Transisi Demokrasi di Mesir: Analisis Pendekatan Struktural


Menurut David Potter dalam essaynya—Explaining Democratization—ia menyimpulkan bahwa tatanan dunia saat ini hanya mengenal tiga jenis utama rezim politik dunia, yaitu demokrasi liberal, partial democracy dan otoritarianisme, serta dua jenis lain yang disebutnya dengan demokrasi langsung dan demokrasi partisipatif.[1]  Demokrasi liberal dicirikan oleh pembuatan keputusan dan aturan yang mengikat melalui sistem perwakilan yang akuntabel terhadap masyarakat. Akuntabilitas ini dijamin utamanya melalui sebuah pemilu yang bebas, jujur dan kompetitif, dimana secara transparan pria dan wanita dewasa memiliki hak suara yang sama. Hal ini sangat bertolak belakang dengan rezim otoritarian yang lebih ditandai oleh para pemimpin yang mengarahkan dan mengatur masyarakat tanpa adanya akuntabilitas terhadap masyarakatnya itu. Selai itu, rezim otoritarian ini dicirikan dengan tidak adanya pemilu yang kompetitif, ditabukannya kritik atas pemerintah, kondisi sosial ekonomi dan ideologi negara, serta ancaman bagi warga yang melanggarnya. Sementara itu, yang disebut dengan demokrasi parsial—campuran dari kedua rezim sebelumnya—lebih dilihat pada adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan akses terhadap terhadap informasi alternatif, serta adanya organisasi independen namun dengan pengawasan ketat dari pemerintah.[2]
Rupanya ketiga model rezim tersebut tidaklah saling berdiri sendiri, namun mencerminkan sebuah hubungan perubahan yang ditandai dengan lahirnya proses transisi demokrasi, yaitu sebuh peubahan dan pergantian rezim dari yang sebelumnya dinilai otoriter menuju sebuah sistem yang lebuh demokratis dengan ciri adanya pemilihan umum, kebebasan berpendapat, dihargainya suara-suara minoritas dan lain sebagainya. Proses transisi inilah salah satu fenomena yang sering dibahas oleh para ilmuan beberapa dekade terakhir. Pascaberakhirnya era kolonialisme di Asia dan di Afrika serta diiringi oleh semakin berkurangnya jumlah pemerintahan monarki di dunia, nampaknya semakin menunjukan bahwa sistem atau rezim pemerintahan liberal lebih “disukai” daripada rezim yang otoriterianisme yang sering dinilai mengekang kebebasan rakyanya.[3]
Begitu juga dengan gejolak yang terjadi di Mesir—gelombang demokratiasasi—awal tahun ini.[4] Aksi protes di Mesir ini pertama kali terjadi pada tanggal 25 Januari 2011 dan terus berlangsung hingga tanggal 11 Februari 2011. Warga dari berbagai kalangan berbaur memenuhi jalan akibat ketidakpuasan mereka terhadap keadaan pemerintahan yang diselenggarkan pemerintah. Berbagai kalangan mulai dari kelompok demonstran oposisi, orang tua sampai anak–anak bergabung bersama menyerukan kekecewaan terhadap pemerintahan.[5] Tetapi pemerintah menanggapi demonstrasi tersebut dengan keras dan tidak menolerir pemberontakan yang direncanakan. Bahkan Hosni Mubarak yang saat itu menjabat presiden menghimbau bahwa masyarakat jangan meniru perjuangan yang dilakukan aktivis di Tunisia. Mubarak menghimbau bahwa keamanan negara adalah prioritas utama dan harus terus diperjuangkan meskipun menimbulkan kerugian.[6]
Demonstrasi yang terjadi di Mesir belakangan ini disebabkan oleh pihak oposisi yang berusaha mencontoh apa yang terjadi di Tunisia.[7] Ketika demonstrasi yang dilakukan warga Tunisia dinilai telah berhasil menjatuhkan rezim, pihak oposisi mendapat keberanian untuk menggelar hal yang serupa di Mesir. Efek domino dari kejadian di Tunisia tersebut berkembang menjadi gerakan massa yang semakin besar dari hari – kehari. Gerakan massa tersebut disebabkan karena masyarakat dinilai sudah jenuh dengan pemerintahan otoriter Hosni Mubarak yang telah ia jalankan selama 30 tahun. Kebijakan yang dilakukan selama 30 tahun tersebut seringkali dinilai tidak pro rakyat karena mementingkan kepentingan segelintir golongan atau kepentingan keluarganya.
Untuk menjelaskan proses demokratisai tersebut, Potter membuat tiga pendekatan sebagai pisau analisanya. Pendekatan pertama adalah pendekatan modernisasi, yang mengasumsikan bahwa semakin intens negara menjalankan modernisasi, akan semakin demokratis pula negara yang bersangkutan. Pendekatan kedua adalah pendekatan transisional, dimana aktor sentral demokratisasi berada pada inisiatif para elit yang memainkan peran utama dalam proses demokratisasi, serta pendekatan struktural sebagai pendekatan ketiga, yang mendasarkan proses demokratisasi pada perubahan struktur kekuasaan.[8] Menurut pendekatan yang terakhir disebutkan ini bahwa penentu proses demokratisai tersebut adalah perubahan struktur kelas dan kekuasaan yang mendukung proses demokratisasi dengan syarat—yang harus dilakukan—terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara kelas, negara, dan aktor transnasional sehingga mendukung desentralisasi. Dengan pendekatan struktural ini, selanjutnya akan dijelaskan bagaimana porses transisi demokrasi di Mesir terjadi.

Setidaknya ada empat aktor lokal utama yang “bermain” dalam proses demokratisai di Mesir. Pertama adalah kalangan militer yang terakhir diketahui berperan melanjutkan kekosongan pemerintahan yang ditinggal Presiden Mubarak, kedua adalah pihak oposisi lama yang keberadaanya dibatasi namun sangat memanfaatkan betul momentum yang terjadi untuk mendapatkan legitimasinya dengan membentuk sebuah partai politik (kelompok Ikhwanul Muslimin). Pemain yang ketiga dan keempat secara berurutan adalah pihak yang pro dengan Presiden Mubarak dan rakyat yang kontra pemerintahan otoriter Mubarak. Dengan memetakan secara demikian kita dapat memahami struktur masyarakat Mesir sebelum dan sesudah memelusnya demokratisasi di negara tersebut. Rakyat yang kontra pemerintah adalah pihak terbesar yang mendukung lahirnya perubahan menuju demokrasi. Dilandasi oleh rasa ketidakpercayaan dengan pemerintah yang dinilainya telah gagal mensejahterakan masyakat, akhirnya munculah sebuah gerakan massa—didukung pula oleh kelompok Ikhwanul Muslimin—yang diawali dengan revolusi digital (internet dan sosial media (Facebook dan Twitter)[9] lalu kemudian berubah menjadi aksi demonstrasi besar-besaran di jalan.

Gerakan dua juta orang, menyemut, menuntut Mubarak hengkang dari singgasananya sekarang juga.[10] Seiring dengan jalannya kehidupan yang semakin tidak kondusif di sana, lama-kelamaan muncul kelompok baru dari pihak pemerintah yang ikut masuk ke dalam barisan demonstran, yaitu kalangan militer. Alhasil bentrokan yang menelan banyak korban jiwa pun tidak dapt dihindari, sebab selain ada pula rakyat pro pemerintah yang ikut turun di jalan, militer (dipihak Mubarak) pun dirasa sangat kuat dan memiliki peran penting untuk meredakan tuntutan yang sedang terjadi. Begitulah penjelasan singkat megenai struktur masyarakat Mesir sebelum tergulingnya Presiden Mubarak dari kekuasaannya. Kini, pascakejadian tersebut, rupanya kelompok-kelompok tadi khususnya militer dan pihak oposisi (Ikhwanul Muslimin) lebih terlihat menonjol dalam hal perubahan peran dan posisinya setelah mentranformasikan diri menjadi sebuah partai politik (sebelumnya dianggap sebagai organsasi terlarang oleh pemerintah). Ide pembentukan Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) oleh kelompok Ikhwanul Muslimin itu datang untuk menerjemahkan pendekatan ini menjadi gerakan politik praktis dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik, sehingga struktur pemerintahan negara sudah dinilai memenuhi sebuah struktur rezim yang liberal.[11]

Inilah babak baru perpolitikan di Mesir ketika rakyat telah benar-benar berdaulat dengan berhasil menumbangkan pemerintahan otoriter dan ketika lahirnya sebuh partai baru dalam struktur politik Mesir yang sebelumnya dianggap sebagai perkumpulan terlarang namun memiliki basis massa yang sangat besar dari total pennduduk Mesir. Jadi jelaslah bahwa proses perubahan struktur kelas terjadi, bahkan pasacatransisi tersebut. Di kalangan militer pun tidak ketinggalan ikut”berbenah”, menurut Irfan Ridwan Maksum (Guru Besar Tetap FISIP-UI, Advisor Local Governance Watch-UI ), sejenak kita bisa tahu bahwa Omar Suleiman dan petinggi militer Mesir sebagai penerima amanat pemegang kendali pemerintahan transisi setidaknya dapat memberi gambaran ke mana sedikitnya perubahan Mesir akan berjalan.

Lalu adakah pengaruh konstelasi politik transnasional terhdap proses demokratisai di Mesir ?. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa apa yang terjadi di Tunisia serta di Libya (faktor eksternal) memiliki pengaruh besar setidaknya dalam rangkka memberikan “model” kepada rakyat Mesir untuk melakkan hal serupa, apalgi faktor internal (kemiskinan, ketidaksejahteraan masyarakat, kesenjangan sosial, dll) yang melecut peristiwa tersebut sudah sangat tidak tertahankan. Negara lain seperti Amerika juga memiliki peran besar dalam proes demokratisai yang terjadi. Kita ketahui bahwa selama ini Amerika adalah sekutu dekat Mesir di Timur Tengah sejak negara itu masih menerapkan sistem ootoriter. Namun kembali saat ini kita melihat bagaimana Amerika menerapkan standar gandanya demi keuntungan pribadi semata. Berulang kali pidato Presiden Obama pun mengarah pada anjuran untuk segera diakhirinya pemerintahan otoriter yang sedang berlangsung menuju sistem demokrasi (liberal).

Sebagai negara yang amat memiliki kepentingan terhadap Mesir, Amerika meminta masyarakat Mesir belajar dari Indonesia.[12] Hal ini menunjukkan bahwa Amerika melalui kebijakan kontradiktif, tengah berupaya menjaga kepentingannya di kawasan, terlepas dari siapa yang akan berkuasa di negara-negara yang diterpa badai revolusi. Menurut perspektif mereka, Mesir adalah sebuah faktor kunci dan penentu di kawasan Timur Tengah. Jika Amerika tidak mampu lagi mengontrol sistem otoriter di Mesir, maka negara itu harus menunggangi gelombang tuntutan demokrasi dan tampil sebagai pendukung revolusi rakyat. Transisi kekuasaan dari Mubarak kepada Dewan Tinggi Militer Mesir dan penegasan dewan itu untuk melaksanakan semua perjanjian internasional, termasuk kesepakatan Camp David dengan Israel, adalah sinyal atas kebenaran analisa sebelumnya dan beberapa pengamat. Maka sekilas dirasa tidak akan terjadi perubahan yang signifikan dalam kebijakan dalam maupun luar negeri Mesir pascaterjadinya proses transisi tersebut selama kepentingan politik Amerika masih ada.[13]

Daftar Pustaka

Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and The Last Man. New York: The Free Press

Huntington, Samuel P. 1991. Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman, OK: University of Oklahoma Press: Norman Oklahoma.

Potter, David. 2000. “Eksplaining Democratization”, dalam Democratization. Cambridge: Polity Press



Sumber Internet :



[1] David Potter, “Eksplaining Democratization”, dalam Democratization, 2000, Cambridge: Polity Press
[2]Ibid,.  hal. 5

[3] Bahkan selepas perang dingin, perkembangan sejarah manusia telah sampai pada titik akhir dunia—terjadinya gelomban demokratisasi negara dunia ke-tiga dan semakin perkasanya kapitalisme (rezim liberal) sebagai sistem ekonomi yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia—telah berada dalam akhir evolusi ideologi, di mana telah terdapat universalisasi dari nilai liberal demokrasi barat di dunia. Lebih lanjut lihat Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, 1992, New York: The Free Press
[4] Banyak orang kemudian menyebut gejolak ini sebagai “Revolusi Mesir”. Terlepas dari tepat atau tidaknya istilah ini digunakan, jika dilihat dari makna generik revolusi itu sendiri, seperti yang pernah dikemukakan Theda Skocpol dalam “States and Scial Revolution: A Comparative Analysis of France, Rusia, and China” revolusi merupakan perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas dalam sebuah Negara.
[7] Fenomena yang terjadi di Mesir ini sering disebut sebagai gejala gelombang demokratiasai ke empat setelah gelombang demokratisasi ketiga (1974 - ?) yang dimulai dengan meninggalnya Jendral Fanco di Spanyol yang mengakhiri rejim otoriter/militer di Eropa Tengah pada tahun 1975, ketika Raja Juan Carlos dengan bantuan PM Adolfo Suarez memperoleh persetujuan parlemen dan rakyat untuk menyusun konstitusi baru yang demokratis, dan di Portugal selelompok perwira militer muda melakukan kudeta kepada Marcello Caetano, sang dikatur jatuh. Lihat pula Samuel P. Huntington, Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991, Norman, OK: University of Oklahoma Press: Norman Oklahoma.

[8] David Potter, Democratization, hal. 23
[10] Diakses dari http://www.fajar.co.id/read-20110203011300-gemuruh-timur-tengah, pada tanggal 1 Juni 2011, pukul 16. 20
[12] Diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/382619/, pada tanggal 2 Juni 2011, pukul 17.00

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Transisi Demokrasi di Mesir: Analisis Pendekatan Struktural"

Posting Komentar