Debat ‘Akhir Sejarah’ yang Belum Usai: Antara Ideologi dan Budaya
“Ancaman Hijau menggantikan ancaman Merah”, sebuah jargon yang sering kita dengar belakangan ini ketika melihat maraknya fenomena radikalisasi dari kelompok-kelompok Muslim fundamental yang mencoba menentang hegemoni negara dan nilai-nilai Barat khususnya Amerika Serkat, nampaknya bukan sekedar guyonan. Runtuhnya menara kembar World Trade Center tahun 2001 dan wafatnya Osama bin Laden beberapa hari yang lalu—sebagai simbol pembalasan terhadap aksi terorisme—semakin meneguhkan asumsi sebagian kalangan yang percaya bahwa “akhir sejarah” belum berakhir dan debat antar ideologi-budaya masih tetap berlangsung. Secara sederhana definisi akhir sejarah selanjutnya akan dimaknai sebagai sebuah keadaan tatanan dunia yang sudah tidak ada lagi benturan maupun pertentangan dari satu nilai terhadap nilai lainnya. Terkait debat ini akan kita awali dengan sebuah tesis Francis Fukuyama yang termuat dalam tulisannya di The National Interest (1989) dan kemudian dielaborasikan menjadi sebuah buku pada tahun 1992—The End of History and The Last Man. Dalam bukunya tersebut Fukuyama mengatakan bahwa selepas perang dingin, perkembangan sejarah manusia telah sampai titik akhir dunia—terjadinya gelomban demokratisasi negara dunia ke-tiga dan semakin perkasanya kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia—telah berada dalam akhir evolusi ideologi, di mana telah terdapat universalisasi dari nilai liberal demokrasi barat di dunia.[1]
Sebenarnya Fukuyama bukanlah orang pertama yang membuat tesis dan meramalkan demikian. Ada orang-orang sebelumnya yang lebih dulu mengunakan istilah “akhir sejarah”—meskipun memiliki tafsiran yang berbeda, seperti Hegel, Marx, maupun Kojeve—,dan barulah setelah itu mempengaruhi buah pemikiran Fukuyama yang dianggap sebagai tafsiran paling kontemporer terkait akhir sejarah sebelum Huntington melakukan kritik keras terhadapnya. Kita mulai dari tafsiran akhir sejarah yang pertama. Hegel, menilai bahwa di dalam kehidupan ini akan selalu senantiasa terdapat suatu proses perubahan dari masyarakat yang primitif ke masyarakat yang memiliki organisasi sosial, hingga akhirnya tercipta sebuah masyarakat yang demokratik egalitarian sebagai akhir dari sejarah masyarakat itu sendiri.[2] Dengan begitu dapat dicermati bahwa Hegel melihat sejarah manusia adalah suatu hal yang saling berkaitan, dan suatu proses evolusi. Manusia berangkat dari tahap yang tradisional kemudian semakin berkembang sampai pada tahap manusia modern. Hal ini berkaitan pula pada tahap perkembangan ide dan pengetahuan di dalam manusia.
Marx, walaupun juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hegel,[3] nampaknya dia lebih melihat sebuah akhir sejarah ini dari sisi ekonomi. Menurut Marx, sejarah manusia merupakan suatu permainan dari kepemilikan material, manusia berangkat dari masyarakat yang agraris kemudian menjadi masyarakat yang industrialis. Dan hal tersebut akan berakhir dengan adanya komunis utopia—Marx percaya bahwa ketika tingkat ekonomi kapitalisme itu mencapai puncaknya maka disaat itu pula kehancuran dari sistem ekonomi tersebut akan terjadi—yaitu ketika masyarakat industrialis ini hancur karena adanya revolusi yang dilakukan oleh kaum buruh dalam rangkan menciptakan hubungan dalam negara yang tanpa kelas.[4] Lebih jauh Marx memandang bahwa akhir sejarah adalah peristiwa dimana kapitalisme ini sudah menjadi merupakan sebuah sistem yang tidak stabil dan tidak mungkin dihindarkan—dibangun di atas antagonisme, yang hanya bisa ditanggulangi dengan perubahan-perubahan yang secara bertahap akan menghancurkanya. Kontradiksi-kontradiksi ini terlihat sekali terutama dari sifat kelasnya, yaitu dari pola hubungan asimetris antara buruh, upah dan modal. Hal inilah yang mendorong kapitalisme pada kahancurannya sendiri.[5] Pada tataran ini, akhirnya kita melihat bagaimana Hegel dan Marx meyakini evolusi manusia bakal berakhir ketika telah mencapai tatanan masyarakat yang sempurna, Hegel dengan bentuk negara liberal dan Marx melalui masyarakat komunisnya.[6]
Tokoh lain yang melakukan tafsir terhadap akhir sejarah dan mengilhami Fukuyama adalah Alexandre Kojeve—gagasan Kojeve ini digunakan Fukuyama untuk mendukung gagasan “akhir sejarah”nya—(filsuf Rusia-Perancis). Kojeve beranggapan akhir sejarah telah terjadi pada tahun 1806, pada saat revolusi Perancis. Prinsip dari revolusi Perancis yaitu kebebasan dan persamaan yang kemudian dimanifestasikan pada universal and homogeneous state[7] oleh Kojeve. Ia menganggap hal tersebut telah memperlihatkan bagaimana berakhirnya ideologi masyarakat, dan tidak akan dapat berkembang lebih jauh. Perwujudan dari prinsip-prisip revolusi Perancis ini terlihat pada negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia. Hal ini terlihat pada demokrasi dan sistem kapitalisme yang telah mencapai tingkat tertinggi dan stabilitas politik yang cukup baik. Ia percaya, The end of history tidak hanya berakhirnya perjuangan politik dan konflik, namun juga berakhirnya perkembangan dari ideologi itu sendiri. Masyarakat Eropa merupakan perwujudan dari end of history dari apa yang dikemukakan oleh Kojeve.[8] Kesimpulan Kojeve inilah yang kemudian banyak digunakan oleh Fukuyama, tidak hanya karena hubungan definisi akhir sejarah yang menilai bahwa tidak ada lagi antagonisme terhadap ideologi tertentu, namun Fukuyama juga melihat kesamaan cara pandangnya dengan Kojeve terkait masyarakat Eropa sebagai sebuah contoh representasi paling nyata tentang masyarakat yang universal dan homogen. Sebab, belakangan—kira-kira hampir 12 tahun dari karya besarnya itu—Fukuyama beranggapan bahwa akhir sejarah yang ada dalam konsepnya tersebut benar-benar terjadi pada Uni Eropa. Di sana mata uang yang digunakan sama, batas-batas antar negara semakin tidak menonjol lagi, sistem demokrasi liberal digunakan oleh semua negara dan kapitalisme dianggap sebagai sitem terbaik yang pernah ada.
Setelah menyelami tafsir akhir sejarah menurut Hegel, Marx, bahkan Kojeve, akhirnya Fukuyama membuat sebuah tesis untuk menggambarkan keadaan atau dinamika politik dan ekonomi setelah berakhirnya Perang Dingin (Cold War) pada akhir 80-an yang ditandai dengan runtuhnya rezim Uni Soviet yang “kalah” dalam perang ideologi melawan kekuatan Amerika Serikat (AS). Tesis Fukuyama ini menegaskan suatu hal terkait kemenangan liberal/kapitalisme AS atas Uni Soviet yang komunis, yaitu kemenangan teori liberal/kapitalis terhadap teori komunis dan sosialis yang dianggapnya sudah usang. Namun saat itu, ia lebih percaya bahwa Uni Eropa adalah model yang akurat untuk mencerminkan seperti apa dunia akan terlihat pada akhir sejarah dibandingkan Amerika Serikat kontemporer. Maka upaya Uni Eropa untuk mengatasi kedaulatan dan politik kekuasaan tradisional dengan menetapkan aturan hukum transnasional adalah jauh lebih sejalan dengan dunia “pasca-sejarah” daripada keyakinan Amerika yang tetap memakai Belief in God, national sovereignty, and their military. Argumen ini didukung oleh fenomena hasrat untuk hidup dalam suatu masyarakat yang modern dan bebas dari tirani itu ada di mana-mana atau kira-kira begitulah adanya. Ini dibuktikan oleh upaya jutaan orang setiap tahun untuk hijrah dari dunia berkembang ke dunia maju dengan harapan akan menemukan stabilitas politik, peluang kerja, pelayanan kesehatan, dan pendidikan, yang tidak mereka peroleh di tanah airnya.[9]
Belakangan juga Fukuyama melihat ada suatu ideologi lain yang dianggap tantangan dan kompetitor untuk nilai liberal—sebelumnya ia luput menganalisis hal tersebut dalam The End of History dan menilai perdebatan tentang ideologi telah berakhir. Menurut Fukuyama, hanya ada dua kemungkinan yaitu religious fundamentalist dan kaum nasionalis. Pernyataan ini sekaligus mengubur tesisnya sendiri bahwa ternyata debat dan gesekan ideologi masih tetap ada dan bukan lagi sekedar ancaman, namun sudah pada aksi nyata (lihat peristiwa 911). Runtuhnya tesis Fukuyama juga telah nampak ketika ramalan Marx akan hancurnya kapitalisme terealisasi pada krisis finansial di AS akhir 2007 yang dinamakan Subprime Mortgage atau kredit macet yang dialami oleh perumahan kelas dua di AS. Peristiwa ini telah membuat ekonomi AS goncang bahkan dunia pun ikut terkena dampaknya. Hal ini disebabkan ketidakmampuan para pemilik rumah untuk membayar tagihan kredit rumah mereka yang melambung tinggi. Hal ini juga menyebabkan tumbangnya beberapa perusahaan besar di AS.[10]
Gagasan Fukuyama tentang akhir sejarah ini selain kehilangan orientasi dan keabsahannya setelah dipaparkan bukti-bukti sebelumnya, juga menimbulkan reaksi besar dari ilmuan akademisi lain, salah satunya Samuel P. Huntington. Kritikan pertama melihat bahwa Fukuyama tidak mengajukan klaim pada titik apapun bahwa peristiwa yang terjadi akan berhenti di masa depan. Apa yang diklaimnya adalah bahwa semua hal yang akan terjadi di masa depan berupa demokrasi yang akan menjadi lebih umum dalam jangka panjang, meskipun bisa saja terjadi kembalinya totalitarianisme atau kemungkinan lain yakni kemunduran yang bersifat ‘sementara’. Jadi tidak ada satu masa atau titik sejarah apapun yang dapat dijadikan pegagan dari akhir sebuah sejarah menurut Fukuyama. Kritikan kedua adalah anggapan bahwa tesis Fukuyama ini terlalu Americanized yang menganngap apa yang dimiliki dan dilakukan Amerika sebagai suatu sistem politik yang benar, dan bahwa semua negara mau tidak mau harus mengikuti sistem pemerintahan tertentu tersebut (demokrasi liberal). Masyarakat dunia seakan digiring dan ditawarkan satu model pemerintahan saja (meliputi ideologi dan sistem ekonomi) dengan Amerika sebagai model utamanya meski belakangan akhirnya Fukuyama sendiri mengakui bahwa aplikasi yang tepat tentang sebuah akhir sejarah ini bukanlah Amerika, tapi Uni Eropa.
Huntington dalam bukunya Benturan Antar Peradaban (1993) yang terbit tepat satu tahun setelah tesis Fukuyama di atas, seolah-olah menegur dan menilai Fukuyama hanya berfikir untuk keprluan kamuflase kepentingan politik. Huntington menilai Fukuyama teralu tendensius dengan memngatakan bahwa sudah tidak ada pilihan lain lagi dalam berideologi[11], sebab akhir sejarah telah nampak berbarengan dengan keruntuhan komunisme tahun 1990an awal. Huntington juga melihat bahwa tesis Fukuyama ini tidak lebih hanyalah sebuah konsep modernisme yang mengusung nilai-nilai demokrasi dan pembangunan, sehingga tiidak ubahnya sebagai “pembenar” pernyataan lembaga-lembaga donor internasional (ADB, IMF, World Bank) selama ini. Huntington melihat akhir sejarah beluumlah terjadi, demokrasi liberal setidaknya dinilai belum terlalu aman untuk keluar sebagai peenang, sebab menurutnya, masa depan politik dunia akan didominasi oleh konflik antar bangsa dengan peradaban yang berbeda.[12] Lebih lanjut menurutnya, sumber konflik dunia di masa datang tidak lagi berupa ideologi dan ekonomi (seperti Hegel sampai Fukuyama katakan), akan tetapi budaya konflik tersebut pada gilirannya menjadi gejala terkuat yang menggantikan polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya sistem politik mayoritas negara-negara Eropa Timur.
Perbedaan pendangan tentang akhir sejarah dari sekian pemikir dan ilmuan yang sudah dipaparkan sebelumnya, sebenarnya ada dua hal yang sama-sama perlu dikritisi. Pertama adalah tesis atau pemikiran tersebut terkesan utopis, kedua tidak meiliki titik jelas terkait kapan waktu terjadinya sebuah fase kehidupan yang disebut akhir sejarah, yang ada hanyalah pengambaran “suasana”. Semua pemikir tersebut hanya melandaskan pada dua aspek, yaitu ekoomi dan ideologi, bahkan sekalipun Huntington menggunakan kata “budaya”, sebenarnya juga merujuk pada ideologi yang punya turunan aplikasi baik di sistem politik maupun ekonomi. Terlepas dari ideologi atau sistem apa yang akan terus melawan esistensi liberalisme (demokrasi dan kapitallisme), penulis menilai selama masih ada diskriminasi, pelecehan terhadap entitas tertentu, dan uapaya “paksa“ penyebaran nilai dari segolongan orang kepada golongan lain (bisa agama, ideologi, maupun hubungan ekonomi), selama itu pula tidak akan ada ideologi tunggal yang berhasil keluar sebagai pemenang di dunia ini, mekipun secara mayoritas negara-negara yang ada menganut sistem tersebut.
Daftar Pustaka
Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and The Last Man. New York: The Free Press.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI-PRESS.
Suryajaya, Martin. 2009. Imanensi dan Tansendensi: Sebuah Rekonstruksi atas Retakan Besar dalam Sejarah Filsafat Prancis Kontemporer. Jakarta.
Huntington, Samuel P. 1996. Benturan Antar Peradaban. Yogyakarta: Qalam.
Sumber Internet :
[1] Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, 1992, New York: The Free Press
[2] Aplikasi pemikiran Hegel sering dituangkan dalam konsep bentuk negara, yaitu negara didefinisikan sebagai bentuk kehendak rakyat walaupun secara empiris tidak menghendaki keinginan tiap individu. Negara adalah otonom dari persetujuan rakyat. Dia menilai bahwa jembatan antara keendak rakyat dan negara adalah roh semesta yang menyatakan diri dalam roh subjektif dan roh objektif (bersifat spekulatif dan berdasarkan kepercayaan belaka). Atas nama itu, negara membenarkan kekebalannya terhadap kontrol demokratis. Lebih jelas lihat Franz Magnis Suseno dalam Etika Politik, 2003, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 247-250
[3]Ingat ketika Marx melakukan pembalikan terhadap tesis yang dibuat oleh Hegel sebelumnya. Hegel menilai bahwa kesadaran manusialah yang menciptakan sejarah itu terjadi (alur dialektika ide). Namun Marx melihat lain dan dengan cerdiknya mengembangkan tesis Hegel. Sehingga Marx mengatakan bahwa sejarah itu bukan kesadaran manusialah yang menentukan, tapi materilah yang telah membuat jalannya sejarah dan menetukan hubungan base-structur dalam masyarakat.
[4] Op Cit,. Fukuyama
[5] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, 1986, Jakarta: UI-PRESS, hal 73
[6] Op Cit,. Fukuyama, hal. 3
[7] Penafsirannya tentang Negara universal-homogen ini tak lepas dari visinya tentang akhir sejarah dan akhir manusia. Jika sejarah adalah proses transformasi dunia oleh manusia melalui negasi dan jika Negara Kojèvian itu adalah puncak dari proses ini, maka Negara universal-absolut adalah titik akhir sejarah yang merekonsiliasikan negasi dan negasi atas negasi dalam satu momen absolut. Konsekuensinya, pada momen ini tak ada lagi yang tersisa untuk dinegasi. Martin Suryajaya, IMANENSI DAN TRANSENDENSI: Sebuah Rekonstruksi atas Retakan Besar dalam Sejarah Filsafat Prancis Kontemporer, 2009, Jakarta.
[8] Op Cit,. Fukuyama, hal. 67
[9] Diakses dari http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=8001&coid=1&caid=34&gid=4, (25 Mei 2011)
[10]Diakses dari http://www.michel-elqudsi.com/content/blogsection/0/78/1/139/, (25 mei 2011)
[11] Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, 1996, Yogyakarta: Qalam
[12] Ibid,. hal. ix
0 Response to "Debat ‘Akhir Sejarah’ yang Belum Usai: Antara Ideologi dan Budaya"
Posting Komentar