Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Indonesia
Hak Asasi Manusia yang dijadikan sebagai parameter di dalam pembangunan sebuah negara salah satunya dibahas oleh Tini Hadad dalam Jurnal HAM Vol. 3 tahun 2005 yang diterbitkan oleh KomnasHAM. Di dalam review ini akan membahas tentang tulisan di jurnal tersebut terkait hubungan antara tujuan pembangunan Millenium (MDGs) dengan Hak Asasi Manusia dalam konteks parameter untuk dijadikan pengukur keberhasilan suatu negara pada saat ini, khususnya Indonesia.
Secara umum yang telah kita ketahui bahwa negara kita Indonesia telah merdeka lebih dari 60 tahun. Pertanyaan awalnya adalah apa yang telah dihasikan atau kemajuan apa yang telah dicapai secara fisik maupun nonfisik oleh negara kita ini selama masa kemerdekaannya ?, apakah benar sudah terjadi kesetaraan pembangunan antara yang bersifat fisik seperti pembangunan gedung dan infrastruktur dengan yang bersifat nonfisik seperti keterjaminan akan pelayanan umum, akses pendidikan, kesehatan dan kebebasan yang terjamin, dll ?. Lebih besar lagi yang patut kita cermati adalah mengenai kemerataan pembangunan yang dirasakan oleh rakyat dan sudah dirasakan oleh semua orang dari barat sampai timur atau belum. Data yang menunjukan, masih banyaknya warga Indonesia yang prihatin hidupnya (-+ 30%) dan antara 7-9% rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu dengan pendapatan kurang dari 1 dollar AS per-harinya. Melihat hal tersebut nampaknya bukan Indonesia saja yang kelihatan”kasihan”, namun sebenarnya banyak pula negara-negara lain yang tergolong miskin dan sedang dalam tahap pembangunan. Lebih jelasnya jika kita melihat negara-negara di Afrika kebanyakan. Negara-negara yang kita sedang bicarakan ini sebenarnya kaya dengan sumber daya alam.
Ketersediaan barang tambang, jumlah air yang mencukupi, tanah yang subur dan tidak terhalangnya pertanian oleh pergantian musim. Menjadi sangat prihatin karena kualitas sumber daya manusianya yang rendah dan sangat dekat sekali dengan praktik-praktik korupsi. Jelas terlihat jika kita mencermati pola pemangunan dan kebijakan yang dilahirkan. Rasa-rasanya jarang yang berpihak pada masayarakat miskin, banyak kebijakan yang dibuat hanya untuk menguntungkan sebagian orang saja. Intinya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Sepanjang orde baru sering kita mendengar tentang jargon pembangunan pemerintah, yaitu Trilogi Pembangunan. Sebenarnaya semua tujuan dan harapan yang dikandungnya adalah baik, pertumbuhan ekonomi, kestabilan ekonomi dan pemerataan ekonomi adalah poin-poin ideal yang selalu dicita-citakan oleh setiap negara. Tapi apa benar pemerataan dan kestabilan itu terjadi ?. Selama fase tersebut (beberapa tahun setelah merdeka) memang terlihat pertumbuhan ekonomi terjadi khususnya di pulau Jawa. Ironisnya adalah pembangunan yang terjadi di luar pulau Jawa seperti jalan di tempat saja, tidak mengenal pertumbuhan dan seakan kian jauh dari Ibu Kota. Inilah yang membuat jurang perbedaan semakin “mengangnga” terlebih dengan lahirnya kroni-kroni penguasa yang memanfaatkan kedekatannya dengan pemegang kebijakan sehingga mudah untuk terjadinya kolusi dan intervensi satu pihak terhadap pihak yang lain, dengan kata lain penguntungan pada diri sendiri jelas terlihat adanya.
Melihat itu semua, negara-negara di dunia bersama PBB sepakat untuk bersama-sama memerangi kemiskinan agar kehidupan seluruh umat manusia di dunia ini bisa menjadi lebih layak dari sebelumnya. Walaupun Indonesia tidak termasuk negara dalam perhatian “khusus, tetapi jika melihat tingkat Human Development Index Indonesia di atas angka 100 (110) dari 170 negara, jelas kita sama sekali belum mencapai tingkat yang dapat dikatakan memenuhi kriteria negara yang “aman sejahtera”1.
Selanjutnya sebagai bentuk nyata negara-negara PBB tersebut, pada September 2000 dalam Millenium Summit dikeluarkanlah deklarasi untuk bekerjasama dalam menanggulangi masalah penting dunia yang meliputi2.
1. Menjaga perdamaian, ketahanan, dan mengurangi persenjataan.
2. Menjalankan pembangunan dan mengurangi kemiskinan.
3. Menjaga dan melindungi lingkungan.
4. Menegakkan Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan tata pemerintahan yang baik.
5. Memberikan perlindungan pada masyarakat rentan serta miskin.
6. Memberikan bantuan khusus pada negara-negara Afrika.
Jiak dicermati lebih dalam poin-poin dalam kesepakatan tersebut memiliki nilai-nilai penting dalam penegakan HAM di manapun di seluruh dunia dan dapat dijadikan parameter paembangunan sebuah negara. Kesetaraan dan keadilan sosial, beserta segala macam keberagamannya di dalam kehidupan bermasyarakat adalah asset yang tak ternilai harganya. Satu hal lagi yang menjadi perhatian dalam kesepakatan tersebut dan kaitannya dengan upaya penegakan Ham adalah sistem pembangunan yang berkelanjutan, baik dalam sisi sumber daya alam maupun kebijakan-kebijakan yang tidak hanya memihak orang-orang yang hidup saat itu, melainkan mereka yang hidup setelahnya juga.
Akhirnya masalah ini menjadi persoalan serius dan penting untuk terus digalakkan karena berbagai macam program yang ada dan disusun oleh pemerintah masing-masing negara maupun kerjasama pemerintah di regional dan kawasan tertentu sering tejadi adanya ketidaksetaraan dalam penikamatan kebijakan global dengan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia sendiri, walaupun dalam Undang-undang No. 39/1992 tentang Hak Asasi Manusia terdapat beberapa ayat yang berkaiatn erat dengan MDGs, masih saja saya melihat kemiskinan tumbuh subur seperti terawat dan inilah sebenarnya pangkal dari segala permasalahan yang ada termasuk turunan-turunan masalah lainnya. Hal-hal berkaitan dengan hak hidup, lingkungan yang baik, kesetaraan antarjender menjadi poin yang banyak dibicarakan dalam hal tersebut namun berjalan lambat dalam pertumbuhan pengupayaannnya.
Penjelasannya menurut saya kenapa penerapan HAM begitu terkesan lambat diterapkan di Indonesia adalah karena faktor budaya Matrilineal dan penganutan pada sistem adatnya yang kuat dan dirasa lebih memiliki nilai moral dibandingkan pengadopsian nilai-nilai barat seperti yang terdapat dalam MDGs walaupun di Indonesia sendiri sudah diundang-undangkan. Akan menjadi pembahasan yang panjang jika hanya mendebat soal kenapa menjadi seperti itu, tapi yang jelas ini adalah nilai-nilai universal yang juga diajarkan oleh semua agama dan pada prinsipnya hampir semua kalangan masyarakat dan berbagai suku di Indonesia menerima nilai-nilai dan upaya penegakkan HAM tersebut.
Seperti disinggung pada bagian awal, banyaknya kroni-kroni yang dekat dengan pengusa dan berupaya menggampangkan agar terciptanya kebijakan yang menguntungkan dirinya sendiri adalah salah satu faktor utama pengawet adanya kemiskinan baik mental maupun fisik di Indonesia. Sekarang kita akan bahas lebih rinci per-poin Hak Asasi Manusia dalam amanat MDGs terkait hubungannya dengan upaya pembangunan di Indonesia. Pertama adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan.
Saya sejujurnya kurang sepakat jika masalah tanggungjawab atas kemiskinan sepenuhnya disematkan kepada pemerintah, walaupun UU yang ada mengatakan jelas seperti itu, tapi di dalam negara kesatuan yang katanya sangat demokratis ini menjadi terkesan sosialis jika hanya mengharapkan keijakan dari pemerintah semata dalam menaggulanginya. Perlu ada peran serentak dari seluruh lapisan masyarakat dari yang paling bawah hingga mereka yang tingkat ekonominya tinggi di atas rata-rata orang Indonesia kebanyakan. Disamping itu, upaya ini haru pula aktif dilakukan dua arah, di satu sisi mereka yang berkemampuan turut memberikan bantuan dan perhatiannya, di sisi yang lain sebagai pihak yang seharusnya ditolong juga harus menunjukan itikad baik dan mendukung program-program yang dijalankan, jangan sampai terjadi keegoisan di salah atu pihak dan timbul kebencian-kebencian akibat rasa saling tidak percaya.
Kedua dalah mencapai pendidikan dasar yang universal. Pendidikan seyogianya adalah hak mendasar setiap anak, pemerintah selalu berjanji untuk mengadakan pendidikan wajib 9 tahun pada masyarakatnya, namun di lapangan masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan tidak menamatkan pendidiakn dasarnya (SD). Di dalam jurnal yang ditulis oleh Tini Hadad ini sebenarnya saya tidak sepakat jika pernyataannya pemerintah telah gagal dalam menyelenggarakan pendidikan. Menurut saya, dalam progresnya anggaran yang dialokasikan untuk bidang pendidiakn yang diambil dari APBN selalu meningkat tiap tahunnya dan banyak memberikan prestasi memuaskan pada bidang lainnya walaupun di beberapa sisi yang lain masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga. Misalnya saja kesejahteraan guru dan program pengadaan fasilitas yang tiada henti dilakukan. Saya menilai dalam jurnal ini terlau menggeneralisir satu kesalahan menjadi sebuah kegagalan yang mutlak padam bidang yang luas. Harusnya kita berupaya memandang dari kaca mata berbeda dan tidak mengabaikan kebaikan yang dihasilkan walaupun belum sepenuhnya memuaskan orang banyak.
Permasalahn lain dalam bidang pendidian terkait banyaknya angka putus sekolah juga perlu pemahaman yang cermat dan tidak cepat untuk menyimpulkan penyebabnya. Anak-anak yang gagal meneruskan sekolah, tamatan SD yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tamatan perguruan tinggi, dan timbulnya tren negatif semakin tinggi tingkat pendidikan maka berbanding terbalik dengan jumlah pelajarnya. Fenomena ini harus dipahami secara sosio-historis dan bersifat kebudayaan. “Keengganan” meneruskan pendidikan memang banyak didasari oleh ketiadaan biaya untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, namun faktor yang bersifat budaya punya peranan yang lebih kuat dan tidak bisa kita serta merta menyataknnya ini sebagai sebuah pelanggaran HAM dibidang akses pendidikan.
Masyarakat Indonesia yang kuat memegang teguh kebudayaannya lebih menilai pengabdian kepada orang tua adalah hal yang didahulukan, jadi ketika harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya, kebanyakan anak-anak Indonesia kekurangan motivasinya untuk berjuang memperoleh pendidikan itu kembali. Justru kebalikannya, mereka melakukkan itu dengan senang hati dan dan dibumbui nilai-nilai kepatuhan pada orang tua, walaupun orang tuanya sendiri tidak memaksakan untuk bekerja saja membantu meringankan beban orang tua.
Solusi dari permasalahan ini bukanlah mencari terlebih dahulu pihak mana yang harus disalahkan, tapi berkacalah pada sejauh mana upaya telah dilakukan. Bagi saya perlu ketika pendidikan moral itu menjadi sesuatu yang fundamental dalam pendidikan dasar kita, bukan bermaksud untuk merubah tatanan budaya yang ada di masyarakat, tapi perlu adanya koreksi budaya melalui pembicaraan yang melibatkan orang-orang terkait seperti pemimpin adat dan pemuka masyarakat. Perlu pemilahan dan konstruksi membangun untuk memilah-milah kembali nilai-nilai mana saja yang harus dipertahankan dan mana yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.
Selanjutnya yang ketiga adalah mempromosikan persamaan jender dan pemberdayaan perempuan. Seperti pada bidang pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya, terjadinya tren negatif yang menunjukan gejala berbanding terbalik antara semakin meningginya tingkat pendidikan dengan partisipasi golongan usia tertentu terhadap tingkat pendidikan tersebut. Pada kaitannya dengan jenis kelamin/jender kali ini pun terdapat persamaan gejala berbanding terbalik yang sama pula pada kelompok jenis kelamin perempuan. Terlihat jelas pada budaya Matrilineal yang lebih mendahuluukan laki-laki terlebih dahulu daripada perempuan dalam hal mendapatkan kesempatan kerja (kecuali pada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memerlukan keterampilan dan keahlian khusus, seperti pada idustri-industri elektronik)3. Pemikiran seperti inilah yang sering diangggap mendeskripsikan kaum prempuan dan meminimalkan perannya, bahkan ada upaya-upaya dari sekelompok orang untuk mendomestikan perempuan.
Keempat adalah mengurangi jumlah kematian anak. “Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidupnya”4, begitulah Undang-undang kita menyatakan tentang perhatiannya terhadap kehidupan seseorang, baik masih dalam kandungan hingga orang-orang lanjut usia yang terkadang membuat kita tersenyum getir melihat kontradiksinya di masyarakat. Kekurangan gizi, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dan berbagai penyakit seperti diare, TBC, kolera dll, seakan akrab dengan bayi dan balita di kebanyakan masyarakat Indonesia. Ditarik kesamaan dari itu semua nampaknya faktor kemiskinan adalah yang paling dominan dan menjadi biang akar rumputnya permasalahan tadi. Dalam pandangan saya, kejadian itu semua bukanlah kejadian yang begitu saja bahkan diinginkan oleh masyarakat yang “menderita” tadi. Seperti apa alasannya sepertinya kita semua akan mahfum dan saling menyadari dan tidak perlu bagi saya untuk membahas lebih jauh.
Meningkatkan kesehatan ibu. Sebagai poin ke-lima dalam MDGs terdapat amanat yang ingin disampaikan dalam poin ini adalah bagaimana kesahatan reproduksi harus dipelihara sejak wanita berusia dini, ketika mulai mendapat haid, bahkan ketika masih anak-anak. Saya sepakat dengan pernyataan Tini Hadad mengenai poin ini, karena bagimanapun perhatian terhadap kesehatan ibu sangat menentukan masa depan sebauh bangsa. Sehat dan sakitnya seorang anak banyak terpengaruh oleh sehat dan sakitnya seorang ibu juga. Seperti kita ketahui bahwa pertumbuhan seorang anak tidaklah dimulai ketika bayi dilahirkan di dunia, melainkan dimulai sejak saat berada dalam kandungan. Jika saja gizi seorang ibu pada saat mengandung dapat terjamin maka besar memberikan andil pada perkembangan otak bayi yang dikandungnya, akibat fatal jika hal tersebut tidak diperhatikan adalah perkembangan otak bayi yang tidak sempurna, sehingga IQ mereka rendah dan akan berakibat pada generasi yang tidak cerdas atau biasa disebut sindrom otak kosong (lost generation).
Ke-enam dalam salah satu poin MDGs yang berkaitan dengan HAM dan menjadi parameter dalam pembangunan suatu negara adalah upaya mengurangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain. Sejak pertama kali virus ini diketemukan di Indonesia pada tahun 1987 di daerah Bali penyebarannya terus meluas dan menjadi ancaman serius dalam fase penting pertumbuhan sebuah negara yang sedang berkembang. Menurut World Health Organization (WHO) angka besar jumlah kasus, pasien dan korban meninggal akibat penyebaran virus ini dari data yang ada sebenarnya adalah sebuah fenomena gunung es, dimana angka penderita HIV/AIDS sebenarnya jauh lebih banyak lagi, atau 1000 kali lebih banyak seperti yang diungkapkan oleh Tini Hadad dalam jurnal ini. Angka pasti tidak diketahui karena banyak penderita HIV/AIDS tidak sadar bahwa mereka terjangkit penyakit tersebut dan tidak pernah memeriksakan diri5. Perhatian pada pembahasan poin ini adalah bahwa kalangan atau kelompok usia yang paling banyak terjangkit penyakit menular ini adalah masyarakat kelompok usia produktif dan reproduktif, inilah permasalahannya, seharusnya di usia inilah tenaga mereka dibutuhkan dalam pembangunan nasional dan urat nadi perekonomian sebuah negara.
Dua poin terakhir dalam review jurnal ini adalah menjamin kelestarian lingkungan dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Pasti semua pemerhati HAM sepakat jika program dan kesepakatan yang telah dibuat oleh bangsa-bangsa ini baik dan sangat ideal jika diterapkan, namun masalahnya terletak pada pelaksanaannya dilapangan dan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang ada secara menyeluruh, karena pasti kita sepakat kembali bahwa permasalahan ini saling terkait satu sama lain. Keterbatasan data yang kita miliki tentang kemiskinan saja misalnya, kita belum tahu pasti dan ini akan terus menjadi permasalahn serius, sebab program yang dirancang pun tidak akan maksimal.
Bukan untuk mengurangi maksud baik tulisan yang terdapat dijurnal tersebut, tapi jika hanya banyak menyajikan data dan kritik namun tidak ada solusi yang dapat meberikan kontribusi menyelesaikan masalah sama saja kita menutup mata dan telinga namun membiarkan mulut bicara tidak menentu. Satu perhatian dan konsentrasi saya sejak awal membaca dan mengulas lebih dalam jurnal HAM yang menurut saya sangat mencerdaskan ini adalah mengenai pendidikan dasar yang secara massif mengajarkan tentang nilai-nilai keragaman dan harga diri sebuah bangsa dalam era pembangunan global. Maksud saya bukan untuk merekonstruksi ulang atau menentang budaya timur kita yang sudah ada, tapi sudah saatnya kita bangun dari tidur 65 tahun dalam kebebasan semu. Sejak dini anak-anak kita harusnya bukan hanya belajar untuk mengenal keadaan sekitar, namun harus tau semangat bangsa-bangsa lain dan jatidirinya sendiri sebagai bangsa yang besar, agar nantinya mampu bersaing di tengah perkembangan global yang terus mendesak keterampilan dan keahlian masyarakat.
1Tini Hadad. Hak Asasi (HAM) ManusiaSebagai Parameter Pembangunan. Jurnal HAM, vol. 3, tahun 2005. Penerbit KomnasHAM. Hal 44
2 Ibid., hal. 44-45
3 Ibid., hal. 50
4 Terdapat di dalam pasal 53 Undang-undang No. 39/1999 tentang HAM ayat (1)
5 Ibid., hal. 54
� ] h n �� �?� ian orang-orang yang mendukug sistem ini. Mereka beralasan bahwa monarki absolute ini sesunggunya berakar pada tradisi otoritas paternal, merupakan kopian kerajaan Tuhan di bumi, dan cermin kekuasaan tunggal ilahi.2,3 Perdebatan Locke dengan Sir Robert Filmer
Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu. Locke adalah penentang gigih monarki absolut di negaranya, karena bertentangan dengan prinsip civil society diyakininya.[3] Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.[4]
Sehingga terkenal sebuah perdebatan Locke yang menetang sistem monarki absolut dengan Sir Robert Filmer yang mempertahankan pemikiranya tentang kekuasaan absolut tersebut. Pandangan Filmer ini sangat mengunggulkan wewenang politis raja karena alasan auctoritas paterna (wewenang selaku ayah) dari Nabi Adam yang diterimanya dari Tuhan dan kemudian diteruskan kepada para raja.[5] Jadi, menurut Filmer, raja, seperti Adam, menerima wewenangnya langsung dari Tuhan dan oleh karena itu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atau parlemen.
Apabila disimpulkan, filsafat negara Filmer tersebut berpuncak pada dua tesis penting, yaitu (1) setiap kekuasaan bersifat monarki mutlak, dan (2) tidak ada orang yang lahir bebas. Dua hal ini kelak ditolak oleh Locke. Sedangkan itu, Locke berpandangan dalam perdebatannya tersebut bahwa kitab suci (injil) sesungguhnya tidak membenarkan kekuasaan tirani yang sewewnag-wenang tanpa tanggung jawab, justru dalam kitab suci sendiri diajarkan tentang pembatasan-pembatasan kekuasaan yang bersifat sekuler. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Filmer mengenai kekuasaan.
Hal lain yang dikritisi Locke dari Filmer adalah tentang kekuasaan, bahwa locke menilai penguasa bukan berasal dari Tuhan atau diwariskan turun-temurun, melainkan kekuasaan merupakan produk perjanjian sosial antara warga negara dengan penguasa negara sebab manusidilahirkan dengan kesamaan derajat. Pada kesimpulannya Locke menganggap bahwa kkeuasaan absolut adalah antitesis dari kebebasan.
2.4 State of Nature
Seperti pemikir sebelumnya termasuk Hobbes, Locke pun membahas eksistensi negara dengan mendasari pada keadaan alamiah manusia (state of nature). Banyak ilmuan lain saat ini juga membandingkan Locke dengan Hobbes sebagai sebuah hubungan yang anti-tesis, sebab konsep negara yang dikemukakan oleh Locke sangat berbeda dengan Leviathannya Hobbes. Menurut Ahmad Suhelmi, asal muasal pemerintahan adalah suatu keadaan alamiah. Keadaan alamiah menurut Locke merujuk pada keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tidak ada rasa takut dan penuh kesetaraan[6].
Locke berpendapat bahwa kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintahan yang memiliki kewenagna yang terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama sekali dan berkedudukan sama (perfectly free and equals)[7]. Karena bebas dan berkedudukan sama, tiada orang yang bermaksud merugikan kehidupan, kekbebasan, dan harta milik orang lain. Manusi bersifat rasional karena dialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal budi. Locke sebagaimana ditulis oleh Manning percaya akal akan selalu membuat manusia berprilaku rasioanal dan tidak merugikan manusia lain. Ini karena akal budi tidak lain adalah hukum alam yang dikatakan Locke memiliki sifat-sifat ketuhanan atau Locke menyebut akal sebagai “suara tuhan” (reason is the voice of god).
Jadi setidaknya terdapat tiga poin utama dari pemikiran John Locke tentang State of Nature, yaitu : (1) Dalam keadaan alamiah manusia itu bebas untuk menentukan dirinya dab menggunakan miliknya dengan tidak tergantung oleh kehendak orang lain. (2) Semua manusia juga sama dalam arti bahwa bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. (3) Manusia secara alamiah sebenarnya baik, maka keadaan alamiah nampak sebagai “a State of Peace, Good Will, Mutual Assistance, and Preservation”.
2.4 Pengaruh pemikiran State of Nature John Locke
2.4.1 John Locke Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Tidak boleh sesorang atau individu tertentu lebih tinggi dari pada individu yang laina atau dkenal dengan keadaan sub-ordinasi, kecuali keadaan tersebut bagi seorang penguasa dan pemimpin.[8] Artinya tidak dimaknai bahwa keadaan masyarakat itu memungkinkan dan membolehkan manusia untuk berbuat sekehendak hatinya. Nilai-nilai moral yang dijarkan diantaranya bahwa manusia sebagai individu tidak boleh saling membalas yang menghancurkan dirinya dan orang lain, sebab keadaan alami memiliki sebuah hukum alam untuk mengaturnya. Hukum alam menurut Locke bersifat normatif[9]. Hukum ini menyuruh orang bagaimana seharusnya ia bersikap, bukan bagaimana sebenarnya ia bersikap. Sikap yang dikemukakan oleh Locke inilah yang kemudian membuat ia lebih dikenal sebagai Bapak HAM dunia.
Dalam bukunya “Etika Politik” Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa Locke dikenal sebagai pelopor HAM, sebab menurutnya hak untuk hidup adalah sesuatu yang terpenting, dan manusia penting pula mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk hidup inilah kemudian ia mengembangakan hak atas milik. Dengan demikian, pada dasarnya manusia sudah mengenal hubungan-hubungan sosial, maka mungkin sekali untuk menghindari perpecahan dan hal-hal yang memicu peperangan.
2.4.2 Keadaan Alamiah Berubah Setelah Diketemukannya Uang
Setiap manusia berhak mendapatkan ”milik pribadi” karena manusia juga makhluk pencari milik pribadi. Ramlan Surbakti juga menambahkan bahwa fungsi pemerintah menurut Locke adalah melindungi ”milik pribadi”, yakni perdamaian, keselamatan dan kebaikan bersama setiap waarga masyarakat. Milik pribadi ini dapat dijamin dengan menempatkan hukum sebagai patokan atas benar dan salah, memiliki hakim-hakim yang tidak pandang bulu dengan kewenangan untuk memutuskan semua perselisiha, dan memiliki kewenangan untuk menegakan hukum.
Tetapi sesudah itu keadaan berubah setelah uang diciptakan. Sebelum uang ada, perbedaan kekayaan antara manusia tidak begitu menyolok karena orang tidak akan mengumpulkan lebih daripada apa yang dapat dikonsumsi sendiri. Manusia tidak boleh mengambil lebih banyak produk alam dan tanah daripada apa yang diperlukannya.
Dengan penciptaan uang batas alamiah terhadap akumulasi kekayaan yang berlebihan hilang. Secara ekonomis sekarang masuk akal untuk mengusahakan kekayaan melebihi kemampuan konsumsi karena dapat disimpan dalam bentuk uang. Ketidaksamaan alamiah sekarang memainkan peranannya. Mereka yang lebih terampil dan rajin akan menjadi kaya dan lebih cepat. Dengan sendirinya akan timbul perebutan. Hal ini bisa bepotensi pada konflik atau peperangan[10]. Manuusia menjadi tekun, rajin, dan gigih bekerja mengolah alam anugrah tuhan dan semakin banyak orang memproduksi kebutuhan hidupnya yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi capital kemudian semakin berkembang menciptakan suatu keadaan masyarakat yang disebut dengan kesenjangan sosial. Orang-orang miskin semakin tersisih dan menyimpan rasa benci serta marah kepada para kaum kapitalis yang terus-terusan mengakumulasi kapitalnya.
2.4.3 Perjanjian Masyarakat dengan Negara
Pemikiran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara didirikan juga untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik tetapi juga kehidupan dan kebebasan. Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah hak-hak yang tidak asing dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama.
BAB 3
KESIMPULAN
John Locke dengan kehidupan dan latar belakang historisnya memiliki hubungan yang kuat dengan konsep state of nature yang ia kemukakan. Berbeda dengan konsep yang diutarakan oleh para pemikir politik sebelumnya seperti Hobbers dan Filmer, Locke lebih mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan perlu dijamin hak-hak individunya bukan seperti keadaan saat itu yang kekuasaan mutlak ada pada raja dan raja cenderung bersikap sewenang-wenang. Selain itu, state of nature yang dikemukakan oleh Locke tidak hanya berbicara tentang baik buruk manusia sebagai sifat asalnya. Hal itu dikarenakan pengaruhnya bagi pemikiran lain yang tidak bisa dielakkan, seperti terkait masalah diketemukannya uang yang pada akhirnya merubah pandangan tentang dasar dari manusia itu sendiri yang selama ini dikenal baik.
Perbedaan pandangan ini juga melahirkan perdebatan sengit antara Locke dan Filmer walaupun hidup di dua masa yang berbeda. Setidaknya sumbangsih pemikiran Locke tersebar ke banyak bidang, dari masalah HAM, perlunya pembatasan kekuasaan dengan konstitusi, hingga masalah sistem pemerintahan seperti apa yang lebih baik, meliputi juga cara-cara pendelegasian kekuasaan dari rakya kepada negara. Dengan begitu, manfaat dan pengaruh pemikiran Locke jelas terasa pada saat ini. Seperti paham liberalisme yang mendukung kebebasan baik di bidang ekonomi, politik bahkan dalam bidang-bidang lainnya. Di bidang konstitusi pun ada buah dari pemikiran Locke yang sampai saat ini masih digunakan. Pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif sebagai contohnya.
Pemikiran Locke ini tidak sebaik dan sesempurna yang diperhatikan. Terdapat juga beberap kelemahan dan pengecualian. Pertama adalah masalah kepemilikan. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kebebasan individu untuk mengatur hidupnya termasuk masalah kepemilikan telah dengan sendirinya menciptakan jurang sosial ekonomi di masyarakat. Miskin dan kaya adalah hal pasti yang terlihat, karena orang mulai berlomba-lomba untuk mengakumulasikan hak miiknya, terlebih saat diketemukan uang.
Kedua adalah masalh pada kekuasaan politik. Orang-orang yang memiliki hak milik lebih akan mendapatkan hak politik yang lebih baik juga dibadingkan dengan orang-orang yang tidak punya sesuatu yang disebut “milik pribadi” tersebut. Disina terlihat kesenjangan politiknya, suara mayoritas adalah hal yang dijunjung tinggi oleh Locke sebagai keputusan yang terbaik, masalahnya adalah jika yang menjadi pihak mayoritas adalah orang-orang tak bermilik atau miskin, maka jelas akan terlihat ketidakadilan disana
Daftar Pustaka
Dunn, John. 1994. John Locke. Pendekar Demokasi Modern. Jakarta: Grafiti
Losco, Joseph dan Leonard Williams. 2005. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada (ed.2)
Magnis-Suseno, Franz. 1994. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Noer, Deliar. 1997. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Jakarta: Mizan
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami ilmu politik (cet. ke-6). Jakarta: Grasindo
[1] Diambil dari riwayat hidup John Locke, yang ditulis oleh John Dunn (1994) dalam: John Locke; Pendekar Demokasi Modern. Jakarta, penerbit Grafiti
[3] Robert A. Dahl berpendapat, Locke memberikan kepada manusia sejenis persamaan intrinsik, yang meskipun jelas tidak ada relevansinya bagi banyak keadaan, namun pasti sangat menentukan untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama sekali untuk tujuan pemerintahan
[4] Patriarcha adalah peran-peran utama dalam Injil yang dianggap merupakan nenek moyang umat manusia, yaitu mulai dari Adam sampai Nuh. Patriarcha diartikan juga sebagai kepala keluarga atau suku. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 118
[5] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Cet. IV, (Jakarta: Gramedia, 1994)hal. 219.
[6] Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[8] Losco, Joseph dan Leonard Williams. 2005. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada (ed.2). hal. 140-145
[9] Deliar Noer. 1997. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Jakarta: Mizan. Hal. 119
[10] Ahmad Suhelmi juga menilai bahwa kepercayaan dalam kompetisi kebajiakan merupakan gagasan Locke yang radikal. Aktifitas ekonomi merupakan kompetisi dalam hal kebajikan. Hal itu dilihat dari adanya orang kaya dan orang miskin. Kebajikan=kecerdasan, ketekuna, kerajianan, dan kegigihan individu dalam berusaha dan bekerja.
0 Response to " "
Posting Komentar