Identitas dan Nasionalisme: Peluang Lahirnya Radikalisme Kesukuan


Globalisasi dan upaya Barat untuk menyeragamkan masyarakat ke dalam satu tatanan hidup dunia dengan membuat kaburnya batas-batas geografis maupun identitas—melalui penyebaran informasi media massa, perdagangan bebas,  dan kampanye aktif nilai-nilai demokrasi—, setidaknya selain membawa perubahan secara sosial dan budaya di masyarakat, juga membuat masyarakat semakin resisten terhadap nilai-nilai dan pengaruh yang berasal dari luar tersebut. kenyataannya bagi sebagaian masyarakat di Indonesai, perubahan kemajuan teknologi, modernisasi, ataupun industrialisasi sering pula dimaknai sebagai ancaman atas eksistensi kelompok atau suku tertentu, sebab terkadang simbol-simbol kesukuan dimaknai oleh masyarakat global sebagai suatu bentuk keterbelakangan dan ketertingglan, bukan lagi masalah tradesi (pandangan westernis). Selanjutnya yang juga sering nampak “berlebihan” dalam pergaulan hidup sehari-hari—akibat arus moderniasai tersebut—adalah penonjolan identitas masing-masing kesukuan dan hal-hal yang telah dibawanya sejak lahir.
Kebanggaan yang berlebihan atas identitas awal tersebut (suku, klan, warna kulit, maupun ras) pernah menorehkan catatan sejarah kelam dalam kehidupan bernegara di Indonesai, seperti upaya untuk melepaskan diri dari NKRI. Aceh, Papua, Riau, dan beberapa suku di belahan bumi Indonesia lainnya menyatakan dirinya “berbeda” dari kebanyakan masyarakat Indonesia lainnya, romantisme sejarah sering dijadikan alasan di samping kecemburuan pembangunan daerah, ketika melakuka aksi-aksi separatisme. Tujuan awal kemerdekaan kita yang berharap timbul adanya perasaan cinta pada tanah airnya pada warga negaranya dan lahir jiwa-jiwa nasionalisme yang bangga pada bangsanya sendiri, kini berubah dibeberapa kalangan masyarakat kita menjadi semangat baru yang dikenal dengan etnonasionalisme, yaitu sebuah pemahaman baru yang keliru sekaligus berlebihan, mengingat ada sentimen-sentimen “buruk” terhadap kelompok atau etnis yang berbeda dengannya dan mengagungkan kelompok atau etnis sendiri.
Ini sebuah tantangan seklaligus permasalahn serius bagi kita. Sering gagalnya perlawanan terhadap Belanda pada masa penjajahan dahulu, kini seakan menemui titik baliknya, sifat perlawanan dan persatuan yang masih bersifat kedaerahan dan berkelompok menjadi mudah untuk di kalahkan dan diadu domba atau disebut dengan politik pecah belah (devide et impera).
Bagi penulis yang memiliki pandangannya sendiri, sebenarnya masalah ini adalah perilaku dan fenomena yang wajar ketika kita kehilangan kebanggan terhadap sesuatu yang lebih besar dari idenitas yang melekat sejak awal pada kita dan ditambah maraknya arus ancaman eksistensi nilai-nilai tradisional yang pada dasarnya lebih awal dimiliki daripada nilai-nilai yang lainnya. Di sisi yang lain bentuk resistensi semacam ini adalah bentuk perlawanan yang positif selama tidak memicu permusuhan dan timbulnya etnonasionalisme—sebuah nasionalisme yang berlandaskan pada semangat kesukuan—. Ketika gerbang kebangsaan dan batas geografis negara semakin tidak jelas, maka memang logikanya identitas awal-lah yang menjadi pertahanan dan upaya eksistensi terakhir (jika dilihat secara kasar). Namun pertanyaannya adalah, apa yang menjadi pertahanan identitas terkair ketika arus penyatuan dunia secara global semakin gencar ? mengingat jika agama yang dimajukan, akhir-akhir ini justru yang terjadi adalah konflik dan pengutan kegiatan radikaslisme, apa mungkin radikalisme kesukuan juga muncul seperti radikalisme agama ?

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Identitas dan Nasionalisme: Peluang Lahirnya Radikalisme Kesukuan"

Posting Komentar