Negara Kerakyatan Berwatak Liberal
Indonesia yang sejak pembangunan awal konstisusinya pertengahan tahun 1945 sampai akhirnya disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, telah menunjukan itikad untuk menjadikan sebuah negara republik yang berkejahteraan rakyat dan menjunjung keadilan (lihat sila ke-5 Pancasila). Arah ekonominya pun lebih dikenal dengan ekonomi kerakyatan seperti yang dicanangkan oleh Wakil Presiden saat itu Drs. M Hatta melalui gerakan koperasi nasional. Saat ini, pascareformasi dan pembangunan kembali negara,—setelah lama tersandera oleh kesejahteraan palsu orde baru—rupanya semangat untuk menjunjung tinggi keadilan tidak berbanding lurus dengan semangat perbaikan sistem politik negara yang sangat mengidolakan demokrasi. Sebagai contoh, kasus demi kasus terjadi terhadap anak-anak terlantar (anak jalanan) dan fakir miskin khsusnya di perkotaan yang diberlakkan dengan sangat tidak layak atas nama penertibaan dan keindahan kota, Satpol PP dengan “kasar” menangkapi dan memberlakukan anak-anak jalanan dan fakir miskin yang tinggil di pinggiran kota dengan sangat diskriminatif dan tidak mansuiawi (mengusir dan merubuhkan bangunan tempat tinggal).
Ini permasalahan serius mengenai hak warga negara di Indonesia, harusnya para pembuat dan pelaksana kebijakan melihat kembali Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi, ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; dan ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.[1] Jika kejadiannya seperti sekarang ini, yang nampak adalah fenomena liberal yang terjadi di sebuah negara yang “katanya” juga menjunjung kerakyatan dan keadilan sosial, padahal jka kita melihat kembali konstitusi negara dan semangat para pendiri bangsa Indonesia dahulu, jelas bahwa Indonesia adalah bangsa yang sebenarnya sangat bersifat kerakyatan seperti termuat pula pada rancangan untuk program proletar di Indonesia bidang sosial (ditulis oleh Tan Malaka, 1926), poin ke-6, yaitu memberikan hak sosial, ekonomi, dan politik kepada tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan[2].
Setelah mencermati perdebatan tentang hak antara dua pihak di atas—pemerintah dan rakyat—kemudian timul asumsi-asumsi dan pertanyaan mendasar. Bangsa Indonesia dikenal lama sebagai bangsa yang menjunjung keadilan sosial, hal itu terlihat jelas dalam butir sila ke-5 Pancasila dan salah satunya lagi pada Pasal 34 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Kenyataannya saat ini liberalisme dengan semangat demokrasi di bidang politik telah merubah paradigma para pemimpin bangsa ini (sekarang) untuk mengesampingkan aspek penjaminan sosial dan tanggung jawab negara terhadap warganya, diantaranya nampak saat terjadi penertiban dan penggusuran warga pinggiran kota dengan dalih menjaga keindahan tata dan kebersihan kota dari “penyakit masyarakat”. Pandangan Indonesia mirip dengan asumsi liberalisme yang menganggap individu adalah otonom dan tidak perlu ada campur tangan negara. Pertanyaannya adalah apakah kemudian yang terjadi saat ini terhadap warga negara yang terkesan dikesampingkan oleh pemerintah dalam hal penjaminan hak individu (seperti kasus Satpol PP di atas) adalah pengaruh pembangunan demokrasi yang saat ini sangat diagung-agungkan ?. apakah Indonesia telah mengalami krisis orientasi pembangunan bangsanya ?
0 Response to "Negara Kerakyatan Berwatak Liberal"
Posting Komentar