“Orientalisme dan Pascakolonialisme: Wacana Pemangunan Demokratisasi”
…Latar belakang saya dalam politik Palestina semakin menguatkan hal ini. Di dunia Barat dan Arab keretakan kian hari makin memisahkan kelompok kaya dengan yang tidak berpunya. Dan di antara intelektual di lingkungan kekuasaan yang menghasilkan ketidakpedulian yang benar-benar mengejutkan...[1]
Imperialisme sebagai kelanjutan dari liberalisme dan kapitalisme di Eropa telah mendorong bangsa-bangsa Barat tersebut untuk mencari daerah koloni—di bagian bumi sebelah timur—guna dijadikan daerah pemasaran hasil produksi dan penghasil bahan baku. Secara singkat proses ini rupanya mewarnai rata-rata lebih dari 100 tahun sejarah negara-negara berkembang di Asia dan di Afrika yang pernah mengalami penjajahan. Internalisasi, pengaruh budaya, transfer teknologi, hingga masalah ketergantungan menjadi problematika yang sampai saat ini menghinggapi hampir di semua negara-negara bekas koloni bangsa Barat seperti Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, dan lain-lain, termasuk dalam hal politik (kompetisi, partsipasi, dll). Pengaruh watak juga sangat dominan dirasakan, khususnya di Indonesia. Lama dijajah Belanda sampai tiga abad dan dilanjutkan dengan penjajahan keji Jepang dalam waktu yang tidak tidak sebentar pula, rupanya telah mempengaruhi mental dan watak bangsa Indonesia yang sampai saat ini dirasa tertinggal dengan bangsa-bangsa lain di Asia.
Saat ini dimasa pascakolonial dan penataan dunia kembali, ideologi demokrasi menjadi sangat diagungkan oleh bangsa-bangsa di mana pun, bahkan rasanya tidak ada bangsa yang menganggap dirinya tidak demokratis. Menanggapi hal tersebut, Samuel Huntington telah membagi gelombang demokratisasi di dunia ini menjadi tiga periode[2], dan peristiwa yang saat ini sedang hangat di kawan timur tengah terkait transisi demokrasi yang sedang diusung oleh para demonstran, dianggap banyak ilmuan sosial sebagai kelanjutan demokrasi selanjutnya, atau disebut dengan gelombang demokrasi yang ke-empat.
Fokus dalam penulisan makalah singkat ini adalah terkait pembangunan pemerintahan yang demokratis pascakolonialisasi, yaitu tentang bagaimana kompetisi berdemokrasi yang dilarang menggunakan kekerasan/kekuatan atau excluding the use of force dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk ikut dalam proses politik demokrasi tersebut. Maka tesis yang ingin dijawab adalah permasalahan, apakah nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat tersebut benar-benar telah membebaskan kita—khususnya negar-negara di belahan dunia ke tiga—sepenuhnya dari imperialisme pascakemerdekaan dan bangkitnya negara-negara di Aisa dan Afrika (termasuk Amerika Latin) dari penjajahan modern. Sebab, jika menggunakan konsep orientalisme yang dikemukakn oleh Edward W. Said, sangat jelas terlihat bahwa hegemoni, penginternalisasian nilai, dan pengaruh budaya arat terhadap bangsa-bangsa di Timur (umunya yang pernah dijajah) tetap ada dan terwacana dalam onsep baru pascakolonial yang saat ini sangat diidolakan oleh banyak negara yaitu, demokrasi.
Lalu, apakah benar demokrasi yang diusung pula oleh organisasi pembangunan internasional seperti USAID dan World Bank adalah tanpa maksud dan agenda terselubung lainnya, atau jangan-janagn inilah yang disebut dengan imperialisme modern. Dengan memperhatikan sisi demokrasi dari kompetisi yang sehat dan partisipasi yang tinggi dari masyarakat, sebenarnaya tulisan ini tidak bermaksud pada pencarian benar dan salah semata, namun mencoba melihat positif dari nilai demokrasi tersebut dalam rangka wacaan besar negara-negara bekembang, yaitu pembangunan pemerintahan yang demokratis (sistem yang banyak dikatakan oleh beberapa ilmuan sosial sebagai yang terbaik ddari yang terburuk). Dengan teori orientaslisme dari Edwar W. Said, wacana pascakolonial ini akan dipahami lebih jauh.
Menururt seorang ilmuan yang bernama Joseph Conrad, bahwa yang mampu membebaskan penaklukan bumi (imprealisme) yang terjadi berulang-ulang dalam sejarah dunia hanyalah gagasan semata. Gagasan atau persepsilah yang membuat orang saling menjatuhkan satu sama lain. Dari asumsi ini kita dapat melihat bahwa setelah orang dan bangsa-bangsa berhenti berperang dengan menggunakan senjata dan kekuasaannya secara kejam, saat ini imperialisme masih ada yang ingin mengupayakannya meski menggunakan cara-cara yang lebih halus dan tidak terkesan sebagai bentuk imperialisme. Gagasan menjadi senjata pertarungan yang sangat kuat, seperti yang terjadi pada saat liberalisme mampu menjadi pemenang diakhir abad 20 atas ideologi Marxisme dan paham kiri lainnya.
Di bidang politik, liberalisme yang menjelma menjadi demokrasi saat ini sedang ramai dibicarakan dan menjadi tujuan beberapa negara di dunia, meski Indonesia sendiri hanya menggunakannya sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya. Umumnya saat transisi demokrsi itu tersjadi, revolusi hanya digunakan sebagai cara untuk merubah sistem sebelumnya yang dinilai sewenang-wenang dan tidak prorakyat. Padahal sebenarnya, revolusi atau dengan kudeta itu hanya akan menghasilkan kediktatoran baru. Jika hal tersebut terjadi (revolusi dengan kekerasan) dapat mewariskan dampak perwatakan keras pada rakyatnya, seperti di Thailand. Di sana keadaan politik berjalan dengan sangat mengkhawatirkan, kudeta dibalas kudeta, dan proses demokrasi yang mengharapkan saluran-saluran baik seperti pemilu dan partisipasi terabaikan. Di sinilah paham pascakolonial ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme—termasuk keadaan saat ini dengan demokrasi yang diusung oleh Barat—yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan rasisme, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, budaya subaltern, hibriditas dan kreofisasi bukan dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan[3].
Saat ini, dalam pembangunan pemerintahan yang demokratis sedang diwacanakan tentang ruang publik politik. Ini juga merupakan wacana yang lahir dari teori pascakolonial juga teori kritis dipermulaan hingga pertengahan abad ke 20. Ruang publik politik dimaknai sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara untuk membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif.[4] Menurut analisis Habermas ada tiga komponen besar di dalam masyarakat yang kompleks, yaitu Kapitalisme, Negara, dan Masyarakat. Ruang publik politik terletak pada komponen masyarakat (solidaritas sosial), dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang yang otonom dan terbebas dari pengaruh dua komponen lainnya.
Pertanyaan yang timbul sekarang setelah masa kolonial dan berlangsungnya transisi politik yang demokratis adalah, bahwa civil society yang digambarkan sebagai subjek dalam masyarakat yang demokratis seakan bertindak superior bahkan melampaui kekuasaan konstitusi yang ada. Contohnya aksi main hakim sendiri dalam kasus Ahmadiyah di banten. Ada sekelompok orang yang berasal dari organisasi dan perkumpulan tertentu menyerang dan melakukan kekerasan kepada kelompok yang lainnya. Dari hal itu dapat dilihat adanya dilematis demokrasi, di satu sisi sangat menganjurkan lahirnya kelompok-kelompok masyarakat guna dijadikan sarana penyaluran pendapat dan kepentingan, namun di sisi yang lainnya sering kali kelompok-kelompok itu pula yang menimbulkan kekerasan (salah satu hal yang dilarang dalam kompetisi berdemokrasi, termasuk juga dalam hal memeprtahankan pendapat dan keyakinan).
Sering hal semacam ini dikait-kaitkan dengan adanya campur tangan dan rekayasa bangsa Barat guna mencari maksud-maksudnya tertentu, namun yang dapat disimpulkan dalam kaitannya terhadap proses pembangunan pemerintahan yang demokratis adalah bahwa kompetisi yang tidak menggunakan kekerasan sering diabaikan oleh masyarakat. Ini yang mungkin dikatakan sebagai warisan dari watak bangsa yang terjajah, gemar melakukan perlawanan dan mudah untuk terpancing amarahnya, padahal bisa saja di satu sisi mereka sedang diadu domba oeh pihak-pihak yang akan mengambil keuntungan dari hal tersebut. Ini proses yang sulit dan terus dibina pascakolonialisme. Disamping kompetisi demokrasi yang masih didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang punya modal kuat dan pengaruh untuk menggerakan massa kapada hal-hal yang bersifat kekerasa, juga masalah partisipasi adalah bagian yang disororti oleh teori pascakolonialisme.
Dahulu saat penjajahan masih berlangsung, kita dapat dengan jelas melihat bahwa semua orang tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama. Contohnya adalah di Indonesia, pada saat itu negara ini terbagi menjadi tiga golongan kelas sosial dan ekonomi (penjajahan Belanda), ada bangsa Eropa, Asia Timur, baru kemudian yang paling rendah adalah bangsa pribumi. Pembagian kelas ini bisa menggunakan ukuran kekayaan yang dimiliki, contohnya adalah walaupun pribumi dimarjinalkan, ada juga yang menempati posisi penting di pemerintahan karena status sosial dan kekayaan yang dimilikinya. Jelas ketidaksamaan status ini akan merambah ke masalah politik lainnya seperti pembatasn akses informasi dan keikutsertaana dalam partisipasi politik.
Ketika penjajahan itu sudah berakhir dan bangsa-bangsa mulai banyak yang merdeka, pembangunan ke arah demokrasi masih menuai hambatanya. Barat sebagai bangsa yang menjajah, rupanya tidak sepenuhnya menerima kemerdekaan tersebut. Mereka coba untuk memberikan definisi pada bangsa Timur yang dijajahnya menurut kehendak dan kepentingan sendiri. Menurut Edward W. Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi sosial-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Orientalisme sebagai wacana ilmiah yang didorong oleh motifmotif kekuasaan (kolonialisme) yang amat buas. Ia tidak lagi sekedar kajian akademis yang netral, tapi juga dimotifi hasrat politik prasangka. Dia berpendapat bahwa ada ketimpangan ketika negara penjajah menulis tentang daerah jajahannya. Dari beberapa sumber dikatakan bahwa negeri tertindas akan mengalami ketidakadilan dan kekacauan sejarah. Inilah yang akhirnya melahirkan teori orientalisme yang di dalamnya juga terpengaruh oleh teori Gramsci tentang kuasa pengetahuan, hegemoni, dan dominasi.[5]
Kembali pada proses pembangunan politiknya, maka apa yang dikatakan oleh Said dalam orientalismenya tersebut kini telah merubah aktor penjajahnya—dari yang dilakuakn oleh orang-perorang yang mewakili bangsa tertentu—kepada organisasi-organisasi pembangunan internasional. Ketergantungan yang terjadi, baik karena masalah hutang luar negeri maupun karen ketidakmampuan menguasai teknologi—telah membuat bangsa-bngsa yang sedang berkembang dan dulunya sebagai negara jajahan—berada dibawah intervensi dan pengaruh bangsa-angsa Barat baik di bidang ekonomi maupun politik. Hubungannya dengan permasalahan partisipasi dan kompetisi yang sehat adalah prosesnya yang berlangsung lambat, dan masih adanya “kebiasaan” lama masa kolonial yang terjadi di masa trasisi ini.
Aktor-aktor lama dan pemilik modal kuat tetap merajai perpolitikan, setidaknya seperti yang terjadi di Indonesia, partisipasi baru dari orang-orang dan tokoh yang baru pula sangat sedikit dan berjalan lamban. Runtuhnya orde baru rupannya tidak sepenuhnya meruntuhkan orang-orang yang dulu berada di lingkungan dalam pemerintahan Seharto yang terkenal sangat korup dan penuh praktik nepotisme. Saat terjadi desentralisasi mereka tetap hidup dan resisten dengan menguasai daerah-daerah sebagai kepada daerahnya.[6] Di sisi kompetisi yang sehat dan jauh dari kekerasan, permasalahan dan hambatan nampaknya masih terjadi pula. Contoh di Indonesia lagi, bagaimana seringnya terjadi kasus kekerasan pascapemutusan siapa yang menang dalam pilkada. Ada calon-calon yang masih saja menuntut dan merasa tidak puas terhadap KPUD melalui cara-cara yang anarkis dan berujung pada bentrokan masa.
Negara-negara pascakolonialisme seperti “diarahakan” oleh Barat untuk mengguankan sistem pemerintahan yang demokratis, dan sering dikatakan pula bahwa pemerintahan yang demokratis adalah tujuan yang harus dicapai. Padahal, setiap negara memiliki karakteristik dan sejarah bangsanya yang berbeda-beda, mereka punya sistem sendiri yang lebih cocok dan tidak dapat dipaksakan kepada demokrasi (contohnya negara-negara kerajaan Islam yang sudah berlangsung lama sampai saat ini dan cenderugn resisten dibandingkan sistem yang lainnya), sekali lagi demokrasi juga seharusnya hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan bangsa, yaitu kesejahteraan rakyat. Bangsa Timur tidak perlu berkaca pada Barat sepenuhnya dalam pembangunan, namun belajar dan mengambil manfaat dari apa yang dimiliki oleh bangsa Barat itu tidaklah dipermasalahkan.
Negara harus berfikir ulang untuk tidak lagi bersifat represif dalam menggunakan kekuasaannya saat meredakan konflik dan pertentangan yang terjadi di masyarakat. Jika hal itu dilakuakn tidak ubahnya dengan masa kolonial yang mengedepankan cara represif untuk mempertahankan dominasi kekuasaan. Saat ini kita sudah berada pada fase yang berbeda, harus lebih cerdas bersikap dan berfikir tentang apa yang dilakuakn Barat terhadap kita saat ini meski juga tidak selamanya over protective. Jika dirasa demokrasi yang terbaik sampai saat ini, maka hal tersebut meski kita sesuaikan dengan keadaan di dalam negeri masing-masing dan setidaknya butuh proses yang panjang agar benar-benar dapat menunjukan gejala demokrasi yang positif.
Meski salah satu kesimpulan Edward W. Said dalam orientalisme menunjukkan bagaimana politik dan kebudayaan saling berkerjasama baik secara sengaja maupun tidak—yang pada akhirnya melahirkan satu sistem dominasi yang bukan hanya melibatkan kekuatan militer dan serdadu tetapi juga imajinasi sang penguasa dan yang dikuasai—, di masa pascakolonialisme ini hal tersebut sudah harus dirubah menjadi kerjasama politik dan kebudayaan yang dapat mendorong terciptanya kompetisi politik yang sehat dan tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat.
[1] Edward W.Said, Peran Intelektual (terj.), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998 hlm.ii
[2] Samuel P. Huntington, Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman, OK: University of Oklahoma Press: Norman Oklahoma. 1991.
[3] Yani Kusmarni, TEORI POSKOLONIAL, Suatu Kajian Tentang Teori Poskolonial Edward W.Said, makalah tanpa tahun dan penerbit.
[4] Jurgen Habermas, Struktur Wandel der Oeffenlichkeit (1990). Dalam F. Budi hardiman, “Ruang Publik Politik” hal. 43
[5] Edward W. Said, Orientalism, pada bagian The Scope Of Orientalism (1978). Bahan bacaan Kuliah Pemikiran Politik Kontemporer, 7 Maret 2011
[6] Lihat juga Vedi R Hadiz, “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005
0 Response to "“Orientalisme dan Pascakolonialisme: Wacana Pemangunan Demokratisasi”"
Posting Komentar