Kemunculan Pemerintahan Lokal: Sebuah Tinjauan

Kemunculan Pemerintahan Lokal: Sebuah Tinjauan[1]
Dua dekade terakhir dari abad ke-20 menunjukan sebuah kemunculan yang signifikan dari demokrasi lokal dalam pembangunan dunia, dengan semakin bertambahnya proses peralihan politik, ekonomi, dan kekuasaan administratif ke pemerintahan di tingkat lokal. Sepanjang terus terjadinya privatisasi dan deregulasi, perubahan ini menunjukan sebuah pengurangan kekuasaan ke arah substansial (pemerintah daerah) dari pemerintah pusat, terlebih terkait kebijakan ekonomi. Fenomena ini secara geografis terus menyebar, terjadi secara berkelanjutan di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Eropa Timur. Periode pertama diawali pada tahun 1970an, kemudian meningkat pada tahun 1980an, dan menemukan percepatannya diakhir tahun 1990an.
Dalam pembahasan review ini terdapat delapan negara dari tiga benua yang berbeda untuk kemudian dinterpretasikan dan dikategorikan berdasarkan perspektif yang ada. Negara-negara tersebut adalah Bolivia dan Brazil dari Amerika Latin, Afrika selatan dan Uganda dari Afrika, lalu India, China, Indonesia, dan Pakistan dari Asia. Pemilihan negara-negara tersebut adalah berdasarkan kesamaan sebagai negara berkembang yang sedang dalam proses peralihan menuju demokratisasi dan cenderung meiliki populasi penduduk yang tinggi.
Kerangka Konseptual
            Dari sudut pandang politik, desentralisasi dipandang sebagai sebuah elemen yang penting dari partisipasi demokrasi yang memungkinkan masyarakat memiliki peluang untuk mengkomunikasikan pendapat maupun pilihannya terhadap wakil-wakil yang diharapkan mampu menyampaikan cita-cita bersama sebagi buah bentuk keterwakilan tersebut. Sehingga dengan mekanisme yang demikian bisa meredakan tuntutan yang berujung pada konflik atas banyaknya perbedaan kepentingan yang ada di masyarakat yang majemuk. Di dalam kriteria ekonomi normatif yang relevan, barang-barang kebutuhan publik lokal harus tersedia menurut pilihan penduduk, termasuk terjadinya perdebatan anatar pilihan yang berasal dari kelompok yang berbeda yang juga punya maksud tujuan kesejahteraan masing-masing yang berbeda pula.
Meski begitu, dalam kenyataannya masih juga sering terlihat distorsi dari mekanisme politik yang ada dalam menyelenggarakan desnterlisasi. Dengan tujuan awal agar kesejahteraan merata dan timbulnya kemandirian dari masyarakat, praktik di lapangannya masih ada saja diskriminasi terhadap agama, etnis, dan kelompok tertentu. sumber-sumber distorsi tersebut telah menarik perhatian banyak ilmuan politik dan ekonomi. Dalam konteks fungsi demokrasi, permasalahan tersebut diantaranya:
1.      Ketidakmampuan pemilih dalam mengekspresikan pendapatnya.
2.      Ketidaksamaan kesadaran (pemilih) dari partai-partai yang bebeda dalam memobilisasi masa.
3.      Kesulitan para pejabat publik dalam berkomitmen pada kebijakan yang bersifat jangka panjang.
4.      Hingga tidak adanya kompetisi politik yang efektif, dan permasalahn-permasalahn lainnya.
Pada konteks yang lain, ketidakefektifan keadaaan politik, seperti kebijakan-kebijakan yang dibuatnya mencerminkan juga daripada kekuatan pemilihnya. Akhirnya terbuka peluang akan terjadinya korupsi, ketidaktepatan pemilihan dan kegiatan monitoring, hingga kurang responsifnya para pejabat birokrasi terhadap kebutuhan masyarakat. Di dalam praktik ekonomi, harapan dalam skala yang lebih luas dan kejujuran dalam berdemokrasi sangat ditentukan oleh dua hal, yaitu masalah akuntabilitas dan kebijakan yang responsif mengenai pemenuhan barang-barang dan jasa publik lokal kepada masyarakat.
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai keadaan alamiah dalam proses maupun hasil kegiatan politik. Pembentukan definisi seperti itu lebih umum digunakan, khususnya oleh para ilmuan politik. Definisi politik tentang akuntabilitas dapat juga dakatakan sebagai “kemampuan masyaraat untuk melakukan tekanan yang efektif terhadap pejabat publik yang melakukan penyimpangan terhadap cita-cita dan harapan orang banyak”. Penyimpangan tersebut bisa berbentuk distribusi kekerasan terhadapa keadilan masyarkat kecil atau minoritas. Selanjutnya, gagasan tentang resposifitas memerlukan kebijakan-kebijakan yang bisa berjalan fleksibel dengan respek atau dinilai perhatian terhadap keberagaman masyarakat beserta kebutuhan dan kepentingannya yang berbeda pula. Komponen pokok terkait gagasan ini adalah penanganan dan perhatian yang relatif dan berbeda terhadap komunitas-komunitas yang berbeda pula, sebab karakteristik terkait suatu masyarakat tidak bisa disamakan, apalagi ketika terdapat persoalan-persaoalan yang memerlukan perhatian lebih serius.
Jika perbedaan komunitas masyarakat memiliki pilihan akan bararang dan jasa publik lokal yang berbeda, efisiensi dalam ekonomi memerlukan pola syarat atau ketentuan terkait barang dan jasa yang berbeda ketika dibutuhkan. Teori federasi tradisional misalnya, mendasarkan asumsi bahwa pemerintah pusat tidak mampu untuk mengatasi masalah-masalah perbedaaan kebutuhan tersebut. Dilandasi juga bahwa tingginya biaya komunikasi jika setiap aspirasi lokal harus dilaksanakan dan disampaikan secara vertikal ke tingkat pusat dan juga pemerintah pusat dinilai tidak mampu dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat di tingkat lokal. Jadi, asumsinya tentang desentralisasi adalah bahwa pengelolaan ditingkat lokal melalui desentralisasi lebih mudah untuk menyerap aspirasi dan tuntutan masyarakat sebab secara hubungan interasksinya anatara pejabat lokal dan masyarakatnya menjadi lebih dekat dan responsif.
Dimensi Desentralisasi
Kajian desentralisasi dewasa ini juga ada yang beranggapan bahwa dampak proses tersebut akan sangat tergantung pada konteks dimana implementasi itu dilakukan dan bagaimana cara membentuknya menjadi sebuah kebijakan yang tepat. Maka selanjutnya untuk mengimplementasikan agenda-agenda dan wacana yang dipaparkan di atas, kita perlu menjabarkan definisi setiap elemen yang ada, yaitu permasalahan kontekstual, disain atau bentuk, dan pengaruh-pengaruh yang secara keseluruhan prosesnya bisa dievaluasi.
Pertama adalah dimensi pengaruh. Prinsip dimensi ekonomi pemerintahan yang akuntabel dan responsif dapat diklasifikasikan ke dalam intra dan antar komunitas yang dituju. Target ke dalam komunitas meliputi representasi keinginan setiap kelompok yang berbeda di masyarakat dengan memberikan sebuah beban fiskal yang relatif terhadap kelompok atau komunitas yang berbeda, juga secara keseluruhan. Bagaimana kepentingan kelompok orang miskin dan minoritas secara relatif terwakili ? hal ini dapat diukur dengan menargetkan beban fiskal dan jasa publik melalui mekanisme silang seperti pemberian subsidi. Sedangkan target antar komunitas, meliputi alokasi sumber daya fiskal jasa publik spesifik melalui komunitas yang berbeda.
Kedua adalah dimensi konteks. Isu utamaya dalam dimensi ini adalah perhatian pada berfungsinya demokrasi. Ini dapat mengukur pola partisipasi politik masyarakat yang berbeda (seperti partisipasi pemilihan, kehadiran dalam pertemuan-pertemuan komunitas, kontribusi waktu dan biaya dalam kampanye pemilihan, dan lain-lain). Bagaimanapun, banyak masyarakat menganggap partisipasi mereka hanya sedikit berperan dan sedikit berdampak pada pemerintahan lokal atau jika pemerintahan lokal tidak memiliki peran dan kekuasaan yang lebih luas dalam menyediakan jasa dan sumber daya fiskal, kemudian masyarakat hanya akan berperan minimal dalam aktivitas politik lokal.
Ketiga yaitu dimensi bentuk. Dimensi ini meliputi diantaranya: 1) Kewenangan konstitusi, yaitu bagaimana pemerintahan lokal memiliki kewenagan  independen yang terabaikan di dalam sebuah konstitusi ?. 2) Proses pemilihan, apakah pemilihan badan eksekutif atau legislatif terjadwal berdasarkan hukum secara periodik ? Apakah para pejabat publik tersebut nantinya dipilih secara langsung atau tidak langsung ? Apakah ada pembatasan pada kontestan pemilih atau pada saat terjadinya kampanye ?. 3) Jarak antara biaya yang dikeluarkan dengan responsibilitas manajemen yang dilakukan, pertanyaannya adalah pakah sudah tepat melakukan pembagian dan penyerahan kekuasaan ke pemerintah lokal ? Apakah penyerahan tersebut sudah meliputi infrastruktur lokal seperti sarana sanitasi, air, irigasi, jalan, dan bangunan public, otonomi daerah seperti apa yang diterapkan di daerah tersebut ? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. 4) Peralihan keuangan, 5) Kewenangan dan kompetensi para aktor lokal, dan elemen terakhir dari dimensi bentuk adalah 6) Informasi dan mekanisme kesalahan.
Ekonomi Politik Desentralisasi
            Dalam beberapa konteks, desentralisasi dapat diimplementasikan secara komprehensif dalam amademen undang-undang undang-undang terkait kebebasan memeluk keyakinan (termasuk pemerintah lokal). Kkonomi politik dalam desentralisasi juga demikian, perlu penyesuaian yang sifatnya berkecocokan dengan karakteristik tiap daerah. Namun begitu, ekonomi politik desntralisasi juga menyisahkan pertanyaan, hal apakah yang paling penting: apakah pemerintah pusat atau pemerintah provinsi mau menyerahkan kekuasaannya ke level yang berada di bawahnya ? apa sumber daya asli atau apa yang bisa menjadi alasan terjadinya proes desentralisasi ?.
Pertanyaaan ini berguna untuk mencari kemungkinan motivasi melakukan desentralisasi sebagaimana bangsa yang baik, ia akan mengalamatkan pertanyaannya juga pada hal seputar: 1) Tekanan politik. Partai, fungsionaris partai, atau seorang diktator pada level nasional mengalami adanya ancaman akan kewenangannya tersebut atau mereka akan berusaha untuk meningkatkan legitimasi dan kedudukannya dengan memperluas partisipasi politik masyarakat dan lebih berusaha memberikan layanan jasa sosial. 2) Krisis eksternal. Beberapa krisis dan guncangan yang drastis dapat merubah  dan mengganggu institusi pembuat keputusan. 3) Ideologi. Beragam kelompok dapat kecewa jika terjadi pola pembangunan secara terpusat atau dengan berlakunya sistem lama diantara lembaga perwakilan, pembuat kebijakan, ilmua sosial, atau opini popular terkait tema desentralisasi dan pembuatan keputusan lokal. 4) Agenda terselubung lainnya. Agenda terselubung lainnya bisa meliputi agenda konservatif untuk mengurangi belanja sosial dengan menyerahkan hal tersebut kepada pemerintah lokal.
Pengklsifikasian Desentralisasi
Di dalam bahan bacaan ini sudah sangat jelas pengkalsifikasian desentralisasi kedalam dua hal yaitu konteks dan bentuknya, lalu kemudian lebih jauh membahas perbedaan bentuk dan konteks tersebut. Pengkalsifikasian berdasarkan konteks, seperti tipe A contohnya dialami oleh negara seperti Bolivia dan Indonesia yang menyerahkan permasalahan kewenagan politik dan ekonomi kepada tingkatan di bawah pemerintahan pusat secara serentak di banyak bidang. Sedangkan desentralisasi tipe B terjadi pada negara Brazil dan India yang merepresentasikan bentuk penyerahan wewenang politik namun pada hal ekonomi lebih tidak seimban, artinya negara atau pemerintah pusat masih berwenang lebih luas pada masalah-masalah ekonomi.
Selanjutnya desentralisasi tipe C yang berbeda dari dua tipe sebelumnya. Desentralisasi ini terjadi di negara Pakistan, Uganda, dan China yang menerapkan sistem tidak demokratis pada level pusat. Seperti dalam sejarah terdahulu di Pakistan di Uganda, desentralisasi justru digunakan sebagai sebuah instrument oleh pihak militer pemerintah untuk mendapatkan wilayah atau basis politik etnis yang beroposisi. Dan tipe yang terakhir, yaitu peralihan dari tipe C ke tipe A dialami oleh negara Afrika Selatan seperti ketika terjadi transisi rezim Apharteid pada tahun 1994. Jadi dapat disimpulkan bahwa desentraliasai pada tipe A dan B adalah negara-negara yang demokratis di tingkat nasional, hal ini terlihat dari adanya undang-undang yang menjamin tentang kewewnangan pemerintah lokal untuk mengelola daerahnya sebagai hasil penyerahan secara luasa kewenangan politik dan ekonomi dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal.


[1] Pranab Bardhan dan Dilip Mookherjee, The Rise of Local Governments, Baham Bacaan 1 Kuliah Politik Lokal dan Otonomi Daerah

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Kemunculan Pemerintahan Lokal: Sebuah Tinjauan"

Posting Komentar