“DESA SUKASARI: STUDI EKONOMI DAN POLITIK”, Sebuah Laporan

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Di era pembangunan dan reformasi birokrasi yang meliputi desentralisasi pemerintahan membuat sedikit banyak perubahan tata pemerintahan perdesaan di Indonesia. Lahirnya daerah-daerah pemekaran baru dan kota-kota sebagai upaya penyebaran kekuasaan dari pusat ke daerah telah memberikan dampak perubahan sistem administratif pemerintahan desa menjadi lebih profesional dan seragam yang kita kenal saat ini dengan nama kelurahan.
Kehadiran desa di tengah derasnya arus perubahan dan perbaikan sistem birokrasi di Indonesia pasca-reformasi setidaknya telah memberikan dampak teralienasinya desa dari pembangunan fisik dan tata kelola yang lebih baik. Meskipun begiru, masih terdapatnya desa di berbagai daerah di Indonesia bukanlah cerminan dari tertinggalnya pembangunan di daerah tersebut, namun lebih condong pada kebutuhan dan karakter pemerintahan yang lebih sesuai  untuk daerah yang memiliki kebudayaan dan ciri demografi tertentu.
Hal ini memberikan perkembangan pada tipologi desa. Dahulu, desa identik dengan pertanian dan persawahan sebagai lapangan pekerjaan utama penduduknya, khususnya perdesaan di Jawa. Akan tetapi, desa yang kami temukan di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat ini bukan bercorak agraria. Desa ini bernama Desa Sukasari yang teletak di dalam Kecamatan Rumpin. Mata pencaharian masyarakat Desa Sukasari pada umumnya merupakan pertambangan, dan mayoritas penduduknya adalah buruh kasar yang mengangkut pasir dan batu di daerah tersebut.
Dikaitkan dengan era pembangunan seperti ini, ada fakta yang cukup menarik, yaitu di tengah desa yang dapat dikategorikan miskin ini, hanya berjarak sekitar lima kilometer terdapat wilayah perkotaan yang dapat dikategorikan sebagai wilayah yang cukup mapan, yaitu Kota Tangerang Selatan yang dikenal dengan nama Bumi Serpong Damai City (BSD City). Suatu ironi yang kami temukan karena hanya jarak yang sedemikian dekat, perbedaan yang cukup drastis dapat dirasakan. Ini yang memberikan kami inspirasi bahwa ekonomi dapat mengelompokan masyarakat ke dalam klasifikasi tertentu.
1.2              Rumusan Permasalahan
Penulisan makalah ini dbataskan pada permasalahan ekonomi yang terkait dengan sistem perpolitikan yang ada di dalam Desa Sukasari. Permasalahan yang menarik adalah korelasi antara sistem perekonomian masyarakat Desa Sukasari dengan sistem perpolitikannya. Selain itu, kami juga akan melihat Desa Sukasari berdasarkan klasifikasi yang dijabarkan oleh Sutoro Eko. Permasalahan tersebut dapat dibuat dalam kalimat tanya sebagai berikut:
1.      Termasuk jenis desa apakah Desa Sukasari, khususnya berdasarkan klasifikasi yang dijabarkan oleh Sutoro Eko?
2.      Bagaimana korelasi antara sistem perekonomian masyarakat Desa Sukasari dengan sistem perpolitikannya?
1.3              Tujuan Penulisan
1.                  Mendeskripsikan profil Desa Sukasari terkait sistem perekonomian dan perpolitikan desa tersebut.
2.                  Menjabarkan analisis korelasi antara sistem perekonomian dan sistem perpolitikan Desa Sukasari.
1.4              Tinjauan Penulisan
Penyusunan makalah ini menggunakan metode observasi dan studi literatur. Studi observasi menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dengan salah satu perangkat desa di Desa Sukasari, yaitu Muhammad Arbawi selaku Kepala Urusan Keuangan Desa.
1.5              Kerangka Teoritis
1.5.1        Pengertian Desa[1]
Desa menurut PP. No. 72 tahun 2005 pasal 1 ayat 5 adalah sebagai berikut:
“Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”
            Pemerintahan desa menurut PP. No. 72 tahun 2005 pasal 1 ayat 6 adalah sebagai berikut:
“penyelengaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.“
Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Anggota BPD adalah wakil-wakil dari penduduk desa berdasarkan unsur representasi wilayah yang ditetapkan dengan musyawarah mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga (RW), pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
Sutoro Eko membagi desa berdasarkan trikotomi tipologi, yaitu sebagai berikut:
1.         Desa adat
2.         Desa otonom
3.         Desa administratif
1.5.2    Teori Ketimpangan Ekonomi Politik Desa Menurut Sutoro Eko[2]
Desa sudah lama menghadapi ketimpangan ekonomi-politik akibat masuknya kekuasaan (negara) dan kekayaan (modal). Bagan 1[3], misalnya, memperlihatkan empat bentuk ketimpangan ekonomi-politik baik secara internal maupun eksternal. Kuadran I (ekonomi-eksternal) menggambarkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya (penduduk dan tanah) desa. Kuadran II (politik-eksternal) memperlihatkan pengendalian penguasa supradesa terhadap entitas desa melalui sentralisasi, birokratisasi, intervensi dan korporatisasi. Kuadran III (ekonomi-internal) memotret ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi dalam desa, antara si kaya dan si miskin. Kuadran IV (politik-internal) menunjukkan oligarki dan dominasi elite dalam proses politik di desa yang memperlemah partisipasi (voice, akses dan kontrol) rakyat biasa (ordinary people).
Ekonomi-Politik di desa

Ekstenal
Internal
Ekonomi
Kapitalisasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya (tanah dan penduduk) desa
Ketimpangan penguasaan aset desa antara kelompok kaya dan miskin
Politik
Sentralisasi, birokratisasi, intervensi dan korporatisasi negara terhadap desa
Dominasi elite lokal terhadap proses politik di desa. Partisipasi masyarakat sangat lemah
Desa sudah lama menjadi medan tempur antara sosialisme vs kapitalisme, maupun antara negara vs masyarakat. Secara sosiologis-historis, desa sebagai sebuah entitas masyarakat lokal, punya basis ekonomi sosialis ketimbang kapitalistik. Kepemilikan tanah, misalnya, dikelola secara komunal melalui semangat egalitarian dan pemerataan. Hukum adat tidak mengenal kepemilikan privat secara jor-joran yang bisa menimbulkan ketimpangan.
Tetapi penundukkan terhadap desa, yang membuat ketimpangan ekonomi-politik di desa, sebenarnya sudah berlangsung lama sejak zaman prakolonial. Cerita-cerita lokal yang bisa kita lihat melalui legenda atau sejarah mempelihatkan bahwa desa (sebagai wilayah dan komunitas lokal) menjadi domain mutlak kerajaan. Raja sebagai penguasa pribadi melakukan pengendalian dan pemilikan atas desa beserta seluruh isinya (terutama tanah dan penduduk) secara absolut. Semuanya adalah milik raja. Konsep warga negara (citizen) tidak dikenal, kecuali konsep kawula (client). Dengan memelihara sistem patrimonial, birokrasi kerajaan tersusun secara hirarkhis-konsentris sampai ke pelosok desa. Raja mempunyai sarana-sarana kekerasan untuk melakukan represi terhadap desa. Para penguasa lokal harus tunduk sepenuhnya pada perintah raja. Rakyat desa, melalui penguasa lokal itu, diwajibkan memberikan upeti kepada raja karena mereka telah menikmati lahan garapan milik raja.
Negaraisasi dan kapitalisasi semakin tampak nyata dan keras ketika kolonialisme masuk ke Indonesia. Kolonialisme meneguhkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap tanah dan penduduk desa, sehingga basis ekonomi sosialis di desa hancur berantakan. Frans Husken (1998), misalnya, melukiskan dengan gamblang bekerjanya cultuurstelsel pada masa kolonial, sebagai bentuk negaranisasi dan kapitalisasi sektor pertanian di desa. Akibatnya adalah terkonsolidasinya deferensiasi sosial, ketimpangan sosial dan kekuasaan politik karena semakin banyaknya modal dan campur tangan negara ke desa. Yang paling banyak memperoleh keuntungan adalah elite desa dan pemilik modal.
Secara empirik peranan negara dalam politik dan ekonomi di level desa berjalan paralel. Di luar Jawa, pendekatan represif aparatus negara mengawal secara ketat proses eksploitasi tanah ulayat masyarakat adat. Di Jawa, negara memaksa warga desa mengalihkan kegiatan mereka dari sektor politik ke sektor ekonomi. Negara memang melakukan restriksi politik tetapi di sisi lain juga menawarkan peluang sangat besar bagi akumulasi modal bagi segelintir elite desa. Para elite desa bisa tumbuh menjadi “borjuis desa” tanpa terganggu oleh kondisi politik otoriter. Para pamong desa, terutama lurah, umumnya menguasai secara kedinasan maupun pribadi, lebih banyak tanah ketimbang warga desa lainnya. Dalam banyak kasus, para pamong desa, sudara dan kerabat mereka merupakan lapisan terkaya di desa; mereka memiliki toko-toko kelontong maupun bahan-bahan pertanian, menjalankan usaha penggilingan padi maupun traktor, mendominasi pengelolaan KUD, memperoleh keuntungan dari perkebunan tebu dalam peranannya sebagai ketua kelompok tani di bawah program TRI. Mereka mengawinkan anak perempuannya dengan kaum profesional dan pemilik tanah luas; mereka mengatur anak lelakinya menikah dengan keluarga lurah desa tetangga atau menempatkan mereka dalam keluarga-keluarga strategis atau jabatan-jabatan di level kecamatan dan kabupaten melalui patronase, dsb.
Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepala desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kades tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Warga desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Pak Kades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang yang cukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural desa yang bias elite, sentralistik dan feodal[4].
Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya.
Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga. Warga tidak punya ruang yang cukup untuk memberikan umpan balik dalam proses kebijakan desa.


BAB 2
ANALISIS PEREKONOMIAN DAN PERPOLITIKAN DESA SUKASARI
2.1              Profil Desa Sukasari
Desa Sukasari terletak di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak hanya kurang lebih lima kilometer dari sentra perekonomian Kota Tangerang Selatan, yaitu BSD City, yang sudah berkembang sangat pesat khususnya di paruh tahun 2000-an. luas daerah ini mencakup 855 hektar (8,55 Km2) dari Kecamatan Rumpin
Desa Sukasari terdiri atas 38 RT, 8 RW, dan 3 Dusun. jalan utama desa ini adalah jalan Prajurit Neneng, yang keadaannnya saat ini rusak berat, mengingat tingginya mobilitas kendaraan seperti truk-truk engkel, molen, dan tronton yang mengangkut beban lebih dari 30 ton sehingga menjadikan jalan utama tersebut sebagai lalu lintas pengangkutan pasir dan batu setiap harinya. ketika terjadi cuaca yang tidak bersahabat, seperti hujan, maka secara langsung akan terjadi genangan di sekitar jalan utama itu dan di saat musim kemarau, debu yang berasal dari komoditi yang diangkut dengan kendaraan komersial akan sangat mengganggu aktivitas warga disana.
Sistem penggajian perangkat desa tidak menentu, hal ini disebabkan oleh bantuan dan Biaya Operasional Pemerintahan (BOP) Desa yang diterima juga tidak secara rutin. besar BOP yang diterima oleh perangkat desa sebesar Rp300.000,00 per-triwulan, dan dibagikan kepada seluruh perangkat pemerintahan desa. Dengan demikian, perolehan gaji perangkat pemerintahan desa berasal dari warga yang mengurus surat-surat administrative kependudukan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Wilayah perbatasan Desa Sukasari dapat dibagi kedalam tetrakotomi dasar, yaitu:
Utara : Desa Taman Sari
Timur : Kecamatan Ciseeng
Selatan : Desa Rumpin dan Desa Cipinang
Barat : Kecamatan Parung Panjang dan Cigudeg
Berdasarkan tipologi desa yang dipaparkan oleh Sutoro Eko, Desa Sukasari dapat dikategorikan sebagai desa administrative, mengingat dependensi yang dimiliki perangkat desa tersebut dengan struktur hierarkis administratifseperti kecamatan yang relative tinggi.
2.1.1        Demografi Desa Sukasari
Penduduk Desa Sukasari menurut data bulan Oktober tahun 2010 sebesar 10.529 jiwa, yang terdiri dari 5.116 perempuan dan 5.431 laki-laki. etnis mayoritas yang mengkonstruksikan demografi Desa Sukasari adalah etnis Sunda. sebagian besar penduduk desa ini (98%) memeluk agama Islam, sisanya sekitar 200 jiwa (2%) memeluk agama Konghuchu, Budha atau Kristen, yang umumnya merupakan keturunan etnis Tionghoa.[5]
Hal yang menarik yang dapat dilihat dari komposisi agama Desa Sukasari adalah kerukunan hidup dan adanya toleransi, khususnya pada perayaan-perayaan hari besar keagamaan tertentu. keterlibatan warga yang tidak merayakan hari besar keagamaan dapat dikatakan cukup signifikan, yaitu seperti memberikan sedekah. cirri khas yang lain adalah banyak pemilik took-toko kecil-menengah di Desa Sukasari seperti agen adalah warga yang beragama Konghuchu.
Sebelum tahun 2000, pendidikan tertinggi mayoritas penduduk Desa Sukasari adalah sampai dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan tingkat buta huruf wargadi desa tersebut dapat digolongkan tinggi. akan tetapi, diparuh tahun 2000-an pendidikan di desa tersebut sudah meningkat secara signifikan, yaitu dengan adanya penduduk yang meneruskan pendidiakn ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu sekitar 40 %.
Fasilitas dan sarana pendidikan di Desa Sukasari tergolong minim, sampai saat ini di Desa Sukasari masih belum terdapat gedung sekolah untuk SMA, karena sekolah setingkat SMA hana dapat ditemukan di daerahkecamatan, seperti Kecamatan Rumpin. fasilitas sekolah yang lain yaitu 16 bangunan Sekolah Dasar (SD), tiga unit pesantren, dan beberapa unit Pesantren, dan beberap unit Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Sudah ada program Listrik Masuk Desa (LisDes) dan setiap rumah sudah gratis menggunakan listrik.
2.1.2        Sistem Perekonomian Desa Sukasari
Mata pencaharian penduduk Desa Sukasari mayoritas berprofesi sebagai buruh kasar yang bekerja pada pertambangan PT. Holcim, dan pengusaha lainnya yang menyumbang persentase sebesar 80%. hal ini disebabkan karena pertanian ditingkat desa tersebut hanya dapat mengandalkan air hujan[6]. sebagian kecil lainnya (20% penduduk produkti) berprofesi sebagai karyawan biasa, armada atau jasa angkutan umum yang terdiri dari dua orang, pengusaha took atau warung,.ofesi tenaga kerja informal lainnya seperti pembantu rumah tangga dikerjakan oleh penduduk perempuan di desa tersebut.
Sejarah pertambangan di Desa Sukasari dimulai dengan dibukanya proyek Malopo pada tahun 1975, dilanjutkan dengan proyek yang dicanangkan oleh perusahaan Kuarimas, Trumix Beton. Ada dua jenis pengusahaan tambang pasir dan batu disana, yaitu oleh perusahaan dan oleh pemodal lokal. perusahaan asing juga ikut mengelola sumber daya alam di desa tersebut adalah PT. Holcim yang juga dibantu oleh pengusaha dan warga lokal sekitar Desa Sukasari.



2.2              Perangkat Desa Sukasari
Kades Desa Sukasari saat ini adalah Encep Dul Mu’is yang menjabat sejak tahun 2006 (dipilih setiap enam tahun seklai). Keppala Desa saat ini sebenarnya masih keturunandan meruopkan  keluarga besar dengan Kades Sukasari sebelumnya, bahkan jika dirunut dari kepemimpinan Kades Sukasari sebelumnya, bahkan jika dirunut dari kepemimpinan Kades yang pertama sampai dengan saat ini hubungan diantaranya adalah keluarga dekat.
            Terdapat empat Kepala urusan (Kaur) di Desa Sukasari, yaitu Kaur Pemerintahan, Kesejahteraan Rakyat, Umum, dan Ekonomi. Pada saat ini, Kaur Ekonomi mengal;ami kevakuman, dikarenakan penanggungjawab Kaur tersebut meninggal dunia pada tahun 2009, sehingga tugas pada kaur Ekonomi dilakukan secara bersam-sama atau rembuk oleh perangkat Desayang lain, jadi Kaur Ekonomi yang tidak memiliki ketua tadi posisinya tetap ada yang mengurusi.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Sukasari beranggotakan Sembilan orang yang diketahui oleh Endang Wahyudi dengan sekretaris yang bernama Trisna Hidayat. Fungsi BPD yaitu sebagai pengamat dan pengawas jalannya pemerintahan desa, seperti controlling terhadap dana desa. Akan tetapi, ditengah struktur BPD yang jelas keanggotaanya dan masih berjalannya fungsi pengawasan terhadap keuangan desa, BPD masih belum memiliki program kerja yang berkesinambungan. Hal ini dapat dilihat dari minimnya fugsi yang dikerjakan oleh BPD di desa tersebut. Masalah lain yang ada dalam BPD di Desa Sukasari adalah sistem perekrutan keanggotaannya yang tidak memperhatikan asas representatif, seperti keterwakilan golongan tertentu (RT, RW, profesi, dan lain sebagainya).




2.3              Analisis Kasus Ekonomi Desa Sukasari
2.3.1        Praktik ’Berak’
Warga Desa Sukasari yang umumnya berprofesi sebagai buruh kasar tidak hanya menggantungkan pendapatannya dari gaji yang diperoleh secara harian yang sebesar Rp.30.000,00. Sumber pendapatan yang diperoleh didapatkan juga dari sumber yang ilegal. Sumber ilegal tersebut dinamai oleh warga lokal dengan istilah ’berakan’. Berakan merupakan komoditi perusahaan yang diprakarsai oleh para supir truk tambang yang menurunkan muatan yang diangkut di mobil truk di sepanjang pinggir jalan utama dari lokasi penambangan hingga ke daerah perkotaan (BSD City).
Meskipun sebenarnya termasuk kegiatan ekonomi yang ilegal dan melanggar hukum, praktik berakan tersebut kerap dan marak terjadi mengingat ongkos angkut setiap supir dan kenek truk yang dinilai terlalu kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidup setiap hari. Di sisi lain, para pengusaha yang menjalani usaha di bidang pertambangan tersebut tidak tinggal diam terhadap kejadian tersebut, mereka mulai banyak menerapkan peraturan baru yang dapat mengurangi kerugian yang diderita oleh mereka. Salah satu peraturannya adalah pemberlakuan penggunaan terpal atau penutup muatan truk agar tidak ada lagi supir dan kenek yang dapat mempraktikan tindakan ilegal tersebut.
Masalah yang timbul selanjutnya adalah praktik ilegal yang masih tetap berlangsung dan justru telah menjadi suatu rahasia umum bagi kebanyakan penduduk di Desa Sukasari, termasuk perangkat desa. Langkah lain yang diterapkan oleh pengusaha adalah dengan memperkecil perolehan gaji supir dan kenek truk yang mengangkut komoditi yang diangkut.[7]
Kegiatan ilegal berakan ini menimbulkan masalah yang bersifat derivatif, yaitu menjamurnya praktik pungutan liar oleh warga sekitar yang dianggap sebagai orang yang disegani ataupun preman setempat. Menurut hemat kami, kegiatan ilegal ini dengan sengaja tidak diberantas oleh perangkat desa mengingat signifikansi perolehan yang didapatkan oleh warga sekitar yang menampung hasil komoditi ilegal ini dapat tergeolong besar. Meskipun tidak ada informasi yang memperkuat argumen kami, akan tetapi lama operasi praktik ilegal tersebut dapat dikategorikan lama dan lokasi penadahan komoditi seperti batu dan pasir terletak di daerah yang strategis, dalam jumlah yang besar, dan terlihat secara kasat mata oleh pengguna jalan yang melintasi wilayah tersebut, yaitu jalan utama Desa Sukasari, bukan tersembunyi di wilayah yang lebih terpencil agar seolah praktik ilegal ini dapat dirahasiakan, memperkuat argumen yang kami paparkan.
Dilematika yang timbul dari penegakan hukum dalam rangka pemberantasan praktik ilegal berakan tersebut adalah berkurangnya sumber pendapatan warga yang terbantu oleh praktik ilegal tersebut. Sebagai dampak yang negatif, warga sekitar akan kehilangan sumber pendapatan tambahan dari praktik ilegal berakan dan secara sistemik akan berimplikasi pada peningkatan angka kemiskinan di Desa Sukasari dan sekitarnya, mengingat dengan tambahan pendapatan ilegal tersebut, keadaan ekonomi warga Desa Sukasari masih dapat dikategorikan menengah ke bawah dan miskin. Selain itu, skala praktik ilegal berakan terjadi secara masif yang tidak bersifat perseorangan, melainkan memasuki ranah kolektif warga desa perdesaan tersebut.



2.3.2        Hubungan Perangkat Desa dengan Sistem Perekonomian
Di tengah kemiskinan warga Desa Sukasari, perangkat desa yang ada di desa tersebut termasuk cukup aktif dalam kompetisi pemilihan kepala desa. Perlu diketahui bahwa persaingan tersebut selalu dimenangi oleh keluarga Muhammad Arbawi, meskipun banyak kandidat lain yang bukan berasal dari keluarga Muhammad Arbawi. Persaingan yang kurang sehat juga kerap terjadi di tengah perebutan jabatan tersebut, seperti ditemukannya teknik metafisika tradisional seperti santet, sesajen, dan praktik metafisik lain yang ditunjukan untuk memperoleh kemenangan pada salah satu kandidat kepala desa yang akan bertarung untuk memperoleh kursi jabatan.[8]
Hal yang mencurigakan dari pertarungan untuk memperoleh jabatan di Desa Sukasari yang relatif miskin dan tidak memiliki tanah bengkok yang dimiliki oleh desa pada umumnya di daerah Jawa adalah kepentingan tertentu yang bersifat ekonomis. Menurut hemat kami, jabatan kepala desa di Desa Sukasari bersifat strategis secara ekonomi karena di tengah keadaan desa yang relatif miskin dan minim sumber pendapatan, kepala desa bersaing secara kompetitif dan tidak sehat. Praktik kegiatan metafisika tradisional yang terjadi pada saat pesta rakyat yang digelar di Desa Sukasari sehari sebelum pemilihan kepala desa menimbulkan spekulasi yang mengarah pada kepentingan ekonomi yang strategis pada perangkat desa.
Di tengah persaingan politik yang sedemikian gencar, praktik nepotisme juga mewarnai jalannya pemerintahan desa di Desa Sukasari. Hal ini dapat dilihat dari sejarah Desa Sukasari yang dimulai dari kepemimpinan M. Sholeh, ayah dari Muhammad Arbawi yang menjadi kepala desa pertama di Desa Sukasari. Jabatan tersebut diduduki selama dua dekade. Setelah M. Sholeh mangkat, jabatan kepala desa dimandatkan kepada kakak Muhammad Arbawi melalui pemilihan, kekuasaan ini berlangsung selama delapan tahun hingga jabatan kepala desa berikutnya dimandatkan kepada keponakan Muhammad Arbawi yang menjabat hingga tahun 2006. Kepala desa yang menjabat saat ini, Encepo Dul Muis, juga memiliki hubungan keluarga dengan Muhammad Arbawi.
Meskipun praktik nepotisme berlangsung di Desa Sukasari selama hampir setengah abad, masyarakat merespon hal tersebut dengan sikap yang cenderung laissez-faire mengingat kemiskinan yang ada di desa tersebut mempengaruhi tingkat pendidikan yang berimplikasi pada rendahnya partisipasi politik warga desa tersebut. Selain itu, pendapatan perangkat desa yang dinilai warga tidak tetap, seperti dana BOP yang minim, membuat warga tidak berniat untuk memperebutkan kekuasaan di desanya. Hal ini diperparah dengan minimnya transparansi perangkat desa mengenai sumber-sumber perekonomian lain yang didapatkan, yang cenderung dirahasiakan oleh perangkat desa. Menurut hemat kami, adanya hubungan yang signifikan antara pengusaha pertambangan dengan perangkat desa di Desa Sukasari. Hal ini dibuktikan dengan keadaan ekonomi dan finansial keluarga perangkat desa dan mantan perangkat desa yang cenderung lebih baik ketimbang warga pada umumnya, di tengah pendapatan sah yang tidak menentu dan tidak adanya perkerjaan sampingan yang dilakoni oleh mereka.
2.4              Analisis Teori Ketimpangan Ekonomi Politik Desa Sukasari
Desa Sukasari yang berpenduduk mayoritas sebagai buruh kasar dan berpenghasilan rata-rata rendah sebenarnya meski terlihat aktifitas pertambangan disana cukup ramai---terlihat dari intensitas lalu lintas truk-truk pengangkut material pasir dan tanah yang padat—rupanya ketimpangan di bidang ekonomi dan politik cukup terasa. Jika kita menggunakan teori ketimpangan ekonomi politik desa menurut Sutoro Eko, maka dari bagan ketimpangan yang dijalaskan olehnya, Desa Sukasari menempati tiga  dari empat kuadran ketimpangan  tersebut, yaitu kuadran pertama, ketiga, dan keempat.
Kuadran pertama yang digambarkan oleh Sutoro Eko adalah adalah ekonomi eksternal, yaitu menggambarkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya penduduk dan tanah desa, (dalam konteks Desa Sukasari adalah pertambangan pasir dan batu serta eksploitasi penduduk sebagai buruh kasar). Hal ini juga terjadi di Desa Sukasari yang berpenduduk mayoritas bekerja pada sektor pertambangan. Tambang-ambang tersebut dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar nasional seperti PT. Holcim dan warga ataupun penduduk asli hanya dijadikan pekerja di desanya sendiri. Ini jelas terjadi eksploitasi terhadap penduduk oleh kekuatan kapitalis luar desa. Sumber daya alam yang harusnya lebih banyak digunakan untuk mensejahterakan masyarakat Desa Sukasari justru lebih menguntungkan pihak perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Kuadran ketiga adalah ekonomi internal, yaitu bagaimana memotret ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi dalam desa, antara si kaya dan si miskin. Jika kita hanya melihat secara kasar dengan persentase hampir 80% warga Desa Sukasari adalah buruh kasar pertambangan, maka kesimpulan yang di dapat tanpa harus melihat keadaan fisik dan keseharian masyarakatnya adalah bahwa desa ini merupakan desa yang miskin. Lalu timbul pertanyaan apakah benar kemiskinan itu merata disana? Ternyata kemiskinan merata hampir pada seluruh warga masyarakat biasa yang menjadi buruh. Namun bagi sebagian kalangan yang aktif di perpolitikan desa sebagai perangkat desa maupun Kades, keadaan ekonomi mereka cukup baik. Bahkan dari sekian  banyak bangunan rumah secara fisik yang nampak disana, hanyalah rumah-rumah Kades dan mantan Kades yang bisa dibilang lebih mewah dan lebih layak untuk dikatakan sebagai tempat tinggal dibandingkan kebanyakan penduduk. Inilah ketimpangn antara si kaya dan si miskinnya. Yaitu ketimpangan antara kekayaan perangkat desa dengan warganya.
Kuadran terakhir yang dapat digunakan untuk menganalisi ketimpangan ekonomi politik di Desa Sukasari adalah kuadran empat. Yaitu politik internal yang menunjukkan oligarki dan dominasi elite dalam proses politik di desa yang memperlemah partisipasi (voice, akses dan kontrol) rakyat biasa (ordinary people). Untuk membahas ini maka parameter yang digunakan adalah sebuah pertanyaan apakah kepemimpinan di Desa Sukasari sampai dengan saat ini selalu didominasi oleh orang-orang tertentu saja dan minim akan persaingan dari calon yang beragam ketika terjadi pemilihan kepala desa? Dari informasi yang diperoleh dan dari penjelasan yang sudah dipaparkan sebelumnya, Desa Sukasari adalah desa yang hampir selalu dipimpin oleh Kades yang berasal dari keluarga yang sama secara turun-temurun sejak pertama kali desa ini ada. Adalah keluarga Muhammad Arbawi yang selama ini mendominasi perebutan kepemimpinan di Desa Sukasari. Meskipun persaingan dalam pemilihan kepala desa terbilang ketat dan terkadang penuh dengan nuansa mistik, sebenarnya yang bersaing itu berasal dari keluarga yang sama. Jadi jelas disini terlihat bahwa ada semacam oligarki atau dominasi elit dalam proses politik di desa yang dapat memperlemah partisipasi warga lainnya.

           

BAB 3
KESIMPULAN
Desa Sukasari yang terletak di kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat dapat dikategorikan sebagai desa administratif. Desa ini memiliki keadaan yang relatif miskin dan bertumpu pada sektor pertambangan, bukan sektor pertanian atau agraria seperti pada desa umumnya di pulau Jawa. Keunikan ini yang memberi warna tersendiri pada desa yang tergolong tertinggal karena pendidikan dan pendapatan penduduknya yang rendah. Pendidikan rendah, mata pencaharian sebagai buruh kasar yang berpenghasilan rendah, serta partisipasi politik yang rendah di Desa Sukasari menjadi suatu mata rantai sebab akibat yang tidak dapat terpisahkan.
Tidak terdapatnya sekolah umum tingkat atas seperti Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sangat sedikitnya warga yang meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi mencerminkan kualitas pendidikan Desa Sukasari yang masih rendah. Hal ini berimbas pula pada mata pencaharian mayoritas penduduk di sektor perburuhan, khususnya buruh tambang seperti buruh kasar. Penghasilan yang rendah menyebabkan kesulitan dalam pemenuhan tuntutan hidup, dan berimplikasi pada praktik-praktik ilegal seperti praktik ’berak’ yang telah dideskripsikan di bagian analisis. Terakumulasinya pembiaran praktik ilegal tersebut ternyata memiliki hubungan politis juga dalam ranah interaksi masyarakat dengan perangkat desa. Tidak adanya usaha serius dalam menangani permasalahan tersebut, dan justru menjadikan fenomena tersebut sebagai hal umum dengan asumsi bahwa mematikan praktik berak ekivalen dengan mematikan perekonomian penduduk, akhirnya menjadikan praktik ini terus berlangsung hingga sekarang.
Rendahnya partisipasi politik dari warga yang terlihat saat pencalonan kepala Desa Sukasari tampaknya tidak berlaku bagi aktor politik lokal yang telah lama berkecimpung di Desa Sukasari. Pergantian Kepala Desa yang didominasi oleh satu keluarga secara turun-temurun hingga Kepala Desa yang terakhir mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat Desa Sukasari sangat rendah. Di tengah kemiskinan Desa Sukasari, persaingan perebutan kekuasaan di desa tersebut sangat ketat dan seolah menjadikan jabatan Kepala Desa Sukasari sebagai jabatan yang sangat vital untuk didapatkan.
Tidak heran jika praktik nepotisme menjadi hal yang biasa dan  telah berlangsung cukup lama di Desa Sukasari. Sebuah keadaan yang menurut kami juga diketahui oleh banyak warga lainya, dan tidak ditindaklanjuti karena tingkat ekonomi yang rendah, juga diikuti dengan tingkat pendidikan yang rendah. Pada akhirnya, sikap taken for granted menjadi sikap yang dilakukan oleh kebanyakan warga Desa Sukasari.

DAFTAR PUSTAKA
Eko, Sutoro. Ekonomi Politik Pembaharuan Desa. Tidak diterbitkan
Eko, Sutoro et.al. Pembaharuan Pemerintahan Desa .Yogyakarta: IRE Press. 2003.



[1] Informasi diperoleh dari kuliah mata perkuliahan Pemerintahan dan Politik Desa pada tanggal 22 Agustus 2010.
[2]  Ketua SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (STPMD) "APMD" Yogyakarta dan Direktur Eksekutif INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE). 
[3]  Bagan dan pembahasannya ini disajikan  oleh Sutoro Eko dalam  makalahnya pada Pertemuan Forum VII, “Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pembaharuan Masyarakat Desa di Indonesia”, yang digelar Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Ngawi, Jawa Timur, 15-18 Juni 2003. Makalah ini merupakan pengembangan tulisan Sutoro Eko, “Pembaharuan Pemerintahan dan Pembangunan Desa”, FORUM INOVASI UI, Vol. 6, Maret-Mei 2003.
[4] Sutoro Eko (dkk.), Pembaharuan Pemerintahan Desa (Yogyakarta: IRE Press, 2003).
[5] Data disadurkan berdasarkan hasil wawancara tim peneliti dengan Muhammad Arbawi, 6 Nopember 2010.
[6] informasi diperoleh dari Muhammad Arbawi melalui wawancara tim peneliti, 6 Nopember 2010
[7] Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan Muhammad Arbawi, 6 Nopember 2010.
[8] Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan Muhammadi Arbawi, 6 Nopember 2010.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "“DESA SUKASARI: STUDI EKONOMI DAN POLITIK”, Sebuah Laporan"

Posting Komentar