Marxisme

Marxisme[1]
Kegagalan teori Karl Marx tentang revolusi proletar yang akan menguasai aset dan kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh para kapitalis, dengan ditandai tidak kunjungnya kapitalisme mengalami keruntuhan di Eropa hingga saat ini, telah mengawali wacana kritis terhadap pemikiran Marx (Marxisme) tersebut untuk setidaknya masih dapat terus relevan digunakan. Hal ini ditandai denagn upaya para penganut Marxisme membangun teori-teori yang sudah ada untuk tetap terus sesuai dengan perkembangan dan permasalah zaman. Diawali dengan pertanyaan apakah marxisme itu sebuah pemikiran yang ilmiah atau tidak, selanjutnya para revisionis Marxisme menilai perlu adanya keterbukaan dari sebuah teori untuk dapat dikritisi dan meninggalkan cara berfikir Marxisme yang ortodoks.

Dahulu Marxisme mengklaim bahwa masyarakat sipil selalu terstruktur oleh hasil pengaruh konflik kelas. Ini menyiratkan bahwa kebiasaan orang-orang berpikir akan diri mereka terinfeksi oleh dampak hubungan kelas terhadap masyarakat sipil. Namun di permulaan abad ke-20 pemahaman tersebut mulai bergeser. Adalah 'Teori kritis'--Istilah ini biasanya digunakan untuk merujuk kepada tradisi pemikiran yang
berasal dari pekerjaan Institut Penelitian Sosial yang didirikan di Frankfurt (1923) dan setelah masa pengasingan selama periode Nazi, kembali didirikan di sana pada 1950[2]--yang memulai paham bahwa kritik moral kekuasaan politik itu berdasarkan suatu masyarakat yang ideal
individu rasional dan otonom. Teori Kritis dengan demikian menampilkan dirinya sebagai kendaraan pencerahan manusia dan emansipasi, memungkinkan individu dan jajahan untuk
menentukan kepentingan sejati mereka dan melepaskannya dari paksaan-paksaan.

Pada saat itu keadaan memaksa orang-orang untuk bergabung di dalam madzhab tersebut dan merevisi ulang alur pemikiran marx untuk menjelaskan situasi yang mereka alami (pascaperang dunia II). Perjalanan tersebut mengakibatkan mereka untuk mensintesiskan pemikiran Marx dengan teori lain seperti psikoanalisinya Sigmund Freud, teori Weber, dan lainnya. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah aksi kolektif yang biasa menjadi ciri Marxisme (perjuangan individu dalam masyarakat), saat ini (pascaperang dunia II) juga masih semata-mata berasal dari faktor ekonomi ?. Pertanyaan kedua adalah apakah teori kritis yang lahir dan berkembang di Eropa Barat juga bisa diaplikasikan pemikirannya di negara-negara belahan bumi lainnya yang tidak murni menganut kapitalisme ?. dan pertanyaan terakhir adalah apakah kritisasi dan revisi terhadap sebuah teori dan ideologi telah mengkaburkan dari esensi awal teori dan ideologi tersebut ? dan bukankah itu telah melahirkan teori baru yang berbeda sama sekali ?.



[1] Barry Hindes dalam “Marxisme”,  Bab 15, hal. 383
[2] Ibid., hal. 389

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Marxisme"

Posting Komentar