Terorisme: Apa Benar sebuah Tantangan bagi Demokrasi ?


Peristiwa 11 September (911) dinilai oleh banyak pengamat sosial di Barat sebagai sebuah tintik puncak kulminasi hubungan ketegangan antara Islam dengan Barat (sekularisme, Liberalisme, dan globalisasi). Diserangnya dua menara kembar—ikon kapitalisme—di negara asal paham-paham yang sudah disebutkan sebelumnya berkembangbiak, telah menyulut lahirnya genderang perang melawan terosisme (dengan Islam sebagai fokus utamanya) di seluruh dunia. Liberalisme dan kapitalisme sebagai sebuah paham yang diperangi oleh kelompok-kelompok radikal Islam justru mentransformasikan dirinya menjadi lebih ‘adidaya” dan satu-satunya nilai yang diagungkan oleh banyak negara sebagai sebuah kebaikan bersama pascaperistiwa tersebut (lihat bagaimana gencarnya paham neo-liberalisme pasca peristiwa 911, tidak hanya di bidang ekonomi, tapi juga politik dan sosial).
Pernyataan umum yang sering disuarakan oleh Amerika saat pemerintahan Presiden G W. Bush saat itu adalah bahwa terorisme telah menjadi musuh demkrasi, artinya keberadaan dan segala aksinya telah merusak kebaikan bersama tatanan dunia yang setidaknya sampai saaat ini pun masih sangat mempercayai demokrasi. Dalam beberapa pidato Bush, di dalam kongres Amerika pun menilai bahwa perjuangan melawan terorisme adalah perjuanan memperjuangkan keadilan. Inilah yang kemudian menjadi semacam justifikasi bagi Barat untuk meginvasi negar-negara Timur Tengah yang masyoritas muslim, dinilai tidak demokratis, dan sarangnya teroris. Pemikiran semacam ini pun rupanya tidak lepas dari paradoks dan tanda Tanya sebagian kita. Jika memang nilai-nilai dan dasar kemanusiaan yang Amerika dan Barat perjuangakan—ketika menyerang negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam—kenapa justru cara yang mereka lakukan pun seringkali tidak kalah brutalnya dengan teroris ketika peristiwa 11 September.
Penulis sepakat jika terosisme adalah musuh bersama masyarakat di dunia karena dampak dan penderitaan yang disebabkannya. Tapi semakin memahami lebih jauh, rasanya berlebihan pula jika konstruksi yang dibangun Barat dalam memaknai terorisme selalu dikaikan dengan Islam, radikalisme Islam, dan ketidakdemokratisan ideologi Islam. Pandangan yang ada dan dibangun sekarang adalah bagaimana demokrasi itu juga masuk ke negara-negara Islam yang belum menggunakan sistem demokrasi agar aksi radikallisme dapat diminimalisir. Maka yang menjadi pertanyaannya adalah apakah hal ini hanya sebuah musuh bayangan yang sengaja dibangun dengan alasan atau motif yang semata-mata adalah murni ekonomi ketika negara-negara mayoritas Islam (seperti di Timur Tengah) belum demokratis ? seperti contoh penguasaan kilang-kilang minyak melalui investasi yang ditanamkan setelah demokrasi benar-benar diterapkan. Pertanyaan kedua, apakah setelah serangkaian kasus terorisme  yang terjadi, justru menguatkan eksistensi dari demokrasi itu sendiri ? sebab penulis menilai tanpa kampanye demokrasi pun, masyarakat akan berpandangan bahwa radikalisme adalah sebuah pemahaman yang salah dan tidak membawa perbaikan apa-apa kecuali kerusakan dan keresahan

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Terorisme: Apa Benar sebuah Tantangan bagi Demokrasi ?"

Posting Komentar