Etnis Cina di Indonesia: Dilema Ekonomi dan Politik
1
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Etnis Cina di Indonesia
Bangsa Cina adalah salah satu bangsa yang besar di dunia ini. Bahkan dalam sejarahnya sudah banyak prestasi yang ditorehkan bagi perkembangan dan kemajuan manusia, baik terkait kemajuan ekonomi maupun teknologi. Berdiri megahnya tembok besar Cina, jumlah pendudukanya yang terbanyak di dunia saat ini, hingga penemuan-penemuan teknologinya seperti bubuk mesiu dan kertas telah membuat bangsa-bangsa lainnya menaruh hormat atas keberhasilan bangsa yang asalnya ada di belahan Benua Asia sebelah timur. Salah satu pengaruh orang-orang Cina lainnya dalam sejarah dunia adalah pelayaran para pedagangan maupun para utusan kerajaannya ke daerah-daerah lain di dunia, termasuk Indonesia. Hingga kini banyak tersebar orang-orang keturunan Cina hampir di seluruh dunia, dan yang terbanyak adalah di kawasan Asia.
Sebenarnya keberadaan etnis Cina di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5[1]. Hal itu ditunjukkan oleh kunjungan Fa-Hsien,[2] seorang pendeta Budha ke Indonesia pada abad awal tarikh masehi (Kwartanada, 1996: 24; Djie, 1995: 20). Dengan adanya fakta yang demikian, berarti etnis Cina sudah hadir kurang lebih 15 abad, jauh sebelum bangsa Belanda menjajah di Indonesia. Tahun kedatangan pendeta Budha itu lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan tahun terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diproklamirkan tahun 1945 .
Menurut Robert Siburian, bukti lain tentang keberadaan etnis Cina di Indonesia adalah berupa keikutsertaan muslim Cina untuk membangun Kesultanan Demak. Kesultanan Demak merupakan salah satu pusat pemerintahan Islam pertama di bumi Nusantara ini. Muslim Cina ini adalah para musafir muslim yang bermazhab Hanafi yang terdampar, dan kemudian membangun sebuah mesjid di Semarang (Rochmawati, 2004: 115). Rentang waktu sejak dari kunjungan pendeta Budha hingga negara Indonesia diproklamirkan lebih dari 1000 tahun. Dalam rentang waktu itu, kiprah etnis Cina di Nusantara ini sudah banyak, walaupun sejarah mencatat bahwa kiprah mereka itu dominan di bidang perdagangan. Selama itu pula, sudah banyak orang Cina yang lahir, mati dan dikuburkan di bumi Pertiwi ini. Dengan kata lain, etnis Cina di bumi Indonesia sudah lama beranak-pinak.
1.2 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial Etnis Cina dengan Pribumi
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang besar. Besar dalam artian sumber daya alam dan jumlah penduduknya, juga besar dalam keragaman budaya dan etnis. Sudah lama para pendiri bangsa Indonesia menyadari tentang potensi keragaman dan kebesaran jumlah kekayaan alam dan budaya negerinya tersebut. Namun, disadari pula hal ini oleh mereka dapat menjadi hambatan besar bilaman tidak adanya suatu mekanisme penyatuan orang-orang dari beragam suku dan latar belakang yang berbeda untuk menjadi suatu bangsa dan mengakui keberadaan etnis maupun suku lainnya. Jika yang terjadi adalah masing-masing etnis lebih membanggakan dan merasa dirinya lebih baik dari etnis yang lain (chauvinisme) karena beragam alasan dan sebab, maka disintegrasi dan kerentanan akan terjadinya konflik sosial semakin besar apalagi hal ini sangat dihindari oleh bangsa-bangsa yang sedang dalam pembangunan.
Permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia secara sosial baik yang berbentuk vertikal maupun horizontal tidak dipungkiri telah banyak mewarnai sejarah dari bangsa Indonesia sendiri. Sejak zaman kerajaan kuno, penjajahan bangsa asing (Eropa dan Jepang), masa awal kemerdekaan, hingga pascakemerdekaan sering kali terjadi konflik horizontal yang melibatkan bangsa Indonesia sendiri atau sering disebut dengan konflik antar etnis. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini juga merupakan suatu tragedi yang timbul karena adanya kemajemukan yang tidak disikapi secara arif, sehingga menimbulkan jarak sosial yang menjadi potensi konflik serta dapat menimbulkan disintegrasi sosial.
Etnis Cina, sebagai bagian dari keragaman bangsa Indonesia yang sudah ada lama sebelum kemerdekaan 1945 juga mengalami konflik horizontal tersebut. Perjalanannya yang panjang dan peranannya sebagai bagaian etnis yang turut serta dalam kemerdekaan dan pembangunan Indonesia nampaknya tidak menjadi nilai positif mereka di mata etnis pribumi lainnya di Indonesia—setidaknya dalam beberapa kasus diskriminasi yang pernah terjadi pada masa kolonialisme Belanda hingga yang terkenal saat berlangsungnya pemerintahan orde baru—dalam kurun waktu yang cukup lama sebelum lahirnya reformasi pemerintahan tahun 1998.
Di bidang ekonomi-politik dalam masa penjajahan kolonial Belanda dan pemerintahan orde baru, sebenarnya etnis Cina pernah berada dalam posisi yang terhormat dalam masyarakat. Pembagian masyarakat saat masa penjajahan menjadi tiga unsur membuat etnis Cina berada dalam golongan kedua, yaitu di bawah golongan orang-orang Eropa dan di atas orang-orang Pribumi. Saat orde baru orang-orang keturunan Cina ini pernah juga di ”anak emaskan” oleh Presiden Soeharto dalam posisinya yang menempati tempat-tempat strategis di jajaran pembangunan ekonomi nasional—walaupun istilah ”anak tiri” juga melekat pada mereka dengan berbagai bentuk diskriminasi melalui dikeluarkannya sebuah surat ”sakti” yang dikenal dengan SKBRI--. Bahkan, penguasaan yang didukung keuletan dalam bekerja khususnya di bidang ekonomi (perdagangan) telah membuat etnis Cina di Indonesia terkenal sebagai pengusaha dan orang-orang yang berhasil mendominasi perekonomian nasional, mengalahkan etnis lainnya yang ada di Indonesia setidaknya pula hingga akhir orde baru.
Namun dari kedua aspek inilah (ekonomi dan politik) rupanya menjadi penyebab kebencian orang-orang pribumi terhadap orang-orang etnis Cina. Dan dalam perkembangan selanjutnya berujung pada terjadinya konflik sosial antara dua golongan tersebut. Kasus besar yang masih sangat hangat di ingatan kita adalah kasus Mei 1998 yang tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga daerah-daerah lain di Indonesia seperti Medan, Bandung, dan Surakarta. Penjarahan, pengrusakan, pemerkosaan, bahkan sampai dengan pembunuhan terjadi dalam konflik tersebut. Mungkin saat itu telah terjadi akumulasi dendam dan kebencian yang sangat akibat kesenjangan sosial atau kecemburuan sosial yang terjadi antara orang pribumi dengan orang-orang etnis Cina yang telah lama menjadi sebuah hubungan ordinat-subordinat di Indonesia.
Mungkin di satu sisi ada yang menilai ini adalah tindakan dan buah dari nasionalisme bangsa asli Indoneisia yang sudah mulai dibangun dari awal tahun 1900an. Namun dalam faktanya, pertikaian dan kebencian yang terjadi sudah begitu sistematis dengan melibatkan masyarakat dan negara di dalamnya seperti saat orde baru, artinya faktor nasionalisme tidak bisa dijadikan satu-satunya faktor penyebab terjadinya konflik dan sikap ketidaksukaan orang Pribumi terhadap orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Sebab, dalam faktanaya juga permasalah yang mengaitkan unsur ekonomi-politik dengan keberadaan etnis Cina di Nusantara (saat itu belum lahir nama Indonesia) telah terjadi lama sebelum Indonesia sendiri merdeka, tepatnya pada masa kolonial Belanda.
Permasalah yang terjadi sebenarnya sangat luas dan beragam jika dirunut dari awal mula keberadaan etnis Cina itu sendiri di Indonesia. Namun yang ingin penulis paparkan adalah bagaimana konflik etnis yang melibatkan orang-orang keturunan Cina dengan orang Pribumi sebenarnya erat dengan permasalahan ekonomi dan politik (kekuasaan). Berangkat dari fenomena inilah penulis coba untuk menjelaskan bagaimana konflik horizontal yang melibatkan dua etnis atau satu etnis tertentu dengan etnis lainnya terjadi dengan melihat latar belakang sejarah dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi konflik yang terjadi berkepanjangan tersebut. Sehingga akhirnya didapatkan suatu pemahan yang utuh beserta solusinya terkait konflik etnis Cina dengan etnis atau orang Pribumi di Indonesia sampai saat ini.
1.3 Faktor-Faktor Pemicu Konflik Etnis Cina dan Pribumi
1.3.1 Teori Konflik Sosial Sebagai Sebuah Pisau Analisis
Mengamati peristiwa huru-hara yang terjadi sejak awal tahun 1942 hingga peristiwa Mei 1998, Tufik Abdullah (1999: 6-7) melihat ada satu kesamaan dari semua peristiwa tersebut, yaitu bahwa peristiwa huru-hara tidak pernah murni sebagai peristiwa sosial yang terlepas dari masalah kekuasaan, dan cenderung terkait dengan situasi yang saling menemukan dari ketiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah kejengkelan politik, kegelisahan ekonomi, dan keresahan sosial[3].
Dari ketiga unsur tersebut dapat dicermati bahwa terjadinya konflik ataupun huru-hara baik yang terjadi di tengah masyarakat maupun secara khusus melibatkan etnis di dalamnya ternyata adalah perwujudan dari konflik politik, lembaga politik, dan kekuasaan politik. Kegelisahan ekonomi misalnya terkait dengan “perbedaan penilaian terhadap putusan politik”. Sedangkan kejengkelan politik bersumber pada “perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok dalam masyarakat tentang legalitas kekuasaan politik yang dimiliki penguasa politik dan perbedaan pandangan terhadap pejabat atau lembaga politik tertentu”.
Namun begitu, kegelisahan sosial nampaknya tidak berkaitan erat dengan dua unsur yang telah disebutkan diatas. Keresahan lebih dianggap sebagai respon atau sikap terhadap ketidakadilan dan kekecewaan masyarakat terhadap keputusan yang dibuat oleh penguasa. Jadi dapat diambil kesimpulan sederhana bahwa huru-hara maupun konflik yang terjadi lebih sering dilatarbelakangi oleh hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai atau rakyat akibat adanya ketidaksamaan cara pandang, ketidakadilan dalam ekonomi dan sosial maupun kepentingan-kepentingan untuk mendapatkan nilai ekonomi lebih serta kekuasaan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama (majemuk). Kemajemukan ini diperlihatkan oleh adanya berbagai golongan etnis yang ada didalamnya di bawah suatu negara kebangsaan. Menurut Hildred Geertz tidak kurang dari 300 golongan etnis yang mendiami berbagai tempat dan menyebar di berbagai pulau di Indonesia. Kebhinekaan/kemajemukan yang tidak terakomodasi dengan baik akan menimbulkan jarak sosial, yang pada gilirannya menjadi konflik sosial. Pada dasarnya konflik merupakan interaksi yang menimbulkan pertentangan yang berupa bentrokan, perkelahian atau peperangan.
Beberapa temuan hasil penelitian menyebutkan, konflik antar golongan etnis terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Temuan studi menunjukkan penyebab pemicu timbulnya konflik antar etnis memang sangat kompleks. Dahrendorf dalam Johnson (1990), mengklasifikasikan kondisi yang dapat mempengaruhi konflik mencakup: (1) kondisi teknik, (2) kondisi politik dan (3) kondisi sosial. Beberapa penyebab timbulnya jarak sosial dan konflik sosial yang terpokok ialah faktor ekonomi-politik, dan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut bisa diperparah dengan terabaikannya tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan yang menuntut kebersamaan. Manakala hal-hal tersebut terjadi maka dengan mudah akan menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis.
1.3.2 Konflik Sosial Etnis Cina
Sedangkan Wang Gungwu (1981) menilai bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi. Bertolak dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnis terutama golongan etnis keturunan Cina amatlah besar.
Temuan Prihandoko Sanjatmiko (1999)[4] dalam kasus etnis keturunan Cina dan pribumi di Tangerang, menyimpulkan bahwa faktor renggangnya jarak sosial dan hubungan antar kedua etnis adalah disebabkan oleh : (1) Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis keturunan Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga masih kuatnya in group feeling penduduk etnis keturunan Cina terhadap kulturnya; (2) Anggapan kultur etnis keturunan Cina lebih tinggi dari komuniti pribumi: (3) Prasangka stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi yang pemalas, bodoh, tidak bisa menggunakan kesempatan baik dan sebagainya.
Sebaliknya steorotipe penduduk etnis pribumi terhadap etnis keturunan Cina disebut sebagai golongan yang maunya untung sendiri tanpa melihat halal atau haram; (4) Diskriminasi pribumi terhadap etnis keturunan Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5) Nilai-nilai dan kekuatan konflik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis. Berbagai aspek di atas diduga sebagai faktor penyebab terjadinya jarak sosial antara etnis pribumi dan keturunan Cina.
2
PEMBAHASAN
2.1 Etnis Cina Dalam Dilema Ekonomi dan Politik di Indonesia
2.1.1 Kerusuhan dan Pertentangan Terhadap Etnis Cina
Walaupun proses pengakuan etnis Cina sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah dimulai sejak masa penjajahan dahulu, tampaknya keberadaan etnis Cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia belum berjalan mulus, atau etnis Cina belum diterima oleh etnis Pribumi penghuni negeri ini secara optimal. Perlakuan terhadap etnis Cina sangat berbeda dengan perlakuan terhadap orang India ataupun orang Arab yang ada di Indonesia ini. Hal itu ditandai oleh kerusuhan demi kerusuhan yang sering terjadi mewarnai hubungan etnik di Indonesia ini, di mana etnis Cina tidak pernah luput dari sasaran.
Kerusuhan atau konflik tersebut dimulai sejak masa penjajahan dahulu, dekade kedua abad 20 an, yaitu tahun 1912 dan 1918. Kerusuhan tahun 1912 itu berlangsung di Surabaya dan Surakarta. Kerusuhan itu dipercaya memiliki keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan Serikat Indonesia. Enam tahun setelah kerusuhan itu, yaitu tahun 1918, kerusuhan anti-Cina kembali terjadi di Kudus. Kerusuhan itu timbul sebagai akibat pertentangan kepentingan para pengusaha Tionghoa dengan para pedagang pribumi. Akibat dari kerusuhan itu, beberapa orang Tionghoa terbunuh dan mereka juga banyak yang mengalami luka-luka. Selain korban jiwa, rumah orang Tionghoa pun banyak yang dibakar habis (Suryadinata, 1984).
Kerusuhan paling besar yang telah membuat trauma dan hampir melanda seluruh kota-kota di Indonesia, yang menciptakan rasa takut tidak saja bagi etnis Cina tetapi juga seluruh lapisan masyarakat adalah peristiwa 12-14 Mei 1998. Sebab, "Mei Kelabu"--sering disebut demikian—itu disertai dengan tindakan kekerasan seperti penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan bahkan pemerkosaan. Pada peristiwa "Mei Kelabu", korban jiwa manusia (baik meninggal maupun luka-luka) tidak hanya berasal dari golongan etnis Cina saja, juga dari kalangan penduduk Pribumi Indonesia yang terjebak di pusat-pusat perbelanjaan yang dibakar, seperti yang terjadi di Plaza Yogya di daerah Klender, Jakarta Timur. Kerugian akibat kerusuhan 1998 itu mencapai Rp 2,5 trilyun (lihat tabel). Kerugian tidak hanya di bidang meterial, sebab wanita etnis Cina yang diperkosa mencapai 168 orang dan mereka yang eksodus ke luar negeri mencapai 100.000 orang (Herlianto dalam Sri Agus, Masalah Cina 3 dikutip dari Kompas, 3 Juli 2003, dalam http://www.yabina.org/artikel/A6.01.HTM, diambil tgl. 5 Januari 2005).
2.1.2 Dilema Ekonomi dan Politik
Meskipun terdapat banyak pandangn tentang terkait konflik yang melibatkan etnis Cina dan non-Cina atau pribumi di Indonesia sejak kemunculannya hingga akhir-akhir ini, nampaknya para peneliti dan akademisi banyak yang menitikan perhatiannya pada permasalahn kekuasaan etnis dan masalah ekonomi sebagai variabel yang menentukan terjadinya huru-hara atau konfik dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Pendiskriminasian etnis Cina ini sebenarnya sudah berlangsung ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan kolonial Belanda. Secara resmi, pemerintahan Hindia Belanda (sejak permulaan abad ke-19) membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing (Cina, Arab dan lain-lain ), dan pribumi. Orang Cina pada waktu itu tampil sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Golongan Cina ini cukup makmur di bawah kekuasaan kolonial.
Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan etnis Cina sebagai etnis yang sejajar dengan etnis Pribumi tentu ada yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah faktor kecemburuan sosial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnis Cina adalah "anak emas" sekaligus "anak tiri" bangsa Indonesia (lebih terlihat pada saat orde baru). Artinya, di satu sisi etnis Cina diperlakukan sangat istimewa oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnis Cina dipersulit dalam berbagai hal. Dalam hal ini, pemerintah selalu mendiskriminasikan etnis Cina--siapa pun dia itu--dengan berbagai aturan.
Etnis Cina sebagai etnis dan masyarakat pendatang, layaknya bangsa pendatang lainnya yang pernah singgah di Indonesia selalu penuh dengan nuansa kecurigaan dan pandangan rasial—walaupun dalam intensitas kecil—oleh penduduk lokal atau yang lebih sering kita kenal dengan sebutan Pribumi. Aggapan dan pandangan ini muncul tidak serta merta begitu saja, namun sejarah dan hubungan antar bangsa yang telah berlangsung begitu lama turut mempengaruhi keadaan yang semakin dalam perkembangannya mengarah kepada permasalahan konflik etnis. Keterjajahan bangsa Indonesia oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Portugal, Spanyol, Inggrisi, hingga Belanda memberikan sisi psikologis tertentu bangsa Indonesia tentang sikap kebenciannya terhadap bangsa asing terlebih bangsa yang telah menjajah dan menyengsarakannya begitu lama.
Hubungan konflik dengan etnis Cina bukanlah hubungan historis siapa yang dijajah dan siapa yang menjajah, namun permasalah murni bersifat sosial horizontal walaupun terkadang seperti saat orde baru mengeluarkan kebijakan SKBRI terlihat pula sisi vertikalnya. Keadaan yang saling bergesekan ini akhirnya membentuk manifestasi hubungan etnis dan kekuasaan (politik) yang terlihat jelas dalam penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, Cina dan non-Cina, WNI dan WNA atau WNI asli dan WNI keturunan Cina.
2.1.3 Konflik Kekuasaan (Politik) oleh Kolonial Belanda
Penamaan Cina pada mulanya terkait dengan penamaan ras yang dicirikan dengan perbedaan-perbedaan biologis seperti warna kulit, bentuk rambut, dan tipe mata. Dengan melihat pernyataan tersebut maka dapat dimengerti bahwa penamaan Cina pada mulanya adalah penamaan yang bersifat rasial yang digunakan untuk membedakan orang Cina dan orang non-Cina. Pelabelan inilah yang kemudian digunakan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda sebagai kebijakan melalui hukum formal untuk membedakan orang Cina dengan orang-orang Eropa dan masyarakat pribumi (inlanders) yang kemudian digolongkan secara tersendiri dalm golongan yang disebut Timur Asing. Dengan begitu label sosial yang tadinya lebih kentara sekarang menjadi sebuah label politik[5].
Semua ini dilakukan oleh pemerintahan kolonial semata-mata untuk menguatkan posisinya di Nusantara sebagai golongan yang kuat dan menguasaai segala sumber daya demi kepentingannya sendiri. Pola seperti inilah yang rupanya tidak benar-benar menjadi trauma bangsa Indonesia dan dilupakan kemudian, sebab dalam perkembangan selanjutnya bahkan sampai orde baru pola-pola kekuasaan yang dikaitkan dengan masalah etnis terus diterapkan demi eksistensi penguasa saat itu.
2.1.4 Diskriminasi Terhadap Etnis Cina Pascakemerdekaan
Seperti yang diungkapkan oleh Kwartanada, bahwa pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktik yang hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi. Berbagai pungutan--baik resmi ataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingat status mereka sebagai minoritas yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI, yang berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk masuk sekolah/kuliah.
Dengan berbagai aturan yang dijelaskan itu, secara eksplisit dinyatakan bahwa etnis Cina bukanlah orang Pribumi Indonesia. Sebab, yang diwajibkan untuk melengkapi persyaratan sebagai warga negara Indonesia seperti di atas hanyalah etnis Cina atau warga asing yang menjadi warga negara Indonesia . Padahal dilihat dari segi historis, etnis Cina sudah lama diakui keberadaannya di Indonesia . Walaupun demikian, etnis Cina masih dikategorikan sebagai orang asing. Kalaupun etnis Cina diterima sebagai warga negara Indonesia tetapi masih dengan setengah hati, padahal jumlah mereka mencapai jutaan orang dan sudah banyak yang kawin campur dengan etnis Pribumi.
2.2 Resolusi Konflik Etnis Cina di Indonesia
Agar persoalan hubungan etnis di Indonesia dapat terpelihara dengan baik, sudah selayaknya penyebutan warga negara pribumi dan non-pribumi dihilangkan.[6] Istilah dengan pengkategorian seperti itu sudah menciptakan dikotomi tersendiri dengan segala konsekuensinya. Hal yang perlu ditanamkan pada masyarakat Indonesia melalui media pendidikan bahwa Indonesia itu multietnik, multiagama, multiadat istiadat, yang satu sama lain harus hidup berdampingan untuk membangun Indonesia yang kuat. Kemudian, pemerintah sudah waktunya menghilangkan diskriminasi di antara etnik-etnik yang ada di Indonesia ini, sebab pendiskriminasian seperti yang dialami oleh etnis Cina selama ini akan sulit menghilangkan perbedaan. Karena, dengan adanya pendiskriminasian sekaligus menunjukkan adanya perbedaan. Oleh karena itu, WNI etnis Cina pun tidak menganggapnya sebagai etnis yang paling unggul yang dapat menciptakan sentimen keetnisan.
Selain itu, intropeksi ke dalam perlu juga dilakukan oleh etnis Cina itu sendiri. Sebab, kendati etnis Cina sudah lama bermukim di Indonesia ini, tampaknya adaptasi yang dilakukan selama ini masih belum berhasil mengingat setiap terjadinya kerusuhan tidak jarang melibatkan etnis Cina selaku pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, alternatif dari strategi adaptasi yang dilakukan selama ini perlu dicari dan dimunculkan.
Gagasan mengenai nasion Hindia Belanda (Indonesia) dengan tidak melihat latar belakang etnik, budaya, agama, bahasa dan ras sudah dimulai sejak tahun 1917, yang dilakukan oleh dr. Tjipto Mangunkusumo. Beliau ini melontarkan sebuah gagasan tentang warga negara Hindia Belanda di masa depan, yaitu harus terdiri atas semua golongan yang menganggap negara Indonesia sebagai tanah airnya. Negara Indonesia sebagai tanah airnya tidak sebatas pengakuan saja, tetapi harus diwujudkan dengan keaktifannya ikut mengembangkan negara Indonesia itu (Suryadinata, 1984: 159).
Apa yang ditawarkan oleh dr. Tjipto Mangunkusumo mengenai nasionalisme adalah suatu cara bagaimana keanekaragaman dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia dengan latar belakang masyarakatnya yang berbeda dapat duduk sama rata dan berdiri sama tinggi. Tidak membedakan apakah seseorang yang berasal dari etnis tertentu layak atau tidak ayak menempati jabatan sosial maupun politik tertentu, namun kemampuan dan integritas seseoranglah yang yang dijadikan acuan bagaimana menempatkan seseorang secara eonomi dan politik di masyarakat.
Berkaitan dengan konflik etnis Cina di Indonesia, sebenarnya banyak cara lain yang dapat digunakan untuk meredan dan menyelesaikan masalah sosial tersebut. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Burhan Djabir Magenda[7], bahwa nasionalisme itu mesti dimiliki oleh bangsa yang multikultural di Indonesia ini. Hal ini dibentuk oleh tokoh-tokoh berpengaruh di masa perjuangan dan awal kemerdekaan, seperti Soekarno dan Hatta. Dan masa setelahnya ketika sudah tidak ada lagi founding fathers yang memersatukan rakyat kecenderungannya sebuah bangsa akan mulai menghadapi permasalahn sosial. Maka agar masyarakat tidak terlalu lama terkukung oleh konsepsi ideologis masyarakat imajiner seperti yang diungkapkan oleh Benedict Anderson dan konflik dapat dibatasi lalu diredakan, dibutuhkan apa yang disebut oleh Geertz sebagai lembaga-lembaga pemersatu, yang rill keberadaannya dan diisi oleh masyarakat sendiri, sehingga bangsa tetap bertahan dan tidak terpecah belah. Itulah alasan kenapa sebuah institusi politik perlu dalam sebuah negara pada saat menangani permasalahn konflik antar etnis. Dan cirri negara yang gagal (failed state) adalah negara yang fungsi lembaga atau institusi politiknya tidak berjalan.
Salah satu cara meredakan konflik yang ditawarkan oleh Alvian adalah menjadikan ideologi bersama yang di anut dalam masyarakat sebagai sebuah konsensus yang mengakomodasi berbagai kepentingan lain dari tiap unsur masyarakat yang berbeda latar belakang etnisnya (sub-ideologi). Maka perlu ada suatu pemahan utuh mengenai definisi ideologi tersebut. Yaitu ideologi yang diartikan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.[8]
3
KESIMPULAN
Permasalahan dan konflik etnis Cina dengan Pribumi sudah berlangsung lama dan menjadi bagian tersendiri dalm sejarah panjang ekonomi dan politik di Indonesia. Ekonomi dan kekuasaan (politik) adalah dua variabel yang sering kali berhubungan dengan konflik serta kebencian etnis pribumi terhadap etnis Cina tersebut. Kecemburuan sosial, kesenjangan ekonomi dan ketidakterimaan bangsa Indonesia terhadap penguasaan bangsa asing di negerinya juga merupakan bentuk traumatik penjajahan yang pernah berlangsung begitu lama di Indonesia. Hal ini turut meruncingkan serta memanaskan gesekan-geseakn sosial antara orang pribumi dan etnis Cina di berbagai wilayah di Indonesia.
Kita tidak bisa pungkiri sumbangsih etnis Cina dalam pembangun khusunya bidang ekonomi di Indonesia. Jika kita mau bersikap positif dan memaknai betul arti dari deklarasi sumpah pemuda 28 Oktober 1928, harusnya perbedaan yang ada dijadikan kekayaan khasanah budaya kita yang harus dihargai dan perlu rasa saling memiliki sebagai bentuk kebanggaan seorang warga negara. Dilema yang dialamai oleh etnis Cina di Indonesia memang sesuatu yang kita sayangkan, namun inilah pelajaran besar bagi kita sebenarnya orang pribumi. Ketertinggalan kita dan tingginya kesenjangan ekonomi yang terjadi harus dimaknai sebagai kompetisi yang sehat untuk terus memotivasi diri agar tidak tertinggal lebih jauh oleh bangsa asing maupun sesama warga negara yang berbeda latar belakangnya namun bukan untuk menjadi sombong.
Akhirnya adalah sebuah keniscayaan jika keanearagaman itu dekat dengan konflik, tapi tantangannya adalah bagaimana konsensus itu dapat tercipta dan mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada di dalam satu bendera negara yang sama. Namun adalah sebuah kekeliruan jika menilai dengan kebencian terhadap keberhasilan dari etnis yang berbeda dengan kita, keingian untuk mengalahkan itu boleh asal dalam koridor memperbaiki diri dan memajukan bangsa, bukan merasa dirinya yang benar dan paling baik. Maka dari itu mulai saat ini perlu ditumbuhkan kesadaran sebagai satu bangsa yang utuh dengan penuh rasa cinta dengan sesama. Hilangkan dikotomi pribumi dan non-pribumu, kita adalah sama, sama dalam perjuangan, nasib dan cita-citanya, yaitu hidup damai dalam keberagaman.
Daftar Pustaka
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
Abdullah, Taufik. 1999. Etnisitas dan Konflik Sosial: “Sebuah Pengantar”. Dalam Pemecahan Masalah Antar Etnis; Etnisitas dan Konflik Sosial, oleh Tim Peneliti PMB-LIPI No. 5
Djabir Magenda, Burhan. 2001. National Integration in A Complex Indonesia. Diterbitkan oleh TELSTRA No. 64 untuk edisi Januari-Februari
Kwartanada, Didi. 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Onghokham. 2009. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu
Rochmawati. 2002. Jiwa Kapitalisme Cina (terjemahan). Jakarta: Abdi Tandur
Soewarsono. 1999. Orang Cina di Bandung: Sebuah Keterputusan “Sejarah”. Dalam Pemecahan Masalah Hubungan Antar Etnis: Etnisitas dan Konflik Sosial, oleh Tim Peneliti PMN-LIPI seri penelitian PMB-LIPI No. 05 hal. 28-49
Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers
Thung Ju Lan. Etnis Cina dan Non-Cina, Etnisitas dan Kekuasaan. Seri penelitian PMB-LIPI No. 16/2000. Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia.
[1] Diungkapkan oleh Robert Siburian dalam makalah yang berjudul Etnis Cina di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya. Beliau adalah staff peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI). Ia bergabung dengan PMB-LIPI sejak tahun 1996, dan ditempatkan pada Bidang Perkembangan Masyarakat. Gelar S1 diperoleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Jember, jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan tahun 1994. Gelar S2 diperoleh dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia selesai tahun 2004.
[2] Sumber lain menyebutkan bahwa Fa Hsien berkunjung ke Indonesia bukan atas kesengajaan. Pada waktu itu, kapalnya mendapat kecelakaan dan ia terdampar di suatu tempat yang masih diperdebatkan oleh para ahli apakah di Pulau Jawa atau Sumatera. Fa Hsien berada di tempat baru itu selama enam bulan. Perdebatan para ahli pun kemudian muncul; apakah pada waktu itu sudah ada etnis Cina yang ditemukan oleh Fa Hsien atau belum. Untuk mengetahui lebih jelas perdebatan akan keberadaan Fa Hsien di Indonesia, lihat tulisan Liem Twan Djie, 1995, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa: Suatu Studi Ekonomi. (terjemahan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 20 - 28.
[3] Dipaparkan oleh Thung Ju Lan dalam persentasinya saat lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial yang diselenggarakan oleh PMB-LIPI di Jakarta tanggal 30 Juni 1999. Seri penelitian PMB-LIPI No. 16/2000. Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia.
[4] Sri Agus dalam makalahnya KONFLIK ETNIS CINA DAN JAWA DI SURAKARTA. Beliau adalah dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS
[5] Tulisan Soewarsono (1999) yang merupakan kajian sejarah terhadap orang Cina di Bandung menunjukan bagaimana Cina sebagai sebuah kategori yang dibedakan dari masyarakat pada umumnya.
[6] Salah satu solusi yang diungkapkan oleh Robert Siburian dalam makalah yang berjudul Etnis Cina di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya.
[7] Burhan Djabir Magenda. 2001. National Integration in A Complex Indonesia. Diterbitkan oleh TELSTRA No. 64 untuk edisi Januari-Februari hal. 50
[8] Dikemukakan oleh Alvian dalam Ideologi, Idealisme, dan Integrasi Nasional. Pernah dimuat dalam majalah Prisma, No. 8, Agustus 1976
0 Response to "Etnis Cina di Indonesia: Dilema Ekonomi dan Politik"
Posting Komentar