EkonomiUniversitas Gadjah Mada, JURNAL KEUANGAN PUBLIK Vol. 5, No. 1, Oktober 2008 Hal 1 – 17
[5] Ibid,.
[6] Ibid,.
[7] Disadur dan diolah dati sebuah tulisan oleh Andrinof A. Chaniago yang diselenggaraan atas kerjasama Universitas Paramadina dengan PUSKAPOL UI dan Center for Indonesia Regional dan Urban Studies (CIRUS)

[8] Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi. 1994, Yogyakarta: Pustaka Pelajar



[10] Model yang populer pada saat itu – yang juga diterapkan pada masa rezim Soeharto - adalah sebagai berikut. Para elit di pemerintahan menggunakan instrumen partai sebagai basis ke kuasaannya. Dengan partai politik dilakukan kontrol ke berbagai bidang urusan kemasyarakatan dan suara parlemen. Para elit mengeluarkan kebijakan baik yang bersifat kerangka pembangunan ekonomi maupun tentang bagaimana para pelaku ekonomi mendapatkan izin untuk melakukan kegiatantya. Lebih lanjut lihat Meuthia Ganie-Rochman (Sosiolog dan Dosen FISIP Universitas Indonesia) dalam Ekonomi Politik Pasca Reformasi, diakses dari http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/03/03/142/Ekonomi-Politik-Pasca-Reformasi (30 Mei 2011)

[11] Vedi R. Hadiz, Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called ‘democratic transitions’, The Pacific Review, vol. 16 N0. 4 2003, hal. 591
[12] Vedi R. Hadiz, Kekuasaan Politik di Sumatera Utara; Reformasi yang Tidak Tuntas, dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesai Pasca-Soeharto, LP3ES: Jakarta (2005), hal. 236
[13] Para ilmuwan politik seperti Terry Lynn Karl, Friedbert W Rüb dan Heidrun Zinecker (2007) mengajukan tesis baru tentang rezim hibrida. Mereka berupaya mencari titik terang dalam ruang abu-abu antara demokrasi dan otoritarianisme. Menurut Karl, rezim hibrida muncul sebagai persoalan transisi. Dia mengamati fenomena transisi demokrasi di Amerika Tengah di mana perubahan rezim belum diiringi perubahan pemerintahan yang oligarkis. Kondisi ini yang ia sebut sebagai hibriditas. Hibriditas akan berakhir manakala konsolidasi demokrasi telah tercapai.

[14] Erhard Eppler, Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal, 2009, Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa liberalisme berkeinginan untuk membebaskan warga negara  tidak hanya membebaskan para usahawan borjuis yang memiliki harta benda - dari konsep negara yang berperilaku seperti pembantu rumah tangga (nany state). Negara seperti pembantu rumah tangga adalah negara yang harus menjalankan segalanya. Neoliberalisme membawa pasar sebagai titik awal berangkatnya, dan mengurutkan nilai sesuatu, termasuk negara, dalam ukuranukuran yang didasarkan pada pelayanan yang dapat diberikannya kepada pasar. Dalam pengertian pendekatan, neoliberalisme dapat disebut menganut pendekatan radikal-pasar (market-radical).

[15] Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia, 1991, Kanisius: Yogyakarta, h. xvii.
[17] Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, 1996, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 3
[18] Ahmad Husni Mubarak, bahan bacaan kuliah Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Negara dalam Pilkada: Pilkada dan Shadow State, hal. 50

Read Users' Comments (0)

0 Response to "“Ekonomi Politik PascaSoeharto: Oligarki yang Terdesentralisasi”"

Posting Komentar