Gereja HKBP Filadelfia dilarang di Bekasi1


Laporan ini disusun Reporter KBR68H Quinawati Pasaribu, untuk Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum.

Mimpi buruk terus menghantui sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan, HKBP, Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat. Natal lalu, jemaat dipaksa menghentikan ibadahnya.
Sepanjang Januari, gereja sudah diserang beberapa kali. Alasannya sama, tak ada IMB, yang sebetulnya tak kunjung dikeluarkan bupati setempat. Reporter KBR68H Quinawaty Pasaribu menyaksikan langsung ketika gereja diserang Forum Komunikasi Umat Islam FKUI. Mengapa mereka tak boleh ibadah?. Hari Minggu, pertengahan Januari, pukul 9 pagi. Jemaat Gereja HKBP Filadelfia tengah beribadat. "Pokoknya disegel pak, disegel ... betul ... betul ... betulllll ... dari kemarin juga sudah disegel ... segel ... segel ... segel ..." Mendadak, datang puluhan orang yang menyebut diri mereka Forum Komunikasi Umat Islam, FKUI. Menerobos barisan Polisi Tambun, Bekasi, yang tengah berjaga di depan gereja. Ada laki-laki, juga perempuan, mereka datang mengenakan pakaian muslim berwarna putih. Mereka datang dari acara Tabligh Akbar di mesjid yang jaraknya setengah kilometer dari gereja. "Pak kemarin kita enggak anarkis. “ Damai pak. Kita damai. Kenapa enggak dihargai ... kertasnya ada kita hargai. Mereka pada enggak ngehargain ... katanya mereka orang pinter ... pokoknya bubarin ...".
Tujuan mereka hanya satu: jemaat Gereja HKBP Filadelfia tidak boleh beribadah. Mereka memaksa jemaat untuk menghentikan ibadah detik itu juga! Ketua Forum Komunikasi Umat Islam Nesan merobek surat keputusan Bupati yang menurut dia tidak ditaati jemaat Gereja HKBP Filadelfia. "Segel! Dan larang kegiatan ibadah. Karena di sini sudah tercantum jelas melarang kegiatan ibadah dan melarang pembangunan gereja di desa Jejalen Jaya ini. Kalau ini tidak dihargai apa perlu kita sobek-sobek? Tolong jemaah kemari ya. Ini ada Ketua Dewan, ada Pak Sekda, Pak Bupati sudah diwakili, Pak Kapolsek, Danramil, ini surat bupati apa artinya? Hancurkan semua!". Surat Keputusan yang dimaksud adalah surat keputusan Bupati Bekasi Sa'duddin, bertanggal 31 Desember 2009. Surat itu merujuk pada dua aturan, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri soal Pendirian Rumah Ibadah; juga Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi soal Izin Mendirikan Bangunan.
Bupati meminta supaya jemaat Gereja Filadelfia menghentikan pembangunan gereja mereka. Gereja yang sedang dalam proses pembangunan itu juga tak boleh digunakan untuk ibadah. Tak ada tawaran solusi di situ, di mana jemaat bisa dan boleh beribadah. "Masyarakat di sini resah dengan adanya gereja, ditambah lagi pegangan kami surat larangan bupati yang berisi larangan pembangunan dan kegiatan ibadah." Resahnya di mana? "Ya karena ada kegiatan gereja di sini. Sementara di sini lingkungan Muslim." Apakah mereka pernah mengganggu sampai berisik? "Ya kalau itu Anda tahulah, kalau itu kan memang ada suara memang kalau sampai ke arah itu tidak. Pokoknya kami tidak ingin aja. Tidak ingin ada gereja. Intinya satu itu.". Sekretaris Daerah Dadang Mulyadi ada di lokasi gereja, memantau aksi massa sejak awal. Pendapat dia senada dengan FKUI. Jemaat Gereja HKBP Filadelfia tidak boleh beribadah, sebelum ada Izin Mendirikan Bangunan, IMB dari Bupati, kata Dadang. Iya ini surat larangannya sudah turun 31 Desember. Mestinya tidak lagi dilaksanakan, kalau menghargai ini, mestinya seperti itu. Sambil menunggu penyelesaian lebih lanjut. Sudah jelas-jelas di sini disampaikan bahwa dasarnya Peraturan Bersama Menteri, kemudian Peraturan Daerah tentang Ijin Mendirikan Bangunan. Hasil rapat dengan Muspida. Dengan begitu maka pemerintah Kabupaten Bekasi berketetapan menghentikan pembangunan gereja. Kemudian tidak memanfaatkan bangunan gedung untuk kegiatan ibadah sebelum dilakukan pemroresan perijinan sesuai ketentuan yang berlaku. IMB memang belum ada. Jemaat Gereja Filadelfia berinisiatif membangun tempat beribadah sementara, dari triplek, beralaskan tanah merah. Untuk menjaga keamanan, dipasang gerbang setinggi 2 meter. Begitu gereja darurat berdiri pada 2007, sudah beberapa kali diserang. Termasuk serangan dua hari setelah Natal dan dua hari setelah Tahun Baru kemarin, sehingga jemaat terpaksa beribadah di Balai Desa.
Karena itulah, ketika jemaat bersikukuh beribadah di gereja darurat Filadelfia pada pertengahan Januari, Kepolisian bersiaga. Kapolres Bekasi, Herry Wibowo, mengaku sudah tahu soal rencana penyerangan oleh FKUI. Herry Wibowo: "Hari ini kita turunkan 400 personel. Karena memang hari ini saya lihat rawan karena ada tablig akbar dari FPI, sekitar 700 jemaah yang dari Tanjung Priok dan Petamburan, termasuk juga dari masyarakat sini. Ini memang sudah direncanakan lama, jadi bukan untuk tandingan, dan kebetulan ini bersebrangan. Artinya bersebelahan saja. Hanya jarak meter saja, lah ini tentunya ambang gangguannya sangat tinggi sekali." Massa dari Forum Komunikasi Umat Islam FKUI bertahan di depan gerbang gereja selama 1 jam. Mereka mendesak para jemaat menghentikan ibadah. Pendeta HKBP Filadelfia Palti Panjaitan menolak keras permintaan itu. Menurut Pendeta Palti, tidak ada seorang pun yang bisa melarang dirinya, juga jemaatnya, untuk beribadah, tak terkecuali Bupati. Pendeta Palti: "Sekali saya balikkan, kenapa hanya kami didesak?" Kapolres Herry: "Tidak didesak, mereka terdesak juga pak." Pendeta Palti: "Jadi kenapa mereka harus selalu kami ikuti? Kenapa kami tidak mau dulu didengar? Adil dong.".
Sebelum mereka mendirikan gereja darurat, jemaat sempat beribadah dari rumah ke rumah. Pendeta HKBP Filadelfia Palti Panjaitan bercerita, cara ini sudah dilakukan sejak 2000. Itu pun memicu keberatan dari warga sekitar. Mereka diminta tak lagi beribadah di rumah, dianggap mengganggu kenyaman warga sekitar. Karena itu jemaat kemudian membeli ruko, untuk dijadikan tempat beribadah. Palti Panjaitan: "Mendirikan resmi ruko, dengan maksud tempat ibadah. Tetapi ketika ruko ini resmi berdiri, dan kita tempati untuk ibadah, massa datang untuk melarang dan sampai sekarang tidak bisa digunakan."
Jemaat akhirnya mendirikan gereja darurat pada Juni 2007, di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Bekasi. Mereka membeli tanah warga. Rencana pembangunan gereja sudah diketahui warga sekitar, dan mereka tak keberatan, kata Pendeta Palti. Kepala Desa Jejalen Jaya, Bekasi, Sukardi, bahkan mendukung pembangunan gereja.  Sukardi: "Ya banyakan yang mendukung sih Bu. Sebab kan warga saya kurang lebih 13 ribu. Itu kalau diimbangkan, kebanyakan yang dukung daripada yang nolak." Apakah pernah ada warga yang langsung datang dan menyatakan menolak pembangunan gereja? "Enggak pernah, kecuali di forum ada. Kalau secara langsung enggak ada. Warga juga saya tanya ke kampung-kampung, ke RW-RW, enggak ada keberatan. Baik laki atau perempuan, biarin itu agama dia, kebanyakan seperti itu bicaranya Bu.".
Sukardi juga heran, mengapa IMB untuk pembangunan gereja tak kunjung ada. IMB diajukan sejak tiga tahun lalu. Seluruh syarat sudah dilengkapi, sesuai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk pendirian rumah ibadah. Di antaranya, ada 60 tandatangan persetujuan dari umat Islam dan 90 tandatangan umat Kristen Protestan dari warga Desa Jejalen Jaya. Karena itu, kata Sukardi, tak ada alasan untuk tidak mengeluarkan rekomendasi IMB dari Bupati. Gereja HKBP Filadelfia tak terima dengan penyerbuan, juga penyegelan, terhadap tempat ibadah mereka. Pendeta Gereja HKBP Palti Panjaitan mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas HAM. Ia mengadukan kejadian di gerejanya kepada salah satu komisioner Komnas HAM bidang penyidikan, Johny Nelson Simanjuntak. Johny Nelson Simanjuntak: "Tidak bisa, jadi menghentikan kegiatan peribadatan itu siapa pun tidak bisa dihentikan. Itu harus dihormati. Setiap orang harus diberikan kebebasan melakukan itu. Justru di situ persoalan yang berat dalam kasus ini. Bahwa seorang Bupati justru meminta kegiatan ibadah dihentikan. Ini soal yang besar, bukan persoalan sederhana, di sinilah indikasi pelanggaran HAM-nya." Sepekan setelah penyerbuan dan penyegelan itu, jemaat Gereja Filadelfia terpaksa beribadah di depan gerbang gereja yang telah dirantai. Kali ini mereka beruntung, ibadah tak dibubarkan.
 

1Berita tersebut dikutup dari http://www.forumkami.com, diakses pada tanggal 30 Agustus 2010, pukul 12.30
Ulasan :
Ini adalah salah satu tantangan dan pekerjaan rumah pemerintah yang tidak kunjung selesai mengenai keberagaman masyarakat Indonesia. Sejak dahulu permasalah antar umat beragama adalah isu yang sensitif dan kerap menjadi faktor terjadinya disintegrasi di suatu daerah maupun secara nasional, seperti yang terjadi di Poso dan Ambon. Isu ini pula yang sering kali dipolitisir oleh sebagian orang/pihak yang memiliki maksud dan kepentingan pribadi menjadi sebuah kerusuhan massa walaupun sebenarnaya masih banyak faktor lain yang lebih berhubungan jika dibandingkan dengan isu agama semata.
Menurut saya permasalahan yang terjadi pada pelarangan pendirian Gereja di Bekasi tersebut tidaklah semata hanya mengenai kekerasan dan ketidaksukaan sekolompok masyarakat terentu terhadap kelompok masyarakat lain yang menjalankan peribadatan yang berbeda dengannya. Sesungguhnya masalah ini sudah sampai pada tataran elit, yaitu peretntangan antara jemaat Gereja Filadelfia dengan pemerintah setempat, seperti Bupati dan jajarannya. Memang Forum Komunikasi Umat Islam (FKUI) telah melakukan penyerangan beberapa kali ke Gereja tersebut karena ultimatumnya untuk segera menghentikan aktivitas peribadatan sama sekali tidak dindahkan oleh jemaat gereja, bahkan penyegelan dan penjagaan pun telah dilakukan. Namun yang menjadi titik tekan perdebatannya adalah mengenai IMB dan SK Bupati Bekasi Sa'duddin, tertanggal 31 Desember 2009. Surat itu merujuk pada dua aturan, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri soal Pendirian Rumah Ibadah; juga Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi soal Izin Mendirikan Bangunan.
Bukan berarti saya mengeyampingkan pelanggaran HAM yang terjadi terkait pelarangan untuk melakukan peribadatan oleh sekelompok maupun perorangan tertentu, justru saya turut mengecam tindakan tersebut, namun yang ingin dibahas kali ini adalah mengenai izin mendirikan bangunan dan akomodasi yang dilakukan pemerintah setempat. Saya melihat harusnya pemerintah saat itu lebih responsif dan akomodatif terhadap permasalahan, sebab kenyataannya bukanlah kesalahan warga Gereja semata yang bersikukuh tetap melakukan ibadat di Gereja tersebut, tapi kelambanan pemerintah menanggapi kesiapan persyaratan yang telah dipenuhi oleh warga Gereja untuk mendirirkan sebuah tempat peribadatan. Seluruh syarat sudah dilengkapi, sesuai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk pendirian rumah ibadah. Di antaranya, ada 60 tandatangan persetujuan dari umat Islam dan 90 tandatangan umat Kristen Protestan dari warga Desa Jejalen Jaya. Sebenarnya SK yang keluar tersebut, disatu sisi telah menyatakan dengan tegas pelarangan melanjutkan aktifitas apalagi mendirikan Gereja, namun terlihat pemerintah menutup mata untuk melakukan tindakan akomodatif terkait nasib warga Gereja yang selanjutnya mau dikemanakan, dan juga respon terhadap kesiapan persyaratan IMB yang telah mereka miliki. Hal tersebut terlihat dari masih samanya situasi yang terjadi, wagra Gereja bersikukuh dan warga setempat yang menolak juga demikian.
Logika yang saya terima, seharusnya dengan keluarnya SK bersama yang legalitasnya kuat dan memaksa dapat dilaksanakan dengan penuh rasa hormat oleh warga Gereja, namun di satu sisi pemerintah juga harus mampu berfikir selanjutnya bagaimana dengan nasib orang-orang tersebut. Kebebasan beribadat dijamin dengan undang-undang, dan itu harus ditegakakkan, makannya harus ada kompromi untuk bisa mencarikan solusi bersama. Misalnya dengan merelokasi pendirian Gereja yang telah memenuhi syarat tersebut ke daerah yang dimungkinkan dapat menerima dengan sebelumnya melakukan musyawarah dengan warga setempat yang berbeda keyakinan melalui mediasi pemerintah setempat. Selama batasan kebebasan seseorang adalah adanya hak orang lain, maka menurut saya inilah langkah yang terbaik.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Gereja HKBP Filadelfia dilarang di Bekasi1"

Posting Komentar