Kepala Daerah dan Kasus Korupsi di Indonesia[1]
Wacana desentralisasi yang mengamanatkan perlunya pemindahan penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan keuangan, dan proses kebijakan dari pusat ke tingkat lokal rupanya belum sepenuhnya berdampak positif bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari maraknya kasus korupsi yang melibatkan para kepala daerah di tingkat lokal bersamaan dengan penyelenggaraan desentarlisasi tersebut. Keuangan daerah dinilai merupakan sektor yang paling rawan dikorupsi dengan APBD sebagai obyek korupsi.
Seperti diungkapkan Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Minggu (23/1/2011), hampir semua provinsi di negeri ini tersandera korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus tersangka atau terdakwa. Berdasarkan catatan hanya lima dari 33 provinsi di Indonesia tak ada kepala daerahnya yang terjerat perkara hukum. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, ia menuturkan, ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan, seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1/2011).
Jika melihat fenomena tersebut, peran dan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tidak berdaya menghadapi kasus korupsi yang menjalar hingga ke daerah ini. Penyebab yang sering dipersoalkan adalah pelaksanaan pemilu yang di lakukan di daerah, hal ini dipertegas oleh pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam yang mengatakan bahwa maraknya korupsi di daerah berakar dari kekeliruan dalam penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada). Pilkada dijadikan ajang transaksional. Biaya tinggi dalam pemilihan membuat calon kepala daerah mencari sumbangan dari sektor swasta.
Penjelasannya lebih lanjut menyebutkan, biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi calon bupati saja misalnya minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10 miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar. ”Itu belum sumbangan dana dari pengusaha lokal,” katanya. Akibatnya, setelah calon terpilih, dia sibuk mengembalikan uang yang dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang diberikan pihak swasta yang membantunya.
Pembahasan :
Dalam memahami permasalahan praktik desentralisasi di Indonesia seperti kasus korupsi yang dijelaskan di atas, kami mengaitkannya dengan tulisan yang dibuat oleh Vedi Hadiz dalam hasil penelitiannya yang berjudul “Desentralisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik Terhadap Perspektif Neo-Institusionalisme” sebagai alat analisa.
Perspektif Neo-Instisusionalis, Secara singkat dimaksudkan bahwa perspektif ini lahir dari lembaga pembangunan internasional (World Bank atau USAID) dengan fokus perhatiannya pada hal desentralisasi dan demokrasi serta hubungannya, partisipasi, pertanggungjawaban, dan pemeliharaan civil society/modal sosial dengan menekankan unsur “pilihan”, maksudnya adalah bahwa konsep desentralisasi ini bagi negara-negara atau daerah tertentu dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan, karakteristik, dan capaian nilai-nilainya. Unsur ‘pilihan’ dalam hal ini menyangkut pilihan rasional yang mengedepankan kepentingan masyarakat banyak, bukan hanya kepentingan sekelompok golongan tertentu. Dengan begitu, sangat diperhatikan sekali sebuah jalannya pemerintahan lokal atau daerah yang bersifat teknokratis, bebas dari terjadinya konflik (kepentingan, ekonomi, dan lain-lain), dan hubungan kesetaraan dalam pemerintahan, agar kebijakan yang dihasilakan dapat efektif, efisien, akuntabel, dan rasional (praktik pemerintahan yang baik dan partisipasi yang lebih luas).
Namun dalam kenyataannya, desentralisasi yang diharapkan mampu membawa pada efisifitas, efektifitas, dan stabilitas pemerintahan menemui permasalahnnya yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh perspektif Neo-institusionalis itu sendiri. Melalui desentralisasi kita mengharapkan partisipasi politik masyarakat yang lebih tinggi. Hal ini salah satunya dapat kita laksanakan dalam mekanisme pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Pemilukada yang dijadikan sebagai mekanisme pemilihan dan regenerasi kekuasaan yang dapat mengakomodasi kepentingan rakyat banyak justru menjadi ajang kontestasi kepentingan yang berbiaya tinggi. Ketidaksiapan dan kekurangmampuan para calon kepala daerah telah mendorong lahirnya praktik politik uang dalam pemilihan dalam rangka memenangkan salah satu calon. Kurangnya kapabilitas (misalnya; kepemimpinan, intelektualitas, public speaking, dll) menjadi masalah yang cukup pelik bagi desentralisasi di Indonesia. Seringkali calon kepala daerah mengajukan diri/diajukan semata-mata karena elektabilitas dan tingkat popularitas yang tinggi. Dalam konteks seperti ini dapat dipahami bahwa desentralisasi di Indonesia dan “kemenangan” seorang calon kepala daerah dalam kebanyakan kasus menunjukan kemenangan para ‘predator’ dalam perebutan kekuasaan. Kita dapat memahami konteks ‘predator’ sebagai orang-orang yang hanya mencari kepentingannya saja secara pragmatis dengan memanfaatkan mekanisme demokrasi yang kini sedang diterapkan pascaruntuhnya Soeharto.
Runtuhnya pemerintahan pusat rezim Soeharto rupanya tidak diikuti dengan runtuhnya praktik-praktik korupsi yang sudah menjadi “kebiasaan” lama rezim tersebut, termasuk di daerah-daerah. Para predatoris lokal tersebut telah mampu membangun kembali diri mereka dalam demokrasi baru. Seakan-akan terlihat jelas bahwa orang-orang inilah (para predatoris) yang mengendalikan agenda desentralisasi di Indonesia, bukannya para teknokratis yang bebas dari konflik dan kepentingan seperti yang dikatakan dalam perspektif Neo-Institusionalis. Lebih jauh lagi, praktik korupsi yang disebabkan oleh dorongan untuk menutupi “hutang dan jasa” para penyedia dana saat kampanye di pemilukada, rupanya membuat mereka (para koruptor) pada saat menjabat sebagai kepala daerah, seakan berlomba-lomba untuk mengusahakan terjadinya “balik modal” melalui upaya-upaya kotor seperti dijelaskan di atas. Dengan adanya distribusi kekuasaan dari desentralisasi, maka kepala daerah memilki otoritas lebih daripada masa order baru dulu sehingga hal ini lebih memungkinkan mereka untuk melakukan korupsi dan tumbuh menjadi ‘koruptor’ lokal. Akibat hal tersebut lah sebagian kalangan menilai desentralisasi hanya memindahkan dan memperbanyak koruptor dari pusat ke daerah-daerah.
Dengan mengembalikan kepada pemaparan kritik terhadap perspektif Neo-Institusionalis, kita bisa memahami bahwa sebenarnya di Indonesia saat ini—seperti yang dijelaskan Vedi Hadiz dan fenomena kasus korupsi kepala daerah—telah mencerminkan gagalnya pendekatan atau perspektif tersebut. Jelas praktik pemilukada yang didukung oleh dana besar adalah imbas dari tingginya tensi persaingan dalam pemenangan kampanye menarik suara rakyat lokal. Inilah gambaran betapa desentralisasi sangat mungkin dimasuki oleh asumsi-asumsi politik (kekuasaan dan kepentingan), dan bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang apolitis.
Biaya milyaran rupiah yang harus dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah yang akan maju dalam pemilukada jika kita perhatikan seksama sebenarnya adalah sebuah keadaan yang umum terjadi di masa sebelum desentralisasi (pemerintahan Soeharto). Tidaklah semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk dapat mencalonkan diri, sebab hanya orang tertentu dan berduit sajalah yang berhasil tampil ke permukaan untuk berkontestasi. Inilah ketidaksetaraan yang bisa kita lihat, bukan kesetaraan dan partisipasai tinggi dari masyarakat seperti penjelasan perspektif Neo-Institusionalis yang kita ketahui sebelumnya. Mungkin kini kekhasan tipe desentralisai yang dikatakan oleh World Bank dapat terjadi di daerah mana saja, sebenarnya adalah kekhasan pola predatorisnya dalam memperjuangkan kepentingan sendiri, bukan dukungan dan aspirasi civil society yang menjadi ciri penting perspektif Neo-Institusionalis.
[1] Diakses http://nasional.kompas.com/read/2011/01/24/0835256/Kenapa.Kepala.Daerah.Tersangkut.Korupsi, pada tanggal 15 Maret 2011, pada pukul 17.35
3) Mencari tahu bagaimana pengaruh dari pemikiran John Locke tentang State of Nature Ibagi pemikiran politik lainnya
1.4 Tinjauan Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini peneliti menggunakan metode studi literature. Dengan menggunakan berbagai macam literatur tentang John Locke dan pemikirannya tentang State of Nature juga pemikiran lainya yang terkait dengan pemikiran tersebut, penulis berupaya untuk mencari tahu pula pengaruh state of nature menurut John Locke bagi pemikiran politik selanjutnya. Sehingga didapatkan pemahaman secara utuh tentang State of Nature menurut John Locke.
1.5 Cakupan Permasalahan
Penyusunan makalah ini dibatasi pada bebrapa tema pokok yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Riwayat, latar belakang, dan pemahaman pemikiran John Locke tentang State of Nature
2. Pengaruh pemikiran State of Nature menurut John Locke terhadap pemikiran politik lainnya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup John Locke
John Locke dilahirkan di sebuah desa di wilayah Sommerset utara, Inggris Barat pada tanggal 29 Agustus 1632 saat musim panas. Saat itu pula di Eropa sedang dilanda perang sudara dan perang agama antara kaum Kristen protestan dengan kaum Kristen katolik. Ia meninggal di rumah temannya, keluarga Masham, di Oates, wilayah Esex, pada akhir oktober 1704[1]. Hingga usia pertengahan 1930an, kehidupannya terlihat kurang menggairahkan, paling tidak begitulah yang terlihat samapai ia banyak belajar tentang ilmu-ilmu pengetahuan seperti kedokteran, hukum, politik, dan lain-lainnya di Universitas, bahkan dalam perkembangannya Locke dikenal sebagai seorang ilmuan yang multi disiplin ilmu.
Akan tetap, lebih dari tiga dasawarsa—dari tahun 1667—ia terlibat secara intens dengan keributan politik nasional Inggris. Dalam usia 50an, untuk pertama kali dan dengan mendadak ia menjadi orang yang sangat terkenal. Hal ini dikarenakan publikasi atas tulisannya yang sangat terkenal yaitu The Essay Concerning Human Understanding yang kemudian banyak mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Inggris, walaupun pihak kerajaan bersikap berkebalikan dengan rakyatnya. Karya tulis besar lainnya yang dia hasilkan diantaranya adalah Two treatises of government, a letter on toleration, some thoughts concerning education. Dan sampai sekarang melalui tulisan-tulisan tersebut membuat John Locke tetap dikenal oleh dunia.
Kehidupan Locke di luar masalah polit, yaitu dalam kehidupan keluarganaya sangatlah sederhana. Orang tua Locke pada awalnya bukanlah berasal dari kalangan berada dan mereka hanyalah seorang pedagang yang puritan. Ayahnya seorang pembuat pakaian dan ibunya seorang penyamak kulit. Meskipun begitu, kedekatan orang tua Locke dengan seorang yang cukup berpengaruh dan berkuasa saat itu, yaitu Alexander Popham, sedikit banyak membantu Locke untuk dapat bersekolah di Westminster dan terus berusaha dengan kemampuannya agar bisa juga diterima di Christ Chuurch Oxford.
Dalam perjalananya, keberhasilan orang tua Locke memindahkan anaknya ke Christ Church Oxford yang juga dikarenakan keahliah yang dimiliki Locke sendiri, hal ini telah menunjukan bagaimana keberhasilan dari harapan sebuah keluarga sederhana tersebut. Bayangkan saja, saat itu usia Locke masih 20 tahun namun disana ia mulai berkenalan dengan seorang pemikir yang saat ini juga terkenal luas namanya di Inggris, Edward Bagshawe. Saat mulai dewasa Locke menjadi seorang yang sangat menentang kekuasaan mutlak yang berada di tangan penguasa sehingga ia terpaksa melarikan diri dari Inggris untuk mengelakkan penangkapan yang akan dilakukan oleh raja[2].
2.2 Monarki Absolut di Inggris
Perang saudara yang berkepanjangan di lingkungan kerajaan Inggris saat itu (perebutan kekuasaan di kalangan internal Kerajaan) telah membawa banyak pengaruh sosial bagi masyarakat, tidak terkecuali bagi Locke sendiri, ketidakstabilan politik dan ketidakpastian kesejahteraan menjadi situasi yang terlihat bampak saat itu. Dari keadaan itulah ia mulai banyak melakukan kajian ilmiah dengan menuangkan buah pemikirannya ke dalam tulisan-tulisan fenomenal—salah satunya Two treatises of government--terkait pemerintahan dan bagaimana seharusnya manusia hidup bermasyarakat dan bernegara. Karena tulisan dan sikapnya yang bertentangan dengan kerajaan Inggris—termasuk juga kritik terhadap kesewenang-wenangan Raja--itu membuat ia dimusuhi dan direncanakan akan ditanggap, hingga membuat Locke pun harus melarikan diri ke beberapa negara di Eropa untuk menyelamatkan diri.
Dalam perkembangan selanjutnya pada konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut merupakan jawaban terhadap kekisruhan sosial politik akibat perang saudara dan perang agama. Yaitu sebuah doktrin atau sistem pemerintahan yang didasarkan kepada keyakinan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat ilahiah/suci diberikan oleh tuhan, sehingga raja memiliki hak-hak khusus dan tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Selain itu doktrin monarki absolut juga menilai bahwa pergantian kekuasaan atau generasi hanyalah bisa dilakukan dalam garis keturunan raja saja. Orang-orang diluar lingkungan kerajaan dan tidak memiliki garis keturunan dengan keluarga raja tidak bisa dan tidak berhak untuk menjadi bagian dari proses regenerasi.
Monarki absolut merupakan bentuk pemerintahan yang paling sesuai dengan kehendak hukum alam, begitulah sederhanya penilaian orang-orang yang mendukug sistem ini. Mereka beralasan bahwa monarki absolute ini sesunggunya berakar pada tradisi otoritas paternal, merupakan kopian kerajaan Tuhan di bumi, dan cermin kekuasaan tunggal ilahi.
2,3 Perdebatan Locke dengan Sir Robert Filmer
Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu. Locke adalah penentang gigih monarki absolut di negaranya, karena bertentangan dengan prinsip civil society diyakininya.[3] Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.[4]
Sehingga terkenal sebuah perdebatan Locke yang menetang sistem monarki absolut dengan Sir Robert Filmer yang mempertahankan pemikiranya tentang kekuasaan absolut tersebut. Pandangan Filmer ini sangat mengunggulkan wewenang politis raja karena alasan auctoritas paterna (wewenang selaku ayah) dari Nabi Adam yang diterimanya dari Tuhan dan kemudian diteruskan kepada para raja.[5] Jadi, menurut Filmer, raja, seperti Adam, menerima wewenangnya langsung dari Tuhan dan oleh karena itu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atau parlemen.
Apabila disimpulkan, filsafat negara Filmer tersebut berpuncak pada dua tesis penting, yaitu (1) setiap kekuasaan bersifat monarki mutlak, dan (2) tidak ada orang yang lahir bebas. Dua hal ini kelak ditolak oleh Locke. Sedangkan itu, Locke berpandangan dalam perdebatannya tersebut bahwa kitab suci (injil) sesungguhnya tidak membenarkan kekuasaan tirani yang sewewnag-wenang tanpa tanggung jawab, justru dalam kitab suci sendiri diajarkan tentang pembatasan-pembatasan kekuasaan yang bersifat sekuler. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Filmer mengenai kekuasaan.
Hal lain yang dikritisi Locke dari Filmer adalah tentang kekuasaan, bahwa locke menilai penguasa bukan berasal dari Tuhan atau diwariskan turun-temurun, melainkan kekuasaan merupakan produk perjanjian sosial antara warga negara dengan penguasa negara sebab manusidilahirkan dengan kesamaan derajat. Pada kesimpulannya Locke menganggap bahwa kkeuasaan absolut adalah antitesis dari kebebasan.
2.4 State of Nature
Seperti pemikir sebelumnya termasuk Hobbes, Locke pun membahas eksistensi negara dengan mendasari pada keadaan alamiah manusia (state of nature). Banyak ilmuan lain saat ini juga membandingkan Locke dengan Hobbes sebagai sebuah hubungan yang anti-tesis, sebab konsep negara yang dikemukakan oleh Locke sangat berbeda dengan Leviathannya Hobbes. Menurut Ahmad Suhelmi, asal muasal pemerintahan adalah suatu keadaan alamiah. Keadaan alamiah menurut Locke merujuk pada keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tidak ada rasa takut dan penuh kesetaraan[6].
Locke berpendapat bahwa kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintahan yang memiliki kewenagna yang terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama sekali dan berkedudukan sama (perfectly free and equals)[7]. Karena bebas dan berkedudukan sama, tiada orang yang bermaksud merugikan kehidupan, kekbebasan, dan harta milik orang lain. Manusi bersifat rasional karena dialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal budi. Locke sebagaimana ditulis oleh Manning percaya akal akan selalu membuat manusia berprilaku rasioanal dan tidak merugikan manusia lain. Ini karena akal budi tidak lain adalah hukum alam yang dikatakan Locke memiliki sifat-sifat ketuhanan atau Locke menyebut akal sebagai “suara tuhan” (reason is the voice of god).
Jadi setidaknya terdapat tiga poin utama dari pemikiran John Locke tentang State of Nature, yaitu : (1) Dalam keadaan alamiah manusia itu bebas untuk menentukan dirinya dab menggunakan miliknya dengan tidak tergantung oleh kehendak orang lain. (2) Semua manusia juga sama dalam arti bahwa bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. (3) Manusia secara alamiah sebenarnya baik, maka keadaan alamiah nampak sebagai “a State of Peace, Good Will, Mutual Assistance, and Preservation”.
2.4 Pengaruh pemikiran State of Nature John Locke
2.4.1 John Locke Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Tidak boleh sesorang atau individu tertentu lebih tinggi dari pada individu yang laina atau dkenal dengan keadaan sub-ordinasi, kecuali keadaan tersebut bagi seorang penguasa dan pemimpin.[8] Artinya tidak dimaknai bahwa keadaan masyarakat itu memungkinkan dan membolehkan manusia untuk berbuat sekehendak hatinya. Nilai-nilai moral yang dijarkan diantaranya bahwa manusia sebagai individu tidak boleh saling membalas yang menghancurkan dirinya dan orang lain, sebab keadaan alami memiliki sebuah hukum alam untuk mengaturnya. Hukum alam menurut Locke bersifat normatif[9]. Hukum ini menyuruh orang bagaimana seharusnya ia bersikap, bukan bagaimana sebenarnya ia bersikap. Sikap yang dikemukakan oleh Locke inilah yang kemudian membuat ia lebih dikenal sebagai Bapak HAM dunia.
Dalam bukunya “Etika Politik” Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa Locke dikenal sebagai pelopor HAM, sebab menurutnya hak untuk hidup adalah sesuatu yang terpenting, dan manusia penting pula mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk hidup inilah kemudian ia mengembangakan hak atas milik. Dengan demikian, pada dasarnya manusia sudah mengenal hubungan-hubungan sosial, maka mungkin sekali untuk menghindari perpecahan dan hal-hal yang memicu peperangan.
2.4.2 Keadaan Alamiah Berubah Setelah Diketemukannya Uang
Setiap manusia berhak mendapatkan ”milik pribadi” karena manusia juga makhluk pencari milik pribadi. Ramlan Surbakti juga menambahkan bahwa fungsi pemerintah menurut Locke adalah melindungi ”milik pribadi”, yakni perdamaian, keselamatan dan kebaikan bersama setiap waarga masyarakat. Milik pribadi ini dapat dijamin dengan menempatkan hukum sebagai patokan atas benar dan salah, memiliki hakim-hakim yang tidak pandang bulu dengan kewenangan untuk memutuskan semua perselisiha, dan memiliki kewenangan untuk menegakan hukum.
Tetapi sesudah itu keadaan berubah setelah uang diciptakan. Sebelum uang ada, perbedaan kekayaan antara manusia tidak begitu menyolok karena orang tidak akan mengumpulkan lebih daripada apa yang dapat dikonsumsi sendiri. Manusia tidak boleh mengambil lebih banyak produk alam dan tanah daripada apa yang diperlukannya.
Dengan penciptaan uang batas alamiah terhadap akumulasi kekayaan yang berlebihan hilang. Secara ekonomis sekarang masuk akal untuk mengusahakan kekayaan melebihi kemampuan konsumsi karena dapat disimpan dalam bentuk uang. Ketidaksamaan alamiah sekarang memainkan peranannya. Mereka yang lebih terampil dan rajin akan menjadi kaya dan lebih cepat. Dengan sendirinya akan timbul perebutan. Hal ini bisa bepotensi pada konflik atau peperangan[10]. Manuusia menjadi tekun, rajin, dan gigih bekerja mengolah alam anugrah tuhan dan semakin banyak orang memproduksi kebutuhan hidupnya yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi capital kemudian semakin berkembang menciptakan suatu keadaan masyarakat yang disebut dengan kesenjangan sosial. Orang-orang miskin semakin tersisih dan menyimpan rasa benci serta marah kepada para kaum kapitalis yang terus-terusan mengakumulasi kapitalnya.
2.4.3 Perjanjian Masyarakat dengan Negara
Pemikiran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara didirikan juga untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik tetapi juga kehidupan dan kebebasan. Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah hak-hak yang tidak asing dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama.
BAB 3
KESIMPULAN
John Locke dengan kehidupan dan latar belakang historisnya memiliki hubungan yang kuat dengan konsep state of nature yang ia kemukakan. Berbeda dengan konsep yang diutarakan oleh para pemikir politik sebelumnya seperti Hobbers dan Filmer, Locke lebih mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan perlu dijamin hak-hak individunya bukan seperti keadaan saat itu yang kekuasaan mutlak ada pada raja dan raja cenderung bersikap sewenang-wenang. Selain itu, state of nature yang dikemukakan oleh Locke tidak hanya berbicara tentang baik buruk manusia sebagai sifat asalnya. Hal itu dikarenakan pengaruhnya bagi pemikiran lain yang tidak bisa dielakkan, seperti terkait masalah diketemukannya uang yang pada akhirnya merubah pandangan tentang dasar dari manusia itu sendiri yang selama ini dikenal baik.
Perbedaan pandangan ini juga melahirkan perdebatan sengit antara Locke dan Filmer walaupun hidup di dua masa yang berbeda. Setidaknya sumbangsih pemikiran Locke tersebar ke banyak bidang, dari masalah HAM, perlunya pembatasan kekuasaan dengan konstitusi, hingga masalah sistem pemerintahan seperti apa yang lebih baik, meliputi juga cara-cara pendelegasian kekuasaan dari rakya kepada negara. Dengan begitu, manfaat dan pengaruh pemikiran Locke jelas terasa pada saat ini. Seperti paham liberalisme yang mendukung kebebasan baik di bidang ekonomi, politik bahkan dalam bidang-bidang lainnya. Di bidang konstitusi pun ada buah dari pemikiran Locke yang sampai saat ini masih digunakan. Pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif sebagai contohnya.
Pemikiran Locke ini tidak sebaik dan sesempurna yang diperhatikan. Terdapat juga beberap kelemahan dan pengecualian. Pertama adalah masalah kepemilikan. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kebebasan individu untuk mengatur hidupnya termasuk masalah kepemilikan telah dengan sendirinya menciptakan jurang sosial ekonomi di masyarakat. Miskin dan kaya adalah hal pasti yang terlihat, karena orang mulai berlomba-lomba untuk mengakumulasikan hak miiknya, terlebih saat diketemukan uang.
Kedua adalah masalh pada kekuasaan politik. Orang-orang yang memiliki hak milik lebih akan mendapatkan hak politik yang lebih baik juga dibadingkan dengan orang-orang yang tidak punya sesuatu yang disebut “milik pribadi” tersebut. Disina terlihat kesenjangan politiknya, suara mayoritas adalah hal yang dijunjung tinggi oleh Locke sebagai keputusan yang terbaik, masalahnya adalah jika yang menjadi pihak mayoritas adalah orang-orang tak bermilik atau miskin, maka jelas akan terlihat ketidakadilan disana
Daftar Pustaka
Dunn, John. 1994. John Locke. Pendekar Demokasi Modern. Jakarta: Grafiti
Losco, Joseph dan Leonard Williams. 2005. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada (ed.2)
Magnis-Suseno, Franz. 1994. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Noer, Deliar. 1997. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Jakarta: Mizan
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami ilmu politik (cet. ke-6). Jakarta: Grasindo
[1] Diambil dari riwayat hidup John Locke, yang ditulis oleh John Dunn (1994) dalam: John Locke; Pendekar Demokasi Modern. Jakarta, penerbit Grafiti
[3] Robert A. Dahl berpendapat, Locke memberikan kepada manusia sejenis persamaan intrinsik, yang meskipun jelas tidak ada relevansinya bagi banyak keadaan, namun pasti sangat menentukan untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama sekali untuk tujuan pemerintahan
[4] Patriarcha adalah peran-peran utama dalam Injil yang dianggap merupakan nenek moyang umat manusia, yaitu mulai dari Adam sampai Nuh. Patriarcha diartikan juga sebagai kepala keluarga atau suku. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 118
[5] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Cet. IV, (Jakarta: Gramedia, 1994)hal. 219.
[6] Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[8] Losco, Joseph dan Leonard Williams. 2005. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada (ed.2). hal. 140-145
[9] Deliar Noer. 1997. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Jakarta: Mizan. Hal. 119
[10] Ahmad Suhelmi juga menilai bahwa kepercayaan dalam kompetisi kebajiakan merupakan gagasan Locke yang radikal. Aktifitas ekonomi merupakan kompetisi dalam hal kebajikan. Hal itu dilihat dari adanya orang kaya dan orang miskin. Kebajikan=kecerdasan, ketekuna, kerajianan, dan kegigihan individu dalam berusaha dan bekerja.
0 Response to "Kepala Daerah dan Kasus Korupsi di Indonesia[1]"
Posting Komentar