Kritik Terhadap Perspektif Neo-Institusionalis dan Desentralisasi di Indonesia

Kritik Terhadap Perspektif Neo-Institusionalis dan Desentralisasi di Indonesia[1]
Sebagai bagian dari wacana dan teori pembangunan, desentralisasi sudah menjadi sebuah fenomena global dan regional seperti yang diungkapkan oleh Bank Dunia (di Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dan ain-lain), dan ramai didiskusikan saat ini dalam literatur pembangunan Neo-Institusionalis. Perspektif ini banyak diproduksi oleh intelektual dan organisasi-organisasi pembangunan dunia seperti Bank Dunia atau USAID (United States Aids for International Development) yang mendefinisikannya sebagai aliran pemikiran pembangunan dari berbagai macam institusi (pasar, keluarga, hukum, dan sebagainya) berdasarkan asumsi-asumsi teori ekonomi neoliberal.
Secara singkat dimaksudkan bahwa perspektif ini lahir dari lembaga pembangunan seperti yang disebutkan diatas dengan fokus perhatiannya pada hal desentralisasi dan demokrasi serta hubungannya, partisipasi, pertanggungjawaban, dan pemeliharaan civil society/modal sosial dengan menekankan unsur pilihan, maksudnya adalah bahwa konsep desentralisasi ini bagi negara-negara atau daerah tertentu dapat disesuikan berdasarkan kebutuhan, karakteristik, dan capaian nilai-nilainya. Dengan begitu, sangat diperhatikan sekali sebuah jalannya pemerintahan lokal atau daerah yang bersifat teknokratis, bebas dari terjadinya konflik (kepentingan, ekonomi, dan lain-lain), dan hubungan kesetaraan dalam pemerintahan, agar kebijakan yang dihasilakan dapat efektif, efisien, akuntabel, dan rasional (praktik pemerintahan yang baik dan partisipasi yang lebih luas).
Pertanyaannya adalah apakah konsep seperti ini benar-benar bebas nilai dan bisa dijalankan dengan asumsi-asumsinya yang apolitis ? pada kenyataannya adalah tidak, setidaknya sampai saat ini di Indonesia pascajatuhnya rezim Soeharto, dimana masyarakat lokal pun penuh dengan kontestasi dan perebutan kekuasaan (asumsi politik). Akhirnya timbul perdebatan dan kritik-kritik terhadap perspektif Neo-Institusionalis jika melihat banyaknya hal yang kontradiktif dengan praktik lapangannya di Indonesia. Pembangunan sosial dengan perspektif ini lebih jauh menurunkan lagi konsep-konsep yang saling berkaitan, mulai dari perlunya civil society di dalam masyarakat, modal sosial yang dibentuk (hubungan saling percaya antara rakyat dan pemerintahnya maupun di kalangan aktor itu sendiri), good governance, dan desentralisasi itu sendiri yang terfokus pada partisipasi lokal dalam pembuatan kebijakan.
Badan pembangunan internasional nampaknya terlalu “memanjakan” konsep Neo-Institusionalisme dan terlalu memuji negara-negara berkembang dalam hal desentralisasi, contohnya adalah Indonesia. USAID misalnya, mengatakan bahwa Indonesia telah dengan cepat bergerak dari masa-masa kontrol pusat yang begitu kuat menuju suatu sistem pemerintahan lokal yang jauh lebih terdesentralisasi dan otonom. Jelas pernyataan ini tidaklah begitu bersesuaian pada kenyataannya.
Kelemahan lain utuk menggambarkan bagaimana sebenarnya kelemahan Neo-Institusionalis begitu jelas adalah kenyataannya sering kali terdapat berbagai kepentingan yang bersaing dalam civil society itu sendiri, bahkan koleh jadi kelompok-kelompok civil society yang menonjol jadi sangat antidemokrasi dan antibarat. Dari sini jelas kita lihat bahwa civil society sebenarnya sangatlah sarat dengan konflik dan kepentingan, hal inilah yang rupanya tidak diamati oleh Bank Dunia dan USAID, atau jangan-jangan sengaja untuk tidak melihatnya karena maksud tertentu.
Dalam literatur World Bank Group sering dikatakan bahwa desentarlisasi mungkin akan membantu mengurangi kemacetan dalam pembuatan keputusan yang seringkali disebabkan oleh perencanaan dan kontrol pemerintah pusat atas kegiatan ekonomi dan sosial. Desentralisasi juga sering dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan seperti inovasi, kreatifitas, serta penyediaan wadah seperti eksperimentasi lokald alam pemerintahan yang efektif.
Sekilas nampak penjelasan di atas baik-baik saja dan tidak mengandung unsur negatif, tapi sekali lagi kita tidak boleh mengabaikan sifat predatoris para aktor lokal yang juga ikut terdesentralisasi bersamaan dengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Inovasi dan eksperimentasi pemerintaha lokal bisa ditafsirkan berbeda dan disalahgunakan. Contohnya adalah kasus korupsi yang marak menjerat para pejabat daerah, hal itu dimungkinkan karena luasnya kekuasaan dan kewenangan untuk mengelola anggarannya sendiri, terlebih didukung oleh para preman-preman dan bandit lokal di dalam pemerintahan daerah. Untuk daerah lainnya kita juga bisa melihat bagaimana gagalnya pemerintahan lokal dan desentralisi diterapkan di Afrika. Di Filipina juga ada yang disebut “Bos Politik Lokal”, yang uniknya lagi mereka juga bisa digolongkan ke dalam kelas teknokrat atau kelas menengah, sebab meski merupakan keturunan lokal yang menguasai suatu daerah tertentu, mereka mengenyam pendidikan di Barat dan cukup dekat dengan model pemerintahan yang teknokratis.
Menurut Vedi Hadiz, dalam kenyataannya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah keseimbamgan yang sebenarnya antara otoritas pusat dan regional jauh kurang berkenaan dengan pembagian kerja dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih merupakan perebutan nyata atas sumberdaya-sumberdaya politik dan ekonomi. Akhirnya sebagai sebuah kesimpulan dapat dikataan bahwa kemenangan kepentingan-kepentingan predator dalam perebutan kekuasaanlah yang memiliki implikasi yang paling penting bagi desentralisasi dan demokrasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan keberhasilan membangun kembali diri mereka (predator) dalam  demokrasi baru. Dengan demikian, desentralisasi tidak mungkin menghasilkan suatu jenis pemerintahan teknokratis yang baik sebagaimana yang diidealkan dalam kerangka Neo-Institusionalis.







[1] Vedi R Hadiz, “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, 2005, Jakarta: LP3ES

Read Users' Comments (2)

2 Response to "Kritik Terhadap Perspektif Neo-Institusionalis dan Desentralisasi di Indonesia"

  1. Unknown, on 7 Desember 2015 pukul 17.25 said:

    Terimakasih mas postingannya...

  2. Sering Sharing, on 11 Mei 2016 pukul 21.30 said:

    Sama-sama, Mas..

Posting Komentar