“PERDEBATAN ISLAM MODERN DAN ISLAM TRADISONAL DI INDONESIA”

BAB 1
PENDAHULUAN

I.1        Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia, setidaknya hingga saat ini, karena memang didukung jumlah penduduknya yang banyak. Meski begitu, sebenarnya keragaman dan perbedaan penduduknya sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Bagian inilah yang membuat Indonesia menarik jika dibadingkan negara-negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negaranya namun jumlah umat Islamnya sendiri tidaklah lebih banyak dari Indonesia, sedangkan itu meski Indonesia bukalah negara teokrasi atau negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negara, jumlah penduduk muslimnya adalah yang terbanyak hingga saat ini.
Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah suku dan kebudayaan beragam serta terdapatnya enam agama besar yang diakui oleh pemerintah. Sehingga, meski Islam adalah agama  mayoritas secara jumlah penduduk, Islam dan Al-Quran--kitab suci umat Islam—tidaklah dijadikan dasar konstitusi negara. Keadaan yang bisa dinilai sangat toleran ini bukanya tanpa masalah dan perdebatan, pernah dalam masa yang cukup lama menjelang Indonesia merdeka hingga masa demokrasi parlementer terjadi perdebatan mengenai dasar negara yang akan digunakan, yaitu antara orang-orang dari golongan Islam dengan golongan Nasionalis. Inilah yang digambarkan oleh Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno vs Natsir yaitu perseteruan nyata antara orang-orang sekuler dengan orang-orang dari golongan Islam saat sidang BPUPKI yang sering menemui jalan buntu ketika akan menyusun konstitusi dan dasar negara.
Jumlah yang besar, penganut Islam yang taat dan nuansa kebudayaan lokal yang bercampur dengan budaya Islam, terlihat begitu serasi. Namun begitu, dalam praktik kehidupan sehari-hari rupanaya seperti dua buah mata pedang yang saling berlawanan. Keragaman yang dibungkus dengan toleransi selama ini rupanya dinilai oleh sebagian ilmuan sosial sebenarnya rapuh dan rentan terhadap konflik. Salah satunya adalah permasalahan saat Islam di Jawa (pada umumnya) mulai mengalami modernisasi dan keterbukaaan terhadap nilai-nilai Barat yang sebelumnya sangat dinilai tabu, bahkan sekedar mengikuti gaya hidup orang Barat adalah sebuah kekafiran.
Masalah ini banyak dipercayai berawal saat lahirnya gerakan Islam yang disebut Muhammadiyah, dibawa oleh KH. Ahmad Dahlan yang lalu menyebarkan Islam atau pembaruan Islam dengan upaya-upayanya untuk memberantas praktik peribadatan Islam yang sudah jauh melenceng dari ajaran yang sebenarnya. Nilai-nilai dan paham baru yang dibawa KH. Ahmad Dahlan dalam gerakan pembaharuannya yang berupaya memurnikan ajaran Islam di Jawa (saat itu) dengan mengambil bebapa metode pengajaran dan paham Barat dinilai sebagai gerakan “terlarang” oleh masyarakat Islam tradisonalis saat itu—yaitu masyarakat Islam yang masih banyak mencampuradukan kebudayaan leluhur dengan ajaran Islam yang dianutnya, sehingga menurut masyarakat Islam modern itu merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya--.
Kemelut antara dua kelompok ini rupanya tidak hanya mengenai permasalahan praktik ibadah dalam Islam, namun juga sudah menjalar ke sisi kehidupan yang lainnya seperti bidang politik. Bentuk implementasi konflik atau pertentangan pemikiran ini secara nyata  dapat dilihat pada perdebatan-perdebatan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia hingga saat ini. Dengan berusaha memahami lahirnya fenomena modernism Islam yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh di Mesir saat itu, hingga pengaruh perdebatan dua kelompok agama (tradisionalis dengan modernis) saat ini bagi kehidupan berpolitik di Indonesia, penulis berupaya untuk memaparkan secara koheren sejarah dan alur perdebatan keduanya di pentas politik Indonesia.
I.2        Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah:
“Bagaiman sejarah, bentuk dan perkembangan perdebatan pemikiran antara kelompok Islam tradisionalis dan Islam modernis dalam pentas perpolitikan di Indonesia ?”
I.3        Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka makalah ini bertujuan untuk:
1)      Mencari tahu latar belakang lahirnya modernism Islam di Indonesia
2)      Mengetahui hubungan dan perdebatan antara Islam tradisonalis dengan Islam modernis
3)      Mencari tahu perkembangan perdebatan dua pemikiran tersebut dalam perpolitikan di Indonesia
1.4       Tinjauan Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini peneliti menggunakan metode studi literature. Dengan menggunakan berbagai macam literatur tentang Islam tradisonalis dan Islam modern, meliputi pemikiran hingga perdebatannya dalam berbagai bidang kehidupan termasuk perpolitikan di Indonesia. Dari sini akhirnya penulis berupaya untuk mencari tahu pula perkembangan terhadap pemikiran lainya yang terkait dengan suasana perpolitikan di Indonesia. Sehingga akhirnya didapatkan pemahaman secara utuh tentang perdebatan pemikiran antara Islam tradisionalis dengan Islam modern.
1.5       Cakupan Permasalahan
Penyusunan makalah ini dibatasi pada beberapa tema pokok yaitu antara lain sebagai berikut:
1.      Lahirnya gerakan Islam modern di Indonesia
2.      Konflik dan perdebatan pemikiran Islam tradisionalis dengan Islam modern
3.      Perkembangan perdebatan tersebut dalam perpolitikan di Indonesia


BAB 2
PEMBAHASAN
1.1       Islam, kelahirannya di Indonesia, dan Awal Permasalahan Pemikiran
Masuknya Islam di Indonesia dan umumnya penyebaran Islam dimanapun tidak perlu dilihat sebagai suatu perkembangan yang tiada hubungan dengan agama-agama dunia sebelumnya. Islam mengajarkan serta menekankan ajaran-ajaran agama yang dibawa nabi-nabi terdahulu, dan oleh sebab itu dapat dianggap sebagai lanjutan ajaran para nabi terdahulu tersebut. Saat masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Persia dan Asia Barat lainnya, Islam membawa nuansa dan sesuatu (ajaran) yang berbeda dengan ajaran agama sebelumnya. Lahir dari pinggiran-pinggiran kota dan pelabuhan-pelabuhan perdagangan, Islam disebarkan oleh para pedagang tadi dengan cara damai (penetration pacifique) dan melalui jalur kerajaan ke seluruh Indonesia.
Pertama islam masuk ke Indonesia melalui jalan damai. Dengan adanya perkawinan dengan penduduk lokal, cara untuk memeluk Islam yang sederhana hanya melalui ucapan syahadat, ajarannya yang sangat komprehensif mengatur seluruh segi kehidupan, dan peribadatannya yang tidak ngejelimet, telah membuat agama Islam dapat diterima dan cepat menyebar ke seluruh Indonesia. Cara yang kedua ketika Islam masuk ke Indonesia adalah dengan jalur kerajaan. Umumnya kerajaan-kerajaan yang berada di daerah pesisir lebih mudah dan lebih dahulu menerima Islam dibandingkan kerajaan yang berada di pedalaman daratan. Saat seorang Raja sudah memeluk keyakinan Islam, maka berdasarkan corak budaya paternalistik dan patrilineal yang umumnya ada di Indonesia, rakyat pun dengan senang hati akan mengikuti keyakinan baru Sang Raja tersebut. Bagi orang-orang yang tidak mau menerima agama Islam, mereka dengan sendirinya akan keluar dari Kerajaan.
Terkait dua pandangan tersebut yang dinilai sebagai sifat damai Islam dalam penyebaranya di Indonesia, rupanaya beberapa ahli sejarah juga menilai bahwa Islam tidak selalu berkembang dengan jalan damai. Seperti yang diungkapkan oleh M.C Ricklefs, bahwa kadang-kadang Islam disebarkan ke kawasan-kawasan lain melalui peperangan[1].
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri pascamasuknya Islam di Indoneisa adalah bahwa agama Islam bukanlah agama dan kepercayaan yang pertama masuk ke Indoneisa, sebelumnya kebudayaan Hindu-Budha telah berabad-abad lamanya berkembang di Indonesia juga dalam bentuk kerajaan-kerajaan, termasuk yang sangat termasyur namanya seperi Sriwijaya dan Majapahit. Dari hal ini berarti bahwa Islam tidak akan sepenuhnya utuh diterapkan di Indonesia dan dianut oleh para pemeluknya saat itu maupun saat ini. Sifat dari kebudayaan Indoneisia yang sangat akomodatif dan cenderung akulturasi, tidak akan serta merta menghilangan kepercayaan dan budaya lama saat ada kepercayaan dan budaya baru yang dianut oleh masyarakatnya.
Sebagai contoh norma-norma etika dan moral, kebiasaan serta adat istiadat yang tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dapat dibiarkan atau ditoleransi, dan dalam batas tertentu berangsur-angsur masuk menjadi bagian tradisi dalam kalangan umat Islam[2]. Umpamanya menurut Deliar Noer adalah kegiatan kenduri atau slametan yang memeng berasal dari masa sebelum Islam tiba. Namun hal ini juga menyebabkan pertikaian, lebih-lebih perpecahan dalam kalangan Islam ketika mulai terbentuknya dua golongan, yaitu golongan pembaharu umat—yang selanjutya kita sebut dengan Islam modern—dan golongan tradisional—ini juga selanjutnya kita sebut dengan Islam tradisional.
Dari sinilah kemudian pertentangan pemikiran antara Islam modern dengan Islam tradisionalis yang awalnya hanya seputar upacara dan tat kebiasaan sehari-hari, berlanjut ke bidang yang lebih luas lagi seperti peribadatan dan hingga masalah politik. Golongan Islam yang satu merasa memiliki status quo dan merasa eksistensinya terusik, yang satu lagi hadir dengan tujuan memperbaiki dan berkeinginan mengembalikan ajaran agama Islam kepada yang sesungguhnya setelah melihhat terlalu banyak terjadi penyimpangan dan percampuradukan dengan budaya mistik tradisional.
1.2       Kemunculan gerakan Islam Modern di Indonesia
Seperti yang terjadi di kebanyakan negara-negara di Asia dan Afrika, saat itu kolonialisme telah sangat menyengsarakan masyarakat secara materi, fisik, mental maupun harga diri. Rakyat semakin terbelakang dan bodoh akibat sistem penjajahan yang hanya menguras habis sumber daya yang ada tanpa memperhatikan kehidupan warga koloninya (jajahannya). Para penguasa lokal pun sepertinya lebih condong kepada pihak colonial dan hanya sebagai kaki tangan atau bentuk penajajahan dengan cara lain. Sistem pemerintahan juga dijalankan secara otoriter dan yang paling memperparah keadaan adalah keadaan masyarakat Islam saat itu yang masih penuh diselimuti oleh hal mistik. Tidak hanya di Indoneisa tapi juga di wilayah lainnya. Ini terlihat pula dengan sikap masyarakatnya yang tidak mau melakukan perubahan ke arah kebaikan, lebih-lebih menerima sistem dan ilmu yang berasal dari Barat. Sebab kebencian terhadap penjajah yang saat itu terjadi telah membuat stigma bahwa mengikuti Barat sama artinya mengikuti keyakinan orang kafir tersebut dan kita bisa dicap sebagai seorang kafir.
Kemudian seorang yang bernama Muhammad Abduh, hidup di Mesir saat itu, rupanya telah mempunyai pemikiran untuk melakukan pembaharuan yang lebih dikenal dengan modernisasi Islam dengan cara mengembalikan ajaran agama yang sebelumnya diartikan salah dan diajarkan hanya untuk menguntungkan penjajah, dengan kembali ke ajaran yang sebenarnya berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Yang menarik dari gerakan atau pemikiran ini adalah bahwa disamping mengembalikan kepada ajaran yang sebenarnya, Abduh juga mulai mengajarkan dalam pemikirannya itu bahwa umat Islam harus terbuka fikirannya terhdap ijtihad dan ilmu-ilmu yang baik, walaupun itu berasal dari Barat.
Fenomena yang terjadi di Mesir itu rupanya juga mempengaruhi seorang yang bernama Ahmad Dahlan—kemudian lebih dieknal sebagai tokoh modernis—yang mendirikan organisasi Islam bernama Muhammadiyah dan mulai memasukkan nilai-nilai pendidikan barat dalam kegiatan kemasyarakatannya. Ahmad Dahlan sepulangnya dari melaksanakan ibadah haji melihat fenomena di daerahnya, Kauman, Yogyakarta yang masyarakatnya banyak mencampuradukan agama dengan hal-hal mistik peninggalan kebudayaan Hindu-Budha. Dari sanalah akhirnya pemikiran modern Islam di Indonesia akhirnya dikenal. Modernisasi ini tidak hanya seputar peribadatan dan masalah keilmuan, tapi juga masalah poltik, sebab politik merupakan salah satu bentuk pembangunan politik. Artinya proses menuju keadaan yang dialami oleh masyarakat Barat. Maka tidak heran jika dalam Islam modern pun nilai-nilai barat kental terlihat dan menjadi terlihat terbuka atas nilai-nilai tersebut.
Melihat perkembangannya yang pesat dari keberadaan Muhammadiyah dan pengaruhnya yang hanya dalam waktu dua tahun sudah sampai ke Pulau Sumatra, ternyata juga melahirkan pandangan-pandangan sinis terutama dari kalangan muslim abangan di Jawa pada saat itu. Golongan ini menilai apa yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan dan gerakan pembaharuannya tersebut adalah lanjutan tangan pemerintah kolonial dan bertentangan dengan nilai- nilai leluhur yang selama ini dipertahankan. Maka Deliar Noer menilai kelahiran Nahdlatul Ulama beberapa waktu kemudian setelah kelahiran Muhammadiyah dianggap salah satu faktornya adalah sebagai “lawan” dari gerakan pembaharuan dan berusaha mempertahankan status quo (nilai-nilai budaya tradisional dalam Islam).
Dari pertentangan sederhana ini bisa kita tarik definisi dari kedua kelompok tersebut, yaitu pertama Islam modern, sebuah gerakan pembaharuan pada pemurnian ajaran Islam yang kembali ke Al-Quran dan Hadits dengan mulai membuka pintu ijtihad serta nilai-nilai yang berasal dari Barat. Sedangkan Islam tradisionalis adalah golongan Islam yang berusaha mempertahankan kebudayaan Jawa dalam ajaran agama Islam.
Meski begitu, modernism Islam tidaklah hanya kita katakan berawal dari Muhammadiyah saja, sebab (Partai Serikat Islam) PSI atau yang sebelumya bernama Serikat Islam (SI) juga menunjukan hal demikian layaknya faham modernism dalam aktifitasnya. Karena hanya terfokus masalah perdagangan dan tujuannya melindungi pedagang batik di Jawa, akhirnya SI dinilai kurang mewakili sebagai gerakan pembaharu. Satu hal lagi yang harus dipahami kenapa perdebatan pemikiran Islam modern dan Islam tradisonal diwakili oleh dua organisasi Muhammadiyah dan NU, itu dikarenakan dua organisasi inilah yang sampai saat ini setidaknya masih menunjukan gejala perdebatan pemikiran, walaupun dalam tulisan makalah ini selanjutnya hanya dibahas samapi masa demokrasi terpimpin.
1.3       Konflik Pemikiran Politik Islam Modern dan Islam Tradisionalis
Sebenarnya sebagaimana tradisi Jawa, tradisionalisme Islam lebih merupakan prilaku politik dan sikap mental sebagian anggota masyarakat sehari-hari daripada apa yang dapat lebih tepat kita sebut pemikiran politik. Mungkin pengikut tradisonalisme Islam menemukan gagasan-gagasan pemikiran modernism Islam sebagai tempat yang baik buat membonceng secara politis atau ideologis, tetapi kenyataan menunjukan bahwa tingkah-laku mereka sehari-hari tetap terlihat berbeda dari mereka yang sepenuhnya meyakini modernism Islam[3]. Artinya terkait perdebatan ini ternyata di dalamnya juga terdapat ambiguitas, yaitu tidak sepenuhnya orang-orang yang termasuk golongan tradisionalis tidak memiliki ciri-ciri pemikiran modern atau menjadi apolitis, sebab ada juga orang-orang yang dianggap tradisionalis dalam perkembangannya juga mencita-citakan kekuasaan dan kesejahteraan yang dicapai melalui partai yang bersaing dalam pemilu dan pertentangan-pertentangan kepentingan di parlemen.
Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam upaya mendapatkan dan/atau memepertahankan nilai-nilai disebut konflik. Menurut pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, termasuk proses politik[4]. Melihat definisi dan penjelasan tersebut maka dapat kita maklumi juga jika ternyata dalam satu agama dan suku, masyarakat Jawa juga bisa terpecah pemikirannya menjadi orang-orang yang disebut tradisional dengan orang-orang yang mengupayakan pembaharuan (modern).
 Perdebatan ini semakin alot dan panjang jika ditelusuri hingga saat ini, sebab masing-masing kelompok masih menganggap dirinyalah yang benar dan ada kesan membenarkan dan menyalahkan kelompok yang lain. Kebudayaan jawa yang sedikit banyak mempengaruhi dan masih menjadi faktor dominan sebagai sumber pemikiran Islam tradisionalis juga tidak menggunakan konsep kekuasaan seperti yang dipahami dan digunakan di barat. Dalam hal ini, wilayah jawa yang dimaksud meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur. Kebudayaan Jawa yang dimaksud terutama bersumber pada Kraton (kesultanan Mataram) pada masa prakolonial[5]. Jelas kenapa masyarakat Jawa tradisionalis sangat meyakini keyakinannya tentang Islam yang bercampur dengan tradisi tersebut, sebab mgikuti dan taat kepada kesultanan merak anggap sebagai bentuk pengabdian dan penghambaan yang mulia[6].
Awalnya konflik pemikiran yang terjadi adalah seputar pemurnian cara peribadatan (seperti Ahmad Dahlan yang merubah arah kiblat menjadi berbeda dengan sebelumnya) dan masalah-masalah sosial lainnya, namun seiring dengan pergerakan menuju dan perjuangan kemerdekaan, menyeret pula perdebatan pemikiran dua kubu Islam ini ke masalah-masalah politik, terlebih saat para tokohnya juga banyak terlibat aktif di dalam politik menjadi anggota suatu partai.
Sampai dengan ini, berbicara mengenai kekuasaan maka perdebatan antara Islam tradisionalis dengan islam modern  tidaklah kalah menariknya. Menurut budaya Jawa--yang juga banyak menjadi dasar filosofis orang-orang yang disebut Islam tradisonalis—kekuasaan itu diperoleh dengan cara bertapa dan praktik yoga, seperti berpuasa, berjalan tanpa tidur, bermeditasi dan tidak berhubungan kelamin dalam jangka waktu tertentu[7]. Seperti masalah-masalah inilah akhirnya perdebatan mulai masuk ke ranah politik, sebab berbicara tentang kekuasaan sudah termasuk ke dalam pembicaraan politik itu sendiri.
1.3.1    Perdebatan Pemikiran di masa Demokrasi Parlementer
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang merupakan federasi dari golongan dan partai Islam terbesar di Indonesia di awal kemerdekaan tahun 1945 rupanya memiliki friksi perpecahan di tubuhnya. Salah satunya adalah nampak bahwa kepentingan golongan lebih diutamakan dibandingkan persatuan organisasi, terutama ketika menghadapi daya tarik posisi politik formal di dalam negara. Masalah ini mulai nampak ke permukaan pada tahun 1952 salah satu unsure Masyumi tersebut, yaitu NU menyatakan keluar dari Partai Masyumi.
Demikian pula ketika kabinet Amir Sjarifudin II dibentuk (11 September 1947 s/d 29 Januari 1948), PSII pun mendapat jatah 4 menteri. Menariknya di kabinet Amir Sjarifudin II ini Masyumi masuk kembali ke dalam kabinet dengan menyertakan nama seperti Sjamsudin (Wakil Perdana Menteri I), Mohamad Roem (Menteri Dalam Negeri), Kasman Singodimejo (Menteri Muda Kehakiman) dan KH. Masjkur (Menteri Agama). Masuknya 2 unsur kelompok Islam inilah yang menjadi salah satu sebab Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi. Karena sesuai dengan kesepakatan bersama bahwa hanya boleh ada satu partai politik Islam yang tampil di kabinet.
Keputusan keluarnya NU dari Masyumi dinyatakan dengan resmi pada kongres NU bulan Mei tahun 1952 di Palembang. Selain meninggalkan Masyumi, NU juga memproklamasikan dirinya sebagai partai, yang berarti meninggalkan wajah “Jam’iyyah”nya (baru ketika masa orde baru NU menyatakan kembali ke “khittah” tahun 1926). Beberapa sebab “mufaraqah”nya NU dari Masyumi :
Pertama, pimpinan Pusat (PP) Masyumi dinilai telah didominasi oleh kelompok Modernis. Diantara 17 orang PP Masyumi tahun 1949 ternyata hanya 6 orang berpendidikan pesantren. Bahkan di tahun 1952, PP Masyumi dari unsur pesantren hanya satu orang, yaitu Faqih Usman. Tetapi oleh kelompok NU, Faqih Usman ini dinilai secara organisatoris berasal dari Muhammadiyah.
Kedua, berbeda dengan Soekiman yang bukan ulama, Natsir, seorang ulama yang berlatar belakang Persis, terpilih menjadi ketua umum Masyumi (1949-1958). Dengan latar belakang Islam modern yang kuat, ia sulit diterima oleh kultur budaya pesantren tradisional. Hal ini memungkinkan para kyai dari fraksi NU terganggu oleh kehadiran Natsir. Ketiga, posisi majelis syura Masyumi yang umumnya diduduki oleh kyai NU, maka sejak kongres tahun 1949 hanya dijadikan Dewan Penasihat. Majelis Syura tak lagi diperlakukan sebagai badan pemberi kata akhir (legislatif) pada kebijakan politik partai. Padahal menurut KH. Wahid Hasyim, tak satu pun kebijakan politik dapat lepas dari pertimbangan hukum Islam.
Keempat, pada tahun 1952, kabinet Wilopo (PNI) sebagai pengganti kabinet Soekiman menunjuk KH. Faqih Usman dari Muhammadiyah sebagai Menteri Agama, satu-satunya kursi yang selalu diberikan kepada NU. Dalam konteks ini, terlihat bahwa pimpinan dari kalangan modernis kurang peka membaca perasaan kaum pesantren. Kesenjangan psikologis antara dua sub-kultur akhirnya diperparah oleh sikap dan ambisi politik.
1.3.2    Islam Modern dan Islam Tradisionalis di masa Demokrasi Terpimpin
Kecenderungan akomodatif NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) adalah suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi. Apalagi di masa demokrasi terpimpin yang secara terang-terangan menjadikan NASAKOM sebagi falsafah pemerintahan saat itu dan cenderung condong kepada persekutuan negara-negara komunis.
Sikap ini bukan semata-mata bahwa Masyumi menetang keras PKI dan aliran kirinya, namun juga ada kabar yang menyatakan sikap sentimen Muhammadiyah terhadap NU yang pada tahun 1952 menyatakan keluar dari kepengurusan Masyumi dan lebih memilih untuk membentuk partai politik sendiri. Sedangkan dalam sejarahnya Muhammadiyah tidak pernah mengkhianati Masyumi dan tetap menjadi anggota luar biasa yang setia setidaknya sampai tahun 1960 saat masyumi diminta untuk membubarkan dirinya sendiri oleh Presiden Soekarno yang saat itu sedang gencar-gencarnya menggelorakan ideologi NASAKOM.
Ilustrasi ini dapat terliahat dalam sebuah peristiwa ketika sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah[8].
1.4       Pengaruhnya hingga saat ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarahnya Partai masyumi adalah medan perdebatan yang paling nyata tentang dua kubu Iskam modern dan Islam tradisionalis yang masing-masing diwakili oleh Muhammadiyah dan NU. Dari sejak pascakemerdekaan, masa demokrasi parlementer, hingga masa demokrasi terpimpin yang menjadi masa bubarnya Masyumi, kedua kubu Islam ini dengan segala pemikirannya selalu mewarnai perpolitikan Islam itu sendiri di kancah nasional.
Pasca pembubaran partai Masyumi oleh rezim Soekarno akhir lima puluhan, Muhammadiyah menyatakan bukan sebagai penopang partai politik tertentu. Melainkan berusaha netral untuk berdiri di atas kepentingan bangsa daripada pragmatisme politik yang primordialis-sektarian.  Oleh karenanya, Muhammadiyah dalam kancah politik selalu terlihat berusaha bersikap hati-hati dalam menghadapi dan berurusan dengan masalah politik praktis, yang memang sarat dengan konflik interest. Bahkan dalam khittohnya yang disusun tahun 2002, ia menyatakan tidak ada keterkaitan dengan parpol manapun.
NU juga ternyata telah lebih awal menyatakan untuk tidak kembali lagi bertarung secara aktif di medan politik atau dalam bahasa mereka yaitu kemali ke khittah. Pertanyaan besar selanjutnya yang menyertai fenomena tersebut adalah apakah perdebatan pemikiran antara Islam modern dan Islam tradisionalis telah benar-benar berakhir pascabubarnya Masyumi dan kedua belah kubu sama-sama menyatakan tidak akan kembali bertarung dalam politik praktis?.
Ternyata sama-sama dapat kita rasakan sendiri jika perseteruan “halus” itu tetap berlangsung. Berlangsungnya mungkin bukan dalam masalah politik seperti saat sama-sama tergabung dalam Masyumi, namun nampaknya kembali ke perselisihan awal yaitu perdebatan-perdebatan masalah sosial dan peribadatan. Mungkin sudah sangat sering bagi kita orang Islam Indonesia saat ini dibuat bingung tentang kapan jatuhnya hari pertama puasa ramadhan maupun jatuhnya tanggal 1 syawal. Kedua kubu yang secara jumlah adalah dua organisasi massa Islam terbanyak di Indonesia saling mengeluarkan fatwa atau ketetapan yang sering kali berbeda. Hingga ada istilah-istilah yang kurang baik terhadap mereka, seperti ucapan-ucapan “lebarannya Muhammadiayah” atau “lebarannya NU”, karena masing-masing ormas Islam ini melaksanakan lebaran itu di hari yang berlainan.
Namun begitu setidaknya nampak bahwa masa sekarang ini (reformasi) penggolongan Islam di Indonesia menjadi Islam modern dan Islam tradisionalis tetap relevan jika sudut pandangnya adalah keyakinan terhadap ajaran agama yang dilaksanakannya. NU terlihat lebih merakyat dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang mengedepankan pengajaran mandiri melalui pesantren dan warisan-warisan leluhur yang dijaga hingga saat ini. Muhammadiyah pun namapk sebagai Islam yang modern, berbeda dengan NU yang dalam menjalankan ibadahnya masih bercamur dengan kebudayaan dan menganut salah satu mahzab yang empat, Muhammadiayah lebih terbuka dengan nilai-nilai yang berasal dari Barat dan sangat menentang praktik-praktik bid’ah dalam peribadatan umat.
Menarik lagi terkait Muhammadiyah adalah jalur pendidikan modern yang diterapkannya, dari tingkat TK (Aisiyah) hingga perguruan tinggi, Muhammadiyah sangat mencurahkan besar perhatiannya pada hal-hal tersebut dan terkesan tidak mau terlibat politik praktis. Sehingga konsistensi akan sikap yang cenderung "apolitis" inilah yang membawa Muhammadiyah, dalam sejarahnya belum atau bahkan tidak pernah mengalami prahara yang membuatnya terpecah-belah sebagaimana organisasi lainnya, hanya dikarenakan masalah politik. Sebagai gerakan dakwah, ia secara cerdik mampu menempatkan dirinya sebagai elemen bangsa yang independen dalam urusan politik praktis, tanpa harus terjebak dalam kubangan primordialisme parpol tertentu. Sehingga dukungan formal kepada ketua PAN ini untuk melaju dalam perebutan kursi presiden RI menimbulkan keresahan dalam internal Muhammadiyah.[9]


BAB 3
KESIMPULAN
Kelahiran gerakan pembaharuan Islam di masa perjuangan melawan penjajahan setidaknya tidak hanya menyadarkan masyarakat dan meningkatkan sikap rasionalitas masyarakt terkait ajaran agama dan nasib sebagai sebuah bangsa, namun juga telah menimbulkan kemelut yang sampai saat ini selalu mewarnai kehidupan sosial-politik tanah air, yaitu perdebatan mengenai Islam modern dan Islam tradisionalis. Islam tradisionalis sebagai contohnya. Yaitu kelompok yang salah satu faktor kelahirannya adalah sebagai sikap kekurangsetujuan dengan upaya pemurnian agama untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadits dengan meninggalkan praktik-praktik kebudayaan Jawa dalam ajaran Islam dan keterbukaannya dengan nilai-nilai yang berasal dari Barat.
Awalnya hanya seputar perdebatan pemikiran peribadatan dan kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat Jawa, namun dalam perkembangan selanjutnya setelah dihadapkan dengam kenyataan Indoesia merdeka dan berlakunya sistem politik parlementer, yang mau tidak mau membuat banyak tokoh dari Islam tradisional dan Islam modern terlibat aktif dalam politik. Dan menunggalnya kedua kubu yang awalnya sempat bersitegang kedalam kesebah wadah yang disebut partai Masyumi sebagai anggota luar biasa, bukan meredakan perbedaan dan perdebatan yang ada, namun justru menjadikan Masyumi seperti ajang pertarungan pengaruh dan perdebatan dari pemikiran kedua kubu tersebut.
Saat ini sudah banyak tulisan para ahli ilmu sosial yang menyatakan bahwa sebenarnya definisi dan pembagian Islam menjadi Islam modern dan Islam tradisionalis sudah tidak relevan lagi karena ternyata dari masa demokrasi parlementer pun Islam tradisionalis juga sudah berfikiran kedepan dan aktif dalam sistem pemilu dan partai yang notabene adalah produk sistem demokrasi Barat. Begitu juga dengan Islam modern yang awalnya dinilai adalah orang-orang yang berfikiran ke depan, terbuka dengan nilai-nilai Barat, dan tidak meganut mazhab tertentu bahkan sangat anti terhadap bid’ah, ternyata ada juga dari mereka yang secara individu dan kebudayaan asalnya yang masih dipegang dalam keluarga, mencirikan seorang muslim yang tradisionalis dalam kesehariannya.
Meskipun begitu, penulis menilai esensi dari perdebatan pemikiran keduanya seperti perdebatan awalnya dahulu, juga masih relevan hingga saat ini, paling tidak nampak pada hal peribadatan sederhana, seperti penentuan hari awal puasa ramadhan dan jatuhnya tanggal 1 Syawal. Secara politik kedua kubu Islam ini sudah sama-sama menyatakan akan menjadi organisis Islam yang bebas dari intervensi maupun keberpihakan kepada salah satu partai politik manapun. Dan secara sosial rupanya perdebatan yang awalnya terasa kental kini berwujud dalam bentuknya yang baru, perdebatan telah berubah menjadi identitas kita yang muslim di Indonesia. Lihat saja setiap ada orang yang bertanya kepada kita tentang agama Islam, “anda Islamnya Muhammadiyah atau NU ?”, dan ada lagi yang bertanya, “anda ini orang Muhammadiyah atau orang NU ?”.


Daftar Pustaka
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
Feith, Herbert dan Lance Castles. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES
Luth, Thahir. 1999. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasional. Jakarta: Grafitipers
Ricklefs. M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Suhelmi, Ahmad. 2002. Polemik Negara Islam. Jakarta: TERAJU
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami ilmu politik. (cet. ke-6). Jakarta: Grasindo

Sumber Internet dan Surat Kabar :
“Kebijakan Orde Baru, Masyumi dan Islam”. http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/31/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyumi-dan-islam/. Diakses pada hari Kamis, 9 Desember 2010, pukul 20.15
Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001



[1] M.C Ricklefs. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: Gajah Mada University Press. Hal 20. Hal ini menurutnya pula tidak berarti bahwa peperangan semacam itu dilakukan terutama dilakukan dalam rangka untuk menyebarkan agama Islam.
[2] Deliar Noer. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasional. Jakarta: Grafitipers. Hal 4

[3] Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hal 103
[4] Ramlan Surbakti. 2007. Memahami ilmu politik. (cet. ke-6). Jakarta: Grasindo. Hal 8. Ramlan Surbakti menambahkan bahwa konflik ini tidak semuanya berdimensi politik, sebab terdapat pula konflik pribadi, konflik ekonomi, konflik agama yang tidak selalu diselesaikan melalui proses politik
[5] Ibid, hal. 81
[6] Lihat kembali konsep tentang Kosmologi yang menganggap raja-raja adalah titisan dari tuhan, terutama pada masa pertengahan dan kehidupan kerajaan.
[7] Hal ini meskipun di awal kemunculan Islam dan mulai menyebarnya pengaruh ajaran tersebut telah mengalami perubahan dan prsoses akulturasi, nampaknya penganut Islam tradisionalis masih banayak yang enggan meninggalkan tradisi jawa tersebut dan menyertakannya pada praktik ibadah-ibadah Islam yang mereka percayai.

[8] Yusril Ihza Mahendra, dalam tulisannya “Kebijakan Orde Baru, Masyumi dan Islam”. http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/31/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyumi-dan-islam/. Diakses pada hari Kamis, 9 Desember 2010, pukul 20.15
[9] Tulisan Muhammad pada http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/1925458-politik-muhammadiyah/. Diakses pada hari kamis, 9 Desember 2010, pukul 20.55

Read Users' Comments (1)komentar

1 Response to "“PERDEBATAN ISLAM MODERN DAN ISLAM TRADISONAL DI INDONESIA”"

  1. Mando, on 24 April 2017 pukul 00.38 said:

    Hi there,I enjoy reading through your article post.
    I wanted to write a little comment to support you and wish you a good continuationAll the best for all your blogging efforts.


    furniture jati di jakarta

Posting Komentar