“Islam Politik dan Civil Society di Indonesia: Partai Politik Islam Dalam Pembangunan Civil Society di Indonesia”
Latar Belakang dan Permasalahan
Keadaan kuantitatif dan kualitatif muslimin di Indonesia merupakan potensi besar yang masih dan akan terus menjadi diskursus menarik, baik di bidang pembangunan ekonomi maupun politik. Sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia menempatkan Indonesia di posisi strategis dalam pembicaraan perdamaian dunia, apalagi setelah ramai dan berkembang pesatnya isu terorisme yang menyudutkan Islam sebagai pelaku dan pihak yang paling bertanggung jawab. Itu adalah potensi secara kuantitatif, sedangkan potensi Indonesia secara kualitatif sekaligus peranannya sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim adalah keberagaman suku dan agamanya yang hidup bersama sebagai sebuah bangsa.
Maka selanjutnya adalah wajar jika abad sekarang ini—setelah banyaknya rezim-rezim otoriter di negara-negara berkembang mulai runtuh dan digantikan rezim yang lebih demokratis--, apalagi di era “kemenagannya liberalisme”[1] semua bangsa di dunia dituntut untuk lebih terbuka, menerima perbedaan, dan memberikan hak kepada individu untuk berkembang dan mengamalkan nilai-nilai demikrasi. Bahkan sekarang ini terkesan bahwa demokrasi adalah nilai terbaik sebagai sebuah sistem amupun ideoligi, negara manapun pasti menyatakan banhwa dirinya adadalah demikratis, walaupun sebenarnya tidak demikian dan demokrasi itu sendiri baru dilaksanakan secara parsial.
Inilah yang menyebabkan nilai-nilai Barat seperti liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi seakan disakralkan dan menjadi dambaan, lebih-lebih sebagai parameter baik buruknya sebuah bangsa, dan tidak heran pula jika penjelasan sebelumnya yang menyatakan banyak negara yang mengaku dirinya demokratis, sampai saat ini dimaknai dengan bentuk politik pencitraan di mata dunia. Secara serentak negara-negara berkembang—termasuk negara-negara Islam yang dinilai tidak demokratis dan terkesan otoriter dengan kekuasaannya di tangan raja, khalifah, atau sultan---mulai berbenah mencari wajahnya yang bisa diterima dunia.
Diantara agenda yang harus dipenuhi dalam konsolidasi demokrasi tersebut antara lain yaitu: Penyelenggaraan pemilu, hubungan sipil-militer, proyek otonomi daerah, kebebasan pers, pembangunan kekuatan masyarakat, pengembangan prilaku kepemimpinan, pengembangan budaya politik demokrasi yang berakar pada egalitarianisme dan pluralisme, pengembangan etika politik, pembangunan ekonomi yang adil, penegakan hukum, dan yang terakhir, menjaga keutuhan wilayah territorial.
Isu-isu politik di atas telah menunjukan kepada kita bahwa proses terlaksananya demokrasi berbagai belahan dunia Islam (dalam pembahasan selanjutnya di makalah ini), khusunya di Indonesia masih membutuhkan waktu yang panjang. Jika kita hadapkan antara konsep demokrasi dan Islam dan menempatkannya pada ruang-lingkup keindonesiaan, maka kita akan menemukan kisi-kisi dan benturan yang cukup banyak menuai kontroversi, karena mengaitkan antara Demokrasi, Islam dan Indonesia, adalah bagaimana menemukan benang merah konsepsi tentang demokrasi Islam di Indonesia. Kalau kita menghadapkan antara demokrasi dan Islam, tentunya akan tidak terlalu sulit, karena Islam sendiri telah mengandung unsur-unsur demokrasi.
Kenapa dikatan bahwa pada dasarnya Islam dan nilai-nilai demokrasi itu besesuaian, karena Islam dalam ajarannya juga mengajarkan nilai-nilai demikian, namun dalam pembentukannya—Islam dan demokrasi di Indonesia—membutuhkan waktu yang panjang dalam bahasannya di dalam sebuah negara, sebenarnya jawabannya adalah karena konsep demokrasi itu sendiri yang lahir di Barat adalah setelah lama dari kelahiran Islam di dunia ini (perbedaan rentang waktu). Apalagi jika membahasnya dalam konteks keIndonesiaan, ini bukanlah proses yang mudah walaupun Indonesia sendiri secara jumlah penduduk muslimnya adalah yang terbesar.
Lahirnya gerakan kepemudaan pada tahun 1908 dan disusul lahirnya gerakan-gerakan Islam seperti Serikat Islam ,Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Masjumi dan sebagainya baik yang bermuatan politis maupun tidak secara rentang waktu barulah pada masa yang muda jika dibandingkan dengan lahirnya pergerakan civil society itu sendiri di Eropa. Walaupun pada awalnya ada beberap yang menisbatkan dirinya untuk bergerak penuh pada bidang pendidikan, kebudayaan, dan pengembangan masyarakat (gerak horizontal), tapi karena tuntutan zaman yang menhaharuskan adanya gerakan yang bersifat vertikal, mau tidak mau gerakan-gerakan itu pun (partai dan organisasi Islam) bergerak juga ke ranah politik.
Tapi ada perdebatan juga saat ini, bukankah masa itu jika dilihat dengan banyaknya partai Islam yang lahir justru telah menunjukan bahwa Islam politik di Indonesia sudah mengerti nilai-nilai demokrasi serta kebebasan, dan tidak seperti sangkaan banyak orang bahwa Islam di Indonesia, terlebih Islam itu sendir jauh dari nilai-nilai demokrasi?. Mungkin pemahaman sederhananya yang belum dimiliki Islam di Indonesia saat itu, atau mungkin juga kebanyakan orang lainnya yang tidak menonjolkan masalah agama adalah istilah-istilah yang terkait dengan demokrasi kemasyarakan (dalam hal ini masyarakat Islam yang melakukan perjuanagn kemerdekaan melalui partai politik).
Dan setelah sedikit membahas permasalah dan kaitan anatara nilai-nilai demokrasi dan Islam di Indonesia, penulis mencoba untuk merumuskan pembahasaan dalam makalah ini menjadi sebuah tema yang komprehensif. Untuk itu sebelumya kita harus memahami dua variabel turunan yang akan dihubungkan agar pembahasan yang masih bersifat normatif ini dapat dijelaskan dalam permasalahn dan fenomena empirik.
Untuk membahas islam politik di Indonesia penulis menggunakan Partai Politik Islam sebagai objek yang akan dibicarakan dan terkait dengan demokrasi itu sendiri penulis menggunakan civi society sebagai instrumen dari sekian banyak nilai-nilai turunan demokrasi agar tidak terjadi pelebaran dalam pembahasannya nanti. Maka setelah dirangkum menjadi satu, tema dalam makalah ini adalah Islam politik dan civil society: partai politik Islam dalam pembangunan civil society di Indonesia. Mengenai pembahasan tentang ciri negara demokrasi, Islam dan pergulatannya dalam wacana civil society sebagai instrument penting demokrasi itu sendiri akan dibahas pada sub-bab selanjutnya.
Selanjutnya yang menjadi penting dalam pembahsan makalah ini adalah bukan sekedar bagaimana hubungan partai politik Islam membentuk civil society, tapi juga bagaimana kiprahnya partai politik Islam itu turun mambangun budaya demokrasi, termasuk civil society itu sendiri sebagai sebuah konsep baru yang belum banyak dikenal sebelum tahun 1990an.
Menurut Taufik Abdullah, kalau sejarah wacana politik di tanah air kita kaji lagi, maka tampaklah bahwa ketika kata “demokrasi” pertama kali dipakai konsep ini dipahami sebagai bagian yang esensial dari “kemajuan” dan “dunia maju” dua konsep yang merupakan landasan ideologis yang paling awal mempengaruhi golongan terpelajar yang masih segelintir[2]. Proses pembangunan dan perubahan ke arah lebih baik lagi ini sering kali terkendala manakala sistem pemerintahan yang sedang berlangsung adalah sistem ototriter.
Dalam sejarah Indonesia misalnya, sistem pemerintahan demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno telah sedikit banyak menghambat kebebasan rakyat untuk berpendapat dan mengontril jalannya pemerintahan. Contohnya adalah partai Islam Masjumi yang pada tahun 1960 secara paksa melalui peraturan pemerintah harus memebubarkan dirinya secara mandiri setelah diultimatum dalam batas waktu tertentu. begitu juga dengan nasib Partai Islam lainnya di masa orde baru. Penyederhanaan partai menjadi tiga buah partia saja secara tidak langsung telah mengkebiri peran partai-partai Islam dalam pentas nasional, meski masih ada wadahnya yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tapi tetap saja manipulasi politik secara sistematis oleh rezim orde baru membuat gerak partai berlambang kabah tersebut tetap tak berarti.
Untuk itu dalam makalah ini penulis coba merumuskan hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai pertanyaan permasalahannya. Pertama yang ingin dicari tahu adalah latar belakang kelahiran Islam politk di Indonesia, dari mulai lahirnya Islam di Indonesia, permasalahan yang melingkupinya hingga bermagai macam problematika Islam politik dalam kancahnya di Indonesai selama ini. Selanjutnya adalah mengenai civil society. Penulis berupaya mencari tahu sejarah kelahirannya di Indonesia, definisi civil society, dan peran-perannya dalam sebuah pembangunan negara. Dengan mengaitkan hubungan antara Islam politik dan civil society dalam upaya penyatuannya dalam sebuah negara, permasalahan Partai politik Islam sebagai sebuah civil society, diharapkan didapatkan sebuah gambaran yang umum tentang posisi partai politik Islam dalam pembangunan civil society di Indonesia.
Sebelum memahami lebih jauh tentang civil society, Robert A. Dahl menjelaskan, bahwa sebuah rezim politik (baca: pemimpin) dapat dianggap sebagai demokratis kalau ia: (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) menggembangkan pola kehidupan politik yang kompetitif; (3) dan memberikan perlindungan terhadap kebebasan masyarakat (civil liberties)[3].
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kita sedikit simpulkan bahwa proses jalannya demokrasi menuntut adanya hubungan dua pihak yang saling berkaitan dalam mewujudkan iklim demokrasi, yaitu pemimpin yang dipercaya (diberi mandat oleh golongan masyarakat) dan masyarakat itu sendiri, hubungan emosional ini, sangat menentukan jalannya laju Demokrasi dalam suatu pemerintahan atau organisasi. Kebijakan seorang pemimpin yang demokratis adalah pengejawantahan kebutuhan golongan masyarakat. Hubungan yang terjalin ini, tak ubahnya seperti “mesin” peramping opini (masyarakat luas) yang secara sistematis diangkut dan disampaikan kembali oleh pemimpin, sesuai dengan opini yang ada. Mesin peramping opini inilah yang saat ini lebih kenal sebagai partai politik (parpol).
Posisi Islam dan masyarakatnya yang banyak terdapat di Indonesia tidak dapatlah dipungkiri perannya dalam pembangunan. Apalagi ketika berbicara pembangunan masyarakat ke arah demokrasi pascaruntuhnya rezim otoriter. Hal inilah yang tidak boleh dimaknai dengan istilah “jika umat Islam memimpin suatu negara yang baru terbebas dari pemeritaan otoriter, maka dikhawatirkan sistem otoritarian akan terulang kembali”. Mulai sekarang harusnya kita memandang kenyataan ini dengan positif, sebab umat Islam merupakan basis bagi perubahan sosial-politik di Indonesia. Mereka memiliki potensi yang sangat besar dalam menentukan format dan kehidupan politik Indonesia. Dengan ungkapan lain, umat Islam Indonesia memiliki prasyarat -setidaknya secara kuantitatif- bagi pertumbuhan dan penguatan civil socitety[4]
Islam, Kelahirannya di Indonesia, dan Awal Pemikiran
Masuknya Islam di Indonesia dan umumnya penyebaran Islam dimanapun tidak perlu dilihat sebagai suatu perkembangan yang tiada hubungan dengan agama-agama dunia sebelumnya. Islam mengajarkan serta menekankan ajaran-ajaran agama yang dibawa nabi-nabi terdahulu, dan oleh sebab itu dapat dianggap sebagai lanjutan ajaran para nabi terdahulu tersebut. Saat masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Persia dan Asia Barat lainnya, Islam membawa nuansa dan sesuatu (ajaran) yang berbeda dengan ajaran agama sebelumnya. Lahir dari pinggiran-pinggiran kota dan pelabuhan-pelabuhan perdagangan, Islam disebarkan oleh para pedagang tadi dengan cara damai (penetration pacifique) dan melalui jalur kerajaan ke seluruh Indonesia.
Pertama islam masuk ke Indonesia melalui jalan damai. Dengan adanya perkawinan dengan penduduk lokal, cara untuk memeluk Islam yang sederhana hanya melalui ucapan syahadat, ajarannya yang sangat komprehensif mengatur seluruh segi kehidupan, dan peribadatannya yang tidak ngejelimet, telah membuat agama Islam dapat diterima dan cepat menyebar ke seluruh Indonesia. Cara yang kedua ketika Islam masuk ke Indonesia adalah dengan jalur kerajaan. Umumnya kerajaan-kerajaan yang berada di daerah pesisir lebih mudah dan lebih dahulu menerima Islam dibandingkan kerajaan yang berada di pedalaman daratan. Saat seorang Raja sudah memeluk keyakinan Islam, maka berdasarkan corak budaya paternalistik dan patrilineal yang umumnya ada di Indonesia, rakyat pun dengan senang hati akan mengikuti keyakinan baru Sang Raja tersebut. Bagi orang-orang yang tidak mau menerima agama Islam, mereka dengan sendirinya akan keluar dari Kerajaan.
Terkait dua pandangan tersebut yang dinilai sebagai sifat damai Islam dalam penyebaranya di Indonesia, rupanya beberapa ahli sejarah juga menilai bahwa Islam tidak selalu berkembang dengan jalan damai. Seperti yang diungkapkan oleh M.C Ricklefs, bahwa kadang-kadang Islam disebarkan ke kawasan-kawasan lain melalui peperangan[5].
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri pascamasuknya Islam di Indoneisa adalah bahwa agama Islam bukanlah agama dan kepercayaan yang pertama masuk ke Indoneisa, sebelumnya kebudayaan Hindu-Budha telah berabad-abad lamanya berkembang di Indonesia juga dalam bentuk kerajaan-kerajaan, termasuk yang sangat termasyur namanya seperi Sriwijaya dan Majapahit. Dari hal ini berarti bahwa Islam tidak akan sepenuhnya utuh diterapkan di Indonesia dan dianut oleh para pemeluknya saat itu maupun saat ini. Sifat dari kebudayaan Indoneisia yang sangat akomodatif dan cenderung akulturasi, tidak akan serta merta menghilangan kepercayaan dan budaya lama saat ada kepercayaan dan budaya baru yang dianut oleh masyarakatnya.
Sebagai contoh norma-norma etika dan moral, kebiasaan serta adat istiadat yang tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dapat dibiarkan atau ditoleransi, dan dalam batas tertentu berangsur-angsur masuk menjadi bagian tradisi dalam kalangan umat Islam[6]. Umpamanya menurut Deliar Noer adalah kegiatan kenduri atau slametan yang memeng berasal dari masa sebelum Islam tiba. Namun hal ini juga menyebabkan pertikaian, lebih-lebih perpecahan dalam kalangan Islam ketika mulai terbentuknya dua golongan, yaitu golongan pembaharu umat—yang selanjutya kita sebut dengan Islam modern—dan golongan tradisional—ini juga selanjutnya kita sebut dengan Islam tradisional.
Dari sinilah kemudian pertentangan pemikiran antara Islam modern dengan Islam tradisionalis yang awalnya hanya seputar upacara dan tata kebiasaan sehari-hari, berlanjut ke bidang yang lebih luas lagi seperti peribadatan dan hingga masalah politik. Golongan Islam yang satu merasa memiliki status quo dan merasa eksistensinya terusik, yang satu lagi hadir dengan tujuan memperbaiki dan berkeinginan mengembalikan ajaran agama Islam kepada yang sesungguhnya setelah melihhat terlalu banyak terjadi penyimpangan dan percampuradukan dengan budaya mistik tradisional.
Namun yang akan dalam masalah ini bukanlah perdebatan tersebut, terlebih lagi antara Islam tradisional dengan Islam modern. Namun fenomena Islam dari kelahirnya hingga perkembanganya di Indonesia data menjadi gambaran tentang peranan partai Islam nantinya dalam upaya pembangunan civil society. Islam di Indonesia bukanlah Islam yang tunggal secara pemikiran, tapi banyak juga yang mengartikan percabangannya itu setidaknya ada juga Islam yang dibilang tradisionals dan ada Islam modern. Inilah yang mewarnai jalannya sejarah partai Islam di Indonesia beserta pemikiran-pemikirannya.
Civil Society
Civil society adalah sebuah konsep dan salah satu instrument dalam sistem pemerintahan dan masyarakat yang demokratis. Konsep ini baru ramai muncul dan dikenal di Indoneisa pada tahun 1990an, meskipun begitu sebenarnya dalam masa perjuangan kemerdekaan pun nilai-nnilai yang terkandung dalam civil society juga sudah nampak. Lahirnya partai-partai dan organisasi keislaman sebelum Indonesia merdeka dapat menjadi buktinya.
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris civil society, mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Konsep civil society ini lahir pada abad ke-17, sezaman dengan lahirnya liberalisme politik dan agama di Eropa. Oleh karena itu, civil society ini tidak bisa terlepas dari pergolakan ideologi Barat pada era renaissance (zaman pencerahan Eropa) – yang menggagas kebebasan berideologi. Sebagai sebuah konsep, harus diakui bahwa civil society memiliki akar dalam sejarah pemikiran sekuler Barat.
Konsep civil society tersebut dipahami dari latar belakang sejarahnya. Akar perkembangan konsep ini bisa di runut dari zaman Cicero, bahkan Aristoteles. Cicero mengeluarkan istilah societas civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa, hingga abad ke 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Jadi, istilah-istilah seperti koinonia politike, societas civilis, societa civile, buergerliche gessellschaft, civil society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state dan stato[7].
Konsep ini terus berkembang, dan boleh jadi saling melengkapi. Konsep civil society model Cicero di maksud sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antara individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat kota, misalnya, menurut Cicero merupakan masyarakat yang telah menundukan dirinya di bawah supremasi hukum (civil law) sebagai dasar yang menentukan hidup bersama. Bisa di katakan bahwa proses membentuk civil society itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.
Di masa selanjutnya, nyaris selang berabad-abad lamanya setelah istilah tersebut tenggelam, John locke dan Rousseau menghidupkannya kembali sebagai istilah yang di pakai dalam menganalisis hubungan masyarakat dengan politik. Locke, misalnya mengidensipikasikan civil society sebagai " masyarakat politik" (political society). Ciri dari civil society, selain terkait dengan tata hukum, juga dalam konteks ekonomi dan perkembangan zaman yang mampu menyejahterakan dan memuliakan hidup sebuah masyarakat beradab.
Sementara Rousseau menggaris bawahinya lebih lanjut dengan mengatakan bahwa masyarakat politik itu tercipta lewat adanya kontrak sosial(social contract). Tapi, yang perlu di garis bawahi disini adalah, ternyata konsep civil society Locke dan Rousseau belum membedakan antara civil society dengan negara. Bahkan keduanya beranggapan bahwa civil society adalah pemerintahan sipil yang membedakan diri dari masyarakat alami-yang muncul sebagai prakondisi civil society.
Mencari akar defenisi dari konteks Barat pada hakekatnya adalah sebagai sebuah konsep yang berasal dari proses sejarah masyarakat Barat merupakan cerminan sebuah tatanan sosial-kemasyarakatan yang antara lain dicirikan tiga hal. Pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya tatkala berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas (free public sphere) sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Civil society juga dapat didefinisikan sebagai, wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan. Antara lain: kesukarelaan( voluntary), keswasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandiriian tinggi berhadapan dengan negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Ide civil society ini tumbuh dan berkembang pada era renaissance ketika timbul gerakan melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Abad pencerahan adalah kebangkitan Eropa, liberalisme, dan sekulerisme menjadi paham baru yang menentukan masa depan Barat.
Lahirnya Pemikiran Untuk Menyatukan Islam dan Negara
Saat ini, tantangan dan keniscayaan yang mungkin adalah bahwa bernegara adalah berdemokrasi. Dunia saat ini sudah memiliki pandangan demikian, meski masih ada beberapa yang menganut sistim monarki dan junta militer yang terkesan otoriter. Tapi itu semua sudah tidak murni lagi nampaknya, lihat saja China dengan sistem pemerintahan terpusatnya (komunis) namun tidak demikian di bidang ekonominya yang sedikit banyak mengadopsi nilai-nilai kapitalis.
Demokrasi di Indonesia nampaknya punya warna tersendiri dengan menempatkan Islam dalam posisi yang strategis. Maka lahirnya pemikiran untuk menyatukan Islam dan negara atau Islam sebagai sebuah civil society adalah sebuah keniscayaan, bukan lagi tuntutan. Sebagaimana kita ketahui, di Indonesia ada dua organisasi keagamaan besar, yaitu Muhammadiyah dan NU, yang lahir sejak masa pra-kemerdekaan. Dan, sejak Indonesia merdeka atau orde lama, dua organisasi tersebut selalu menjadi kekuatan sosio-kultural yang bisa dikatakan menjembatani antara kepentingan rakyat dan pemerintah. Demikian juga pada masa orde baru. Pergulatan intensif antara Islam dan negara sejak 1950-an sampai 1980-an juga melibatkan dua organisasi tersebut dan sejumlah pemikir muslim[8].
Terlihat jelas dari pemaparan di atas jika sebelum berbicara partai politik Islam sebagai cicil society, di Indonesia telah lebih dulu berkembang organisasi masa keislaman yang dimotori oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sekurang-kurangnya sampai saat ini. Meski pada awalnya pergerak tersebut bersifat horizontal—bertujuan memajukan masyarakan melalui pendidikan dan pembekalan keterampilan serta lebih bersifat seperti paguyuban—dalam perkembangannya juga hubungan horizontal Islam politik dengan negara tidak dapat dihindarkan—seperti pemaparan dalam latar belakang di atas—dalam pembangunan sebuah negara yang masyarakat juga ada di dalamnya.
Menurut M. Zainuddin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: Syura, Musawah, Adalah, Amanah, Masuliyyah dan Hurriyyah. Pertama, al-Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an[9]. Hal ini nampak jelas dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Lalu dalam Surat dan Ayat yang berbeda juga dijelaskan tentang nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam AlQuran, yaitu
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# ( #sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[10]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah. Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Dari penjelasan dua ayat Al-Quran di atas jelas bahwa pada hakikatnya baik Islam itu sendiri maupun partai politik Islam tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang lahir dan besar di Barat. Hal ini juga sekaligus meruntuhkan tesis Huntington[11] dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi”. Penyatuan Islam dengan negara tidak lagi sebagai wacana, semua sudah jelas upayanya dilakukan di Inndonesia ini. Sebagai gambaran adalah bagaimana perseteruan pada awal kemerdekaan Indonesia dan penyusunan dasar negara, ini jugalah yang digambarkan oleh Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno vs Natsir yaitu perseteruan nyata antara orang-orang sekuler dengan orang-orang dari golongan Islam saat sidang BPUPKI yang sering menemui jalan buntu ketika akan menyusun konstitusi dan dasar negara[12].
Dari Politik Hingga Islam Politik
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
165. dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini bukan redaksional yang hanya ditujukan bagi kaum muslimin dan kaum kafirin. Namun, ini adalah redaksi yang ditujukan bagi manusia secara umum dan memberikan pengertian dengan amat jelas bahwa gerakan sejarah dan perkembangannya terjadi oleh perbuatan manusia dengan kehendak bebasnya, yang berakhir pada kekuatan peradaban di atas bumi atau berakhir pada kehancuran dan kefanaan untuk digantikan oleh makhluk lain[13].
Sebelum membahsa lebih jauh tentang Islam politik di Indonesia dan segala permasalahan yang melingkupinya, terlebih dahulu harus diketahui tentang pengertian dan makna politik menurut Islam sehingga didapatkan penjelasan yang sifatnya bukan untuk membeda-bedakan dengan konsep yang lahir di Barat, namun untuk memberikan tambahan khasanah dalam bidang keilmuan.
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib)[14].
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Sedangkan dalam pengertian terminlogi Barat, politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]). Dari pengertian tersebut jika kita membandingkanya, ternyata terdapat persamaan makna dan tujuan dari politik itu sendiri, baik yang beasal dari Islam maupun yang berasal dari budaya Barat. Dari definisi inilah kemudian kita berangkat untuk memahami apa yang dimaksud dengan Islam politik (kaitan anatar Islam dan kehidupan berpolitik).
Politik Islam atau sering disebut Islam politik ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik[15].
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam. Hal ini menjelaskan bahwa Islam sebagai sebuah agama tidaklah dapat dipisahkan dari negara dan bidang-bidang lainnya (syumulliyatul islam). Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".
Masyarakat Madani Sebagai Civil Society
Di Indonesia, istilah civil society oleh Nurcholis Madjid dipadankan dengan istilah masyarakat Madani[16]. Meskipun mirip, namun keduanya secara prinsipil memiliki perbedaan. Civil society berakar dari Barat, sedangkan masyarakat Madani adalah hasil pemikiran yang mengacu pada piagam Madinah, yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam. Civil society dibentuk dengan ideologi demokratis. Meski menggunakan istilah masyarakat madani, Cak Nur (Nurcholis Madjid) rupanya secara konsepsi meniru civil society yang lahir di Barat. Sehingga masyarakat Madani yang dimaksud Nurcholis sebenarnya adalah civil society itu sendiri[17].
Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani sebagai masyarakat yang berkeadaban memiliki ciri-ciri, antara lain egalitarianisme, menghargai prestasi, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme, serta musyawarah. Nilai-niali pluralisme ditegakkan dalam konsep masyarakat sipil, dan tentunya truth claim agama mesti dienyahkan karena dianggap akan menghalangi tegaknya demokratisasi dan toleransi beragama. Dengan demikian Cak Nur merekonstruksi konsep masyarakat Madani, yang bersenyawa konsep civil society.
Uraian Nurcholis Madjid terhadap Masyrakat Madinah yang diibaratkan sebagai sebuah civil society tidaklah tanpa hambatan dan perdebatan dari banyak kalangan lainnya. Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari kelompok yang menggunakan civil society dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir utamanya. Perbedaan utamanya terketak pada bentuk masyarakat ideal dalam civil society tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan “Islam kultural” namun contoh kota madinah dianggap kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia[18].
Meski perdebatan antara dua kelompok tersebut masih berlangsung dan menjadi pembicaraan hangat terkait civil society di Indonesia, nampaknya masyarakat kota Madinah telah memenuhi nilai-nilai sebagai sebuah negara atau masyarakat yang otonom. Setidanya sudah ada nilai-nilai sebagai sebuah negara yang prulais (terdapat banyak suku dan masih diberikannya hak bermukim bagi penduduk beragama non-muslim), dan yang terpenting adalah sifat otonomnya itu sendiri yang diperkuat dengan sebuah konstitusi yang kita kenal dengan sebutan Piagam Madinah.
Problema Partai Politik Islam Sebaggai Civil Society
Al-Quran tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti dan kering yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri. Alasannya adalah. Pertama, Al-Quran pada prinsipnya adalah petunjuk etika bagi manusia, ia bukanlah kitab ilmu politik. Kedua, sudah merupakan suatu kenyataan bila institusi-institusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa. Tujuan terpenting Al-Quran adalah agar nilai-nilai dan perintah-perintah etikanya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia[19].
Inilah yang menjadi problema pertama Islam politik yang diwakili oleh partai-partai Islam di Indonesia. Banyak pihak baik itu kelompok naisonalis maupu kelompok yang terang-terangan menyatakan dirinya sekuler menuding bahwa Islam politik adalah suatu pilihan dalam politik yang keliru, mereka menilai bahwa agama adalah masalah privat setiap orang dan urusan-urusan kenegaraan adalah masalah yang tidak diatur oleh agama apalagi untuk dicampuradukan.
Namun nampaknya kelompok-kelompok penentang itu lupa dengan sejarah bangsanya sendiri. sebagai contoh norma-norma etika dan moral, kebiasaan serta adat istiadat yang tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dapat dibiarkan atau ditoleransi, dan dalam batas tertentu berangsur-angsur masuk menjadi bagian tradisi dalam kalangan umat Islam[20]. Masih ingat kita bagaimana dahulu dalam kedatangannya Islam ke Indonesia dengan cara yang damai mampu diterima di hampir seluruh kerajaan dan masyarakat di Indonesia. Dan hal yang menariknya dalah bahwa masuknya Islam tersebut tidak serta merta merubah tatanan masyarakat yang sudah ada dan menggantinya dengan nilai-nilai Islam secara keseluruhan. Maka kenallah kita saat ini dengan penyebutan antara dua kelompok Islam di Indoneisa, yaitu Islam tradisional dan Islam modern.
Kaitannya dengan masalah politik dan hubungan vertikal masyarakat dan negara adalah ketika raja-raja saat itu dapat menerima Islam dan tidak hanya menjadikan Islam sebagai sesuatu yang sifatnya privat, mereka yang sebelumnya menganut sistem kerajaan Hindu-Budha dengan senang hati dan secara massal merubah sistem kenegaraannya menjadi kesultanan yang sarat dengan niali-nilai keislaman. Inilah sebagai bukti tersebut. Bagaimana dalam sejarah kenegaraan (saat itu masih berbentuk kerajaan) di Indonesia, nilai-nilai Islam pernah dijadikan pegangan dan sistim utama pemerintahan—seperti kerajaan Samudera Pasai, Demak, Mataram Baru, Gowa-Tallo, dan lain-lain--, sekaligus membantah keterangan kelompok penentang Islam politik (kebanyakan dari mereka adalah kelompok abangan) bahwa Islam tidak bisa disatukan dengan urusan kenegaraan (politik)
Pada umumnya para ilmuan menyebutkan dua faktor yang menyebaban terjadinya perubahan politik, yaitu konflik kepentingan dan gagasan atau nilai-nilai baru[21]. Islam dalam posisinya dalam pembahasan tersebut juga sedikit banyak bisa dikatakan sebagai gagasan dan nilai-nilai baru. Jelas menurut terori yang ada nilai-nilai baru ini mampu mendatangkan konflik dan itu terbukti dalam sejarahnya di Indonesia.
Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam.
Permasalahan yang kedua ini nampak nyata di kehidupan politik manakala sistem demokrasi parlementer berlangsung di tahun 1950an. Pada mulanya tampak berkembang suatu kerjasama yang cukup baik antara dua kekuatan utama dalam parlemen, yaitu antara Partai Nasional Indonesia dan Partai Islam Masjum, yang telah memungkinkan mereka bersama-sama memimpin pemerintahan, walaupun kabinet di dalam mana mereka berkoalisi sering berganti. Biasanya koalisi yang mereka pimpin itu didukung oleh sebuah kekuatan menengah di dalam parlemen, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan beberapa partai kecil seperti partai Khatolik dan Partai Keristen Indonesia[22]. Sering berganti-gantinnya kabinet ini banyak disebabkan juga oleh masaah konflik internal di dalam kelompok Islam politik yang memiliki cara pandang berbeda dan mulainya tergerus oleh kepentingan kekuasaan semata.
Gambaran lainnya yang menunjukan konflik antara Islam politik dan kelompok yang menetangnya—setidaknya dalam masalah dasar negara yang seharusnya digunakan--adalah pada saat koalisi PNI-Masjumi (April 1952-Juni 1953). Sejak permulaannya (kedua partai tersebut) memang merupakan mitra yang tidak bersemangat untuk bekerja sama. PNI semakin mencurigai motivasi-motivasi keagamaan dan beberapa pimpinan Masjumi dan mencari sekutu-sekutu untuk membantunya menunda pemilihan umum, karena merasa takut bahwa Masjumi mungkin akan meperoleh kemenagan yang sangat besar[23]. Begitu juga dalam Undang-Undang Sementara RI di dalam Pasal 18 yang berisi penjaminan kemerdekaan beragama di RI dirasakan oleh saudara-saudara sebangsa kita yang beragama Keristen belum cukup menjamin kemerdekaan beragama di negeri ini. Ternyata ada semacam keragu-raguan di kalangan anggota parlemen saat itu, terhadap sikap umat Islam, tentang kemerdekaan beragama di sini[24].
Selanjutnya pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya. Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam.
Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik. Namun yang mesti disadari dari merebaknaya partai-partai Islam tersebut adalah dua hal yang saling berkontradiksi. Pertama banyaknya partai Islam tersebut dinilai sebagai kemenagan Islam politik secara struktural dan penerimaannya dalam masyarakat. Terlihat bahwa cita-cita demokrasi terlebih masalah civil society dalam Islam akhirnya dapat berkembang pesat setelah lama terkukung dibawah rezim pemerintahan otoriter. Namun sebenarnya di sisi yang lain hal tersebut semakin menunjukan mudahnya umat Islam di Indonesia terpecah belah dan hal ini juga menunjukan semakin sulitnya sebuah partai Islam dapat memenangkan pertarungan di Pemilihan Umum (pemilu).
Perpecahan tersebut dapat dijelaskan dengan uraian bahwa pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.
Problema yang ketiga dalam hubungan Partai Politik Iskam sebagai sebuah civil society adalah dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam[25].
Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal. Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.
Peluang dan Tantangan Islam Politik Sebagai Civil Society Saat Ini
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt ÇÍÊÈ ö@è% (#rçÅ Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. tb%x. èpt7É)»tã tûïÏ%©!$# `ÏB ã@ö6s% 4 tb%x. OèdçsYò2r& tûüÏ.Îô³B ÇÍËÈ
41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
42. Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."
Sebelum membahas lebih jauh tentang peluang dan tantangan Islam politik sebagai sebuah civil society saat ini, perlu kita ketahui kenapa politik dan Islam adalah sebuah hubungan yang penting setidaknya di era reformasi seperti sekarang. Dari penjelasan ayat Al-Quran di atas dapat kita simpulkan bahwa kerusakan dan terlebih lagi kemunduran sebuah bangsa tidak lain adalah karena ulah para penduduk atau masyarakatnya sendiri. Saat ini tantangan terbesar dalam sebuah proses pembangunan adalah bagaimana menyikapi banyaknya pihak-pihak yang berkepntingan hanya untuk mencari kekuasaan semata. Korupsi dimana-mana dan tidak adanya seorang pemimpin yang kompeten untuk membawa bangsa ini ke arah kesejahteraan. Seperti sebuah perkataan yang dilontarkan oleh seorang ilmuan politik terkenal Lord Acton, "Power tends to corrupt, and the absolut power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung untuk melakukan korupsi, dan kekuasaan yang mutlak, korupsi secara mutlak pula).”
Inilah yang harus pertama kali dipikirkan oleh banyak orang yang menyatakan dirinya Islam politik dan tulus ingin membawa nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Yaitu berintrofeksi tentang semua niat dan perbuatan (praktik politik) yang selam ini telah dilakukan. Sebenarnya dari sanalah jawaban atas pertanyaan kenapa Islam sebagai politik tidak pernah berhasil dalam artian memenangkan pemilihan umum padahal sebagai sebuah civil society sudah sangat memadai.
Lalu terkait kekalahan partai-partai Islam yang sangat telak dari partai-partai nasionalis (sebut saja partai-partai sekuler). Banyak jawaban yang bisa muncul, misalnya bahwa demokrasi hanya menjadi instrumen legitimasi bagi kekuatan non-demokratis Islam untuk merebut kekuasaan. Adapun umat Islam yang beralih memilih partai-partai sekuler, karena partai-partai Islam demikian terfragmentasi. Andai hanya ada satu pilihan partai Islam (dengan agenda-agenda Islamis), sangat mungkin umat Islam menyatukan suara. Lalu, kenapa kekuatan politik dengan agenda Islamis itu tidak menyatukan diri? Pertanyaan inilah yang bisa dijadikan pijakan awal bagi sebuah optimisme demokrasi di dunia Islam, bahwa di mana-mana, tak terkecuali di dunia Islam, selalu ada hasrat kepentingan bagi perebutan kekuasaan. Dan itulah fondasi paling fundamental bagi demokrasi.
Dulu hambatan Islam politik sebagai sebuah civil society di negeri ini adalah adanya rezim yang menguji depolitisasi Islam secara formal dengan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancasila sebagai asas[26]. Menurut Donald Emerson, hal itu justru membangkitkan respon umat Islam. Kebangkitan Islam ada kalanya tergantung pada pengamatan. Tetapi, yang jelas di Indonesia telah berlangsung dalam tahun 80-an, di kota-kota, terutama kota besar di pulau Jawa, bukti-bukti adanya kebangkitan Islam tidak bisa dipungkiri.
Sejak kokohnya wacana civil society—sebagai sebuah peluang saat ini--, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan mahasiswa (HMI, PMII, KAMMI, dll.) semakin memantapkan posisinya, seiring lahirnya organisasi-organisasi dan NGOs baru, seperti Kontras oleh mendiang Munir, ICW oleh Teten Masduki, dll. Pada pertengahan hingga penghujung 1990an, berbagai ormas itu lebih berposisi sebagai gerakan moral, karena posisi negara (pemerintah) yang terlalu dominan dengan BIN dan kopasusnya. Baru pascareformasi banyaknya gerakan keislaman tersebut sudah mulai nampak kembali di jalur politik sebagai sebuah partai layaknya di masa demokrasi parlementer.
Sebagai gerakan moral, ormas dan NGOs tersebut dapat dengan mudah meraih simpati dari masyarakat, tidak terkecuali organisasi dan partai Islam. Terhadap masyarakat, gerakan—sekaligus sebagai sebuah civil society--ini menyadarkan mereka akan pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan, menunjukkan kepada masyarakat atas kesewenang-wenangan perlakuan tidak adil pemerintah dengan segala kebijakannya, dan membongkar indikasi KKN. Terhadap pemerintah, gerakan ini terus melakukan kritik, sekalipun beberapa aktifis diculik oleh pemerintah dan dipenjarakan. Mereka terus melakukan aktivitasnya dan dukungan masyarakat semakin besar. Dengan demikian, pemerintah berhadap-hadapan dengan masyarakat.
Sebelumnya pada situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.
Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra. Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan.
Meski lahirnya Islam politik sebagai sebuah civil society di Indonesia belum berumur tua dan tidak secara banyak yang terang-terangan ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi Islam, rasanya fungsi Islam politik dalam mendorong pembangunan civil society di Indonesia telah berlangsung baik. Segala hambatan dan tantangan yang ada belum bisa dijadikan kesimpulan apakah Islam politik dan civil society adalah sesuatu yang sesuai atau justru malah bertentangan. Tapi yang jelas dan perlu kita ambil pelajran adalah dengan sejarahnya yang panjang dan konteks masyarakat Indoneisa yang seperti ini mengindikasikan bahwa Islam politik adalah sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan, lebih daripada posisinya sebagai sebuah instrument demokrasi semata.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 2001. Nasionalisme dan sejarah. (Cet ke-1). Bandung: Satya Historika
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
Feith, Herbert dan Lance Castles. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES
Hamid, Tijani Abdul Qadir. 2001. Pemikiran Politik Dalam AL-Qur’an. Jakarta: GEMA INSANI PRESS
Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus. 2005. “Pengantar Editor” dalam Islam, Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina
Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES
Mashad, Dhurorudin . 2008. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasional. Jakarta: Grafitipers
Ricklefs. M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Suhelmi, Ahmad. 2002. Polemik Negara Islam. Jakarta: TERAJU
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami ilmu politik. (cet. ke-6). Jakarta: Grasindo
[1] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man
[2] Taufik Abdullah, Nasionalisme dan sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001) Cet ke-1.
[3] Ketiga poin tersebut menurut Dahl telah memperlihatkan kepada kita secara jelas, bahwa apa yang menjadi isu utama dalam sebuah sistem demokrasi adalah “kebebasan” dan implementasi (unsur-unsur pokok) demokrasi dapat dirumuskan dalam satu ajang yang syarat dengan sifat demokrasi, yaitu pemilihan orang yang dipercaya untuk memimpin, secara umum dan bebas. Lebih lanjut, implementasi tersebut melingkupi dua hal antara lain adalah: (1) proses rekrutmen elite melalui pemilihan yang jujur dan bebas; dan (2) hak masyarakat untuk memilih.
[4] Hendro Prasetyo, Ali Muhanif, dkk, Islam & Civil society: Pandangan Muslim Indonesia, p. 11
[5] M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 1999). Hal 20. Hal ini menurutnya pula tidak berarti bahwa peperangan semacam itu dilakukan terutama dilakukan dalam rangka untuk menyebarkan agama Islam.
[6] Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional. (Jakarta: Grafitipers, 1987). Hal 4
[7] Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999). Hal tentang pengertian dan jenis Civil Society juga dijelaskan oleh Iwan Gardono Sujatmiko dalam Wacana Civil Society di Indonesia
[8] Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (eds.), “Pengantar Editor” dalam Islam, Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. xviii-xix
[9] M. Zainuddin MA, Islam dan Demokrasi, http://islamlib.com/id
[10] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[11] Samuel Huntington dan Francis Fukuyama menilai kemenangan Liberalisme atas Komunisme menjadidikan Liberalisme itu sebagai ideologi tunggal yang saat ini banyak dianut oleh kebanyakan negara-negara di dunia.
[12] Lihat juga dalam Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam. (Jakarta: TERAJU, 2002)
[13] Tijani Abdul Qadir hamid., Pemikiran Politik Dalam AL-Qur’an. (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 2001). Hal. 27
[14] Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. “Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).
[15] M. Rozi T.B. 2003. Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang Akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya. Tidak diterbitkan
[16] Lihat juga dalam Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999).
[17] Kholily Hasib. Civil Society Bukan Masyarakat Madani!. 13 April 2010. http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran/11381-civil-society-bukan-masyarakat-madani. Kholily adalah peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam Gontor
[18] Iwan Gardono Sujatmiko, Wacana Civil Society di Indonesia, dalam bahan ajar kuliah Sistem Sosial Indoneisa, 29 April 2010.
[19] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta: TERAJU, 2002), hal. xi
[20] Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafitipers, 1987), hal. 4
[21] Raymond Boudon (1986) dalam Ramlan Surbakti, Memahami ilmu politik. (cet. ke-6). (Jakarta: Grasindo, 2007), hal. 246
[22] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 1986), Hal. 31
[23] M. C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 1999), hal. 367
[24] “Muhammad Natsir Toleransi Islam” dalam Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 216
[25] Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam. Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.
[26] Sepuluh tahapan awal (1966--1976) sebagai tahap pengkondisian rezim orde baru, menurut Dr. Din Syamsuddin, "Dapat dicatat bahwa respon umat Islam terhadap perubahan politik selama sepuluh tahun pertama orde baru (1966--1976) yang dalam hubungannya dengan agenda depolitisasi Islam dapat dipandang sebagai suatu pengkondisian hubungan antara Islam dengan negara Pancasila dan politik."
0 Response to "“Islam Politik dan Civil Society di Indonesia: Partai Politik Islam Dalam Pembangunan Civil Society di Indonesia”"
Posting Komentar