Melihat Perbandingan Politik
No. 1 (a)
Metode perbandingan politik dengan hanya menggunakan satu negara bisa dilakukan untuk membandingkan peristiwa yang terjadi pada suatu negara dilihat dari perbedaan periode sejarah atatu perkembangan politiknya. Selain membandingkan secara periodik, juga dapat dilakukan untuk membandingkan antar fenomena dalam sebuah negara yang sama. Semua itu dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan-tujuan dilakukannya perbandingan politik seperti penggambaran kontekstual, membuat klasifikasi, mengujian hipotesis, maupun membuat suatu prediksi. Salah satu masalah krusial dalam perbandingan politik menururt Jean Erik Lane dan Svante Ersson adalah pembangunan politik,[1] termasuk perbandingan politik.
Studi perbandingan politik yang menggunakan satu negara memiliki kemungkinan tuntutan paling sedikit dalam rangka mempercepar status ilmiah sebuah perbandingan politik, meskipun perbandingan satu negara ini juga mungkin adalah bentuk yang paling umum dalam disiplin analisis.[2] Kelemahan nyata dari pendekatan ini adalah tidak benar-benar sebagai sebuah perbandingan, tetapi cukup menjelaskan politik “di suatu tempat yang lain”. Terkait kelemahan ini juga ada sebuah ungkapan (Sartori: 1991) yang mengatakan bahwa “seorang sarjana yang hanya mempelajari presiden Amerika, maka ia adalah seorang Amerikanis, namun jika dia juga mempelajari tentang presiden Perancis, maka ia sungguhnya studi perbandingan politik dalam keadaan umum membutuhkan dua buah objek pengamatan yang berbeda, dan dalam hal perbandingan politik yang dilakuakn dengan hanya satu negara, agaknya akan mendapat krtikan, meski banyak pendapat juga yang tidak mempersalahkannya dan tetap menilai hal tersebut juga merupakan sebuah studi perbandingan politik.
Meskipun ada pandangan negatif terhadap studi perbandingan politik yang dengan hanya menggunakan satu negara seperti yang diungkapan oleh Sartori di atas, rupanya perbedaan fenomena tiap wilayah dan waktu yang tejadi dalam negara tertentu juga dapat diperbandingkan, meski lingkupnya juga masih dalam negara yang sama, setidaknya hal tersebut relevan untuk dilakukan. Mengapa bisa demikian, sebab pada kenyataannya pada banyak negara—dalam proses pembangunan politik dan perjalanan sejarah bangsanya—kerap dliliputi oleh proses perubahan sistem pemerintahan, tipe kepemimpinan, kebudayaan dan periaku pemilih, serta objek lainnya dalam perbandingan politik yang umum digunakan pada perbandingan dua negara atau pun lebih. Jadi, samapi di sini meski banayak pula kelemahan dan kritikannya, usaha dan studi perbandingan tersebut masih layak untuk dilakukan.
Hal lain yang dapat mendukung metodologi perbandingan satu negara ini agar tetap dapat dilakukan terus adalah bahwa cara ini sebenarnya memilki beberapa keuntungan serta kontribusi yang nyata bagi metode perbandingan yang lainnya, baik itu dua negara maupun banyak negara. Kontribusinya yang pertama adalah bahwa hasil dari studi seperti ini dapat digunakan sebagai materi dan informasi pendukung dalam teori dan perbandingan langsung. Misalnya jika kita sudah pernah melakukan perbandingan politik (sistem peemrintahan) terhadap satu negara—katakanlah Indonesia—kemudian kita akan memperbandingkannya lagi dengan negara lain seperti Malaysia, maka kita tidak perlu memahami Indonesia dari awal lagi, namun dapat mengguanakan hasil penelitian yang sudah ada untuk mengabil beberapa informasi dan dikembangkan lebih lanjut.
Kontribusi kebaikan yang kedua dari studi perbandingan politik satu negara adalah untuk menjelaskan secara lengkap sebuah konsep yang muncul secara terpisah dalam satu seting nasional dan menggunakan studi negara tersebut untuk membangun sebuah konsep. Sebagai contoh ketika ingin membangun sebuah konsep tentang kelas menengah di Indonesia maka kita akan mempelajarinya dari ketika awal kemunculan kelas menengah tersebut sebelum sejarah berdirinya negara Indonesia. Kemudian fase selanjutnya adalah pascakemerdekaan, dilanjutkan lagi pada fase pemerintahan orde baru, dan selanjutnya. Dari kemunculan konsep tersebut secara terpisah dan periodik, kita dapat membangun sebuah konsep kelas menengah di Indonesia secara lengkap dengan menggunakan perbandingan disetiap periodenya tadi.
Maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode dan substansi kajian perbandingan politik yang hanya menggunakan satu negara akan lebih condong pada tujuan perbandingan dalam membuat deskripsi yang kontekstual—dari pada tiga tujuan perbandingan lainnya—yaitu mendeskripsikan fenomena politik dan kejadian-kejadian dari negara tertentu.[3] metodologi perbandingannya juga bisa menggunakan cara trade offs seperti saat membandingkan dua negara. Sehingga asumsi yang muncul adalah bahwa perbandingan seperti ini akan lebih intensif dalam melakukan kajiannya dan sangat mungkin untuk fokus pada bentuk fenomena patikular sebuah negara ketika disaat yang sama berhubungan dengan fenomena yang lain (agar dapat memperluas seting pertanyaan penelitian dalam perbandingan politik).[4] Satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa ketika substansi perbandingannya sudah diketahu dan dipahami, maka perlu dibuat pembatasan-pembatasan dalam penelitiannya. Sebuah studi yang intensif dan biasanya antar waktu dalam sebuah negara, perlu ada pembatasan yang jelas dalam pembabakan sejarah atau periodenya tersebut. Objek dan fokus penelitiannya juga dibuat dalam kerangka yang jelas agar tidak melebar kepada hal-hal yang lain, sebab ini adalah sebuah perbandingan yang sangat mungkin dapat dilakukan secara intensif dan mendalam.
No. 1 (b)
Contoh salah satu studi demokratisasi yang menggunakan perbandingan banyak negara adalah kajian teoritis dan komparatif tentang demokrasi dan buruh yang ditulis oleh Nur Iman Subono dalam Jurnal Ilmu Politik (Politea) edisi pertama[5] dan sebuah buku berjudul Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia ke-Tiga, yang ditulis oleh Noer Fauzi.
Dalam jurnal yang mengkaji tentang demokrasi dan buruh tersebut dikatakan bahwa memang sampai dengan saat ini demokrasi masih tetap merupakan “the best of the worst” dibandingan dengan ideologi dan sistem politik sebelumnya. Bahkan Huntington menyebutnya sebagai—perubahan-perubahan politik di dunia ini dari tahun 1974—proses demokrasi gelombang ketiga. Lalu dalam kajian kontemporer saat ini timbul pertanyaan, sebenarnya siapakan aktor yang berperan dalam prose demokratisasi tersbut ? atau lebih tepatnya siapa yang menjadi agen demokrasi dalam proses transisi yang mendorong perubahan politik tersebut ?.
Ada dua teori atau mazhab yang menyatakan siapa sebenarnya yang berperan dan menjadi agen dalam proses demokratisasi. Pembagian menjadi dua seperti ini sangat terpengaruh oleh tradisi marxis dan liberal, sebab dalam sejarah pertentangan kelas dan setidaknya benturan ideologi sampai dengan awal 1990an meempertemukan dua paham tentang kelas yaitu, pemilik modal (kapitalis) dan kelas pekerja (buruh). Mazhab yang pertama mengidentifikasikan kelas kapitalis atau kelas borjuis sebagai agen demokrasi, sedangkan mazhab yang kedua mengidentifikasikan buruh sebagai agen demokrasi. Mazhab yang terakhir ini berpandangan bahwa kelas kapitalis sebenarnya tidak terlalu perduli dengan demokrasi. Pada satu sisi mereka sangat mendukung pengenalan pemerintahan yang representatif, namun di sisi yang lain sangat menentang perluasan hak-hak sipil dan politik pada kelas-kelas bawah.
Terkait definisi buruh dan serikat buruh besarta pertentangannya dalam mencari dan merebut eksistensi politik tidak dijabarkan dalam tulisan ini lebih lanjut. Namun secara singkat, Nur Iman Subono melakukan komparatif tentang pengalaman buruh di tiga negara yaitu Meksiko, Korea Selatan, dan Indonesia. Analisis yang digunakan adalah mencari relasi antara buruh dengan negara dan hubungan seperti apa yang terbentuk dari keduanya, di ketiga negara tersebut.
Pertama adalah buruh di Meksiko. Dalam kasus ini posisi buruh terhadap negara tidaklah antusias dalam mendorong demokratisasi. Serikat-serikat buruh yang umumnya tergabung dalam Confederation of Mexican Workers (CTM) adalah serikat buruh yang sangat kuat di Meksiko dan dalam sejarahnya tetap konsisten beraliansi dengan negara di bawah dominasi partai PRI, meskipun partai tersebut adalah partai yang otoriter dan banyak menghalalkan berbagai cara untuk mempetahankan kekuasaan. Yang uniknya lagi pada saat partai pemenang pemilu selanjutnya adalah partai yang berbeda, ternyata tidak ada perubahan yang fundamental dari hubungan aliansi buruh dan negara tersebut.
Dapat disimpulakan bahwa buruh di Meksiko berperan sebagai penyedia dukungan bagi partai yang menang dan besar, melakukan mobilisasi selama pemilu, dan mengembalikan seluruh kebijakan ekonomi pada negara. CTM sangat menikmati ketergantungan dengan kekuasaan negara yang memang sudah berjalan begitu lama. Terjadi hubungan simbiosis diantara kedaunya. Buruh menempati posisi aristokrat dalam pembangunan ekonomi Meksiko
Berbeda dengan meksiko, buruh di Korea Selatan sudah sangat lama berada dalam garis depan perjuangan demokrasi. Pemerintahan otoriter di Korea Selatan sudah dua kali dijatuhkan selama masa pascaperang dan serikat buruh memainkan peran yang sangat signfikan dalam gerakan masyarakat untuk menuntut atau menesak demokrasi. Dalam setiap gerakannya, buruh selalu bekerja sama dengan kaum intelektual seperti mahasiswa maupun aktivis gereja. Dalam hal ini terlihat bahwa, posisi buruh ternyata relatif independen dari kekuasaan negara, mungkin juga didukung oleh konstelasi politik saat itu yang sedang terjadi perang dingin antara liberalisme dan komunisme sehingga pemerintah Korea Selatan sangat sensitif dengan ancaman komunisme (Korea Selatan dikenal sebagai sekutu Amerika Serikat yang juga menentang Komunisme). Karena perlakuan represif (tidak memiliki posisi aristokrat) yang selalu diterima dari pemerintah, buruh semakin mempunyai posisi tawar, apalagi mengingat kemajuan industri yang dialami oleh Korea Selatan saat itu. Berbeda dengan Meksiko yang masih banyak pengangguran dan kemiskinan.
Di Indonesia, buruh memiliki sejarahnya yang panjang. Sejak zaman pergerakan nasional sudah sangat berperan penting dalam pengusahaan Indonesia merdeka. Namun ketika kekuasaan orde baru berdiri, saat itu juga kekuasaan buruh memasuki masa-masa yang gelap. Buruh sering diafiliasikan dengan gerakan pemberontak dan bagian (underbow) dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terlarang dan terus diperangi hingga ke akar-akarnya. Ini jelas fenomena upaya penyingkiran buruh dari arena politik saat itu denagan dalih untuk mendukung terjadinya stabilitas politik dan kemajuan di bidang ekonomi. Dalam hal ini hubungan buruh dan negara adalah hubungan yang tersub-ordinat. Gerakan buruh seperti mogok dan demonstrasi sangat mudah untuk dilumpuhkan dengan alasan sebagai tindakan subversif dan menggangu keamanan. Posisi buruh sangat lemah dan terlihat belum memiliki posisi perencanaan dan pengorganisasian yang solid, serta belum mampu bekerjasama dengan kelompok-kelompok pro demokrasi lainnya.
Kajian perbandingan politik yang serupa dan melibatkan banyak negara adalah tulisan dari Noer Fauzi seperti dijalaskan sebelumnya. Secara singkat Fauzi menjelaskan perbandingan gerakan-gerakan masyarakat di negara-negara dunia ketiga dengan melibatkan Sembilan contoh kasus dan gerakan di Sembilan negara yang berbeda pula (seperti MST di Brazil, Zapatista di Mexico, LPM di Afrika Selatan, dan sebagainya). Meski kajian ini memperlihatkan pertarungan anatara rakayat dan kaum kapitalisme, sesungguhnya ini juga merupakan bagain dari gerakan demokratisasi yang menuntut adanya kesejahteraan, tanggung jawab negara, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Kaum miskin di pedesaan mengalami kesulitan yang besar sehubungan dengan kenyataan bahwa tugas-tugas utama negara nasional—sesuai dengan konstitusinya untuk mengurus rakyat, terutama golongan miskin—sudah digerogoti sedemikian rupa oleh aktor-aktor neoliberalisme. Sehingga pemerintah lebih diarahkan pada urusan-urusan yang bersifat layanan seperti bisnis belaka. Sementara itu, bila kuasa negara salah dipergunakan dan melemah, maka rakyat pedesaan mengalami masalah yang sangat serius, yakni negara membiarkan rakyat pedesaan bertarung dalam arena yang sudah pasti akan kalahnya. Tanpa diuraikan tentang macam-macam gerakan tersebut secara lebih luas, pada intinya kita perlu memaham kedudukan dan perkembangan gerakan rakyat pedesaan dewasa ini dalam konteks kapitalisme neoliberal yang menggelar kekuasannnya hingga mengenai kaum miskin pedesaan.
Dari contoh studi demokratisasi yang menggunakan metode banyak negara dapat dipahami bahwa biasanya studi perbandingan yang menggunakan banyak negara akan lebih merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dan cenderung kualitatif namun tidak terlalu mendalam, maka umunya pula akan sering kita temukan dalam studi seperti itu data-data statistik dan pengukuran yang menggunakan analisi regresi[6]. Pembatasan dalam kajian seperti ini sangat ditekankan, sebab banyaknya negara yang digunakan harus mampu menjawab suatu fenomena dan objek penelitian dengan umumnya mencari perbedaan maupun bersamaan.
Dilihat dari tujuan studi perbandingan yang menggunakan banyak negara nampaknya sangat cocok untuk membuat klasifikasi, yaitu mengelompokan negara-negara, sistem-sitem politik, ataupun kejadian-kejadian yang memiliki karakteristik-karakteristik yang sama. Selain itu studi seperti ini juga baik sekali untuk menguji hipotesis yang suda ada, yaitu usaha mencari faktor-faktor yang mampu menjelaskan hal-hal yang telah dideskripsikan dan diklasifikasikan.
Berdasarkan contoh studi demokratisasi sebelumnya yang menggunakan perbandingan banyak negara, misalnya kasus demokrasi dan buruh maupun gerakan rakyat dunia ketiga, terdapat beberapa kekuatan dari metode perbandingan seperti itu. Pertama adalah dengan mudah dan sederhana kita dapat memahami gejala dan posis buruh di tiap negara yang berbeda. Penggunaan satu analsis saja yaitu hubungan buruh dan negara, bisa memberikan gambaran yang jelas dan jauh dari kemungkinan bias persepsi, sebab data-data yang disajikan begitu kontras ketika terjadi berbagai perbedaan tiap negaranya.
Ada semacam kontrol statistik dalam memperbandingkan tersebut, akhirnya dapat dengan mudah pula kita mendapatkan kesimpulan yang tepat terkait posisi buruh sebagai agen demokratisasi, teori yang akan dibangun pun lebih jelas untuk didefinisikan, contohnya bahwa semakin posisi buruh itu independen terhadap negara, maka tidak akan terjadi hubungan subordinat yang akan melemahakn buruh dalam proses demokratisasi. Kekuatan terakhir dari studi perbandingan banyak negara dalam kasus ini adalah mudah dalam mengidentifikasi negara-negara yang memiliki tren yang berbeda, sebab umumnya yang lebih kentara adalah persamaan-persamaan yang terjadi dari tiap negara yang diperbandingkan.
Kelemahan yang terjadi dari studi perbandingan banyak negara berdasarkan dua contoh kasus demokratisasi seperti di atas adalah pengukurannya yang tidak valid. Contoh saat menjelaskan gerakan-gerakan rakyat di negara dunia ketiga sangat nampak jelas tendensi penulisan yang hanya melihat fenomena ketergantungan dari sisi rakyatnya saja, tidak dilakukan dengan kaca mata kapitalis juga. Akibatnya sejak awal contoh gerakannya sampai cantoh yang kesembilan hanya membahas gejala keburukan dari kaum kapitalis yang sama. Tipe dan karakteristik gerakan dijelaskan, namun mengabaikan bentuk negara, sistem pemerintahan, dan kebudayaan masyarakat tersebut. Sehingga kita tidak bisa menjawab jika ada pertanyaan apakah benar semua gerakan perlawanan yang dilakuakn tersebut murni karena kesadaran, atau jangan-jangan ini adalah salah satu bentuk mobilisasi dari pihak-pihak tertentu ?.
Semua contoh gerakan rakyat dunia ketiga yang dipaparkan dalam buku Noer Fauzi mengarahkan untuk mencari pembenaran bahwa aktifitas yang dilakuaknn oleh kaum kapitalis itu tidak ada unsur kebaikannya sama sekali, padahal perlu kita melihat juga dari sisi lain tujuan kaum kapitalis. Untuk contoh kasus buruh dan demokrasi, terliha bahwa data yang disajikan begitu kurang. Ada perbandingan yang kurang jelas secara periodik sejarah yang terjadi, contohnya Nur Iman Subono tidak memaparkan fenomena buruh saat masa reformasi. Selain itu, ada ketimpangan data yang disajikan untuk menjelaskan buruh di Meksiko dengan di Indonesia. Untuk kasus di Meksiko sangat komprehensif sampai dengan soal hubungan aristokrasi buruh dengan negara, namun saat menjelaskan Indonesia tidak demikian, lebih dititikberatkan pada masa orde baru terkait nasib dan posisi buruhnya saja, tidak ada contoh bagaimana buruh pernah melakukan “perlawanan” terhadap negara. Dan kelemahan yang terakhir, terlihat terlalu menggeneralisir permasalahan yang ada tanpa memperhatikan periode sejarah demokratisasi di ketiga negara yang digunakan dalam perbandingannya.
2. (a)
Studi perbadingan politik masih meneruskan tradisi yang berkembang pada periode 1980an. Lichbach dan Zuckerman menyebutkan bahwa ada tiga tradisi yang mendominasi studi perbandingan politik saat itu, yaitu tradisi rasionalis, kulturalis, dan strukturalis. Perspektif yang pertama adalah raionalitas pilihan atau pilihan yang rasional. Tindakan rasional ini (masih dipengaruhi oleh struktur dan kultur) pada dasarnya dilakukan dengan kesadaran dari para aktor dan kelompok politik, yaitu sebuah kepentingan individual yang secara otomatis menuntun pada tindakan-tindakan kolektif dalam rangka mendorong terciptanya tujuan kebaikan bersama.
Namun yang pertama akan dibahas adalah pilihan rasional. Pada awalnya perspektif lebih dikenal dalam perspektif politik liberalisme klasik yang diungkapkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nation. Smith dalam bukunya mengatakan bahwa sesungguhnya setiap individu itu memiliki keuntungannya sendiri (self interest). Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa individu selalu mengagregasikn perilakunya untuk mencapai hasil bersama melalui strategi dan perhitungan-perhitungan yang bersifat matematis. Di dalam perspektif pilihan rasional juga terdapat hubungan interaksi antara individu atau kelompok dengan pilihan-pilihannya tersebut. Namun bagaimana pun juga, terdapat beberapa konstrain atau hambatan di dalam melakukan studi perbandingan politik menggunakan perspektif ini. Diantara hambatan tersebut adalah adanya pertimbangan terhadap asumsi perilaku dan permasalahan power yang biasanya penetuan pilihan tidak lagi secara rasional namun ada posisi-posisi tawar yang mempengaruhinya.
Perspektif yang kedua adalah kulturalis atau kultural. Kultur atau kebudayaan penting dalam pembahsan ilmu politik, sebab kultur menyediakan sebuah kerangka untuk mengorganisasi manusia dimana pun berada termasuk masyarakat lokal dan individu. Dalam perspektif ini mengasumsikan bahwa politik terjadi dalam konteks kultur yang menghubungkan individu dan identitas kolektif.[7] Dari identitas kolektif tersebutlah mendorong terjadinya tindakan politik. Pembahasan kultur ini tidak hanya dalam rangka hubungannya dengan tindakan-tindakan kolektif maupun individu, tapi juga mempengaruhi sikap grup dan kelompok lain (kelompok tertentu mempngaruhi sikap atau tindakan kelompok yang lainnya). Maka dapat disimpulkan bahwa perspsektif kultural di dalam studi perbandingan politik turut pula membangun nilai dan keteraturan politik (political order).
Meski mempengaruhi tindakan atau aksi individu dan kelompok, sesunguhnya pegaruh tersebut tidaklah disebabkan secara langsung, namun melalui proses-proses yang informal dan konsensus dalam proses penerimaannya. Kekeliruan yang sering muncul dalam memahami perspektif ini adalah sering didefinisikan secara luas melingkupi institusi, perilaku, dan nilai-nilai yang ada di suatu bangsa, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian, dan di dalam satu bangsa pun memiliki kultur yang bermacam-macam lagi. Lichbach membagi dua jenis perspektif kultural ini, yaitu subjektif kultur dan intersubjektif kultur. Subjektif kultur adalah bagaimana individu menginternalisasikan nilai-nilai dan perilaku dari sebuah objek pengamatan yang ia lakukan. Namun kedua jenis perspektif tersebut tidak dijelaskan lebih jauh lagi dalam tulisan ini.
Kelemahan dari perspektif ini adalah bahwa kultur yang ada dalam sebuah kelompok atau individu meski pada dasarnya punya kekuatan yang resisten dari pengaruh kultur lain yang bersal dari luar, tetap saja ada kemungkinan dan mudah untuk berubah. Selain itu, kultur sifatnya sangatlah relatif, contohnya ketika kita akan melakukan perbandingan, nanti akan diketemukan bahwa karakter nasional dari setiap negara itu berbeda-beda dan setiap waktu sangat mungkin untuk berubah.
Terakhir adalah perspektif strukturalis, perspektif ini banyak ditulis dan dikembangkan oleh para ilmuan politik pada tahun 1960an dan 1970an. Perkembangannya saat ini telah sampai pada permsalahan-permasalahan penting seperti identitas politik, kekerasan sipil, sumber legitimasai kekuasaan dan dimensi ketidaksetaraan. Fungsionalisme erat kaitannya dengan strukturalisme, maka sering dikaitkan keduanya menjadi satu frase yaitu fungsional struktural. Dahulu banyak digunakan dalam kajian-kajian sosiologis sebelum dipergunakan dalam ilmu politik. Meskipun kemudian tidak dipergunakan lagi oleh sosiologi pada tahun 1950an, pendekatan ini benar-benar digunakan secara serius dalam ilmu politik, khususnya perbandingan politik. Analisa fungsional struktural pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, dan yang paling penting adalah konsep fungsi dan struktur. Berangkat dari hal ini maka ada tiga pertanyaan yang harus mampu dijawab, yaitu fungsi dasar apa yang harus dipenuhi dalam setiap sistem, oleh struktur yang bagaimana, dan di bawah keadaan yang seperti apa. Yang akan dibahas ini tidak dititikberatkan kepada permasahan fungsi, namun pada struktur tersebut yang digunakan sebagai perspektif dalam studi perbandingan politik.
Analisa struktural yang berkaitan dengan sistem politik yang digunakan oleh negara tertentu dalam rangka perbandingan, memiliki kebaikannya sendiri dibandingkan yang lainnya. Dengan melihat labih jauh lagi tentang institusi atau kelembagaan yang banyak dipengaruhi oleh pemeikiran marxis, kita dapat dengan mudah mengidentifikasikan berbagai struktur politik dari sistem , ideologi, dan tradisi yang berbeda dari tiap negara. Salah satu yang dijadikan perbandigan dalam perspektif struktural adalah kelembagaan, termasuk di dalamnya terkait komponen eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica).
Ciri pendekatan kelembagaan adalah (2) strukturalisme, menilai bahwa struktur adalah merupakan sesuatu yang penting di dalam ilmu politik serta mempengaruhi perilaku yang ada di dalmmnya, (3) Holisme, pandangan yang melihat sesuatu scara menyeluruh. (4) Historicisme, mempelajari sejarahnya, (5) Analisis normatif, ada nilai di dalmnya. Namun begitu, pendekatan kelembagaan ini memiliki kelemahan, yaitu tidak mampu menghasilkan satu teori besar. Ketidakmampuan inilah yang kemudian menghasilkan pendekatan perilaku (behavioral).[8] Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa perspektif strukturalis memiliki fungsi yang berkaitan erat dan berpengaruh terhadap perilaku aktor, perilaku politik keseluruhan, dan budaya yang timbul di masyarakat dalam kaitan hubungan anatar negara dan masyarakat.
Contoh perspektif ini dalam perbandingan politik adalah ketika membandingakn tiga negara di masa perang dingin, yaitu Amerik Serikat, Uni Soviet, dan Indonesia. Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki kesebrangan dalam sistem politik dan ideologi, sedangkan Indonesai mengambil posisi yang tidak memihak pada salah satu blok atau poros tersebut. Dari satu hal yang dianalisa—katakanlah kebijakan luar negeri dan ekonomi—maka akan terlihat Uni Soviet yang lebih kepada menutup diri dan berusaha mengembangkan kemajuan bangsanya dari dalam negeri, sedangkan Amerika Serikan berpandangan sebaliknya, sebab mereka menerapkan sistem liberal dan kapitalisme pada ekonomi yang sangat memungkinkan untuk membuka hubungan dengan negara-negara lain guna mencari daerah pasokan sumber daya dan daerah pemasaran barang produksi.
2. (b)
Contoh kasus dari perilaku memilih dalam pemilu adalah jurnal atau laporan bulanan yang dikeluarkan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI) yang berjudul “Faktor Etnis dalam Pilkada”.[9] Dalam kajian bulanan tersebut dikatakan bahwa di Indonesia masih terjadi perdebatan di kalangan akademisi dan pengamat apakah latar belakang etnis kandidat mempengaruhi pilihan seseorang pada partai atau kandidat. Dalam kajian bulanan tersebut dimaksudkan untuk memperbanyak kajian mengenai kaitan antara etnis dan perilaku pemilih serta objek yang dikaji adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Arena Pilkada member kesempatan kepada kita untuk melihat lebih dalam kaitan antara etnis dengan perilaku pemilih. Dari banyak Pilkada yang telah dilangsungkan, tulisan tersebut memfokuskan pada Pilkada di tiga wilayah: Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan. Tiga wilayah tersebut diambil dengan pertimbangan wilayah tersebut mempunyai perimbangan etnis—ada dua atau tiga suku (etnis) yang dominan. Di wilayah tersebut, muncul calon yang berasal dari etnis berlainan. Dengan kondisi seperti itu akan dilihat apakah pemilih cenderung untuk memilih kandidat yang mempunyai etnis sama dengan dirinya. Apakah kandidat yang kebetulan berasal dari etnis mayoritas mendapat keuntungan dan berusaha “mengeksploitasi” kelebihan itu dalam menarik sebanyak-banyaknya pemilih.
Aspek etnis tampaknya tidak boleh dilupakan perannya dalam Pilkada. Dalam Pilkada Kalimantan Barat, faktor etnis tampak memainkan peranan penting. Pemilih cenderung memilih kandidat yang berasal dari etnis yang sama. Peran ini berkurang dalam pelaksanaan Pilkada di Sulawesi Selatan dan Bangka Belitung. Di dua provinsi ini, sentiment etnis pemilih relatif kecil. Pemilih bisa menerima kehadiran kepala daerah yang berbeda dengan etnis di luar dirinya. Bahkan di provinsi Bangka Belitung, terlihat cukup besarnya pemilih dari etnis Melayu memilih kandidat yang berasal dari latar belakang non Melayu.
Dapat diambil pelajaran dari contoh kasus yang di muat dalam laporan bulanan tersebut, bahwa salah satu perspaktif dalam perbandingan politik, yaitu kulturalis, memiliki pengaruh yang signifikan dalam pilihan pemilih pada saat pilkada. Dari studi tentang daerah di Kalimantan Barat misalnya, ternyata hubungan kultural individu terhadap para calon yang maju seagai kandidat dalam pilkada masih sangat menentukan dan berpengaruh. Ternyata juga, nilai dan perilaku yang dianut oleh masyarakat telah menginternal dengan sangat baik dan nampak terlihat pada saat melakuakn tindakan kolektif memilih calon kepala daerah.
Sampai dengan di sini rupanya identitas kolektif lebih dianut oleh masyarakat daripada pilihan yang rasional. Proses yang terjadi secara tidak formal anatar kaitan identitas dan kesetiaan telah membuat perilaku pemilih lebih cenderung pada orang-orang yang memiliki etnis yang sama. Tapi perspektif ini tidak selamanya berlaku pada saat digunakan di daerah lainnya, sebagai contoh saat penelitian perilaku pemilih yang dilakuakn di provinsi Sulawesi Selatan, di daerah ini sentiment etnis relatif lebih kecil, maka perspektif yang timbul bukan lagi masalah kulturalis, namun sudah pada pilihan yang rasional. Pilihan yang rasional ini cenderung didukung oleh orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih baik, sebab sudah mampu mengumpulkan jawaban-jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan terkait pilihannya tersebut. Bahkan di Bangka Belitung, orang-orang yang bersal dari etnis asli tidak memilih atau lebih cenderung menaruh pilihannya pada kandidat yang berbeda etnis dengannya (mayoritas etnis Melayu).
Jadi kesimpulannya, pada pilkada yang dilakukan dari daerah-daerah yang masih memegang adat dan tradisi setempatnya dengan sangat kuat dan belum terlalu terpengaruh oleh unsusr-unsur kebudayaan luar, perilaku pemilihnya masih sangat dipengaruhi oleh perspektif kulturalis. Tindakan individu dalam gerak kolektifnya merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang menginternal dalam dirinya. Namun tantangan bagi daerah-daearah seperti ini (umumnya di Indonesai), tidak akan berlangsung terus-menerus. Pendidikan, kemajuan teknologi, akses komunikasi dan lainnya, telah membuat pikiran orang-orang kepada hal-hal yang lebih rasional dan menguntungkan bagi dirinya (self interest). Politik tidak bisa dibangun sacara terus-menerus melalui pendekatan yang tradisional, maka untuk itu perlu adanya pendidikan politik dan sosialisasi terkait informasi pilkada yang lebih masif lagi agar masyarakat Indonesia juga lebih cerdas dalam memilih.
[1] Jean Erik Lane dan Svante Ersson dalam Comparitive Politics: An Introduction and New Approach, Polity Press: Cambridge, UK, 1994, hal. 26
[2] The Importansce of Comparison, dalam Reading Kit Kuliah Perbandingan Politik, Depok, Januari 2004
[3] Riaty Raffiudin, Pembentukan Teori dan Metode dalam Politik Perbandingan, baha bacaan kuliah II, Perbandingan Politik.
[4]Todd Landman, Issues and Methods in Comparative Politics: An Introduction, (Third Edition), Routledge, 2008, hal. 86
[5] Nur Iman Subono, Demokrasi dan Buruh: Kajian Teoritis dan Komparatif, Jurnal Ilmu Politik (POLITEA, Volume 1, No. 1, Februari 2007), diterbitkan oleh Departemen Ilmu Politik Fisip UI
[6] Todd Landman, Issues and Methods in Comparative Politics: An Introduction, (Third Edition), Routledge, 2008, hal. 64
[7] Todd Landman, Issues and Methods in Comparative Politics: An Introduction, (Third Edition), Routledge, 2008, hal. 159
[8] B. Guy Peters, Institusional Theory In Political Science: The New Institusionalism, Bahan Review Kuliah Perbandingan Politik, 15 Maret 2011
[9] Faktor Etnis dalam Pilkada, Kajian Bulanan LIngkaran Survei Indonesia (Edisi 09, Januari 2008)
0 Response to "Melihat Perbandingan Politik"
Posting Komentar