“ANALISA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TRANSPORTASI BUSWAY”

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, setiap tahunnya jumlah kendaraan pribadi di Jakarta meningkat sangat tajam dan sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan ruas jalan dan perbaikan sistem transportasi sehingga banyak para pengamat meramalkan bahwa di tahun 2014 atau 2015 nanti Jakarta akan mengalami kemacetan total yang tidak dapat diatasi lagi. Sebenarnya untuk mengatasi persoalan ini telah banyak upaya dilakukan, salah satunya Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta telah mencanangkan Program Pengembangan Pola Transportasi Makro (PTM) DKI Jakarta atau Jakarta Macro Transportation Scheme (JMaTS) yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 103 Tahun 2007.
Hal yang cukup memberikan harapan dari usaha pemerintah adalah perumusan kebijakan pengoprasian busway dimulai dari rapat kerja antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Komisi D dan Komisi E DPRD DKI pada Januari 2002. Pemprov DKI Jakarta mengungkapkan rencananya untuk menggelar proyek bus khusus tanpa hambatan (TransJakarta). Dalam rapat ini rencananya, pada September 2002 proyek percontohan busway yang memiliki rute Blok M-Kota sudah bisa dinikmati publik. Kepala Dinas Perhubungan DKI Rustam Effendy mengatakan seiring dengan rencana pengoperasian busway, semua trayek angkutan umum yang melintasi jalur Blok M, Sudirman, Thamrin, sampai Kota akan dipotong dan angkutan umum selain busway hanya diizinkan untuk mengantarkan dan mengangkut penumpang dari jalur khusus itu.
Pola Transportasi Makro itu rencananaya juga akan mengintegrasikan empat sistem transportasi umum lain, yakni Bus Priority (antara lain busway), Light Rail Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT) dan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP). Dan akhirnya revolusi transportasi itu telah diawali dengan beroperasinya Transjakarta Busway, sejak 15 Januari 2004.
Kebijakan Busway ini banyak dikatakan oleh para ahli dan pengamat transportasi sebagai sebuah kebijakan revolusi yang memiliki pandangan jauh ke depan meskipun ada kesan telambat dalam pelaksanaannya. Di masa awal dan bahkan di masa kebijakan ini baru sekedar wacana, masyarakat dan segenap pihak lainnya mayoritas menyambutnya dengan positif dan penuh harapan terkait upaya penuntasan masalah kemacetan di Jakarta. Transportasi modern yang sebelumnya tidak pernah diterapkan di Indonesia ini juga sempat memberikan ekspektasi di masyarakat terkait kemajuan Ibu Kota Negara dengan segala kecanggihan transportasinya sehingga diharapkan mampu mengejar Ibu Kota negara-negara tetangga yang sudah lebih dahulu melakukan revolusi dalam bidang transportasi.
Namun kebijakan transportasi yang masih berlangsung hingga saat ini juga menimbulkan banyak permasalahan dan kritik sejalan dengan perkembangannya untuk terus menambah rute dan perjalanannya.  Hal inilah yang oleh penulis coba analisa dan pahami terkait kebijakan publik pada tahap implementasinya, sebab bagaimanapun tahap inilah yang banyak menjadi ukuran dalam tahap evaluasi dan parameter keberhasilan sebuah kebijakan yang dibuat.
Maka dari itu, salah satu hal yang penting untuk diperhatikan saat kebijakan transportasi ini bergulir adalah bagaimana proses implementasinya di lapangan, kendala apa saja yang dihadapi dan bagaimana pemprov DKI Jakarta menanggulani permasalahan tersebut. Dengan membandingkan konsep Busway yang sudah diimplementasikan hingga saat ini terhadap teori kebijakan publik tahap implementasi, diharapkan didapatkan suatu penjelasan yang tepat untuk memahmi permasalahan, manfaat kemajuan,  dan hambatan yang terjadi saat ini.

1.2  Rumusan Permasalahan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dianalisa lebih lanjut di bagian pembahasan, yakni :
1.      Bagaimanakah proses implementasi kebijakan transportasi Busway dalam upayanya mengurangi kemacetan di Jakarta ?
2.      Permasalahan apa saja yang terjadi saat proses Implementasi Busway ?
1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut :
  1. Mendeskripsikan proses dan permasalahan yang terjadi dalam tahap implementasi transportasi Busway di DKI Jakarta, serta analisis-analisi yang membahas tentang keadaan tersebut.
  2. Mennganalisis implementasi kebijakan transportasi Busway di DKI Jakarta dengan menggunakan teori kebijakan publik yang memiliki keterkaiatan dengan permasalahn yang ada.
1.4  Kerangka Konseptual
“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi teling para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanaknnya dalam bentuk yang memuaskan semua orang “. (Eugene Bardach : 1991)
Implementasi kebijakan adalah merupakan suatu proses dalam kebijakan publik yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan[1]. Dalam praktiknya di lapangan kadang kala proses implementasi ini terjadi begitu kompleks dan penuh dengan muatan politis yang merupakan hasil dari intervensi kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Maka tidak heran dalam kalimat di atas Eugene Berdach mengatakan bahwa implementasi kebijakan publik itu sangat sulit untuk diucapkan dengan kata-kata, lebih lagi sulit untuk dilaksanakan dan dapat memuaskan semua pihak.
            Sedangkan itu, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan[2]. Dari definisi-defini tersebut dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut minimal tiga hal, yaitu :
(1) adanya tujuan dan sasaran kebijakan;
(2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan;
 (3) adanya hasil kegiatan.
Dari penjabaran ketiga hal ini dapat dipahami bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Satu hal lagi yang harus diperhatikan menurut Leo Agustino terkait tahap implementasi dalam kebijakan publik adalah bahwa dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan prosedur implementasilah yang menjadi tonggak keberhasilan dan tidaknya suatu tujuan kebijakan.
1.4.1        Pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan
Dalam sejarah perkembanagn studi implementasi kebijakan dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan secara sederhana, yakni pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Pendekatan ini selanjutnya dikenal dengan the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando yang mirip dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar yang mirip dengan bottom up approach)[3].
            Penjelasan tentang pendekatan top down awalnya adalah pendekatan yang paling banyak digunakan oleh pembuat kebijakan publik, walaupun dikemudian hari terdapat pula kelemahan-kelemahan dalam pendekatan ini sehingga menimbulkan perdebatan-perdebatan yang menghasilkan pendekatan baru bernama bottom up approach. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan dilakukan secara tersentralisasi dan dimulai dari aktor di tingkat pusat, serta keputusannya pun dilakukan pada tingkat pusat. Pendekatan ini bertitik tolak pula dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan publik) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level dibawahnya. Inti pendekatan ini secara sederhana dapat dimengerti sebagai, “sejauhmana tindakan para pelaksana (admnistratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan ditingkat pusat. Maka untuk memahami pendekatan yang kedua yaitu bottom up, pada intinya bertitik tolak pada asumsi-asumsi yang sama dan memahaminya adalah secara terbalik dari apa yang kita pahami pada pendekatan top down.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Tentang Busway

Visi

Busway sebagai angkutan umum yang mampu memberikan pelayanan publik yang cepat, aman, nyaman, manusiawi, efisien, berbudaya dan bertaraf internasional

Misi

  • Meningkatkan kualitas hidup pengguna jasa layanan Sistem Transjakarta dan masyarakat DKI Jakarta pada umumnya;
  • Menyediakan layanan transportasi publik yang aman, nyaman dan terjangkau di DKI Jakarta;
  • Mengoptimalisasikan layanan transportasi publik yang efisien dari sisi biaya dan investasi, sehingga dapat berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan dalam jangka panjang;
  • Mengefisiensikan waktu dari pengguna jasa layanan dan masyarakat pada umumnya, dengan berkurangnya waktu tempuh perjalanan;
  • Mengurangi pencemaran udara dan menjaga kesehatan lingkungan di DKI Jakarta; Memberikan kualitas pelayanan yang baik, dengan memperhatikan keamanan dan kenyamanan pengguna jasa layanan;
  • Mengusahakan tarif yang terjangkau bagi pengguna jasa layanan;
  • Meningkatkan penggunaan Sistem Transjakarta Busway seluas-luasnya bagi masyarakat;
  • Menjadikan BLU Transjakarta Busway sebagai pengelola Sistem Transjakarta Busway yang profesional, kompeten, dan mandiri dari segi ekonomi;
  • Mendorong penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi masyarakat melalui berbagai instansi dan perusahaan yang terkait dengan Sistem Transjakarta Busway; dan
  • Mendorong perubahan budaya transportasi di masyarakat yang menghargai kualitas hidup, efisiensi waktu dan kesetaraan.
Bermula dari gagasan perbaikan sistem angkutan umum di DKI Jakarta yang mengarah kepada kebijakan prioritas angkutan umum, maka perlu dibangun suatu sistem angkutan umum yang dapat mengakomodasi pengguna dari segala golongan[4]. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun Pola Transportasi Makro (PTM) sebagai perencanaan umum pengembangan sistem transportasi di wilayah DKI Jakarta yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 103 Tahun 2007. Mengacu pada PTM tersebut, untuk tahap awal realisasinya dibangun suatu jaringan sistem angkutan umum massal yang menggunakan bus pada jalur khusus (Bus Rapid Transit/BRT).
Badan Layanan Umum Transjakarta Busway semula merupakan lembaga non struktural dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu Badan Pengelola (BP) Transjakarta Busway, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 110 Tahun 2003. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006, BP. Transjakarta Busway diubah menjadi lembaga struktural dan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Perhubungan yang mendapat kewenangan pengelolaan keuangan berbasis PPK-BLUD, yang mempunyai kegiatan utama memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna busway.
2.2 Implementasi Busway
Selama dua minggu pertama, dari 15 Januari 2004 hingga 30 Januari 2004, bus Transjakarta memberikan pelayanan secara gratis. Kesempatan itu digunakan untuk sosialisasi, di mana warga Jakarta untuk pertama kalinya mengenal sistem transportasi yang baru. Lalu, mulai 1 Februari 2004, bus Transjakarta mulai beroperasi secara komersil.
Transjakarta Busway mulai beroperasi tanggal 15 Januari 2004 dengan dibukanya koridor 1 (Blok M-Kota) dengan panjang rute 12,9 km dengan keberberhasilan menarik penumpang rata-rata sekitar 46.000 orang per hari. Sementara peningkatan jumlah penumpang hingga akhir Juni 2004, dibanding saat awal beroperasi mencapai 27 persen, yaitu dari sekitar 1.154 juta penumpang per hari menjadi 1.468 juta penumpang per hari. Pada awalnya, kesuksesan koridor I TransJakarta membawa era baru bagi sistem bis modern di Indonesia, dan menjadi inspirasi bagi kota-kota lain di Indonesia, seperti BPP Batam, TransPakuan Bogor dan TransJogja. Juga memberi keyakinan bagi Gubernur DKI Sutiyoso untuk membangun koridor-koridor busway selanjutnya hingga koridor X[5].

Pada awal operasi jumlah penumpang sekitar 40.000 orang per hari dan pada tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi rata-rata 60.000 orang per hari. Tanggal 15 Januari 2006 koridor 2 (Pulogadung-Harmoni) dan koridor 3 (Kalideres-Harmoni) dibuka dengan jumlah penumpang mencapai 70.000 penumpang per hari. Pada 27 Januari 2007, koridor bertambah, yaitu koridor 4 (Pulogadung-Dukuh Atas), koridor 5 (Ancol-Kp. Melayu), koridor 6 (Ragunan-Dukuh Atas) dan koridor 7 (Kp. Rambutan-Kp. Melayu) dengan rata-rata penumpang mencapai 180.000 penumpang. Pada 21 Februari 2009 koridor 8 (Lebak Bulus-Harmoni) diresmikan dengan rata-rata penumpang 250.000 per hari seluruh koridornya. Meskipun Busway di Jakarta meniru negara lain (Kolombia), namun Jakarta memiliki jalur yang terpanjang dan terbanyak. Sehingga kalau dulu orang selalu melihat ke Bogota, sekarang Jakarta sebagai contoh yang perlu dipelajari masalah dan cara penanggulangannya.
Busway dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat Jakarta yang membutuhkan sarana transportasi yang layak dan baik untuk memenuhi kebutuhan mobilitas warga Jakarta. Busway sendiri telah dibuat sebanyak 10 koridor, berikut peta rutenya[6]:
1. Koridor I (1) : BlokM – Kota
2. Koridor II (2) : Pulogadung – Harmoni
3. Koridor III (3) : Kalideres – Harmoni
4.
Koridor IV (4) : Pulogadung – Dukuh Atas 2
5. Koridor V (5) : Kp. Melayu / Kampung Melayu – Ancol
6. Koridor VI (6) : Ragunan – Kuningan
7. Koridor VII (7) : Kampung Rambutan – Kampung Melayu
8. Koridor VIII (8) : Lebak Bulus – Harmoni
9. Koridor IX (9) : Pinang Ranti – Pluit
10. Koridor X (10) : Cililitan – Tanjung Priok
Yang sekarang telah berjalan hanya koridor 1-8, koridor 9 dan 10 sampai sekarang belum berjalan, namun direncanakan untuk koridor 9 dan 10 akan mulai beroperasi pada Desember 2010 ini. Padahal koridor 9 dan 10 telah selesai dibuat dan sudah menjadi rusak. Alasan belum berjalannya koridor 9 dan 10 sampai sekarang belum diketahui secara jelas. Pembuatan jalur busway bukan tanpa halangan atau kendala yang muncul. Banyak pihak yang mengeluhkan pembuatan jalur busway yang membuat kemacetan justru bertambah karena pembangunan jalur busway tidak disertai dengan pelebaran jalan. Belum lagi penumpang yang mengeluhkan lamanya menunggu armada bus dari busway dan masalah lain-lainnya.
Yang perlu dipertanyakan oleh masyakarat Jakarta  sebenarnya adalah apakah alasan pemerintah daerah untuk membangun koridor-koridor tersebut di daerah-daerah tertentu? Daerah koridor 1 melewati daerah-daerah perkantoran dimana banyak banyak orang yang berkantor dan bekerja di daerah tersebut sehingga sangat membantu bila ada transportasi massal yang dapat mengatasi mobilitas mereka, karena dengan adanya busway dapat mengurangi kemacetan yang terjadi di daerah tersebut dengan mengurangi jumlah kendaraan yang biasanya mereka gunakan, selain itu lebar jalanannya juga tetap lebar karena tetap digunakannya jalur lambat
Pembuatan busway koridor 1, menurut kelompok kami, adalah keputusan yang paling tepat karena koridor tersebut melewati daerah-daerah strategis yang rawan dengan kemacetan dan mempunyai lebar jalanan yang cukup untuk membuat jalur busway. Pembuatan busway koridor 7: Halte Kampung Rambutan-Halte Tanah Merdeka-Halte Fly Over Raya Bogor-Halte RS Harapan Bunda-Halte Pasar Induk-Halte Pasar Kramat Jati-Halte PGC-Halte BKN-Halte Cawang UKI-Halte BNN-Halte Cawang Otista-Halte Gelanggang Remaja-Halte Bidara Cina-Halte Kampung Melayu
Melewati daerah-daerah yang menurut kelompok kami sagat tidak strategis untuk pembutan jalur busway. Contohnya untuk daerah Otista yang dilewati halte Cawang Otista, Bidara Cina, Gelanggang Remaja yang menurut kami tidak perlu untuk dibangun karena daerahnya yang tidak strategis karena sebagian besar daerah tersebut adalah perumahan penduduk dan lebar jalannya yang sangat sempit sehingga justru sering membuat kemacaetan . Mungkin karena memang  jalur tersebut yang harus dilewati karena tidak ada daerah lain yang lebih kompatibel untuk dibuat jalur busway atau justru terdapat peran politik?
Koridor 9 dan 10, walaupun sudah terbangun halte dan jalurnya, namun koridor tersebut teteap belum berjalan sampai sekarang. Halte-halte di koridor ini juga sudah rusak di makan waktu dan terkena tangan orang-orang tak bertanggung. Hal yang sungguh sayang mengingat dana yang digunakan untuk membuat jalur dan membangun halte-halte tersebut sangatlah besar.
2.3 Timbulnya Permasalahan
Sementara koridor I berhasil baik dan mendapat dukungan publik, pelaksanaan koridor-koridor setelah itu mendapat tantangan yang besar berkaitan dengan tata kelola pemerintahan (di Dinas Perhubungan) dan tata kelola usaha (BP TransJakarta). Persiapan pengelolaan organisasi dan keuangan yang belum tuntas menyebabkan proses tender operator terkendala. Pelaksanaan pembangunan fisik busway juga mendapat hambatan, terutama pada saat konstruksi dilakukan melalui Pondok Indah dan jalan-jalan nasional. Di sisi lain, subsidi busway yang saat ini mencapai sekitar 1% dari APBD DKI Jakarta, dipastikan akan meningkat apabila seluruh koridor (sejumlah 14 koridor) selesai dibangun.
Permasalahan awal dalam penerapan Busway menurut Arifin Azizs[7] adalah pertama adanya "trayek-trayek eksisting" yang selama ini telah dioperasikan oleh berberapa operator yang overlap (baik sebagian maupun seluruhnya) dengan koridor busway, sehingga menimbulkan dampak sosial-ekonomi pada berberapa operator tersebut, dan kedua penerapan jalur busway yang menggunakan sepertiga jalur cepat yang ada, berdampak pada berkurangnya jumlah jalur cepat yang ada, sehingga menimbulkan kemacetan di jalur ini dan ditempat lain yang menuju atau paralel dengan koridor busway.
Jika diteliti secara teknis penerapannya, menurut Darmaningtyas[8] ada perbedaan mendasar antara busway di Bogota dengan di Jakarta. Konsep dan tahapan pengembangan busway di Bogota amat jelas, sedangkan di Jakarta tidak jelas. Secara konsepsional, busway di Bogota terintegrasi dengan pembangunan jalur pengumpan (feeder service transport), jalur angkutan tidak bermotor (Non-motorize transportation/NMT), dan jalur pejalan kaki. Pada tahap pertama, Pemerintah Bogota membangun 40 km jalur busway, 57 halte pemberhentian, 4 terminal, 305 km jalan untuk jalur pengumpan, 29 jembatan penyeberangan bagi pejalan kaki, menata lapangan dan trotoar, 4 lokasi parkir dan pemeliharaan, pusat kendali operasi bus khusus, dan membangun 240 km jalur sepeda.
Belum selesai dengan masalah di atas, seperti dikutip dari Viva News.com[9], pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah konsentrasi merealisasikan pembangunan Mass Rapit Transit (MRT). Pembangunan kereta cepat itu dilakukan di tengah implementasi Bus Rapit Transit (BRT) Transjakarta yang belum sempurna.  Mantan Walikota Bogota yang kini menjabat sebagai Presiden Direktur Institute for Transportation & Developement Policy, Enrique Penalosa, mengatakan, perbaikan sistem transportasi publik seharusnya fokus.
Busway juga masih memiliki permasalahan dalam mewujudkan tujuannya mengurangi kemacetan di Jakarta. Kebijakan yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mengatasi kemacetan di Kota Jakarta justru menimbulkan masalah-masalah baru. Yaitu tingginya angka pelanggaran lalu lintas dan tingkat kecelakaan.
Setiap harinya ribuan sepeda motor dan ratusan kendaraan roda empat dan angkutan umum ikut menikmati jalur busway yang bebas hambatan. Padahal tindakan ini jelas melanggar hukum dan mengganggu kenyamanan para pengguna Busway. Harus Diakui, memang betul masyarakat kita tidak disiplin. Perlu kesadaran dan tingkat kepedulian yang sangat tinggi untuk bahu membahu membenahi kemacetan Jakarta. Namun apakah benar hanya masyarakat yang harus di kambing hitamkan atas banyaknya pelanggara-pelanggaran di jalur Busway?

Pengadaan jalur Busway belum sepenuhnya sempurna, pelaksanaannya masih dinilai masyarakat sebagai kebijakan yang setengah-setengah. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti belum beroprasinya seluruh jalur, armada bus yang tidak mencukupi dan yang paling signifikan adalah kenyamanan sebuah layanan itu sendiri. Padahal, ketika pemerintah membuat kebijakan ini, permasalahan awalnya adalah bagaimana caranya agar masyarakat di Kota Jakarta mau dan lebih memilih menggunakan transportasi umum dibanding dengan mobil pribadi mereka yang jauh lebih nyaman. Bagaimana kita harus merubah paradigma mereka tentang transportasi umum yang selama ini memiliki fasilitas sangat buruk.
Lalu bagaimanakah jalan yang di ambil pemerintah atas fenomena pemberontakan masyarakat yang menerobos jalur busway? Beberapa bulan yang lalu, dalam rangka upaya melaksanakan sterilisasi jalur Busway, Pemerintah Provinsi DKI membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk menertibkan kendaraan yang masuk ke jalur Busway. Pembentukan satgas yang terdiri dari gabungan Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta, Satpol PP, dan BLU Transjakarta bertujuan untuk penegakkan hukum yang memberikan efek jera kepada masyarakat dan diharapkan adanya peningkatan kesadaran hukum berlalu lintas di jalan. Dalam satgas ini Dishub DKI dan Kepolisian bertugas menertibkan kendaraan yang melintas di jalur busway dan melakukan pengaturan, penindakan pelanggaran lalu lintas, Garnisun bertugas menertibkan kendaraan TNI yang melintas di lajur busway sedangkan Propam menertibkan kendaraan Kepolisian, Satpol PP bertugas menertibkan pedagang kaki lima yang menganggu jalur busway, JPO, dan halte, sedangkan BLU Transjakarta membantu dalam pengaturan lalu lintas di jalur bus Transjakarta. 
Lalu sebenarnya apa yang membuat masyarakat melanggar jalur tersebut? Masyarakat melanggar jalur khusus Busway karena Busway tidak dioperasionalkan secara serentak dan merata, sehingga banyak sekali jalur-jalur busway yang masih kosong ataupun sepi karena armada yang lewat sangat sedikit. Apakah masyarakat ikhlas berlarut-larut dalam kemacetan sementara disebelah mereka terdapat jalur yang kosong? Sementara jika mereka ingin menggunakan fasilitas tersebut mereka harus mengantri sangat lama karena banyaknya pengguna tidak seimbang dengan jumlah armada yang dijalankan.
Karena itu solusi yang sekiranya dapat diambil oleh pemerintah dalam mengurangi pelanggaran di jalur busway adalah menambah jumlah armada yang berjalan dan memperbaiki kulitas pelayanan Busway itu sendiri, sehingga paradigma masyarakat tentang ketidaknyamanan kendaraan umum sedikit demi sedikit akan berubah.
2.4 Pembahasan Mengenai Permasalahan Implementasi
Jika menggunakan konsep pendekatan yang digunakan oleh Leo Agustino terkait implementasi sebuah kebijakan publik, Busway termasuk kebijakan yang menggunakan pendekatan top down. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan dilakukan secara tersentralisasi dan dimulai dari aktor di tingkat pusat, serta keputusannya pun dilakukan pada tingkat pusat. Pendekatan ini bertitik tolak pula dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan publik) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level dibawahnya. Permasalahannya, jika kita kembali mencermati terkatung-katungnya pengoperasian koridor 9 dan 10 maka akan terlihat bahwa kebijakan yang dibuat di tingkat pusat tidak denga baik pula dilaksanakan oleh pihak-pihak di lapangannya, hal ini berkaitan erat dengan hambatan-hamabtan politis, keadaan alam, dan dana.
Banyak sekali sebenarnya permasalahan yang bisa dibicarakan pada tahap implementasi kebijakan Busway oleh pemerintah DKI Jakarta, namun dari itu semua satu hal yang terpenting adalah bahwa proses adopsi kebijakan dari penerapan Busway di Jakarta tidak dilaksanakan secara integral dan terfokus, namun justru menerapkan sistim tunggal. Terburu-burunya pemerintah melihat peluang setelah terjadi keberhasilan pada proyek koridor I membuat terabaikannya pola penerapan Busway yang terintegral dengan jalur pengumpan, kebijakan lain terkait lalu lintas dan kondisi sosial ekonomi penumpang maupun angkutan lain yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Dari hal itu terlihat bahwa terjadi benturan dengan konstrain struktural (kebijakan lain yang lebih dulu ada) baik masalah lalu lintas dengan pengguna kendaraan bermotor seperti dipersempitnya ruas jalan untuk kendaraan pribadi tanpa diimbangi penerapan kebijakan untuk menekan jumlah kendaraan pribadi itu sendiri.
Sebenarnya terkait sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah Jakarta baik yang bersifat internal maupun eksternal tidaklah menemui hambatan berarti. Meskipun begitu, terlihat sekali ada banyak kompromi kepentingan saat proses implementasinya, terlebih pascakesuksesan pengoperasian koridor I dab inilah yang disebut masalah attitude (tidak sabar). sejak awal mulai nampak keberhasilan dan manfaat yang dirasakan dari tujuan semula penerapan adanya Busway, namun lama-kelamaan terjadi implementation gap antara hasil dan tujuan semula, bahkan bisa dinilai memperparah dan menambah permasalahan yang ada.
Seperti yang dikatakan oleh Eugene Bardach, bahwa sebuah implementasi dari kebijakan yang dibuat itu adaah lebih sulit untuk dapat memuaskan semua pihak. Sebenarnya kami yakin banyak pihak termasuk menaruh ekspektasi dan harapan positif terhadap Busway, namun belum maksimalnya penerapan yang dilakukan sampai saat ini menimbulkan banyak kritik dan masukan yang sebenarnya bermanfaat bagi pengelola Busway dan pemprof DKI Jakarta. intinya adalah Busway merupakan kebijakan yang mengemban harapan masyarakat luas terhadap penenganan kemacetan di Jakarta, memiliki kelemahan disana-sini terkait implementasinya, namun sampai sekarang masih berlangsung dan tidak dianggap benar-benar gagal, hanya saja dibutuhkan keseriusan lebih untuk mengelolanya, sebab dana yang digelontorkan untuk suksesi kebijakan ini cukup besar.

BAB 3
KESIMPULAN

Kebijakan busway yang diterapkan oleh pemerintah DKI Jakarta telah menunjukan keberhasilan di pembuatan koridor I yaitu kota-blok M, bahkan diikuti dengan pembuatan angkutan sejenis di wilayah-wilayah lain, seperti Transpakuan di Bogor atau Transjogja di Jogjakarta. Namun, nampaknya terjadi euphoria berlebihan yang terjadi di Jakarta melihat kesusksesan dari koridor I sehingga terkesan buru-buru dalam membuat koridor-koridor selanjutnya. Padahal di Bogota saja yang menjadi percontohan dari busway di Jakarta perlu waktu penyesuaian selama 10 tahun, sedangkan di Jakarta hanya memakan waktu 1 tahun.
Pembangunan busway di Jakarta pasca suksesnya koridor I, tidak diiringi dengan regulasi-regulasi sampingan seperti mengenai lebar ruas jalan yang diambil, volume kendaraan yang tetap tinggi, trayek-trayek angkutan lainnya hingga fasilitas untuk pejalan kaki.  Kebijakan ini dianggap kurang memperhatikan aspek-aspek sosial lainnya.
Dengan melihat permasalahan-permasalahan yang timbul setelah implementasi kebijakan ini dan berdasarkan evaluasi yang ada, kedepannya pemerintah diharapkan lebih memperhatikan faktor-faktor penunjang kebijakan ini seperti pengaturan jumlah volume kendaraan yang bisa diatur dengan cara menaikkan pajak kendaraan atau membatasi jumlah kepemilikan kendaraan pribadi.
Daftar Pustaka

Agustino, Leo. 2006. Poitik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung
Laster, James P dan Joseph Stewart. 2000. Public Policy: An Evolutionsry Approach. Belmont, CA: Wadsworth
Mazmanian, Daniel dan Paul Sabatier. 1983.  Implementation and Public Policy.  (1983:61)



Sumber internet :
KAJIAN TRANSPORTASI JAKARTA DALAM KASUS PENERAPAN BUSWAY TRAYEK BLOK M – KOTA”, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-ariffinazi-25218, diakses pada tanggal 30 Oktober 2010, pukul 20:55
Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila, (12 November 2009). http://metro.vivanews.com/news/read/105109-mana_lebih_baik__mrt_atau_busway
http://www.opiepippo.com/?p=896, diakses pada tanggal 4 Desember 2010 pukul 19.30
http://www.transjakarta.co.id/page.php#tab-5, diakses pada tanggal 3 November 2010, pukul 16.30


[1] Leo Agustino, Poitik dan Kebijakan Publik, (Bandung: AIPI Bandung, 2006), hal. 153
[2] Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier, Implementation and Public Policy, (1983:61)
[3] James P Laster dan Joseph Stewart, Public Policy: An Evolutionsry Approach, (Belmont, CA: Wadsworth, 2000)
[4] http://www.transjakarta.co.id/page.php#tab-5, diakses pada tanggal 3 November 2010, pukul 16.30

[5] Dikutip dari bulletin yang ditulis Danang Paringkesit, Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada (dparikesit.staff.ugm.ac.id), Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)  dan Chairman The International Forum for Rural Transport and Development (www.ifrtd.org) – sebuah jaringan international yang berbasis di London dan bertujuan untuk mendorong diskursus transportasi dan pembangunan khususnya di daerah perdesaan, bagi masyarakat miskin dan memiliki hambatan akses dan mobilitas.

[6] http://www.opiepippo.com/?p=896, diakses pada tanggal 4 Desember 2010 pukul 19.30
[7] KAJIAN TRANSPORTASI JAKARTA DALAM KASUS PENERAPAN BUSWAY TRAYEK BLOK M – KOTA”, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-ariffinazi-25218, diakses pada tanggal 30 Oktober 2010, pukul 20:55
[8] Darmaningtyas Peneliti Transportasi di Institut Studi Transportasi  (Instran) dan Salah Satu Pendiri Asosiasi Pengguna Angkutan Umum di  Jakarta
[9] Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila, (12 November 2009). http://metro.vivanews.com/news/read/105109-mana_lebih_baik__mrt_atau_busway

Read Users' Comments (0)

0 Response to "“ANALISA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TRANSPORTASI BUSWAY”"

Posting Komentar