“Politik Identitas dan Dilema Kewarganegaraan Orang Kanekes”
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku badui atau yang sering juga disebut dengan orang Kanekes adalah masyarakat yang bermukim di daerah Banten Selatan dan nerupakan warga dari Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.[1] Kehadiran suku tersebut menjadi salah satu dari sekian gambaran bagaimana multikulturalisme yang unik hadir di Indonesia tidak hanya karena bangsa ini terdiri dari sekian banyak suku, tapi juga nilai-nilai yang dibawa sejak lahir itu mampu menjelma menjadi sebuah sikap politik (berhubungan dengan kewarganegaraan dan pemerintahan). Memang sampai saat ini—masyarakat yang hidup di daerah Banten ini—sebagian telah berbaur dengan masyarakat umum dan mengikuti tata cara hidup sebagai warganegara selayaknya, namun begitu masih ada sebagian lagi yang tetap berpegang teguh dengan adat istiadat yang sudah lama ada, sehingga menimbulkan suatu hubungan yang dilematis antara masyarakat adat dengan kehidupan bernegara khususnya terkait kewarganegaraan.
Secara entitas, orang Kanekes ini telah hidup lama bahkan sebelum lahirnya negara Indonesia itu sendiri. Dengan seiring perjalanan waktu dan arus globaslisai yang semaki kuat, ternyata tidak menimbulkan perubahan yang berarti dalam hal interaksi sosial dan pola hidup masyarakat kanekes. Sehingga saat ini orang Kanekes sering mendapat julukan sebagai labolatorium hidup antropolgi sekaligus khasanah yang tak ternilai harganya bagi kebudayaan nasional Indonesia. Hal tersebut disebabkan bukan hanya karena menjadi daya tarik wisata semata, tapi juga menunjukan bagaimana sisi lain dari multikulturalisme yang menggambarkan bahwa konsep tersebut dapat terjaga dengan baik di Indonesia pascabanyaknya aksi-aksi separatisme dan konflik yang bermotif kesukuan.
Di tengah kebanggaan akan budaya yang terjaga baik tersebut, timbul pula persoalan yang tidak kalah peliknya. Arus reformasi yang membenarkan porsi pemerintahan daerah lebih luas dari sebelumnya (orde baru) dan globalisasi yang menuntut keterbukaan publik serta hubungan antar masyarakat yang semakin luas ternyata tidak membuat urang Kanekes yang hidup secara tertutup ini luput dari perdebatan. Sikap mereka (orang Kanekes) yang lebih mengakui pemerintahan adat dan tata cara hidup yang diajarkan turun-temurun daripada nilai-nilai dan identitas nasional yang coba ditawarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka, melahirkan sebuah dilema kewarganegaraan khususnya dalam hal-hal politik, seperti pemilihan umum, keterdataan sebagai penduduk, serta partisipasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara umum orang Kanekes terlihat sebagai sebuah entitas yang terpisah dari negara namun sesungguhnya hidup dalam teritorial NKRI.
Dengan melihat bagaimana kebudayaan dan asal usul yang menyertai pola hidup orang Kanekes, penulisan makalah ini akan mencoba menjelaskan bagaimana politik identitas hadir pada saat ini ditengah resistensi budaya orang kanekes yang begitu kuat atas gempuran arus globalisasi dan dilema-dilema yang dihadapi sebagai buah konsekuensi sikap budayanya yang lebih memilih untuk “tertutup”. Penjelasan akan dikaitkan pula dengan kerangka konseptual tentang negara bangsa dan multikulturalisme, sehingga pendalaman analisis dapat lebih komprehensif dalam menjelaskan kewarganegaraan masyarakat Indonesia (orang Kanekes) yang dalam waktu bersamaan juga memiliki identitas kesukuan yang cukup kuat.
1.2 Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis dalam makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan: “Bagaimana kehidupan masyarakat orang Kanekes dan pengaruhnya pada identitas politik dan dilema kewarganegaraan yang mereka alami?”
1.3 Kerangka Konseptual
Negara, Bangsa, dan Warganegara
Pada dasarnya antara bangsa Indonesia maupun negara Indonesia memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Ernest Renan, bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang saling merasa setiakawan satu sama lain, tetapi bangsa tidak tergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa, agama ataupun hal-hal lain yang sejenis, karena bangsa hanyalah merupakan suatu kesepakatan bersama. Untuk itu yang dimaksud dengan bangsa Indonesia adalah kesatuan solidaritas yang didasarkan atas perasaan kebangsaan Indonesia, yang berkehendak untuk hidup bersama di tanah air Indonesia sebagai suatu bangsa. Sedangkan pengertian dari negara Indonesia yaitu suatu organisasi politik, suatu struktur politik dimana para warganegara adalah anggota dari organisasi politik besar tersebut. Keanggotaan dalam organisasi negara atau kewarganegaraan diatur oleh aturan hukum. Jadi undang-undanglah yang menyatakan apakah seseorang adalah warganegara Indonesia atau bukan.
Dari penjelasan tersebut di atas dapatlah dibedakan antara keduanya yaitu dalam Negara Indonesia, kesatuan solidaritasnya berpedoman pada undang-undang atau terikat pada hukum. Sedangkah dalam bangsa Indonesia, kesatuan solidaritasnya hanya didasarkan pada perasaan kebersamaan atau rasa solidaritas kebangsaan Indonesia. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa pada masa lalu sebelum terbentuknya negara Indonesia. bangsa Indonesia belum ada, yang ada hanyalah bangsa-bangsa yang lebih kecil yaitu seperti bangsa Aceh, Batak, Bali, Jawa dan lain sebagainya. Tetapi setelah terbentuknya Negara Indonesia maka bangsa Indonesia keanggotaannya berasal dari berbagai bangsa yang ada di kepulauan Indonesia termasuk bangsa Cina, Arab dan sebagainya. Hal ini berarti bangsa Indonesia tidak terbatas pada bangsa yang sama ataupun, ras yang sama, karena bangsa Indonesia keanggotaannya berasal dari keanekaragaman ras dan suku bangsa serta agama yang berkembang di Indonesia. Denga begitu dapat juga disimpulkan bahwa warganegara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan (supaya dibedakan dengang kewarganegaraan dan pewarganegaraan).[2]
Identitas
Bauman[3] menyebutkan, dalam era globalisasi ini, identitas bukan lagi mengenai bagaimana memperoleh identitas yang diinginkan dan bagaimana membuat orang lain mengenali identitas tersebut, tetapi identitas mana yang dipilih, dan cara terbaik untuk tetap waspada sehingga pilihan lain dapat dibuat apabila identitas yang telah dipilih ditarik mundur dari pasar ataupun kehilangan daya tariknya. Dalam identitas nasional, identitas menjadi tanda terhadap sebuah komunitas dalam wilayah seseorang berasal, bukan hanya berdasarkan apa yang tampak secara fisik melainkan juga kehidupan sosial budaya. Hal ini bisa didapat melalui proses nation-building yang menjadi proses pertama pembentukan sebuah identitas nasional. Nation-building[4] adalah proses pembangunan identitas nasional bersama baik dalam pencakupan etnis, budaya, ataupun pemikiran politik, di mana nation-building ini merupakan bagian yang penting di dalam proses state-building dan keduanya bisa saling menguatkan. Penting untuk diketahui bahwa state tidak memiliki monopolitas atas ide nation dan terkadang identitas nasional bisa saja malahan berlawanan dengan state.
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Sebagai warganegara Indonesia tentu Anda memahami bahwa masyarakat Indonesia beranekaragam atau dikatakan sebagai masyarakat majemuk/plural. Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk[5] ada dengan maksud awal untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b. Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c. Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat secara horizontal yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan perbedaan-berbedaan kedaerahan. Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebihdari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda.
BAB 2
Politik Identitas dan Dilema Kewarganegaraan Orang Kanekes di Indonesia
PANJANG TAK BOLEH DIPOTONG, PENDEK TAK BOLEH DISAMBUNG.… (Pepatah Orang Kanekes)
2.1 Profil dan Kehidupan Orang Kanekes
Mengenai asal usul orang Kanekes ada yang mengaitkannya dengan Kerajaan Padjajaran yang ketika itu takluk dibawah Kesultanan Banten, sehingga orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam kemudian lari ke daerah pedalaman hutan di daerah Lebak Banten. Namun seorang bernama Van Tricht, dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah Pegunungan Kandeng yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar.[6] Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran—Ibu kota Kerajaan Sunda. Sementara itu, menurut Danasasmita dan Djatisunda orang Kanekes merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha.[7]
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui[8] (selanjutnya dalam penulisan Makalah ini disebut orang kanekes saja) adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Definisi isolasi ini bukan berarti orang Kanekes sama sekali tidak bersentuhan dengan orang luar atau sebaliknya, namun tertutup disini didefinisikan bahwa mereka memiliki aturan adat tertentu yang merasa ada patangan terhadap beberapa hal yang tidak boleh dilakukan, terkait pantangan dan pembagian macam orang Kanekes akan dibahas dalam sub-tema selanjutnya.
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka, orang Sunda umumnya telah terbuka dengan budaya dan interaksi dari luar serta menganut agama Islam, meski juga ada yang beragama Kristen, Budha, dan lain-lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa, orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam. Pertumbuhan populasi orang-orang Kanekes di antara orang Sunda mungkin merupakan faktor non religius yang paling penting dalam sejarah mereka, sebab sampai saat ini pertumbuhannya populasinya tersebut terus meningkat dari sebelumnya.[9]
Sebutan "badui/baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, mungkin istilah ini berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi—kelompok nomaden dan hidup terbelakang secara budaya di kawasan Jazirah Arab—yang merupakan masyarakat yang tidak membaur dengan masyarakat pada umumnya. Kemungkinan lain penamaan tersebut adalah karena adanya sebuah sungai dan gunung yang bernama Sungai Baduy dan Gunung Baduy (terdapat di bagian utara dari wilayah tersebut). Mereka sendiri—orang kanekes—sebenarnya lebih suka menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, meski kemudian sebutan akan nama “badui/baduy” tidak juga mereka tolak.
Bagi sebagian kalangan masyarakat yang baru mendengar atau mengenal suku badui dan orang-orang Kanekes, mungkin akan menjadi rancu ketika melihat kenyataannya ada orang Kanekes yang hidup di kota-kota dan berbaur dengan masyarakat umum di luar daerah Desa Kanekes, baik sebagai pedagang atau telah mengenyam pendidikan formal sampai pada tahap yang tinggi. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu terlebih dahulu melakukan identifikasi pembedaan anatara orang Kanekes yang sudah membaur dengan yang masih memegang teguh nilai adat. Sebenarnya masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.[10] Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI).
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain: tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi, tidak diperkenankan menggunakan alas kaki, pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat), larangan menggunakan alat elektronik (teknologi), menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah[11], karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar: mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam, berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam, menikah dengan anggota Kanekes Luar. Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
· Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
· Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
· Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
· Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
· Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.[12]
2.2 Politik Identitas Orang Kanekes Saat Ini
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang setiap kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau pasta gigi di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk. Selanjutnya dalam pembahasan makalah ini jika menyebut tentang ketertutupan orang Kanekes, maka hal itu merujuk pada identitas Urang Tangtu.
Sampai dengan pembahasan ini mungkin banyak orang yang masih bingung dengan apa yang disebut ”orang Kanekes sebagai kebudayaan yang tertutup”. Kadang kala mereka sangat anti dengan pengaruh luar dan seluruh kebudayan yang bukan dari hasil cipta dan karsa mereka akan mereka tolak. Bahkan di sisi yang lain ketika ada sanksi adat yang sangat keras terhadap orang-orang Kanekes yang melanggar peraturan, maka kesan yang timbul adalah bahwa mereka bukanlah suku yang biasa berkompromi dengan perbedaan dan kesalahan. Namun sampai hari ini kita tahu, wilayah hidup orang Kanekes sudah menjadi semacam daerah oebjek wisata yang terkenal di Banten, hampir setiap hari ramai dikunjungi orang-orang dengan tujuan yang berbeda, namun disaat itu pula sebenarnya kita sedang meelihat dualisme persepsi dan ketidakkonsistenan orang Kanekes dengan peraturan adatnya.
Mungkin bisa dimaklumi jika yang dimaksud mereka terlihat terbuka ini hanyalah terbuka dalam artian menerima tamu yang datang kesana (silaturahmi), tapi apakah mungkin orang-orang yang datang tersebut tiap harinya dengan beragam tujuan tidak mengajarkan dan membawa pengaruh serta budaya apapun ?. Inilah salah satu awal pembahasan tentang politik identitas orang Kanekes, mereka mau menerima kunjungan wisatawan domestik yang datang kesana bahkan sampai dengan bermalam, namun disaat yang sama mereka masih menolak tata pemerintaan negara yang legal formal menurut UUD 1945, tidak berpartisipasi aktif dalam pembangunan, tidak memimiliki kartu identitas sebagai penduduk, dan menolak berbagai bentuk pendidikan formal termasuk pengetahuan tentang negara dan kewarganegaraan Indonesia.
Naiknya kebudayaan sebagai isu yang mendominasi debat-debat intelektual pada dekade awal abad milenium ini cukup mencengangkan dan menimbulkan pertanyaan baik di dunia akademis maupun praksis.[13] Begitu juga apa yang terjadi saat ini pada orang Kanekes. Keberadaan mereka bukanlah hanya soal adat saja, melainkan juga kemurnian darah dan segala keaslian aspek hidup mereka. Seperti Urang Tangtu yang selalu menikah dengan sesama Urang Tangtu, yaitu mereka yang tinggal di 3 kampung dalam (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Bila salah satu dari mereka menikah dengan orang dari Panamping (Baduy Luar) maka Urang Tangtu itu harus keluar dari kampung Baduy Dalam. Walaupun yang Tangtu adalah lelakinya. Dengan begitu darah Tangtu tidak akan bisa dimasuki darah Panamping, apalagi yang bukan Urang Kanekes. Maka di Baduy banyak perkawinan yang masih terlalu dekat ikatan kekeluargaannya. Beberapa keturunan mereka menanggung akibat perkawinan sedarah itu; badan kerdil, daya tahan tubuh lemah, bahkan beberapa tidak berketurunan.
Pohon singkong, pohon albasia, dan beberapa pohon tidak dibolehkan ditanam di Baduy Dalam. Karena pohon-pohon itu bukan asli tanaman yang ada sejak dulu. Apabila pohon tersebut tumbuh tanpa sengaja ditanam, maka orang Tangtu akan mencabutnya. Bahkan ada petugas pengawas tanaman dari “Baresan Salapan” atau penegak adat di bawah Puun yang selalu mengoperasi tanaman-tanaman di 3 kampung Tangtu itu. Darah dan tanaman dari luar saja tidak diperbolehkan masuk, apalagi benda-benda ciptaan manusia yang tidak menyatu dengan alam Tangtu, misalnya radio.[14] Perkawinan dan tata adat seperti inilah yang menimbulkan masalah, bukan saja bagi kesehatan, namun dikhawatirkan menimbulkan sifat etnosentrisme yang berujung pada chauvinisme yang dengan sangat mudah akan menilai budaya lain adalah lebih buruk dari budaya sendiri, sehingga proses berhubungan dengan orang “luar” inilai sebagai bentuk kerendahan moral.
Padahal jika kita mau merujuk kembali pada konsep bangsa menurut Ernest Renan, maka seharusnya bangsa Indonesia dengan kemajemukan budaya serta sukunya tersebut dimaknai dengan suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang saling merasa setiakawan satu sama lain, tetapi bangsa tidak tergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa[15], agama ataupun hal-hal lain yang sejenis, karena bangsa hanyalah merupakan suatu kesepakatan bersama. Untuk itu yang dimaksud dengan bangsa Indonesia adalah kesatuan solidaritas yang didasarkan atas perasaan kebangsaan Indonesia, yang berkehendak untuk hidup bersama di tanah air Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagi orang Kanekes, mungkin konsep ini bertentangan dengan budaya dan apa yang mereka yakini selama ini, tapi yang perlu disikapi ketika hidup dalam keberagaman adalah menghargai konsepsi dan nila-nilai yang dianut oleh setiap suku yang ada tanpa terkecuali selama tidak mengganggu suku lain dan integritas nasional Indonesia. Selain itu, uapaya untuk terus mencerdaskan orang Kanekes dengan pendidikan formal harus terus dilakukan jika berpegang tegus pada tujuan dan cita-cita nasional tanpa berusaha untuk mengambil sikap konfrontasi dengan orang Kanekes. Sebab meskipun begitu, setidaknya keteguhan orang Kanekes pada adatnya tersebut juga punya nilai positif dalam rangkan menjaga identitas warganegara ketika identitas nasional dan individu sudah mulai kabur, tinggal sekarang yang dibangun adalah semangat untuk menerima semua budaya yang ada dalam kesatuan wilayah NKRI sebagai budaya dan identitas nasional.[16]
2.3 Dilema Pemerintahan dan Kewarganegaraan Orang Kanekes
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".[17] Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes—Pu’un—ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Meski begitu nilai dan budaya adat lebih mendominasi dan tata pemerintahan nasional masih kurang menarik perhatian mereka, sebab seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, orang Kanekes menilai segala sesuatu yang bersumber bukan dari budaya mereka adalah dilarang, bahkan sampai jenis tanaman pun tidak boleh sembarangan tumbuh dan dikomsumsi.
Di tengah sistem pemerintahan adat yang seperti itu, sebenarnya juga ada yang disebut dengan jaro pamarentah, yaitu pimpinan suku yang secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung[18]. Hal ini jelas dilematis tidak hanya dalam hal identitas nasional orang-orang Kanekes—mereka membuka hubungan dengan pemerintahan nasional, namun tidak tunduk dan tidak taat pada aturan pemerintahan nasional tersebut seperti pemilu dan pendataan kependudukan—namun juga dalam hal kewarganegaraan sebagai orang yang tinggal dalam sebuah wilayah negera Indonesia.
Masalah yang belum selesai ini—tentang kewarganegaraan—rupanya jika dicermati dari definisi negara Indonesia, sangatlah merugikan orang-orang Kanekes sendiri. Mereka tidak terikat dengan UU pemerintahan dan UU lainnya yang ada di Indonesia secara formal, namun disaat itu juga negara punya kewajiban untuk melindungi dan memenuhi segala hak (keamanan, pendidikan, kesehatan, dll) dan kebutuhan warganegaranya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah orang Kanekes ini merupakan bagian dari warga negara Indonesia ?. Misalkan saja orang Kanekes ini ternyata dinilai bukan bagian dari warga negara karena secara konstitusi tidak tercatat dalam data kependudukan, maka dengan otomastis mereka kehilangan hak-hak seperti yang disebutkan sebelumnya. Hal ini dimaknai demikian sebab yang disebut dengan negara Indonesia yaitu suatu organisasi politik, suatu struktur politik dimana para warganegara adalah anggota dari organisasi politik besar tersebut. Keanggotaan dalam organisasi negara atau kewarganegaraan diatur oleh aturan hukum. Jadi undang-undanglah yang menyatakan apakah seseorang adalah warganegara Indonesia atau bukan.
Ketika permasalahan kewarganegaraan orang Kanekes sudah demikian dan dipahami secara bersama sebagai bagian dari politik identitas di Indonesia, maka selanjutnya perlu ada solusi guna menjembatani persepsi-persepsi yang kemudian timbul. Sulit jika memaksakan konsep warga negara kepada orang Kanekes menggunakan pearturan legal formal berdasarkan definisi negara Indonesia yang berlandaskan hukum. Kini yang bisa diberikan sebaga alternatif menyelesaikan permasalahan identitas diantaranya adalah dengan menggunakan konsep kebangsaan dan nasionalisme. Menurut Prof. Burhan Djabir Magenda[19], nasionalisme itu mesti dimiliki oleh bangsa yang multikultural seperti Indonesia ini. Hal ini bisa dibentuk oleh tokoh-tokoh berpengaruh di masa perjuangan dan awal kemerdekaan, seperti Soekarno dan Hatta (priode awal pembentukan negara). Dan masa setelahnya, ketika sudah tidak ada lagi founding fathers yang memersatukan rakyat, kecenderungannya sebuah bangsa akan mulai menghadapi permasalahn sosial. Maka agar masyarakat tidak terlalu lama terkukung oleh konsepsi ideologis masyarakat imajiner seperti yang diungkapkan oleh Benedict Anderson dan persoalan-persoalan dilematis dapat dibatasi lalu diredakan, dibutuhkan apa yang disebut oleh Geertz sebagai lembaga-lembaga pemersatu, yang rill keberadaannya dan diisi oleh masyarakat sendiri, sehingga bangsa tetap bertahan dan tidak terpecah belah. Itulah alasan kenapa sebuah institusi politik perlu dalam sebuah negara pada saat menangani permasalahan kewarganegaraan maupun konflik antar etnis. Dengan demikian, kita tidak akan lagi memperdebatkan kewarganegaraan dan identitas politik orang Kanekes, sebab identitas nasional dan perasaan sebagai satu bagian dari sebuah bangsa dapat tercipta jika masing-masing individunya saling menghargai, menerima keragaman, merasa satu bagian identitas nasional yang sama, dan memiliki tujuan kesejahteraan dalam hidup yang harmoni di tengah keberagaman.
Salah satu cara lain untuk meredakan perdebatan identitas yang ditawarkan oleh Alvian adalah menjadikan ideologi bersama yang di anut dalam masyarakat sebagai sebuah konsensus yang mengakomodasi berbagai kepentingan lain dari tiap unsur masyarakat yang berbeda latar belakang etnisnya (sub-ideologi). Maka perlu ada suatu pemahan utuh mengenai definisi ideologi tersebut. Yaitu ideologi yang diartikan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.[20]
BAB 3
KESIMPULAN
Orang Kanekes, suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung, sebenarnya masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka, orang Sunda umumnya telah terbuka dengan budaya dan interaksi dari luar serta menganut agama Islam, sedangkan orang Kanekes masih sangat terikat oleh aturan adat dan agama leluhur. Kehadirannya yang juga merupakan bagian dari suku bangsa yang ada di Indonesia, secara teoritits dapat dikatakan sebagai warga negara Indonesia, namun kekhasan kebudayaannya yang masih tertutup dan belum mau menerima tata aturan kenegaraan nasional membuat posisi mereka mejadi dilematis sebagai warga negara dan identitas politiknya pun tak luput dari perdebatan.
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat. Meski begitu, ada juga kelompok-kelompok dari orang Kanekes yang sudah keluar dari ikatan adat dan memilih hidup membaur dengan masyarakat lainnya. Bagaimanapun juga adat dan cara hidup yang mereka miliki bukanlah suatu hal yang harus kita benturkan dengan realita teori kewarganegaraan menurut undang-undang, namun yang perlu diperhatikan adalah sikap kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk dan memiliki perasaan solidaritas sebagai satu identitas nasional bangsa Indonesia. Dapatlah kita dibedakan antara konsep negara dan bangsa. Dalam negara Indonesia, kesatuan solidaritasnya berpedoman pada undang-undang atau terikat pada hukum, sedangkah dalam bangsa Indonesia, kesatuan solidaritasnya hanya didasarkan pada perasaan kebersamaan atau rasa solidaritas kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa pada masa lalu sebelum terbentuknya negara Indonesia pun, bangsa Indonesia belum ada, yang ada hanyalah bangsa-bangsa yang lebih kecil yaitu seperti bangsa Aceh, Batak, Bali, Jawa dan lain sebagainya. Kini ketika tuntutan hidup dan identitas kenegaraan menjadi lebih sering dipertanyakan di tengah derasnya arus globalisasi, pengakuan kita pada entitas bangsa-bangsa yang kecil tersebut pun—termasuk orang Kanekes—menjadi sangat penting dan keanekaragaman disikapi bukan lagi sebagai hambatan persatuan, justru sebaliknya.
Daftra Pustaka
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
Djabir Magenda, Burhan. 2001. National Integration in A Complex Indonesia. Diterbitkan oleh TELSTRA No. 64 untuk edisi Januari-Februari
Garna, Y. 1993. Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
Koenjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Permana, C.E. 2001. Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Soeseno, Nuri. 2010. Kewarganegaraan: Tradisi, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer. Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Sumber Internet dan lainnya :
Pasal l UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI
“Belajar Arif dari Kanekes”, diakses dari http://visitbaduyvillage.com/baduyblog/wordpress/ pada tanggal 19 mei 2011, pukul 18.40
Zygmunt Bauman, Identity, diakses dari http://www.culturewars.org.uk/2004-02/identity.htm diakses pada tanggal 10 Mei 2011, pukul 17.55
OECD, State Building in Situations of Fragility diakses dari www.oecd.org/dac/fragilestates pada tanggal 10 Mei 2011
http://www.sabda.org/misi/sejarah_suku_sunda, pada tanggal 10 Mei 2011, pukul 18.35
“Menjaga Kemurnian Tangtu”, diakses dari http://visitbaduyvillage.com/baduyblog/wordpress/ pada tanggal 19 Mei 2011, pukul 18.55
[1] “Belajar Arif dari Kanekes”, diakses dari http://visitbaduyvillage.com/baduyblog/wordpress/ pada tanggal 19 mei 2011, pukul 18.40
[2] Pasal l UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI
[3] Zygmunt Bauman, Identity , diakses dari http://www.culturewars.org.uk/2004-02/identity.htm diakses pada tanggal 10 Mei 2011, pukul 17.55
[4] OECD, State Building in Situations of Fragility diakses dari www.oecd.org/dac/fragilestates pada tanggal 10 Mei 2011
[5] Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967)
[6] Garna, Y. Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. 1992. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama. Hal. 146
[7] Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda,., 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
[8] Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
[9]Diakss dari http://www.sabda.org/misi/sejarah_suku_sunda, pada tanggal 10 Mei 2011, pukul 18.35
[10] Permana, C.E. Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy., 2001, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
[11] Khususnya adalah orang-orang Kanekes dalam yang masih hidup secara tertutup dan memegang adat dengan begitu kuat.
[12] Ibid.,
[13] Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tradisi, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer, 2010, Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, hal. 66
[14] “Menjaga Kemurnian Tangtu”, diakses dari http://visitbaduyvillage.com/baduyblog/wordpress/ pada tanggal 19 Mei 2011, pukul 18.55
[15] Menurut Koenjaraningrat, dalam kenyataannya konsep tentang “suku bangsa” lebih kompleks daripada yang dibayangkan. Ini disebabkan karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan. Bisa jadi seorang individu selain memiliki identitas kebudaya, di dalam identitas kebudayaannya tersebut terdapat idenitas-identitas lainnya (seperti identitas berganda). Untuk lebih jelas lagi lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 1990, Jakarta: Rineka Cipta. Hal, 264-265
[16] Dalam identitas nasional, identitas menjadi tanda terhadap sebuah komunitas dalam wilayah seseorang berasal, bukan hanya berdasarkan apa yang tampak secara fisik melainkan juga kehidupan sosial budaya. Hal ini bisa didapat melalui proses nation-building yang menjadi proses pertama pembentukan sebuah identitas nasional.
[17] Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
[18] Makmur, A. Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif kekerabatan, 2001
[19] Burhan Djabir Magenda. 2001. National Integration in A Complex Indonesia. Diterbitkan oleh TELSTRA No. 64 untuk edisi Januari-Februari hal. 50
[20] Dikemukakan oleh Alvian dalam Ideologi, Idealisme, dan Integrasi Nasional. Pernah dimuat dalam majalah Prisma, No. 8, Agustus 1976
0 Response to "“Politik Identitas dan Dilema Kewarganegaraan Orang Kanekes”"
Posting Komentar