Perempuan dalam Gagasan Mainstream: Debat Ranah Privat-Publik
Perkembangan gagasan tentang feminisme yang lahir pada tahun 1970an telah memberikan alternatif sekaligus teori yang bersifat “tantangan” di tengah masyarakat yang terus mengalami globalisasi dan modernisasi namun tetap menaruh nilai-nilai lama seperti patriarki sebagai sesuatu yang penting dan terkadang menjadi ruh penggerak yang dominan. Inilah debat sebenarnya anatara penganut faham feminisme dengan para konservatifis, yaitu sebuah pertentangan kesetaraan dan pengakuan hak-hak perempuan yang selama ini “terkesan” dimarjinalkan dan dalam beberpa pembicaraan kewarganegaraan sering disebut perempuan itu sebagai warga negara kelas dua.
Kaum feminis percaya bahwa kehidupan di dalam masyarakat dan hubungan antar negara dan warga negara akan lebih ramah terhadap perempuan, anak-anak, dan sebagainya jika perspektif dan cara berfikir atau keberadaan dan kepentingan perempuan diperhitungkan atau ikut menentukan.[1] Kemudian, orang-orang yang menganut faham seperti itu melihat bahwa konsep pemisahan ruang menjadi dua, publik dan privat telah mengabikan, merendahkan, dan menyingkirkan perempuan dari salah satu ruangnya. Perempuan selama ini sering diasosikan dengan ranah privat (keluarga) dan tugas-tugas kerja yang dibebaskan atau berbeda dari laki-laki. Inilah yang menjadi debat dan salah satu landasan perjuangan para perempuan untuk menuntut hak-haknya tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa ada sedikit pertentangan antara liberalisme mainstream (yang mengusung kebebasan individu) dengan gagasan-gagasan feminism yang menilai bahwa posisi perempuan menjadi semakin jauh dari jangkauan negara dan politik ketika ada asumsi liberal yang mengatakan bahwa ranah privat itu “bebas” dan negara tidak boleh mencampurinya, dan ini menjadi semakin rumit ketika di dalam keluarga tersebut nilai-nilai patriarki (tradisional) masih kentara.
Dalam studi kasus orang tua penulis, sebenarnya penulis punya persepsi dan cara pandang tersendiri terkait perempuan (ibu) dalam posisinya di ranah privat dan publik (pengalaman pribadi). Sebagai seorang ibu rumah tangga dan ikut membantu Bapak berdagang (wiraswasta) memperlihatkan dikotomi dua ranah privat dan publik menjadi tidak terlalu berarti. Pembagian kerja di rumah pun dilaksanakan dengan cara kerjasama, contohnya menyapu dan mendidik anak maupun mencari nafkah bukalah sesuatu yang dikotomikan, bapak maupun ibu melakukan pekerjaan itu bersama, saling melengkapi dan tanpa adanya hubungan perintah dan yang diperintah (lahir kesadaran dengan sendirinya). setelah memperhatikan fenomena dalam keluarga penulis sendiri tersebut, maka yang dapat disimpulkan adalah (1) kalaupun ada pembagian kerja dalam keluarga, harusnya dimaknai bahwa keadalilan yang dimaksud bukanlah keadilan kesetaraan, namun kesetimbangan, dimana masing-masing peran punya nilai, tanggung jawab, dan beban yang sama. (2) Benar bahwa dalam sejarah dan sebelum tahun 1970an banyak ketidaksamaan yang terjadi terkait jender, namun hal tersebut lebih pada masalah politik dan kesempatan yang sama bagi jenis kelamin apa pun untuk masuk dalam birokrasi kenegaraan dan lembaga-lembaga politik. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sebenarnya, feminisme dalam perspektif kewarganegaraan tentang frase “warga negara kelas dua”, siapa yang mendefinisikannya ? kenapa kaum feminism begitu merasa demikian, apakah itu paranoid mereka sendiri atau benar sengaja dikonstruksikan oleh kelompok lainnya terhadap perempuan ?
[1] Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer, Depok: Departemen Ilmu Politik UI. (2010), hal. 125
0 Response to "Perempuan dalam Gagasan Mainstream: Debat Ranah Privat-Publik"
Posting Komentar